PENGHARAPAN AKAN PEMELIHARAAN TUHAN
DALAM KEHIDUPAN ORANG PERCAYA MENJELANG PAROUSIA
OLEH ISHAK BERIMAN
PENDAHULUAN
Tentu sudah menjadi pengetahuan umum bahwa parousia[1] merupakan salah satu ajaran yang cukup penting dalam teologi agama Kristen. Setidaknya, hal inilah yang menjadi pengharapan final bagi setiap orang percaya yang mengaku sebagai pengikut Kristus.
Teks 2 Tesalonika 3:1-5 yang menjadi fokus utama dalam pembahasan makalah ini merupakan sebagian cuplikan dari sebuah tulisan besar Paulus[2] dengan tema sentral parousia. Melalui teks ini, penulis mencoba menyusun sebuah studi eksegesis dengan tema: pengharapan akan pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan orang percaya menjelang parousia.
Konteks Sejarah
Pada abad pertama[3], cukup banyak orang-orang Yahudi yang hidup di luar daripada di dalam wilayah Palestina. Fenomena ini dikenal dengan sebutan diaspora. Umumnya mereka hidup sebagai kelompok minoritas di tengah-tengah kaum kafir (gentiles). Meskipun ada sebagian orang gentiles yang menerima kehadiran mereka, namun secara umum para gentiles tidak mau menerima pengajaran agama Yahudi pada saat itu karena dianggap memiliki cara ibadah yang “aneh”, misalnya hanya menyembah kepada satu Allah dan tidak memiliki patung dalam kuil. Selain itu, orang Yahudi juga dianggap memiliki upacara kegamaan yang tidak lazim seperti hari sabat, sunat, dan lain sebagainya.[4] Karena berbagai tantangan dan halangan dalam kehidupan terus menimpa kehidupan mereka, maka sebagian orang Yahudi diaspora yang memegang teguh tradisi dan adat istiadat mulai sepakat dan bersatu hati dengan mengasingkan diri dari kehidupan sosial dan sebisa mungkin menghindari relasi dengan kaum gentiles[5] yang dianggap dapat merusak tradisi mereka.
Menariknya di saat bersamaan, Paulus dan rekan-rekan justru hadir di tengah-tengah mereka, dalam kasus ini adalah di kota Tesalonika.[6] Kehadiran pengajaran Paulus di dalam rumah ibadat mereka (sinagoge) selama 3 kali sabat akhirnya disadari sebagai suatu ajaran yang berbeda.[7] Oleh sebab itu, kemungkinan beberapa orang Yahudi diaspora yang teguh pada tradisi mulai merasa iri hati dan kemudian melakukan penganiayaan dan penindasan kepada Paulus dan orang-orang percaya lainnya yang “mungkin” dianggap sebagai perusak dan pengacau bagi kesatuan tradisi Yahudi yang mereka bangun di kota Tesalonika (Kis. 17:5-9, 1Tes. 1:6, 2Tes. 1:4-10). Maka tidaklah mengherankan, jika pada akhirnya melalui surat-suratnya, Paulus berusaha menguatkan, meneguhkan dan menyakinkan jemaat Tesalonika untuk tetap berharap pada pemeliharaan Tuhan dalam kehidupan sambil menantikan waktu kedatangannya (parousia).
Konteks Sastra
Alur surat ini dimulai dengan sebuah salam pembuka (1:1-2), kemudian dilanjutkan dengan ucapan syukur Paulus kepada Allah atas jemaat Tesalonika (1:3-4), penekanan mengenai keadilan penghakiman Allah (1:5-10), doa Paulus bagi jemaat Tesalonika (1:11-12). Selanjutnya, Paulus berusaha meluruskan pengajaran yang melenceng mengenai parousia dan bahaya bagi para pendurhaka (2:1-12), kemudian mengucap syukur atas pemilihan Allah atas jemaat Tesalonika (2:13-14), dan memberikan nasihat untuk tetap berdiri teguh (2:15-17). Akhirnya, Paulus mulai mengakhiri suratnya dengan sebuah permintaan doa dan penguatan (3:1-5), beberapa nasihat tentang praktis kehidupan-bekerja (3:6-15), dan ditutup dengan salam penutup (3:16-18).
Ta de loipa formula, demikianlah Craig Evans mengolongkan bagian dari teks fokus makalah ini (3:1-5). Ta de loipa formula adalah salah satu bentuk dari tubuh surat yang dimulai dengan kata finally, for the rest, atau kata-kata sejajar lainnya. Bentuk ini berfungsi untuk menyimpulkan suatu hal atau memulai topik terakhir dari tubuh surat.[8] Dengan demikian, secara alur surat, maka teks fokus dapat dianggap sebagai salah satu nasihat akhir (yang mungkin juga memiliki penekanan penting) dalam surat ini.
Bedah Kerangka Teks 2 Tesalonika 3:1-5
1Το λοιπον
Akhirnya
αδελφοι προσευχεσθε περι ημων,
saudara-saudara, berdoalah bagi kami
ινα ο λογος του Κυρίου τρεχῃ
supaya Firman Tuhan dapat mengalami kemajuan
και
dan
δοξαζηται,
dimuliakan
καθως και προς υμας,
sama seperti terhadap kamu sekalian juga
2και
dan (contoh
berlawanan)
ινα ρυσθωμεν απο ατοπων των
supaya kami dapat terbebas dari manusia-manusia yang tidak pantas
και
dan
πονηρων ανθρωπων·
manusia-manusia yang jahat
ου γαρ παντων η πιστις
karena tidak semua manusia memiliki iman.
3δε ο Κυριος, ος στηριςει
Tetapi Tuhan, Dia yang akan menguatkan
και
dan
φυλαξει
akan melindungi
υμας απο του πονηρου.
kamu sekalian dari si jahat
εστιν πιστος
adalah setia
4δε πεποιθαμεν εν Κυριῳ
Dan kami telah diyakinkan dalam Tuhan
εφ υμας
tentang kamu sekalian
οτι ποιειτε
bahwa kamu sekalian melakukan
και
dan
ποιησετε.
dan juga akan melakukan
α παραγγελλομεν
apa yang kami perintahkan
5Ο δε Κυριος κατευθυναι τας καρδιας υμων
Dan kiranya Tuhan membimbing hati kamu sekalian
εις την αγαπην του Θεου
ke dalam kasih Allah
και
dan
εις την υπομονην του Χριστου.
ke dalam ketabahan Kristus
Sangat menarik, jika dilihat dan dianalisa dengan lebih teliti, karena sesungguhnya ayat 1-4 dapat dilihat sebagai sebuah bentuk kiamus, sebagai berikut :
A Berbicara tentang Firman Tuhan yang mengalami kemajuan (ay.1)
B Berbicara tentang hadirnya manusia-manusia yang jahat (ay.2)
B1 Berbicara tentang perlindungan Tuhan atas orang percaya dari si jahat (ay.3)
A1 Berbicara tentang buah dari Firman Tuhan yang dimuliakan (ay.4)
Sedangkan ayat ke-5 dapat dilihat sebagai sebuah penutup yang bertujuan untuk menguatkan pembacanya untuk tetap percaya dan bertekun dalam ketabahan Kristus menjelang parousia.
Sesuai dengan diagram di atas, tampaklah bahwa penekanan utama dalam ayat 1 dan 2 terletak pada kata kunci προσευχεσθε yang berarti berdoalah. Secara gramatikal, kata προσευχεσθε dapat diparsing menjadi present[9]-middle[10]-imperative[11]. Dengan demikian, secara sederhana, kata ini dapat dimengerti sebagai sebuah permohonan (berdoa)[12] yang diharapkan agar dapat dilakukan oleh pelaku secara terus-menerus.
Adapun tujuan pertama pengajuan permohonan doa Paulus terdapat pada ayat 1, yaitu agar Firman Tuhan dapat mengalami kemajuan (τρεχη) dan dimuliakan. Menurut Horward Marshall, kata τρεχη secara literal dapat diartikan dengan kata berlari. Asal usul dari penggunaan kata ini dapat ditelusuri dari dua sisi. Dalam era Perjanjian Lama, kata ini dirujuk pada Mazmur 147:15 yang berbunyi “Ia menyampaikan perintah-Nya ke bumi; dengan segera firman-Nya berlari.” Di sisi lain, era Perjanjian Baru, kata ini sering digunakan untuk mengambarkan seorang atlit yang sedang berlari di Stadium. Jika hal ini disesuaikan dengan konteks penginjilan misi Paulus, maka kata ini dapat dimengerti dengan suatu kondisi dimana Firman itu mengalami kemajuan.[13]
Hal ini tentu menjadi sebuah permohonan yang wajar bagi Paulus. Sebagai seorang rasul Kristus, Paulus tentu menyadari sepenuhnya bahwa panggilan pelayanan misi akan mewarnai seluruh kehidupannya sehari-hari. Hal ini terlihat dari penggunaan kata τρεχη yang berbentuk present yang memiliki indikasi terus menerus. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika Paulus sama sekali tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri dalam melakukan misi ini namun bersandar hanya kepada Allah yang mengutusnya melalui doa pribadi maupun orang-orang percaya lainnya.[14]
Tentu saja dalam perjalanannya mengabarkan Injil, Paulus tidak selalu bertemu dengan orang-orang yang mau menerima Injil seperti jemaat Tesalonika. Alkitab mencatat bahwa Paulus juga harus menghadapi orang-orang yang tidak senang atas pelayanannya.[15] Oleh sebab itulah, Paulus juga menuliskan tujuan permohonan doanya yang kedua dalam ayat 2, yaitu agar mereka dapat terbebas dari orang-orang yang tidak pantas (ατοπων)[16] dan jahat (πονηρων). Jika dianalisa dengan lebih teliti, sesungguhnya kata ατοπων adalah adjective dan bukan noun. Dengan demikian, kata ini sama sekali tidak dapat diterjemahan sebagai orang-orang yang tidak pantas atau jahat. Namun Wenham, dalam bukunya, menerangkan bahwa ada kalanya sebuah kata sifat dapat dipakai sebagai kata benda yaitu ketika kata tersebut didahului oleh kata sandang tertentu, dalam kasus ini adalah kata των. Dengan demikian, frasa των ατοπων dapat dimengerti sebagai kata benda dan dapat diartikan dengan sesuatu (plural) yang tidak pantas atau semestinya. Bila frasa ini diletakkan dalam konteksnya maka sesuatu itu dapat kita sejajarkan dengan kata ανθρωπων yang berarti manusia-manusia.
Sesungguhnya, baik kata ατοπων dan πονηρων sama-sama memiliki akar kata yang sama dalam Perjanjian Lama yaitu [r: yang berarti evil (jahat). Secara khusus, kata πονηρος tidak hanya digunakan dalam hal yang berkaitan moral tetapi juga dalam hal rohani yang menyatakan suatu keadaan yang terpisah, berseberangan, bahkan menentang kehendak Tuhan.[17] Tentu saja, orang-orang jahat yang dimaksud oleh Paulus adalah orang-orang yang menindas orang percaya dan hidup di luar kehendak Allah, bahkan bukan tidak mungkin adalah mereka adalah orang-orang yang selalu menghambat agar Firman Tuhan agar dapat dengan laju dikabarkan dan dimuliakan. Dalam kasus ini, jika disesuaikan dengan konteks sejarah yang telah dijelaskan di atas, maka ada kemungkinan mereka adalah orang-orang Yahudi diaspora di kota Tesalonika.
Dengan melihat kedua alasan ini, cukup menarik bagi kita untuk dapat melihat cara Paulus menuliskan permohonannya. Paulus seolah-olah sedang memperbandingkan dua kenyataan yang selalu akan dihadapi dalam kehidupan pelayanan misi yaitu antara jemaat Tesalonika (yang mewakili hasil dimana Firman mengalami kemajuan dan dimuliakan) dengan orang-orang jahat (yang mewakili hasil dimana Firman Tuhan akan mengalami hambatan dan tantangan). Warren W. Wiersbe dengan sangat menarik dan tajam mlihat bahwa hal ini juga dapat mengambarkan keadaan yang sama seperti ketika Allah Roh Kudus memakai orang-orang percaya untuk mengabarkan Firman Tuhan, demikianlah Iblis juga dapat memakai orang-orang jahat untuk menentang Firman. [18]
Di sisi lain, Paulus juga menyadari bahwa sesungguhnya jemaat Tesalonika (meskipun tidak mengambil perkabaran Injil aktif seperti Paulus) juga menghadapi tantangan dan hambatan tersendiri dalam kehidupan mereka. Bahkan Kisah Para Rasul dengan jelas mencatat salah satu bentuk penganiayaan yang dialami oleh Yason (salah seorang jemaat Tesalonika). Oleh sebab itulah, dalam ayat 3, Paulus meyakinkan hati setiap jemaat Tesalonika untuk terus berharap pada pemeliharaan Tuhan yang akan selalu menguatkan (στηριςει) dan melindungi (φυλαξει) mereka dari si jahat (του πονηρου)[19] yang adalah Iblis itu sendiri karena Tuhan adalah setia (πιστος). Dengan kata lain, menurut Leon Morris, Paulus tidak mau menutup mata dan tidak mau berdalih dari segala fakta penderitaan dan penindasan yang jemaat Tesalonika alami namun Paulus terlebih ingin menekankan kesetiaan Tuhan yang mampu menguatkan mereka bahkan melindungi mereka dari orang-orang yang jahat yang menindas mereka. [20]
Akhirnya, dalam ayat 5, Paulus berdoa dan berharap agar kiranya Tuhan membimbing hati mereka kepada kasih dari Allah dan ketabahan Kristus[21]. Kedua hal ini penting karena merupakan kunci utama dalam menghadapi segala penindasan. Ketika penindasan dan tantangan datang menghadang, maka ingatan akan kasih Allah yang telah dinyatakan melalui kehadiran Kristus, yang tidak hanya menjadi perantara tetapi terlebih dahulu menderita bagi manusia berdosa, akan menjadi suatu penguatan, pengharapan, dan penghiburan bagi setiap orang percaya dalam menjelang parousia.
Kesimpulan
Sesungguhnya kerajaan surga sudah hadir di dalam dunia ini namun di sisi lain kerajaan ini masih menantikan pengenapannya pada saat parousia. Oleh sebab itulah, orang-orang percaya yang masih menjalani kehidupannya di dalam dunia ini, sambil menantikan saat parousia, tidak mungkin terlepas sepenuhnya dari akibat dunia tercemar ini. Bahkan tidak jarang orang-orang percaya harus mengalami berbagai-bagai penindasan atau penganiayaan dari orang-orang tidak percaya baik dalam pelayanan maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Meskipun demikian, sebuah kabar baik masih Tuhan nyatakan melalui surat Paulus bagi jemaat Tesalonika. Melalui teks ini, setiap orang percaya kembali diingatkan bahwa meskipun penindasan mewarnai perjalanan kehidupan orang-orang percaya, sesungguhnya ada suatu pengharapan akan pemeliharaan dari Tuhan yang hidup bagi mereka sampai pada masa kedatangan-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Aland, K. dan Barbara. The Text of the New Testament. Grand Rapids: Eerdmans, 1989.
Alann, David. dkk. New Testament Textual Critism: A Concise Guide. Grand Rapids: Baker, 1994
Bauer’s, Walter. A Greek-English Lexicon of The New Testament and Other Early
Christian Literature. Chicago: University of Chicago, 2000
Brown, Raymond E. An Introduction To The New Testament. New York: Doubleday, 1996.
Bruce, F.F. Word Biblical Commentary: 1& 2Thessalonians. Waco: WORD, 1982.
Carson, D.A. An Introduction to the New Testament. Grand Rapids: Zondervan, 1992.
Evans, Craig A. Dictionary of New Testament Background. Downers Grove: IVP, 2000.
Fee, Gordon. New Testament Exegesis. Malang: SAAT. 2008.
Guthrie, Donald. Pengantar Perjanjian Baru Volume 2. Surabaya: Momentum, 2004.
Jeffers, James S. The Greco-Roman World of The New Testament Era. Illnois: IVP,1999.
Marshall, I.Howard. The New Century Bible Commentary: 1&2 Thessalonians. Grand Rapids: Eerdmans, 1983.
Morris, Leon. The New International Commentary on the New Testament: The First & Second Epistles to the Thessalonians. Grand Rapids: Eerdmans, 1959.
Nelson’s Illustrated Bible Dictionary. Nashville: Thomas Nelson, 1986.
Novum Testamentum Graece 27 revidierte Auflage. Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1993.
Richards, Lawrence O. Expository Dictionary of Bible Words. Grand Rapids: Regency, 1985.
Silva, David Da. An Introduction To The New Testament: Contexts, Methods, & Ministry
Formation. Downers Grove: IVP, 2004.
Sutanto Hasan, Perjanjian Baru Interlinier dan Konkordansi Perjanjian Baru: Jilid 1. Jakarta: LAI, 2006.
Verbrugge, Veryln D. New International Dictionary of New Testament Theology. Grand Rapids: Zondervan, 2000.
Wallace, Daniel B. Greek Grammar Beyond the Basics. Grand Rapids: Zondervan 1996.
Wenham, J.W. Bahasa Yunani Koine. Malang: SAAT, t.t.
Wiersbe, Warren W. Bersiap-sedia di dalam Kristus. Bandung: Kalam Hidup, t.t.
[1]Penerjemahan dari kata parousia (Yun.) merujuk kepada kedatangan kedua atau peristiwa kembalinya Tuhan Yesus pada akhir zaman untuk menyatakan kerajaan-Nya, mengadakan penghakiman baik bagi musuh-musuhnya (orang fasik) dan orang-orang percaya (lih. Nelson’s Illustrated Bible Dictionary [Nashville: Thomas Nelson, 1986] 801.
[2]Meskipun -secara tertulis- diakui bahwa Paulus adalah penulis surat 2 Tesalonika (3:17), akan tetapi pada masa sekarang muncul berbagai kritik, secara khusus, dari pihak Tubingen yang kurang mendukung pendapat tradisional ini. Perdebatan seputar keotentikan kepenulisan Paulus mengenai surat ini lebih lanjut dapat dibaca dalam (lih. Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Volume 2 [Surabaya: Momentum, 2004] 178-184; lih. D.A. Carson, An Introduction to the New Testament [Grand Rapids: Zondervan, 1992] 344-346).
[3]Jika Paulus diterima sebagai penulis surat 2 Tesalonika maka kemungkinan besar surat ini ditulis tidak lama dari penulisan surat pertama yakni sekitar 51 atau 52 M (lih. Raymond E. Brown, An Introduction To The New Testament [New York: Doubleday, 1996] 591). Hal ini didukung setidaknya oleh dua faktor yakni: Pertama, indikasi akan situasi dan kondisi yang tidak jauh berbeda antara surat pertama. Kedua, status pengirim surat yang terdiri dari Paulus, Silas, dan Timotius yang belum berpisah.
[4]James S. Jeffers, The Greco-Roman World of The New Testament Era (Illnois: IVP,1999) 89-90, 98-101.
[5]David Da Silva, An Introduction To The New Testament: Contexts, Methods, & Ministry Formation (Downers Grove: IVP, 2004) 101.
[6]Kota Tesalonika merupakan kota yang penting, tidak hanya karena kota ini adalah ibukota Makedonia tetapi juga karena ia terletak di Via Egnatia, jalan raya Roma menuju ke Timur. Kota Tesalonika juga termasuk ke dalam salah satu kota diaspora bagi kaum Yahudi karena terletak di luar wilayah tanah perjanjian. Adapun sebagian besar jemaat di kota ini terdiri dari sejumlah besar orang Yunani dan sedikit orang Yahudi (lih. Guthrie, Pengantar 177).
[7]Ketidaksadaran beberapa orang Yahudi akan perbedaan pengajaran Paulus (yang menekankan Kristus) sesungguhnya adalah wajar. Setidaknya hal ini didukung oleh dua faktor, pertama, kedua ajaran ini sama-sama memiliki akar yang sama yaitu mengaku sebagai agama yang dianut oleh Bapa leluhur mereka, Abraham. Kedua, dalam menjalankan misi perkabaran Injil, Paulus (seorang Yahudi) umumnya memulai pengajarannya di sinagoge di setiap kota yang dikunjunginya. Jeffers mencatat bahwa pemerintahan Romawi sama sekali tidak menyadari perbedaan ini. Pada mulanya, Pemerintah Romawi menganggap bahwa Kekristenan adalah salah satu sekte atau aliran dari Yudaisme, sehingga mereka mengabaikannya. Namun setelah tahun 60-an Masehi, Pemerintah Romawi baru mulai menyadari perbedaan diantara kedua (lih. The Greco-Roman 107-108).
[8]Craig A. Evans, Dictionary of New Testament Background (Downers Grove: IVP, 2000) 643.
[9]Dalam kasus ini, kata προσευχεσθε dapat digolongkan kepada tense iterative-present yang digunakan untuk mengindikasikan kekinian/saat ini dan kontinuitas/terus-menerus (lih. Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics [Grand Rapids: Zondervan 1996] 520).
[10]Bentuk middle secara umum memberikan suatu penekanan kepada partisipasi pelaku yang dituju untuk melakukan atau mengalami tindakan yang dikenakan oleh verb dalam hal ini adalah tindakan berdoa (lih. Ibid. 414).
[11]Bentuk imperative disini dapat digolonglan ke dalam bentuk imperative request – polite command yang lebih baik dimengerti sebagai sebuah permohonan atau permintaan daripada sebuah perintah (lih. Ibid. 487).
[12]Tampaknya permohonan Paulus untuk didoakan oleh jemaat sudah menjadi sebuah kebiasaan yang baik selama ia menjalankan misi perkabaran Injil. Setidaknya, hal ini terlihat dari permintaan yang bernada pararel dalam 1 Tesalonika 5:25, Roma 15:20; 2 Korintus 1:11, Efesus 6:19, Filipi 1:19, dan Kolose 4:3-4 (lih. F.F. Bruce, Word Biblical Commentary: 1& 2Thessalonians [Waco: WORD, 1982] 198).
[13] I.Howard Marshall, The New Century Bible Commentary: 1&2 Thessalonians (Grand Rapids: Eerdmans, 1983) 213.
[14]Bruce mencoba melihat hal ini dari sisi lain. Menurut Bruce, dengan cara mendoakan para misionaris, sesungguhnya jemaat Tesalonika, secara tidak langsung, telah berpartisipasi dalam misi penyebaran dan perkabaran Injil (lih. Bruce, Word Biblical 198).
[15]Salah satunya tampak dalam suratnya ke Roma (15), ada indikasi bahwa Paulus juga mengalami pertentangan dengan orang-orang tidak percaya di wilayah Yudea (lih. Bruce, Word Biblical 198).
[16]J.W. Wenham, Bahasa Yunani Koine (Malang: SAAT, t.t] 29.
[17]Veryln D. Verbrugge, New International Dictionary of New Testament Theology (Grand Rapids: Zondervan, 2000) 484-485.
[18]Warren W. Wiersbe, Bersiap-sedia di dalam Kristus [Bandung: Kalam Hidup, t.t] 153).
[19]Hal ini menjadi istimewa karena munculnya kembali kata πονηρος dalam bentuk lain yaitu πονηρου. Kali ini, kata πονηρου tidak lagi disanding dengan kata ανθρωπος yang menunjukkan manusia tetapi dengan kata sandang του. Selain itu, bentuk dari kata πονηρου tidak menunjukkan kepada bentuk plural tetapi singular yang berarti tunggal. Hal ini semakin menarik, ketika kata πονηρου sama sekali tidak dapat ditentukan gendernya karena kata ini memungkinkan untuk dimengerti sebagai masculine maupun neuter. Oleh sebab itu, informasi Lawrence O. Richards dalam bukunya sangat membantu pembaca dalam memahami hal ini. Menurut Beliau, kata πονηρος juga sering digunakan untuk melukiskan pribadi si Jahat itu sendiri yaitu satan (lih. Lawrence O. Richards, Expository Dictionary of Bible Words [Grand Rapids: Regency, 1985] 254-255). Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika kata ini juga dapat dimengerti dengan pribadi dari si Iblis itu sendiri (karena berbentuk tunggal dan tidak bergender).
[20]Leon Morris, The New International Commentary on the New Testament: The First & Second Epistles to the Thessalonians (Grand Rapids: Eerdmans, 1959) 246-247.
[21]Ketabahan Kristus dalam bahasa aslinya adalah του Χριστου. Menurut Bruce, kata ini berbentuk objective genitive. Oleh sebab itu, kata ini juga dapat diartikan dengan kesabaran dalam menantikan Kristus. Dengan demikian, ayat ini sesungguhnya dapat menjadi sebuah penekanan yang baik dan mendukung tema sentral kitab Tesalonika yang berhubungan dengan parousia (lih. Bruce, Word Biblical 202).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar