23 Agustus 2011

Eksegese Markus 2: 23-28

Yesus Kristus adalah Tuhan atas Hari Sabat
Oleh Kristian Kusumawardana



PENDAHULUAN
            Apa jadinya jika ada orang yang berani melanggar suatu tradisi yang sangat dihargai, dihormati, dijunjung tinggi, dan telah dipelihara sangat lama?  Bukan hanya berani melanggar saja, tetapi orang tersebut bahkan berkata bahwa dirinya mempunyai hak dan kuasa diatas tradisi tersebut?  Pasti orang-orang yang memegang teguh tradisi tersebut akan sangat marah terhadap orang itu.  Ini yang menjadi permasalahan di dalam Injil Markus 2:23-28.  Orang-orang Farisi sangat marah kepada Yesus dan para murid-Nya, karena mereka telah berani melanggar tradisi dan hukum Taurat tentang hari Sabat, yang seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.  Tetapi Yesus dengan tegas dan penuh keberanian berkata bahwa Dia adalah Tuhan atas hari Sabat.

MARKUS 2:23-28 DI DALAM INJIL MARKUS
            Beberapa ahli Perjanjian Baru menyatakan bahwa Markus 2:23-28 merupakan salah satu bagian dari topik perselisihan antara orang Farisi dengan Yesus dan murid-murid-Nya, tentang praksis makan dan tidak makan.[1]  Pertama, Yesus dan murid-murid-Nya makan bersama dengan banyak pemungut cukai dan orang berdosa (Mrk. 2:15-17).  Ahli-ahli Taurat dari golongan Farisi melihat dan berkata kepada murid-murid-Nya: ”Mengapa Ia makan (tekanan penulis) bersama-sama dengan pemunggut cukai dan orang berdosa?” (Mrk. 2:16).  Kedua, sementara murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, murid-murid Yesus tidak berpuasa (Mrk. 2:18-22).  Orang-orang bertanya kepada Yesus: ”Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa (tekanan penulis), tetapi murid-murid-Mu tidak?” (Mrk. 2:18).  Ketiga, ketika murid-murid Yesus memetik bulir gandum pada hari Sabat (Mrk. 2:23-28).  Orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus: ”Lihatlah!  Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” (Mrk. 2:23).  Yesus menjawab semua pertanyaan dengan memberikan jawaban yang bersifat parabolik (Mrk. 2:17, 19-22, 25-26).[2]  Dari ketiga bagian tersebut, tampak jelas bahwa Markus 2:23-28 merupakan puncak dari perselisihan orang-orang Farisi dengan Yesus dan murid-murid-Nya tentang makanan.  Pada waktu itu Yesus dan murid-murid-Nya tidak hanya telah melanggar tradisi (tidak makan dengan orang berdosa dan tidak berpuasa), tetapi juga telah melanggar hukum Taurat tentang hari Sabat.[3]
            Beberapa ahli Perjanjian Baru juga ada yang menyatakan bahwa Markus 2:23-28 merupakan salah satu bagian perselisihan orang-orang Farisi dengan Yesus dan murid-murid-Nya tentang hari Sabat.[4]  Pertama, ketika Yesus dan murid-murid-Nya memetik bulir gandum pada hari Sabat (Mrk. 2:23-28).  Kedua, ketika Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya pada hari Sabat (Mrk. 3:1-6).  Kemarahan dan kebencian orang-orang Farisi kepada Yesus yang telah dianggap melanggar hari Sabat semakin memuncak.  Akhirnya orang-orang Farisi bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh Yesus (Mrk. 3:6).[5]  Hal ini yang dimaksud Yesus ketika berkata: ”Tetapi waktunya akan datang mempelai itu akan diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa” (Mrk. 2:20).[6]  Jika dilihat konteks Injil Markus, maka jelas bahwa kematian Yesus menjadi tema yang sentral.
            Salah satu tema yang juga penting di dalam Injil Markus adalah Anak Manusia.  Beberapa ahli Perjanjian Baru juga menyatakan bahwa Markus 2:23-28 ini merupakan bagian dari Markus 2:1-12.  Yesus berkata bahwa: ”Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa” (Mrk. 2:10) dan ”Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” (Mrk. 2:28).[7]  Kedua penyataan ini menjadi pengantar kepada pengakuan Simon Petrus bahwa Yesus adalah Mesias (Mrk. 8:30).  Kemudian Yesus mulai memperkenalkan tentang Anak Manusia yang menderita (Mrk. 8:31; 9:31; 10:33).
            Jadi Markus 2:23-28 adalah salah satu bagian dari Markus 2:1-3:6 yang merupakan satu topik besar tentang bangkitnya perlawanan di Kapernaum yang disebabkan perbedaan pendapat antara Yesus dan tokoh-tokoh Yahudi tentang hari Sabat.[8] 


MARKUS 2:23-28 DI DALAM INJIL MATIUS DAN INJIL LUKAS
Di dalam Injil Sinoptik, kisah yang dicatat Markus 2:23-28 mempunyai kesejajaran dengan Matius 12:1-8 dan Lukas 6:1-5.  Di dalam kesejajaran tersebut, ada beberapa berbedaan[9] yang menunjukkan ciri khas masing-masing injil sesuai dengan tujuan kisah tersebut ditulis.  Injil Markus mencatat bahwa murid-murid Yesus hanya ”memetik” (to pluck, ti,llontej), berbeda dengan Matius 12:1 yang menambah dengan kata ”memakan” (to eat, evsqi,ein) dan Lukas 6:1 yang menambah dengan kata ”menggisar” (rubbing, yw,contej).  Hal ini mungkin disebabkan karena Markus memang tidak bermaksud untuk menjelaskan dengan rinci tentang aturan-aturan hari Sabat pada para pembacanya,[10] yang adalah orang-orang Kristen non-Yahudi di Roma.  Markus hanya memberikan gambaran besar kepada pembacanya bahwa didalam tradisi Yahudi ada aturan-aturan hari Sabat yang sangat membelenggu manusia, karena yang ingin Markus tekankan adalah bahwa Yesus adalah Tuhan atas hari Sabat (lebih tinggi daripada tradisi).  Sedangkan Injil Matius dan Injil Lukas ditujukan kepada pembacanya, yang sebagian besar orang-orang Kristen Yahudi, sehingga perlu diperinci untuk menunjukkan letak permasalahannya.
Jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi di Injil Markus juga terdapat perbedaan dengan Injil Matius dan Injil Lukas.  Pertama, Markus 2:25 menggunakan kata ”belum pernahkah” (never, ouvde,pote), sedangkan di Matius 12:3 dan Lukas 6:3 hanya menggunakan kata ”tidakkah” (not, ouvk).  Kemungkinan perbedaan tersebut disebabkan ciri khas gaya penulisan Markus yang menggunakan kata-kata yang lebih tajam dan keras untuk menunjukkan kekontrasan antara Yesus dengan orang-orang yang melawan Dia.[11]  Kedua, Markus 2:25 menggunakan kata ”kekurangan” (need, crei,an) dan “kelaparan” (hungry, evpei,nasen), sedangkan di Matius 12:3 dan Lukas 6:3 hanya menggunakan kata ”lapar” (hungry, evpei,nasen).  Dari perbedaan pertama dan kedua, tampak jelas apa yang menjadi penekanan Injil Markus bukan tentang rincian pelanggaran tradisi yang Yesus dan murid-murid-Nya lakukan, tetapi kepada mengapa Yesus dan murid-murid-Nya melakukan hal tersebut.[12]  Ketiga, Markus 2:26 menggunakan kalimat keterangan ”waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar” (when Abiathar was high priest, evpi. VAbiaqa.r avrciere,wj), sedangkan di Matius 2:26 dan Lukas 6:4 tidak ada kalimat keterangan tersebut.  Kemungkinan perbedaan tersebut disebabkan penerima Injil Matius dan Injil Lukas sebagian besar orang Yahudi, yang sudah akrab dengan kisah tersebut.  Sementara itu, penerima Injil Markus adalah orang non-Yahudi yang tidak terlalu mengenal sejarah tersebut, sehingga Markus harus memberikan keterangan itu.
Pada Markus 2:27 ada perbedaan yang sangat jelas dengan Matius 12:7 dan Lukas 6:5.  Markus mencatat kalimat ”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (The sabbath was made for man, not man for the sabbath, to. sa,bbaton dia. to.n a;nqrwpon evge,neto kai. ouvc o` a;nqrwpoj dia. to. sa,bbaton), sedangkan Injil Matius dan Injil Lukas tidak mencatat kalimat tersebut.  Hal ini mungkin disebabkan Matius dan Lukas menggunakan sumber Q selain menggunakan Injil Markus, sehingga terdapat penekanan berita yang berbeda.[13]
            Pada Markus 2:28 terdapat dua kata yang berbeda dengan Matius 12:4 dan Lukas 6:4.  Pertama, Injil Markus menggunakan kata penguhubung ”jadi” (so, w[ste), sedangkan Injil Matius menggunakan kata penghubung ”karena” (for, ga,r) dan Injil Lukas tidak menggunakan kata penghubung.  Kata ”karena” di Injil Matius untuk menunjukkan bahwa kalimat setelah ”karena” adalah penyebab dari kalimat sebelumnya.  Sedangkan kata ”jadi” di Injil Markus seakan-akan menjadi tanda ketika suatu penjelasan akan ditarik pada sebuah kesimpulan.  Hal ini menjadi bermasalah ketika melihat antara kalimat sebelumnya (Sabat untuk manusia) dan kalimat sesudahnya (Anak Manusia adalah Tuhan atas Sabat) seakan-akan tidak ada hubungannya.  Kata ini diiukuti dengan kalimat yang bersifat indikatif, maka jelas bahwa kata ini bukan untuk menunjukkan suatu hasil, tetapi untuk mendukung pentingnya bagi para pembaca untuk diperhatikan kalimat yang mengikutinya.  Kedua, Injil Markus menggunakan kata ”juga” (even, kai.), sedangkan di Matius 12:4 dan Lukas 6:4 tidak ada kata tersebut.  Kata ”juga” di dalam Markus 2:18 tidak dapat dilepaskan dari Markus 2:10, dimana sebelumnya Yesus telah menyatakan bahwa Anak Manusia berkuasa mengampuni dosa, maka Anak Manusia ”juga” (penekanan penulis) Tuhan atas hari Sabat.[14]

ORANG FARISI DAN HARI SABAT
            Ketaatan hari Sabat merupakan tanda utama bagi orang-orang Yahudi, baik secara komunitas maupun individu.  Kesepuluh perintah Tuhan menetapkan untuk istirahat pada hari ke tujuh (Kel. 20:8-11; Ul. 5:12-15).  Hari Sabat juga merupakan tanda perjanjian antara Tuhan dengan umat Israel yang telah dipilih-Nya (Kel. 31:13).  Orang-orang Farisi sangat menghargai tradisi lisan di samping tradisi tertulis.  Tradisi-tradisi tersebut menurut golongan Farisi sejak dari Musa diturunkan secara turun-temurun lewat Yosua, para tua-tua, para nabi dan para guru lisan, sampai hal-hal itu dibakukan secara tertulis dalam Misyna.  Tradisi itu oleh orang-orang Farisi dianggap sebagai penafsiran dan perkembangan lebih lanjut dari Taurat tertulis.[15]  Dua traktat dari Misyna, Shabbath dan Erubim, menyatakan ajaran tentang bagaimana hari Sabat harus diperingati secara rinci.  Beberapa pekerjaan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat dalam Mishnah Shabbath 7:2, yaitu:[16]
The main classes of work are forty save one: sowing, ploughing, reaping, binding sheaves, threshing, winnowing, cleansing crops, grinding, sifting, kneading, baking, shearing wool, washing or beating or dyeing it, spinning, weaving, making two loops, weaving two threads, separating two threads, tying [a knot], losening [a knot], sewing two stitches, tearing in order to sew two stitches, hunting a gazelle, slaughtering or flaying or salting it or curing its skin, scraping it or cutting it up, writing two latters, erasing in order to write two latters, bulding, pulling down, putting out a fire, lighting a fire, striking with a hammer and taking out aught from one domain to another.

Jadi di dalam Markus 2:23-28, murid-murid Yesus yang sedang melewati ladang gandum, dan memetik bulir gandum pada hari Sabat, dapat dinilai melanggar hukum Taurat tentang hari Sabat.  Memetik bulir gandum, secara teknis bagi para penafsir hukum, diangggap sebagai bentuk menuai.  Sedangkan mengisar dengan tangan untuk mengambil isinya adalah suatu bentuk mengisar.  Jadi menuai dan mengisar merupakan dua macam pekerjaan yang tidak boleh dilakukan pada hari Sabat.[17]  Itulah sebabnya orang-orang Farisi, sebagai penafsir hukum Taurat, mempersalahkan apa yang dilakukan oleh murid-murid Yesus, dan bahkan mempersalahkan Yesus karena membiarkan hal tersebut terjadi.  Everett Ferguson memberikan empat perbedaan yang tajam antara Yesus dengan orang-orang Farisi.  Salah satu perbedaan tersebut adalah prioritas menjaga hari Sabat, seperti yang dicatat di dalam Markus 2:23-28.[18]

KUTIPAN PERJANJIAN LAMA
Ketika orang-orang Farisi menyatakan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya telah melanggar tradisi dan hukum Taurat tentang hari Sabat, maka Yesus memberikan argumentasi pembelaan-Nya dengan kisah Daud yang diambil dari 1 Samuel 21:1-6.  Terdapat beberapa perdebatan tentang perbedaan yang sangat jelas antara catatan Markus 2:23-28 dengan 1 Samuel  21:1-6.  Perbedaan tersebut antara lain: pertama, Markus mencatat bahwa Daud datang bersama dengan pengikutnya, sementara di 1 Samuel mencatat bahwa Daud datang sendirian.  Kedua, Markus berkata bahwa Daud masuk ke dalam Rumah Allah, sementara di 1 Samuel berkata Daud ke Nob.  Ketiga, Markus menyatakan bahwa Abyatar menjabat sebagai Imam Besar, sementara 1 Samuel menyatakan bahwa Ahimelekh yang menjadi imam.[19]
Di antara perdebatan tersebut, ada beberapa pendekatan yang dapat membantu memahami maksud Markus.  Pada 1 Samuel 21:1-6 menunjukkan bahwa Daud berserta pengikutnya saat itu sedang kekurangan dan kelaparan, sehingga di Markus 2:2:25 juga menekankan bahwa Yesus dan murid-murid-Nya sedang kekurangan dan kelaparan.[20]  Daud bagi orang Yahudi adalah seorang raja yang mempunyai otoritas dan sebagai pembebas, sehingga tindakan Daud memakan roti kudus dan membagikan roti tersebut kepada para pengikutnya dianggap tidak melanggar hukum.  Markus ingin menunjukkan bahwa Yesus, yang jauh lebih besar daripada Daud, Mesias yang dijanjikan dari keturunan Daud, mempunyai otoritas dan berkuasa untuk mengijinkan murid-murid-Nya memetik bulir gandum pada hari Sabat.[21]
Apa yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya sesungguhnya tidak bertentangan dengan teks Perjanjian Lama, tetapi bertentangan dengan tafsiran orang-orang Farisi.  Markus memberikan 3 alasan mendasar, yaitu: di dalam teks Perjanjian Lama terdapat pengecualian dan diijinkan untuk melakukan aktivitas jika dalam keadaan mendesak atau membutuhkan; nilai manusia harus didahulukan ketika menjaga kemurnian ritual; dan Mesias berkuasa untuk menentukan hukum yang berlaku.[22]

MANUSIA DAN HARI SABAT
Kata ”manusia” di dalam Markus 2:27 berasal dari kata to.n a;nqrwpon berbentuk accusative masculine singular, yang berarti ”man.”  Ada pendapat yang mengatakan bahwa kata ”man” menunjuk kepada orang Israel secara kolektif, tetapi ada juga yang berkata bahwa kata  tersebut berarti orang Israel baru (rohani).  Jika dilihat dari konteksnya, kata to.n a;nqrwpon yang diikuti oleh kata evge,neto, maka kata ”man” menunjuk pada kisah penciptaan di Kejadian 1.  Hal ini berarti ”man” merupakan representasi dari ”humanity in general.”  Dengan demikian kata ”Sabat” (Sabbath, sa,bbaton) juga menunjuk pada Kejadian 1.  Oleh sebab itu ”sabbath” dan ”man” menjadi satu bagian di dalam penciptaan.[23] 
Berdasarkan urutan penciptaan di dalam Kejadian 1, maka jelas bahwa manusia merupakan puncak dari ciptaan, dimana seluruh alam semesta diciptakan oleh Allah untuk menopang keberadaan hidup manusia.  Bagaimana dengan Sabat?  Bukankah Tuhan melalui Musa memberi peringatan kepada bangsa Israel bahwa setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari Sabat harus dihukum mati (Kejadian 31:12-17)?  Robert A. Guelich di dalam tafsiran Markus 2:27 menyatakan bahwa ”the value of the sabbath as God’s provision at creation but as a benefit for ‘man,’ the human creature, with no prescribed or proscribed guidelines for sabbath conduct.”[24]  Sedangkan seorang rabi yang bernama Simon bin Menasya memberikan tafsiran Keluaran 31:14 berkata demikian: ”Sabat diberikan untuk engkau; engkau tidak untuk Sabat.”[25]  Hal ini senada dengan penyataan Yesus bahwa: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk.2:27).  Guelich memberi tambahan: “But, as we have noted, that answer stands in tension with 2:25-26 and 2:28.  The dicisive clue lies in the next saying.”[26]

ANAK MANUSIA DAN HARI SABAT
Kata ”Anak Manusia” (the Son of man, o` ui`o.j tou/ avnqrw,pou) di dalam Injil Markus disebutkan sebanyak 14 kali: 2 kali perkataan erthly (2:10, 28), 9 kali perkataan suffering (8:31;9:9, 12, 31; 10:33, 45; 14:21 [dua kali], 41), dan tiga kali perkataan future (8:38; 13:26; 14:62).  Dua belas diantaranya diucapkan setelah pengakuan Petrus di Kaisarea Filipi (8:27-30), ketika Yesus memulai bernubuat tentang penderitaan dan kematian-Nya.  Beberapa kekeculian (2:10, 28; 14:62) untuk menunjukkan bahwa Anak Manusia adalah cara Yesus menyatakan kepada dunia, penderitaan, dan pembelaan diri-Nya.  Anak Manusia digunakan oleh Yesus untuk menyatakan status-Nya yang sejati, serta sebagai pelengkap motif-Nya untuk merahasiakan kemesiasan-Nya.[27]
Keistimewaan sebutan ”Anak Manusia” yang ditunjukkan oleh Injil Markus adalah otoritas Yesus.  Otoritas Yesus sebagai Anak Manusia diproklamasikan (2:10, 28), ditolak oleh pemimpin-pemimpin Yahudi, yang membawa kepada penderitaan-Nya (8:31; 9:9, 31; 10:33, 45; 14:21, 42), dan pembelaan diri-Nya (8:38; 13:26; 14:62).  Injil Markus menjelaskan bahwa Yesus, menunjuk siapa diri-Nya sendiri sebagai Anak Manusia, adalah Mesias, Anak Allah (1:1, 11, 24; 3:11; 5:7; 9:7;10:47f.; 11:9f.; 12:6; 14:61f.; 15:2, 39).  Terutama di Markus 8:38 tampak jelas bahwa ”Anak Manusia” yang membawa kemuliaan ”Bapa” menunjuk pada ”Anak Allah.”[28]
Keunikan sebutan ”Anak Manusia” di Markus 2:28 seakan-akan tidak terlihat secara logis menuju pada asal dari suatu pemerintahan yang melebihi hari Sabat bagi manusia.  Hal ini disebabkan karena dari sejarah penciptaan bahwa manusia tidak bekerja untuk menciptakan segalanya, termasuk hari Sabat.  Tetapi justru segala pekerjaan manusia harus berhenti ketika hari Sabat, untuk kebaikan manusia.  Perkembangan hukum Taurat pun memberikan larangan keras untuk manusia bekerja (memetik bulir gandum) pada hari Sabat.  Jadi dengan penyataan Ia adalah Tuhan atas hari Sabat berarti bahwa Ia mempunyai otoritas yang lebih tinggi dari hari Sabat untuk menafsir hukum Taurat tentang hari Sabat tersebut.  Yesus merupakan wakil manusia, dan peran itulah yang sedang dinyatakan-Nya di dalam Markus 2:28.  Karena hari Sabat dibuat untuk manusia, maka Ia yang ditentukan Allah untuk mewakili manusia di hadapan-Nya diberi hak untuk mengatur hari Sabat menurut ketetapan-Nya.[29]  Terjemahan Markus 2:28 versi BIS memperjelas: ” Jadi, Anak Manusia berkuasa (penekanan penulis), bahkan atas hari Sabat."

PENERIMA  INJIL MARKUS
            Berdasarkan bukti internal dan bukti eksternal (tradisi) yang kuat, maka kemungkinan terbesar penerima Injil Markus adalah jemaat Tuhan yang terdiri dari orang-orang non-Yahudi yang tinggal di Roma.[30]  Jika Injil Markus ditulis antara 60-70 M, maka orang-orang Kristen di Roma pada waktu itu sedang mengalami tentangan berat atas iman mereka kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah.  Pertama kali orang-orang Kristen di Roma menarik perhatian penguasa adalah pada masa pemerintahan Claudius.[31]  Pada waktu itu terjadi kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh Chrestus mendorong kaisar mengusir mereka yang terlibat, yang adalah orang-orang Kristen, untuk keluar dari kota Roma.  Orang-orang Kristen di Roma memperoleh nama terburuk pada 64 M, setelah kebakaran besar yang menghancurkan hampir setengah wilayah penting dan wilayah tempat tinggal di pusat kota Roma.  Kaisar Nero berusaha mencari kambing hitam untuk dipersalahkan atas bencana tersebut, dengan mengandalkan sastra apokaliptik Yahudi, yang mengacu pada pengharapan bahwa Allah akan membakar seluruh bumi dan seluruh penghuninya (Sibylline Oracles 2.15-19, 196-213; 3.54).  Dia mengumpulkan orang-orang Kristen, peradilan diselenggarakan, pengaduan dikorek, dan mereka dinyakatan bersalah.  Banyak orang Kristen yang dilemparkan ke binatang-binatang buas di sirkus atau dipaku pada salib atau dibakar hidup-hidup.  Ahli sejarah Romawi, Tacitus menyebut kekristenan sebuah “takhyul yang membawa maut,” tetapi menambahkan bahwa siksaan-siksaan yang ditimpakan kepada para pengikutnya begitu mengerikan sehingga penduduk Roma merasa kasihan kepada mereka dan membenci kekejaman Nero (Tacitus, Tawarikh 15.44).[32]
            Di dalam situasi dan kondisi orang-orang Kristen di Roma seperti itulah maka pada pembukaan Markus menyebut tulisannya sebagai ”Injil,” catatan kabar baik, tentang Yesus Kristus, Anak Allah (Mrk 1:1).  Mungkin hal ini yang menyebabkan sebagian besar isi Injil Markus digunakan untuk menjelaskan masa tiga minggu terakhir kehidupan Yesus.  Salib dan kebangkitan merupakan unsur inti Injil Kristen, dan berbagai peristiwa dan pengajaran sebelum salib bersifat mempersiapkan hal ini.  Walaupun di Injil Matius dan Injil Lukas juga memberikan penekanan akan salib dan kebangkitan, tetapi di Injil Markus lebih diperkuat dengan relatif absennya perikop pengajaran yang panjang lebar.[33]  Markus hanya mencatat peritiwa sejarah yang terkait langsung dengan tujuannya.  Ia tidak mencatat peristiwa kelahiran dan masa kecil Yesus.  Pembaca langsung dihadapkan dengan Yesus, Anak Allah, sebagai suatu fakta sejarah.  Markus menganggap pembacanya akan langsung mengetahui siapa yang sedang dia bicarakan.[34]
Pada Markus 2:23-28, menurut tradisi dan hukum Taurat tentang hari Sabat, pelanggaran yang Yesus dan murid-murid-Nya lakukan seharusnya mendapat hukuman mati.  Jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi bukan hanya sebagai pembelaan dengan menunjukkan kebenaran akan arti hari Sabat bagi manusia, tetapi sekaligus sebagai penyataan bahwa Dia adalah Tuhan atas hari Sabat.  Hal ini sangat berarti bagi orang-orang Kristen di Roma, dimana mereka mendapat kekuatan dan penghiburan ditengah-tengah penderitaan.  Yesus yang berkuasa, bahkan atas hari Sabat, telah memberikan pembelaan kepada murid-murid-Nya yang sedang mengalami penderitaan (kekurangan dan kelaparan) dan ancaman kematian karena dianggap telah melanggar hukum Taurat tentang hari Sabat.  Yesus yang berkuasa itu juga pasti memberikan pembelaan kepada orang-orang Kristen di Roma yang sedang mengalami penderitaan dan ancaman kematian karena dianggap telah melanggar hukum Romawi. 

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
            Secara garis besar Markus 2:23-28 terdiri dari tiga bagian, yaitu: permasalahan memetik bulir gandum pada hari Sabat (ay. 23); pertanyaan kritik orang-orang Farisi (ay. 24); dan jawaban Yesus (25-28).  Yesus memberikan tiga respon atas pertanyaan kritik orang-orang Farisi, yaitu: ”a counter-question (2:25-26); a gnomic saying (2:27); and a Christological statment (2:28).”[35]  Pada hari Sabat, Yesus dan murid-murid-Nya yang sedang berjalan melewati ladang gandum memetik dan memakan bulir gandum, karena mereka kekurangan dan kelaparan.  Orang-orang Farisi melihat dan mempersalahkan mereka, karena perbuatan mereka dianggap telah melanggar tradisi dan hukum Taurat tentang hari Sabat.  Yesus memberikan jawaban dengan kalimat pertanyaan yang menunjuk kisah Daud di 1 Samuel 21.  Yesus ingin menunjukkan dua hal, yaitu: Daud pada waktu makan roti kudus dalam kondisi sedang kekurangan dan kelaparan; dan Daud yang mempunyai otoritas dan kuasa menjadikan perbuatannya tersebut benar.  Kemudian Yesus lanjutkan dengan pernyataan kebenaran tentang hari Sabat untuk manusia, dan ditutup dengan penyataan bahwa Dia adalah Mesias yang mempunyai kuasa, bahkan atas hari Sabat.
            Superioritas Yesus Kristus atas hari Sabat menunjukkan bahwa Dia adalah Anak Allah yang berkuasa, Mesias yang telah ditentukan Allah untuk menjadi wakil manusia di hadapan-Nya, untuk menjadi pembela bagi murid-murid-Nya, bahkan sampai kematian-Nya di atas kayu salib, serta kebangkitan-Nya yang membuktikan kebenaran dan kemenangan-Nya.  Oleh sebab itu, Yesus Kristus juga pasti menjadi pembela bagi orang-orang Kristen, walaupun mereka hidup di dalam segala penderitaan di dunia yang penuh dengan ketidaadilan dari tradisi dan hukum buatan manusia yang berdosa.  Pembelaan-Nya telah Dia nyatakan sampai kematian dan kebangkitan-Nya, maka orang-orang Kristen pun dinyatakan benar dan menang oleh karena kebenaran dan kemengangan-Nya, yang telah terbukti dan teruji.




DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Bruce, F. F.  Ucapan Yesus yang Sulit.  Malang: Literatur SAT, 2007.

Ferguson, Everett.  Bacgreounds of Early Christianity.  Grand Rapids: Eerdmans, 1993.

Guelich, Robert A.  Word Biblical Commentary.  Dallas: Word Books, 1989.

Guthrie, Donald.  Pengantar Perjanjian Baru Vol.1.  Surabaya: Momentum, 2008.

Hare, Daouglas R. A.  Mark.  Louisville: Westminster John Knox, 1996.

Jagersma, H.  Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba.  Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

Moris, Leon.  Teologi Perjanjian Baru.  Malang: Gandum Mas, 1996.

Pfeiffer, Charles F.  The Wycliffe Bible Commentary Vol.3.  Malang: Gandum Mas, 2001.

Revised, Fully.  The International Standard Bible Vol.4.  Grand Rapids: William B. Eerdmans,
1988.

Ryle, J. C.  Mark.  Wheaton: Crossway Books, 1993.

Scott, J. Julius.  Jewish Backgrounds of the New Testament.  Gands Rapids: Baker Books, 1995.

Stambaugh, John.  Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula.  Jakarta: Gunung Mulia, 1997.

Swanson, Reuben J.  The Horizon Line Synopsis of the Gospel.  Pasadena: William Carey, 1984.

Wessel, Walter W.  The Expositor’s Bible Commentary Vol. 8.  Grand Rapids: Zondervan, 1984.

Williamson, Lamar.  Mark.  Louisville: Westminster  John Knox, 1983.



JURNAL

F. W. Beare, “The Sabbath was Made for Man?” Journal of Biblical Literature 79:2 (June, 1960)
130-136.



[1]Robert A. Guelich, Word Biblical Commentary (Dallas: Word Books, 1989) 120.
[2]Ibid. 121.
[3]Daouglas R. A. Hare, Mark (Louisville: Westminster John Knox, 1996) 43.
[4]Lamar Williamson, Mark (Louisville: Westminster  John Knox, 1983) 72.
[5]J. C. Ryle, Mark (Wheaton: Crossway Books, 1993) 26.
[6]Guelich, Word Biblical Commentary 129.
[7]Ibid. 126.
[8]Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol.1 (Surabaya: Momentum, 2008) 36.
[9]Perbedaan dapat dilihat di buku Reuben J. Swanson, The Horizon Line Synopsis of the Gospel (Pasadena: William Carey, 1984) Mk 16-17.
[10]Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol.1 47.
[11]Leon Moris, Teologi Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 1996) 132.
[12]Charles F. Pfeiffer, The Wycliffe Bible Commentary Vol.3 (Malang: Gandum Mas, 2001) 147.
[13]Guelich, Word Biblical Commentary 123.
[14]Ibid. 126-127.
[15]H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Jakarta: Gunung Mulia, 2001) 98.
[16]J. Julius Scott, Jewish Backgrounds of the New Testament (Gands Rapids: Baker Books, 1995) 252-254.
[17]F. F. Bruce, Ucapan Yesus yang Sulit (Malang: Literatur SAT, 2007) 16.
[18]Everett Ferguson, Bacgreounds of Early Christianity (Grand Rapids: Eerdmans, 1993) 408-410.
[19]Walter W. Wessel, The Expositor’s Bible Commentary Vol. 8 (Grand Rapids: Zondervan, 1984) 683.
[20]Kondisi tersebut kelihatannya kontras dengan dua bagian sebelumnya, dimana Yesus dan murid-murid-Nya makan dengan orang berdosa (Mrk. 2:15-16), bahkan mereka tidak berpuasa (Mrk. 2:18-20).
[21]Ryle, Mark 28.
[22]Ferguson, Bacgreounds of Early Christianity 409.
[23]F. W. Beare, “The Sabbath was Made for Man?” Journal of Biblical Literature 79:2 (June, 1960) 131.
[24]Guelich, Word Biblical Commentary 125.
[25]Bruce, Ucapan Yesus yang Sulit 18.
[26]Guelich, Word Biblical Commentary 125.
[27]Fully Revised, The International Standard Bible Vol.4 (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1988) 577.
[28]Ibid.
[29]Bruce, Ucapan Yesus yang Sulit 19.
[30]Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol.1 52-56.
[31]Ibid. 69.
[32]John Stambaugh, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula (Jakarta: Gunung Mulia, 1997) 117.
[33]Moris, Teologi Perjanjian Baru 135.
[34]Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol. 1 47-48.
[35]Guelich, Word Biblical Commentary 119.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar