16 Agustus 2011

Artikel: Seni “Memaksa” Jemaat Untuk Mendengarkan Khotbah dengan Antusias

Oleh Benny Solihin

(Dikutip dari buku "HAMBA YANG MELAYANI") 
                                                                                                                            

Kata “memaksa” memang sengaja dipakai sebagai judul. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menarik perhatian pembaca sehingga tulisan ini dibaca. Suatu tulisan sebaik dan sebermanfaat apapun bila tidak ada yang membacanya, sudah pasti tidak ada gunanya. Namun, itu bukan satu-satunya tujuan. Kata “memaksa” dipergunakan juga dengan maksud untuk melukiskan suatu keadaan yang sering terjadi dalam kebaktian-kebaktian minggu, yaitu jemaat tidak lagi antusias dalam mendengarkan khotbah. Keadaan ini tentu saja mendatangkan perasaan tidak nyaman pada banyak pengkhotbah. Kalau saja seorang pengkhotbah boleh berteriak untuk memarahi jemaat yang tertidur, ngobrol, atau mendengarkan tanpa minat, niscaya ia sudah melakukannya. Tetapi tentu saja pengkhotbah tidak dapat berbuat demikian, bukan karena ia tidak mampu tetapi karena itu tidak etis. Sebenarnya, demi firman Tuhan, pengkhotbah tidak perlu ragu untuk “memaksa” jemaat mendengarkan khotbahnya. Hanya “memaksa” bukan dengan intimidasi atau kekerasan, melainkan dengan seni “memaksa” sehingga jemaat dengan suka rela mendengarkan apa yang dikhotbahkan bahkan merasa rugi bila tidak mendengarkan. Nah, tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan tip-tip pencerahan bagi para pengkhotbah dengan harapan bisa menjadi oasis di tengah-tengah kejenuhan pengkhotbah dalam upaya merebut kembali antusiasme jemaat untuk mendengarkan firman Tuhan.


KEADAAN JEMAAT DI ERA PASCAMODERN

       Untuk bisa “memaksa” jemaat masa kini mendengarkan khotbah dengan antusias, yang pertama-tama perlu dilakukan adalah memahami karakteristik masyarakat pascamodern di mana jemaat tinggal di dalamnya dan tumbuh bersama dengannya. Pendengar pascamodern berpikir secara berbeda daripada orang-orang pada era modern. Walaupun masyarakat Indonesia tidak bisa disamakan seratus persen dengan masyarakat pascamodern di negara-negara maju, namun arah yang semakin serupa telah terlihat, khususnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar. Hal ini tampak dari mental, pola pikir, dan gaya hidup masyarakat kita, termasuk masyarakat Kristen. Ada perbedaan nilai-nilai yang signifikan antara jemaat pada era pascamodern dan jemaat era modern sehubungan dengan sikap mereka dalam mendengarkan khotbah. Perubahan-perubahan nilai inilah yang perlu kita ketahui. Satu tantangan khusus bagi kita sebagai pengkhotbah masa kini adalah bagaimana caranya menarik perhatian berbagai macam pendengar pascamodern agar mereka mau mendengarkan firman Tuhan sehingga mereka dapat mengalami transformasi kehidupan. Untuk itu, kita perlu memikirkan pendekatan yang efektif yang sesuai dengan konteks mereka. Di bawah ini ada beberapa pemikiran yang dapat membuat  jemaat kembali antusias dalam mendengarkan khotbah-khotbah kita.


MENGUBAH TUJUAN KHOTBAH DARI INFORMASI KE TRANSFORMASI

Pada era modern, di mana setelah Renaissance terjadi kebangkitan intelektual, khotbah-khotbah Kristen menjadi begitu teologis dan argumentatif. Hal ini bermula karena pada waktu itu doktrin Kristen mendapat serangan-serangan yang serius baik dari dalam maupun dari luar kekristenan. Karenanya, dalam mempertahankan doktrin Kristen yang benar, para teolog Kristen dengan segenap kemampuan intelektualnya melakukan pembelaan dengan argumen-argumen yang solid. Apa yang dilakukan oleh para teolog itu sangat penting dan terpuji. Namun, dalam kurun waktu yang lama, hal ini mempengaruhi khotbah-khotbah Kristen. Khotbah cenderung melulu mengarah kepada pikiran pendengar. Sebagian besar waktu khotbah dipakai untuk memberikan penjelasan teks atau arti teologisnya. Sedangkan unsur-unsur lain, seperti pendahuluan, ilustrasi, aplikasi dan penutup tidak begitu mendapat perhatian. Tak heran, kebanyakan khotbah sarat dengan bobot doktrinal dan bersifat informatif. Mungkin asumsinya adalah bila paradigma jemaat benar karena pengajaran yang benar, maka tingkah laku mereka dengan sendirinya akan benar. Tetapi yang sering terjadi adalah sebaliknya; jemaat tahu banyak tentang Allah namun mereka merasa “kering” dalam spiritualitas. 
Pada zaman pascamodern ini, jemaat rindu bukan hanya mendengar khotbah yang berbicara kepada kepala mereka namun juga kepada hati mereka; khotbah yang membawa mereka merasakan dan mengalami Allah, bukan hanya tahu tentang Allah. Di tengah-tengah kehidupan yang semakin sulit, hari esok yang tidak pasti dan sikap manusia yang semakin individualistis, mereka mempunyai kebutuhan yang besar untuk merasakan kehadiran Allah dalam hidup mereka sehingga mereka merasa aman dalam menghadapi masa depan yang tidak menentu. Dengan kata lain, mereka membutuhkan transformasi, bukan sekadar informasi.
      Untuk menghasilkan khotbah yang transformatif, pengkhotbah harus mampu “memaksa” will atau kemauan jemaat untuk berkata yes kepada Tuhan dan no kepada bujukan setan dan nafsu kedagingan. Kemauan seseorang pendengar jarang sekali berespon hanya dengan mendengarkan khotbah yang sarat dengan muatan teologis dan akademis, tetapi tidak menyentuh hati mereka. Ini bukan berarti pengkhotbah pada era ini boleh menyajikan khotbah dengan isi yang tidak karuan. Sama sekali bukan. Khotbah harus tetap biblikal dan makna teologisnya benar. Namun, pengkhotbah perlu membedakan antara ruang kuliah dan mimbar gereja; antara seminar teologi dan khotbah. Yang pertama tidak menuntut porsi yang besar untuk berbicara kepada hati pendengar, yang terakhir justru sangat besar. Bila hati para pendengar tidak tersentuh, kebenaran firman Tuhan tetap tinggal sebagai knowlegde di kepala mereka. Tidak ada perubahan dalam will mereka. Sebaliknya, bila hati mereka telah tersentuh, himbauan pengkhotbah saat aplikasi akan menjadi lebih mudah untuk menggerakkan will mereka.
Salah satu cara yang paling efektif untuk menyentuh hati jemaat adalah dengan cerita, baik itu kisah mengenai kesaksian hidup dan pergumulan pengkhotbah sendiri, kisah tentang orang lain maupun kisah-kisah fiktif. Ketika suatu ilustrasi dalam bentuk cerita mulai dikisahkan, mata jemaat mulai terkuak kembali, pikiran mereka bangun serempak seolah-olah menemukan sesuatu yang telah lama mereka nantikan. Cerita membuat jemaat terlibat di dalamnya dan melihat dirinya sendiri ada di sana. Cerita membuat pengajaran teologis merembes dalam dunia keseharian jemaat dan menembus jiwa mereka. Cerita membuat kisah “kuno” Alkitab kembali hadir pada masa kini dalam kehidupan jemaat sehingga khotbah bukan hanya sekadar informasi tentang Tuhan, melainkan juga membawa jemaat mengalami Tuhan. Pengalaman menunjukkan bahwa cerita mempunyai kemampuan untuk “memaksa” jemaat untuk mendengar sehingga mereka mengikutinya dengan sukarela. Inilah seni “memaksa” yang pertama.
           

MENGUBAH STRUKTUR KHOTBAH DARI DEDUKTIF MENJADI INDUKTIF

       Salah satu sebab yang membuat jemaat tidak antusias dalam mendengarkan khotbah adalah karena mereka bertahun-tahun mendengarkan khotbah  dengan pola yang sama. Setelah mendengarkan ratusan bahkan ribuan kali, jemaat biasanya sudah hafal apa yang akan dikatakan oleh pendetanya. Ada jemaat yang dengan bercanda mengatakan, “Kalau pendeta kami sudah berkata ‘poin ke tiga, … ’ maka hati kami mulai plong karena itu tandanya kami sudah berada di terminal terakhir. Apalagi, bila ia sudah mengatakan ‘semoga Tuhan membantu kita untuk melakukan firman Tuhan ini’, nah, itu adalah sebuah morning call bagi kami.” Pola atau struktur khotbah yang sama mendatangkan kebosanan bagi jemaat, bahkan juga bagi pengkhotbah sendiri. Tak jarang, perasaan jenuh menguasai diri pengkhotbah pada waktu ia mengevaluasi khotbahnya. Bertahun-tahun semua berjalan dengan cara yang sama, tidak ada yang baru; bertahun-tahun pula ia melihat jemaat mendengarkan khotbahnya tanpa gairah. Perubahan-perubahan mungkin telah dilakukannya, baik dari segi penyampaian maupun isi khotbah, namun semuanya itu tidak membuat perbedaan yang cukup berarti. Sebenarnya, salah satu faktor yang membuat khotbah akan dirasakan berbeda oleh jemaat adalah struktur khotbah. Bila struktur khotbah diubah, maka jemaat akan merasakan adanya sesuatu yang baru.
Pada zaman pascamodern, masyarakat anti akan kemapanan. Bentuk arsitektur yang dulu simetris, klasik, agung, sekarang dianggap membosankan. Orang lebih senang dengan gaya minimalis yang mempunyai corak yang simple dan bebas. Begitu juga dengan pola khotbah. Mereka mengalami kejenuhan dengan pola khotbah yang sama selama bertahun-tahun. Diam-diam mereka menanti-nantikan pola khotbah yang baru, walaupun mereka tidak tahu apa yang baru itu. Sayangnya, pengharapan jemaat ini tidak sepenuhnya direkam oleh para pengkhotbah. Mereka masih cenderung mempergunakan pola khotbah yang sama, yakni struktur khotbah deduktif yang salah satu bentuknya dikenal dengan khotbah “three-point sermon.”
Kita tahu bahwa struktur khotbah pada dasarnya ada dua macam, yaitu struktur deduktif dan yang lain adalah struktur induktif. Struktur deduktif menempatkan amanat khotbah di awal khotbah, setelah pendahuluan. Kemudian, pengkhotbah mulai memberi penjelasannya atau argumennya yang biasanya dalam bentuk poin-poin; tentu saja, tidak selalu tiga poin. Kelebihan struktur khotbah ini adalah alur pikirnya sangat jelas dan sistematis. Jemaat dari awal sudah diberi tahu apa topik pembicaraannya dan selanjutnya mereka hanya menunggu penjelasannya dari pengkhotbah. Namun, kekurangan dari struktur ini adalah partisipasi jemaat rendah. Mereka pasif, tidak terlibat langsung dalam pemikiran maupun emosi khotbah. Tidak ada misteri, tidak ada solusi yang mereka nantikan karena semuanya telah diberitahu sejak awal. Khotbah seolah-olah menjadi sebuah film dokumenter yang akhir ceritanya sudah diketahui. Atau, ibarat sebuah pesta ulang tahun anak-anak yang semua kuenya disajikan di awal acara. Tak pelak lagi, setelah itu sebagian besar anak-anak ingin cepat-cepat pulang. Struktur khotbah ini—yang mendominasi mimbar-mimbar gereja pada era modern—bisa jadi menimbulkan kebosanan bagi jemaat di era pascamodern.
Struktur khotbah yang lain adalah induktif. Secara teknis struktur ini menaruh amanat khotbah di akhir khotbah. Di bagian awal, pengkhotbah biasanya memunculkan suatu pertanyaan yang kemudian akan berkaitan dengan topik yang akan dibahas. Namun, apa yang akan dibicarakan dari topik itu, atau bagaimana solusinya masih tersembunyi bagi jemaat. Karena itu, sepanjang khotbah jemaat ikut terlibat baik secara pikiran maupun emosi untuk menerka-nerka solusinya. Di akhir khotbahlah mereka baru mendapatkan jawabannya. Struktur induktif nampaknya lebih menarik karena keterlibatan pendengar dalam mengikuti jalannya khotbah sangat besar. Jemaat seakan-akan menonton film yang belum tahu bagaimana akhir ceritanya dan selama klimaksnya belum tiba, maka mereka akan terus menyaksikannya dengan antusias. Struktur khotbah ini lebih cocok dengan pola pikir orang pada zaman pascamodern. Menurut Eugene Lowry paradigma homiletik lama telah semakin tergeser dengan paradigma homiletik baru. Pergeseran itu mencakup perubahan dari deduktif  ke induktif, dari retoris ke puitis, dari ruang ke waktu, dari literal ke oral, dari prosa ke puisi, dari panas ke dingin, dari kredo ke himne, dari sains ke seni, dari belahan otak kiri ke belahan otak kanan, dari proposisi ke perumpamaan, dari langsung ke tidak langsung, dari susunan ke pengembangan, dari diskursif  ke estetis, dari tema ke peristiwa, dari penjelasan ke gambar, dari poin ke kenangan, dari otoriter ke demokrasi, dari kebenaran ke makna, dari laporan ke pengalaman.[1]  Dengan kata lain, prinsip dasar dari homiletik baru adalah diskursif, deduktif, dan khotbah proposisi tidak lagi menjadi metode yang menarik bagi pendengar masa kini. Untuk itu, pengkotbah perlu membiasakan diri dengan struktur khotbah induktif. Walaupun mengubah kebiasaan lama yang sudah bertahun-tahun mendarah daging tidak mudah, namun tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru sebagai alternatif mengusir kebosanan. Setelah melihat dampak positifnya, niscaya kita akan terdorong untuk lebih sering melakukannya. Inilah cara kedua “memaksa” jemaat untuk mendengarkan khotbah dengan antusias.


MENGUBAH BAHASA KONSEPTUAL MENJADI BAHASA GAMBAR

Dalam bukunya Preaching to a Postmodern World: A Guide to Reaching Twenty-first Century Listener, Graham Johnston, menyatakan bahwa era modern didominasi oleh kata-kata yang dicetak, namun pada era pascamodern gambar menguasai kata-kata yang dicetak. Johnston mengamati fungsi yang unik dari gambar: Gambar meninggalkan pemirsa bukan dengan gagasan-gagasan yang disusun dengan rapi, melainkan dengan kesan. Gambar berfungsi untuk mengizinkan pemirsa membangun penafsirannya sendiri.”[2] Bagi orang-orang pada zaman pascamodern, audio visual sudah menjadi “lauk pauk” sehari-hari. Melalui TV, film, komputer, handphone, handicam dlsb, orang-orang masa kini menikmati hiburan, informasi dan pendidikan dalam bentuk gambar.
Bisa kita bayangkan apa yang jemaat rasakan pada waktu mereka mendengar khotbah. Tidak ada latarbelakang yang berganti-ganti, tidak ada musik pendukung, dan juga tidak ada artis-artis professional selain pengkhotbah sendiri. Jemaat hanya melihat satu orang yang sama dengan suara yang sama dan latar belakang panggung yang sama. Hampir seluruh pesan khotbah disampaikan hanya dengan sarana kata-kata. Tidak heran, bila konsentrasi  jemaat dalam mendengarkan khotbah sangat pendek. Apalagi, yang didengar adalah proposisi-proposisi kebenaran mutlak, bahasa teknis teologi, atau bahasa konsep yang “kering”. Pasti sangat membosankan jemaat. Namun demikian, itu bukan berarti kita tidak mungkin “memaksa” jemaat untuk tetap mendengar khotbah kita. Caranya adalah dengan mengubah sebisa mungkin bahasa konsep menjadi bahasa gambar.
Bahasa konsep adalah bahasa teknis, berisi definisi, istilah-istilah teologis, penjelasan-penjelasan abstrak dan argumentasi. Ibarat sawah di kemarau panjang: kering dan gersang; begitulah bahasa konsep. Tidak ada kehidupan, tidak ada gerak, tidak ada emosi, tidak menyentuh panca indera, lebih banyak menggunakan kata benda atau kata ganti daripada kata kerja dan kata sifat. Sebaliknya, bahasa gambar adalah bahasa yang menimbulkan sentuhan pada panca indra, hidup, bergerak, berperasaan, berwarna, penuh kiasan (metafora), membangkitkan imajinasi pendengar. Bahasa seperti ini, kadang-kadang, tata bahasanya tidak terlalu tepat, tapi sangat akrab dan mengena di telinga pendengar. Dampaknya langsung dirasakan oleh pendengar karena mereka tidak perlu mencerna dua tiga kali tentang apa yang dimaksud oleh si pengkhotbah. Dengan memakai banyak kata kerja, kata sifat dan kata keterangan, bahasa gambar menciptakan film dalam benak pendengar. Seperti film yang menyajikan panorama gambar untuk menyampaikan beritanya, seorang pengkhotbah sebaiknya menciptakan gambar-gambar dengan kata-katanya sehingga jemaat bukan hanya mendengar berita yang disampaikan, tapi juga melihat dan merasakannya. Mereka mengalami atau masuk ke dalam situasi yang dilukiskan pengkhotbah.
Bahasa seperti itulah yang digunakan dalam 2 Samuel 17, “Demikianlah aku akan membawa pulang seluruh rakyat itu kepadamu seperti seorang mempelai perempuan kembali kepada suaminya (ay.3) . . . . Kata Husai pula: “Engkau tahu, bahwa ayahmu dan orang-orangnya adalah pahlawan, dan bahwa mereka sakit hati seperti beruang yang kehilangan anak di padang (8). . . . Maka seorang gagah perkasa sekalipun yang hatinya seperti hati singa akan tawar hati sama sekali (10) . . . . Apabila kita mendatangi dia di salah satu tempat, di mana ia terdapat, maka kita akan menyergapnya, seperti embun jatuh ke bumi, sehingga tidak ada yang lolos, baik dia maupun orang-orang yang menyertainya. Dan jika ia mengundurkan diri ke suatu kota, maka seluruh Israel akan mengikat kota itu dengan tali, dan kita akan menyeretnya sampai ke sungai, hingga batu kecilpun tidak terdapat lagi di sana” (12-13). Dengan sangat pandai Nabi Natan menggunakan bahasa seperti ini pula untuk menyampaikan tegurannya kepada Daud yang telah melakukan dosa yang amat keji di hadapan Allah, yaitu berzinah dengan Batsyeba dan membunuh suaminya, Uria (2 Sam. 12:1-14). Yesus juga mengajar murid-murid-Nya dengan bahasa gambar. Kepada para murid-Nya yang sedang kuatir akan masa depan mereka, Ia berkata, “Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan oleh Bapamu yang di sorga.  Bukankah kamu melebihi burung-burung itu?” (Matius 6:26). Para murid tidak perlu memikirkan dua kali apakah yang dimaksud Yesus dengan perkataannya itu, sebab bahasa yang Yesus gunakan sudah menciptakan dalam pikiran mereka gambaran burung-burung yang terbang merdeka di langit bebas dan gambaran petani yang dengan susah payah sedang menabur, menuai, dan mengumpulkan bekal dalam lumbung. Dari dua gambar yang kontras itu mereka dengan cepat mengerti dan merasakan betapa Allah sangat memperhatikan kebutuhan mereka sehingga mereka tidak perlu kuatir akan hidup mereka. Seorang pengkhotbah yang berkhotbah dengan bahasa seperti ini akan selalu mampu memaksa” pendengarnya untuk terus memperhatikan khotbahnya. Inilah seni “memaksa” yang ketiga.


MENGUBAH GAYA KHOTBAH OTORITER MENJADI KHOTBAH PERCAKAPAN

Masyarakat pascamodern sangat sensitif dengan sikap yang otoriter dan klaim-klaim kebenaran yang absolut. Mereka menganggap semua orang mempunyai kebenaran masing-masing, serta kesempatan, kebebasan dan hak yang sama. Belakangan ini kita melihat pemimpin-pemimpin negara-negara Arab yang otoriter diguncang oleh rakyatnya yang tidak lagi bersedia hak dan kebebasan mereka ditindas. Hal yang sama terjadi pada pemirsa TV. Bila seorang pembawa acara TV berkata, “Jangan pindahkan channel Anda …” atau “Tetaplah bersama kami …” hampir bisa dipastikan bahwa kebanyakan pemirsa justru melakukan hal yang sebaliknya. Ucapan seperti itu terasa sangat mendikte dan merampas kebebasan orang. Dewasa ini, sesuatu yang bersifat absolut dan otoriter tidak lagi mendapat tempat. Disadari atau tidak, sikap jemaat terhadap hamba Tuhan banyak diwarnai oleh nilai-nilai seperti ini. Bagi kebanyakan jemaat pada era kini, pendeta atau hamba Tuhan adalah manusia biasa yang memiliki otoritas tidak lebih dari mereka, hanya profesinya saja yang berbeda. Itulah sebabnya, berkhotbah dengan nada keras, otoritatif, dan sinis tidak lagi disukai.   
            Nilai-nilai demikian, mau tidak mau, menimbulkan tantangan baru dalam berkhotbah. Kita menyadari bahwa dasarnya khotbah Kristen berdiri pada sesuatu yang bersifat absolut, yakni firman Tuhan, demikian juga dengan Injil. Bahwa manusia diselamat bukan karena perbuatan baiknya dan Yesus adalah satu-satunya jalan yang memungkinkan manusia sampai kepada Bapa adalah klaim yang bersifat absolut. Apakah itu berarti bahwa khotbah Kristen tidak lagi punya kesempatan untuk didengarkan oleh masyarakat masa kini? Apakah ini yang membuat jemaat enggan untuk mendengarkan khotbah? Jawabnya, maybe yes, maybe no. Yang terpenting adalah apakah pengkhotbah memahami paradigma pendengar masa kini dan berupaya mengkomunikasikan kebenaran Alkitab dengan cara yang sesuai dengan konteks mereka. Keyakinan bahwa firman Tuhan dan Injil itu bersifat mutlak tidak perlu disembunyikan, begitu pula dengan otoritas seorang pengkhotbah yang berasal dari Allah dan bukan dari dirinya sendiri. Namun, hal ini tidak dimaksudkan bahwa seorang pengkhotbah boleh berkhotbah dengan cara yang otoriter.  
Dewasa ini, jemaat lebih dapat menerima khotbah dengan nada percakapan (conversational preaching) di mana jemaat dianggap sebagai teman bicara yang baik, anggota keluarga dalam suatu komunitas, atau “pelanggan” yang dihargai dan dihormati; bukan murid yang harus digurui. Sebelum berkhotbah, pengkhotbah demikian biasanya memberi salam sehangat mungkin dan  senyum selebar mungkin kepada jemaat. Pada waktu berkhotbah, nadanya pun tidak preachy – berusaha keras meyakinkan orang untuk menerima gagasannya dengan cara yang membuat orang lain merasa tidak nyaman. Sekali-kali di tempatkannya humor-humor kecil yang membuat khotbahnya tetap segar. Ia tidak mempunyai kecenderungan mendiskretkan orang atau gereja lain. Dengan model percakapan, ia tidak terikat pada naskah khotbahnya dan berbicara dengan santai namun penuh percaya diri. Ia berusaha menciptakan pertanyaan-pertanyaan dan dialog-dialog yang mengungkapkan pikiran-pikiran jemaat baik yang pro ataupun yang kontra terhadap kebenaran yang sedang dibahas. Namun, pada akhirnya ia dengan kepiawaiannya menggiring pikiran jemaat untuk melihat kebenaran firman Tuhan dan dengan persuasif menghimbau jemaat untuk melakukan firman itu. Dengan cara ini, sebenarnya ia melibatkan jemaat dalam proses pencarian kebenaran, bukan mencekokinya,  sehingga jemaat merasa dihargai dan diperlakukan sebagai pribadi yang dewasa. Inilah seni “memaksa” jemaat yang keempat.


MENGUBAH HAL-HAL YANG TEORITIS MENJADI PRAKTIS

Masyarakat pada zaman pascamodern adalah masyarakat yang tenggelam dalam tsunami informasi. Salah satu konsekuensinya adalah setiap saat, suka atau tidak, otak mereka dipaksa bekerja secara multitasking. Majalah TIME menyebut generasi masa kini sebagai “Generation M” – M kependekan dari multitasking – di mana pada suatu saat yang sama otak dipaksa untuk memikirkan beberapa hal sekaligus. Orang-orang di era kini dapat membagi waktu dan perhatian antara menonton TV dan mengetik email, mengendari mobil dan SMS atau bertelepon, mendengarkan musik, Facebook, blog dan meeting, dll. Begitu juga saat jemaat mendengarkan khotbah, otak mereka yang multitasking terus bekerja. Pengaruh pragmatisme, yang mengajarkan bahwa segala sesuatu bisa dianggap benar dengan melihat akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis, membuat mereka selalu berpikir dari keuntungan diri mereka sendiri.
Gabungan dari dua faktor ini sangat mempengaruhi filosopi hidup mereka. Nilai-nilai hidup mereka tidak lagi berdasar pada apa yang benar, tetapi apa yang bermanfaat.
Pada waktu mendengarkan khotbah, mereka tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik. Mereka menjadi tidak sabar mendengarkan khotbah yang bertele-tele, termasuk khotbah yang sarat dengan penjelasan latar belakang teks mirip kuliah eksegese atau teologi. Ini bukan berarti mereka tidak bersedia mendengar tentang penjelasan teks – sebagian mereka malah mengharapkan – tetapi tentu saja penjelasan yang signifikan, relevan, dan to the point. Setelah itu, mereka mengharapkan pertanyaan mereka – “praktisnya apa?” – segera terjawab.
Sayangnya, masih banyak pengkhotbah yang asyik berlama-lama dalam  penjelasan teks secara rinci. Tidak jarang, pengkhotbah membahas persoalan tentang sumber teks, waktu penulisan teks, struktur teks, analisis arti kata dan tata bahasa yang tempatnya seharusnya ada di ruang studi pengkhotbah. Akibatnya, khotbah miskin akan ilustrasi dan aplikasi; ujung-ujungnya, jemaat merasa tidak mendapat apa-apa. Yang perlu selalu disadari adalah bahwa jemaat datang ke gereja bukan untuk mendapatkan informasi, melainkan transformasi. Mereka beribadah bukan untuk menambah pengetahuan Alkitab ke isi kepala mereka, melainkan mencari sesuatu yang rohani yang dapat mengisi hati mereka yang gelisah, kuatir, kosong dsb. Yang mereka butuhkan bukan teori yang berlebihan, melainkan  aplikasi khotbah yang relevan. Itulah sebabnya, mereka selalu bertanya-tanya, “praktisnya apa?” Ketika tidak menemukan nilai praktis dari kebenaran yang dikhotbahkan, mereka kehilangan gairah untuk mendengarkan.
Menyadari karakteristik jemaat seperti ini, pengkhotbah memerlukan strategi komunikasi yang jitu. Membuat dan menjalankan strategi yang baru tentu diperlukan kemauan dan kerelaan  untuk mengubah pola komunikasi yang lama. Hal yang utama yang perlu dilakukan adalah pengkhotbah perlu mengikis habis penjelasan-penjelasan teks yang tidak signifikan dan relevan baik yang bersifat biblikal maupun doktrinal dan memberikan lebih banyak contoh-contoh kehidupan sehari-hari serta menunjukkan penerapannya. Salah satu cara yang paling efektif untuk mengajarkan nilai praktis kebenaran firman Tuhan itu adalah dengan men-sharing-kan pergumulan pengkhotbah dalam melakukan kebenaran tsb. Di masa lalu, pengkhotbah yang dipandang baik adalah pengkhotbah yang tidak sedikit pun mengisahkan tentang dirinya. Jemaat pun punya pandangan yang sama. Tidak heran, bila dulu dalam suatu retreat, jemaat tetap tertarik untuk mendengarkan seorang pengkhotbah yang berkhotbah enam sampai delapan sesi tanpa sekali pun men-sharing-kan diri dan pergumulannya dalam menjadi pelaku firman Tuhan. Tetapi di era kini, jemaat tidak akan tahan bila semua yang dikatakan pengkhotbah melulu dalam tataran teoritis. Otak mereka yang multitasking akan segera berpindah channel ketika mereka tidak menemukan nilai praktis dari sebuah khotbah. Channel mereka akan segera kembali pada saat pengkhotbah mulai menerapkan yang teoritis itu menjadi praktis, terlebih lagi ketika pengkhotbah mau membagikan pergumulannya dalam menjadi pelaku firman tersebut. Pergumulan itu tidak harus selalu tentang keberhasilan, bisa juga kegagalan. Yang terakhir ini justru sering lebih menyentuh hati jemaat. Inilah seni “memaksa” yang kelima.


YANG TIDAK BOLEH BERUBAH: KEBENARAN FIRMAN TUHAN DAN KETERGANTUNGAN YANG MUTLAK KEPADA PIMPINAN ROH KUDUS

            Zaman berganti, budaya dan filosofi hidup manusia terus berubah. Seiring dengan itu, metode khotbah pun beriring dinamis dengan konteks pendengarnya. Dinamika ini perlu disyukuri karena dengan demikian khotbah akan dapat terus menjadi wahana untuk menyampaikan amanat Allah  dan mentransformasi pendengarnya. Pada era pascamodern, penyesuaian juga seharusnya terus berjalan. Meskipun mungkin ada banyak hal yang membuat kita tidak bisa sepaham dengan pandangan hidup pascamodernis, sebagai pengkhotbah, kita tidak boleh berhenti untuk berupaya mencari metode yang lebih efektif dalam mengkomunikasikan firman Tuhan. Hanya perlu digarisbawahi, hal ini bukan berarti bahwa esensi khotbah berubah-ubah. Amanat suatu khotbah harus tetap bersumber dari Alkitab sebagai firman Allah yang diinspirasikan oleh Roh-Nya. Amanat ini adalah amanat yang kuno yang pernah Allah berikan kepada umat-Nya, Israel, dan gereja pada masa Perjanjian Baru. Amanat ini bersifat kekal dan universal. Perubahan-perubahan terjadi pada metode mengkomunikasikannya, bukan pada isinya. Paulus menegaskan hal yang sama kepada anak rohaninya, Timotius, “Beritakanlah firman!” (2 Tim. 4:2). Jika kita ingin “memaksa” jemaat untuk mendengarkan khotbah kita dengan penuh perhatian, khotbahkanlah sesuatu yang mentransformasi hidup mereka. Jika itu yang menjadi tekad kita, maka jalan satu-satunya adalah kita harus mengkhotbahkan firman Tuhan (2 Tim. 3:16). Ini adalah prinsip dasar yang tidak bisa ditawar.
Prinsip lainnya yang tidak kalah penting adalah ketergantungan yang mutlak seorang pengkhotbah kepada pimpinan Roh Kudus. Menyadari bahwa perubahan metode khotbah hanya merupakan upaya agar khotbah dapat tetap mempunyai pengaruh namun hasil akhirnya semata-mata adalah pekerjaan Roh Kudus membuat setiap pengkhotbah harus bergantung penuh pada pimpinan-Nya. Menerapkan metode khotbah yang tepat sesuai dengan konteks pendengarnya merupakan tindakan yang seharusnya. Namun, metode itu sendiri tetap memiliki keterbatasan, sama seperti pengkhotbah yang membawakannya juga memiliki keterbatasan. Hakikat khotbah lebih daripada sekadar metode; esensi pengkhotbah lebih dari sekadar ahli retorika. Metode adalah instrumen pengkhotbah, dan pengkhotbah adalah instrumen Roh Kudus dalam menggenapi karya-Nya. Karenanya, setiap pengkotbah harus meminta penyertaan Roh Kudus agar baik dirinya maupun metode khotbahnya diurapi dengan kuasa ilahi. Dengan begitu, barulah instrumen-instrumen yang terbatas itu mampu menyampaikan firman Tuhan yang mentransformasi pendengar. Martyn Lloyd-Jones berkata, “Bagi saya tidak ada yang lebih menakutkan bagi seorang pengkhotbah daripada berdiri di mimbar seorang diri tanpa senyum perkenan Allah.”[3] Ketakutan demikianlah yang seyogyanya ada di dalam hati setiap kita sebagai  pengkhotbah. Dengan kesadaran ini, biarlah kita bergantung penuh kepada-Nya serta berdoa, “Roh Kudus, urapilah pemberitaan kami, sebab tanpa kuasa-Mu khotbah kami akan menjadi sia-sia sama seperti gong yang berkumandang dan canang yang bergemerincing.”
           







[1] Eugene Lowry, The Revolution of Sermonic Shape, in Listening to the Word: Studies in Honor of Fred B. Craddock. Gail O’Day and Thomas Long, eds. (Nashville: Abingdon, 1993) 95-96.
[2] Graham Johnston,  Preaching to a Postmodern World: A Guide to Reaching Twenty-first Century Listener (Grand Rapis: Baker Books, 2001), 48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar