Mencari Keadilan pada orang-orang Percaya
Oleh Renold Afrianto Oloan
Pendahuluan
Saudara-saudara, saya teringat akan satu peristiwa yang terjadi dalam satu denominasi gereja pada tahun 1993. Saat itu sinode sedang mengadakan sidang raya untuk memilih ketua sinode yang baru. Di tengah perjalanan sidang terjadi perselisihan diantara para peserta yang menyebabkan pemilihan ketua sinode pun akhirnya dibatalkan. Gereja berusaha untuk mencari jalan keluar terhadap konflik yang ada. Mereka meminta pemerintah menjadi penengah dengan maksud agar perselisihan segera berakhir. Namun tanpa disadari oleh gereja, tindakan yang mereka lakukan dengan menyerahkan penyelesaian perselisihan yang ada dalam gereja kepada pemerintah telah melahirkan satu masalah baru, yakni perpecahan antar jemaat. Pemerintah memutuskan untuk mengangkat seorang ketua sinode baru versi pemerintah dan itu amat melukai hati jemaat. Jemaat Tuhan merasa telah diperlakukan tidak adil dan amarah mendorong mereka melakukan tindakan untuk saling menyerang, saling melukai, membakar gereja satu dengan yang lain, bahkan tega untuk saling membunuh. Ternyata keputusan gereja dengan menjadikan pemerintah sebagai penengah bagi penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam jemaatnya bukanlah hal yang tepat, terbukti hal ini telah membawa gereja ke dalam jurang perpecahan.
Apa yang terjadi terhadap gereja ini memang sangat ironis saudara. Tetapi sadarkah kita bahwa apa yang terjadi terhadap gereja ini, bisa saja terjadi pada gereja saudara. Bukankah perselisihan, konflik, pertentangan, pertengkaran, dan perkelahian sangat dekat dengan kehidupan kita. Setiap kita, baik sebagai pendeta, majelis, aktifitis, atau jemaat, mungkin untuk mengalaminya. Oleh karena itu, bila terjadi perselisihan di dalam jemaat, marilah kita menyelesaikannya sendiri dengan menyerahkannya kepada sesama orang percaya. Mengapa saudara?
I. Karena orang percaya dianggap sanggup untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam jemaat.
Penjelasan
Saudara-saudara, ada banyak cara untuk Tuhan membentuk umat-Nya. Selain melalui penderitaan dan kesulitan yang dihadapi, umat Tuhan juga dibentuk melalui interaksi-interaksi yang ada dengan sesamanya. Namun sayangnya tidak semua interaksi-interaksi ini berjalan mulus, terkadang muncul perselisihan akibat interaksi-interaksi yang ada. Demikian juga yang terjadi dengan Jemaat Tuhan di Korintus. Tak jarang mereka juga berselisih oleh karena sesuatu hal. Dan ketika terjadi perselisihan, mereka tidak lagi menyelesaikannya bersama-sama di dalam jemaat melainkan menyerahkannya kepada orang-orang tidak percaya. Inilah sesungguhnya persoalan yang terjadi dalam jemaat Tuhan yang ada di Korintus dalam bagian perikop ini.
Saudara-saudara, Paulus menghadapi masalah yang secara khusus mempengaruhi jemaat Korintus dari golongan orang-orang Yunani pada saat itu, dimana mereka adalah rakyat yang secara karakteristik bersifat hukum. Hal biasa pada saat itu bila melihat orang Yunani mahir dalam bidang hukum. Hal ini sangat wajar, karena mereka adalah orang-orang yang gemar terhadap ilmu hukum. Mereka sering menghabiskan waktu mereka di pengadilan baik untuk memutuskan maupun hanya sekedar mendengarkan kasus-kasus hukum, bahkan mereka rela untuk mengeluarkan uang agar dapat masuk ke dalam ruang pengadilan. Golongan orang Yunani inilah yang telah membawa kecendrungan untuk selalu menyelesaikan setiap perselisihan melalui proses hukum ke dalam gereja. Di ayat 1dikatakan bahwa mereka berani mencari keadilan pada orang-orang yang tidak benar.
Kata berani disini dalam bahasa Yunaninya adalah tolmaƵ yang menunjuk kepada sebuah tindakan yang dilakukan terus-menerus. Sementara “orang yang tidak benar” adalah adikon yang artinya orang yang berbeda iman dengan orang Kristen. Hal ini berarti bahwa jemaat Korintus telah terus-menerus melakukan tindakan mencari keadilan pada orang-orang yang tidak percaya terhadap perselisihan yang terjadi dalam jemaatnya. Hal inilah yang Paulus kecam.
Saudara, Dalam ayat 2 terdapat sebuah frasa “tidak tahukah kamu” yang diulang oleh Paulus sampai tiga kali, yakni pada ayat 3, dan ayat 9. Disini Paulus ingin menegaskan bahwa apa yang ia katakan sesungguhnya telah diketahui sebelumnya oleh jemaat Korintus. Paulus berkata: “Jika suatu hari kelak kamu akan menghakimi dunia bahkan malaikat-malaikat akan menjadi sasaran penghakimanmu, bagaimana mungkin kamu bisa pergi dan menyerahkan kasus-kasusmu kepada orang yang tidak percaya dan memuja mereka dengan cara itu? Jika kamu harus melakukannya, ia berkata: “lakukanlah itu di dalam gereja.” Orang-orang tidak percaya telah menjadi hakim bagi orang-orang percaya, padahal orang-orang percaya kelak akan menghakimi dunia dan para malaikat. Bukankah ini suatu kekacauan? Sebagai orang-orang yang akan menghakimi dunia kelak, seharusnya mereka mampu menyelesaikan sendiri perselisihan yang ada dalam kehidupan mereka berjemaat saat ini, namun gereja Tuhan di Korintus gagal melakukannya.
Disini perkara-perkara biasa yang Paulus maksudkan menunjuk pada perselisihan yang berkisar pada hukum sipil seperti perkara mengenai hak milik, pelanggaran kontrak, penipuan, kerusakan-kerusakan, dan pencideraan yang mengakibatkan luka dan bukan hukum kriminal, dimana gereja memiliki hak istimewa untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut di dalam jemaat mereka sendiri. mereka berani mencari keadilan pada orang-orang yang ada di luar jemaat, yakni orang-orang yang tidak percaya.
Merupakan suatu ironi ketika jemaat Korintus menganggap mereka sebagai orang-orang berhikmat, bahkan jemaat Korintus dari kalangan atas yang memiliki pengetahuan tentang hukum sangat tinggi, telah menganggap diri mereka paling berhikmat, namun mereka tidak mampu menyelesaikan perkara yang ada. Untuk itu Paulus menyampaikan pertanyaan retorik, “Tidak adakah orang yang berhikmat di antara kamu?” Jelas ini dikatakan Paulus untuk memalukan mereka, merupakan suatu sindirian yang menyengat terhadap lagak orang Korintus sebagai orang berhikmat.
Saudara, Paulus tidak sedang memberi kesan bahwa pengadilan kafir itu korup. Bagi dia sebagai Warga Negara yang baik, orang Kristen harus mengakui hukum Negara (Rm. 13:1-7). Paulus sendiri menuntut perlindungannya (Kis. 25:16). Tapi minta pengadilan kafir untuk mengambil keputusan hukum atas perselisihan yang terjadi di antara orang beriman adalah suatu pernyataan tentang kegagalan Kristen. Seharusnya perselisihan itu diserahkan kepada orang-orang kudus/jemaat (Mat. 18:17). Jika orang percaya yang mengaku mengenal Allah Yang Maha adil tidak dapat menerapkan keadilan dalam komunitas orang percaya, bagaimana mungkin keadilan dapat diharapkan pada mereka yang tidak mengenal Tuhan? Kegagalan orang percaya menerapkan kehidupan berkeadilan di dalam komunitas, akan meniadakan harapan dunia untuk melihat keadilan itu sendiri. Begitu sentralnya keberadaan orang-orang percaya di tengah-tengah komunitas orang yang belum percaya. Hanya orang-orang percaya yang mengenal keadilan Allah dan yang sanggup menyelesaikan perselisihan yang terjadi dalam jemaat.
Ilustrasi
Saudara, suatu hari pompa air di rumah kami mengalami kerusakan. Saya mencoba untuk memperbaikinya saat itu dan saya membutuhkan obeng untuk membuka baut-baut yang ada. Saya mencari obeng disekitar gudang rumah untuk saya gunakan, namun tidak saya temui. Oleh karena itu saya berinisiatif untuk menggunakan pisau sebagai pengganti fungsi obeng melepaskan baut-baut yang ada. Baut pun semua terbuka, dan setelah diperbaiki saya mulai memasang kembali baut-baut tersebut. Namun ternyata saudara, beberapa dari baut-baut tersebut tidak bisa lagi terpasang dengan baik. Ternyata beberapa baut-baut itu telah menjadi aus oleh karena bergesekan dengan mata pisau saat melepaskan baut itu dari tempatnya. Saudara pisau tersebut memang bisa mengeluarkan baut dari tempatnya, namun mata pisau akan mudah merusak gigi yang ada pada baut tersebut, karena pisau sebetulnya bukanlah alat yang tepat untuk membuka baut.
Aplikasi
Saudara, kita juga mungkin bisa bertindak seperti yang saya lakukan. Di saat kita mengalamipPerselisihan yang tak kunjung selesai mungkin saja kita terdorong kita untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan orang-orang yang tidak percaya. Saudara mungkin akan berontak: “ini gak fair!, bukankah banyak juga orang-orang tidak percaya yang lebih baik sikapnya dari orang percaya. Hamba-hamba Tuhan saja berkelahi, bagaimana mungkin mampu menyelesaikan perselisihan? Boro-boro menyelesaikan perselisihan orang lain, perselisihan mereka saja tidak pernah selesai.” Ini memang ironi, tetapi bukan berarti ini membuka jalan bagi kita untuk memberi ruang bagi orang tidak percaya menjadi hakim bagi kita. Kita harus terus belajar mandiri dan menyelesaikan perselisihan yang ada. Umat Tuhan dipanggil untuk menjadi dewasa dan sama-sama bertumbuh dalam pergumulannya. Keputusan untuk memilih kepada siapa kita menyerahkan perkara haruslah selaras dengan pengenalan kita akan kebenaran Tuhan. Orang tidak percaya mungkin bisa menyelesaikan perselisihan, namun keadilan yang mereka berikan bukanlah keadilan yang seturut dengan kehendak Tuhan. Kepada orang percaya Allah memberikan hikmat untuk mengenal kehendak-Nya dan oleh karena itu mereka sanggup menyelesaikan perselisihan dengan perspektif keadilan Allah karena orang percaya dianggap memiliki kasih dalam menyelesaikan perselisihan.
Alasan kedua, Saudara.
II. Karena orang percaya dianggap memiliki kasih dalam menyelesaikan perselisihan
Penjelasan
Saudara, tidak ada seorang pun di dalam gereja yang menghendaki hadirnya perselisihan. Setiap kita rindu untuk merasakan suasana damai. Namun ketika perselisihan itu hadir, setiap orang cenderung tergoda untuk mencari kebenaran diri. Kita menjadi begitu egois dan mau menang sendiri tanpa mau perduli perasaan orang yang sedang berselisih dengan kita. Saat-saat seperti itu, kita butuh orang-orang yang memiliki kasih yang bisa menolong kita untuk melihat masalah dengan jernih dan mampu memberi keadilan sesuai dengan kebenaran Allah. Namun hal ini tidak dilakukan oleh beberapa jemaat Korintus.
Bagi Paulus adanya saja perselisihan di antara mereka sudah merupakan kekalahan. Itu artinya orang Korintus telah gagal mengatur komunitasnya untuk menjadi saksi Kristus bagi orang tidak percaya. Seharusnya mereka menjadi teladan bagi orang tidak percaya, dimana orang tidak percaya bisa melihat suatu komunitas yang saling mengasihi dan bebas dari semangat persaingan, sikap mementingkan dan mencari keuntungan sendiri, dan mau menang sendiri. Akan tetapi justru dalam jemaat Korintus, mereka saling melukai dan menindas, mereka memilih pengadilan orang kafir untuk menjadi hakim bagi mereka. Mereka gagal bersaksi, baik sebagai pribadi maupun sebagai komunitas orang-orang percaya untuk hidup saling mengasihi satu sama lain.
Di antara mereka telah berlaku tidak adil dan membebankan sesamanya. Mereka membuat sakit hati saudaranya sendiri dengan menjadikan mereka objek pemerasan dan ketidakadilan. Paulus sadar pengaruh dari pengadilan terhadap komunitas jemaat Korintus saat itu. Perkara-perkara hukum telah menumbuhkan sikap cemburu, iri hati, marah, dan kebencian yang sekarang mengancam keberadaan persekutuan Gereja. Ada dua isu yang muncul ke permukaan dalam teks ini. Pertama, konsep Christian Fellowship tidak ada dalam semangat pengadilan Korintus. Bagaimana mungkin seorang Kristen masih bisa memanggil anggota yang lain sebagai saudara dalam Kristus jika dia telah terluka secara moral, emosional, dan financial dalam sebuah perkara hukum? Kurangnya kasih dan kehadiran kebencian tidak akan memungkinkan hadirnya persekutuan Kristen. Ketika yang satu melawan yang lain maka kesatuan tubuh akan terpecah. Kedua, bagi Paulus, kelakuan orang Korintus secara menyeluruh berbeda dengan prinsip Kristiani. Orang Kristen memecahkan perselisihan dan perbedaan mereka melalui mediasi, lebih mengarahkan kepada kesejahteraan komunitas, dan bersama-sama mengupayakan kesaksian yang benar bagi dunia. Jemaat Korintus bukan hanya tidak sedia untuk menderita ketidakadilan, namun mereka malah aktif melakukan ketidakadilan dan menipu sesamanya.
Paulus sangat sadar akan bahaya perselisihan yang terjadi dalam jemaat Tuhan. Ia tahu betul bahwa keinginan yang egois, kepentingan pribadi, dan sikap pilih kasih dapat menimbulkan malapetaka bagi kehidupan bergereja. Untuk itu dalam suratnya kepada jemaat Efesus, yakni Ef. 4:1-6, ia menjelaskan tentang pentingnya kesatuan tujuan bergereja yang dapat membantu jemaat mengatasi berbagai perselisihan yang ada tanpa harus mengakibatkan perpecahan. Demikian juga dengan Rasul Petrus. Dalam 1 Petrus 3: 8-9 ia begitu menekankan tentang kasih dan perdamaian yang harus hadir dalam kehidupan umat percaya, termasuk dalam menghadapi perselisihan yang ada.
Saudara, Yesus dalam hidup-Nya telah rela mengorbankan nyawanya bagi kita supaya kita yang berdosa diperdamaikan dengan Allah. Kita yang seharusnya beroleh hukuman oleh karena dosa , diselamatkan oleh pengorbanan-Nya yang agung di kayu salib. Yesus menghendaki kita meneladani hidup-Nya. Ia ingin kita hidup berdamai satu dengan yang lain, saling mengasihi, dan rela berkorban untuk kepentingan orang lain bagi kemuliaan Tuhan. Seperti Dia yang telah mengampuni dosa, demikian juga jemaatnya harus mau mengampuni orang lain dan mau menyelesaikan perselisihan dengan kasih. Kasih yang Yesus ajarkan adalah kasih yang berkorban, dimana dengan kasih itu orang percaya sanggup memberi keadilan untuk setiap penyelesaian perselisihan yang ada.
Saudara, siapa diantara kita yang tidak mengenal “Bakso Samut”? bahkan mungkin saat ini ada di antara kita yang sedang membayangkan begitu nikmatnya menghirup kuah dan memakan bakso tersebut. Tapi bagaimana bila unsur garam dihilangkan dari makanan tersebut? Memang namanya masih tetap Bakso Samut, tapi apakah saudara akan tetap memakannya? Tentu tidak. Meskipun secara kasat mata makanan itu kita kenal sebagai Bakso Samut, tetapi kita tidak akan memakannya lagi. Ada suatu elemen yang penting yang dihilangkan dalam makanan tersebut yang membuat makanan itu tidak lagi bernilai.
Demikian juga dengan penyelesaian perselisihan yang tidak disertai dengan kasih, pasti hambar dan tidak mungkin memenuhi keadilan bagi semua pihak. Selalu ada pihak yang diuntungkan dan disisi lain merasa dirugikan. Sesungguhnya keadilan yang demikian tidaklah bernilai di mata Tuhan. Kasih Allah adalah kasih yang murni, yang memampukan orang percaya untuk melihat keadilan dari sudut pandang Allah. Kasih yang demikian harus ada dalam setiap penyelesaian perselisihan agar semua kita didorong dengan semangat persaudaraan mau menunjukkan keadilan bagi semua pihak yang bertikai. Kasih yang mengajarkan orang percaya untuk mendahulukan orang lain, mencintai keadilan, dan rela menderita bagi saudaranya. Dunia tidak mengenal kasih yang demikian. Saudara dengan kasih orang percaya mampu menyelesaikan perselisihan
Ilustrasi
Dalam suatu artikel, saya membaca beberapa hal unik yang menjadi sumber perselisihan orang-orang di dalam gereja, yakni pemilihan warna karpet, pengaturan AC, dan juga penentuan apakah paduan suara sebaiknya memakai jubah atau tidak. Terlihat hampir tidak masuk akal, tapi itulah realitanya. Banyak pendeta yang meninggalkan gereja, orang-orang kristen saling memutuskan hubungan persahabatan, dan gereja terpecah hanya karena meributkan hal-hal seperti itu. Mengapa terjadi demikian saudara? Karena orang-orang Kristen terkadang lebih memilih lari dari masalah daripada menghadapinya. Perselisihan tidak diselesaikan dengan kasih bersama dengan orang percaya lainnya.
Aplikasi
Saudara, tidak jarang kita juga memilih lari dari masalah perselisihan daripada menghadapinya untuk diselesaikan secara benar bersama dengan orang percaya lainnya. Ini bukanlah sikap yang benar. Saudara-saudara seiman memiliki kasih yang mampu mengusahakan perdamaian dalam setiap perselisihan dan kita seharusnya datang kepada mereka. Sudah seharusnya Gereja saat ini menjadi tempat yang penuh kasih, pengampunan, dan pengharapan. Gereja yang diisi orang-orang percaya adalah tempat bagi setiap orang untuk mendapatkan kasih dan keadilan ketika menghadapi perselisihan.
Penutup
Saudara, setiap perselisihan dalam jemaat harus dihadapi dan harus diserahkan untuk diselesaikan bersama orang percaya, karena orang percaya sanggup untuk menyelesaikan perselisihan dan orang percaya memiliki kasih yang menjadi dasar untuk memberi keadilan bagi setiap penyelesaian perselisihan yang ada.
Saudara, jikalau saudara memiliki perselisihan dengan saudara seiman yang lain, maukah saudara menyelesaikannya dengan menyerahkan perselisihan tersebut kepada sesama orang percaya? Marilah dengan rendah hati kita menyelesaikan perselisihan kita dengan membawanya kepada sesama orang percaya. Marilah hidup berdamai satu dengan yang lain. Dengan lebih mengutamakan kesatuan tubuh Kristus, mari kita menghindarkan perpecahan. Selesaikanlah setiap perselisihan yang ada bersama dengan orang percaya dan kenakanlah kasih yang rela berkorban sebagai pengikat yang mempersatukan dan memperdamaikan. Percayalah, di dalam kasih dan penyertaan-Nya, hati saudara akan dipulihkan dan damai sejahtera Allah akan memenuhi hati kita dan dengan demikian kita dapat hidup selaras dengan kehendak Tuhan. Kiranya Roh Kudus memampukan setiap kita.
Amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar