SIFAT KASIH YANG KEKAL SEBAGAI DASAR PRAKSIS KRISTEN
H AGAPH OUDEPOTE PIPTEI
OLEH HIMAWAN
PENDAHULUAN
David E. Garland dalam tafsirannya menuliskan: “the unit is bounded by affirmation that ‘love never fails’ (13:8).”[1] Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan bahwa gagasan sentral dan gagasan yang menyatukan perikop 1Korintus 13:1-13 terdapat pada frasa pertama ayat 8: h agaph oudepote piptei.[2] Dalam pasal 13 Paulus mengembangkan argumen yang dimulai dari pemahaman dasar bahwa karakteristik utama kasih adalah sifatnya yang kekal dan tidak terikat oleh waktu. Berangkat dari pemahaman itu maka Paulus mengajak jemaat Korintus untuk memiliki kasih sebagai yang terutama dan utama sebagai dasar segala praksis Kristen.[3] Dengan tesis yang sudah penulis berikan di atas, maka penulis pertama-tama akan memaparkan konteks teks. Kemudian, memaparkan eksegese pada teks, terakhir, memberikan kesimpulan yang penulis dapatkan melalui eksegese yang telah dikerjakan.
KONTEKS TEKS
Selain Roma dan Galatia, 1 dan 2 Korintus dapat dibilang surat Paulus paling problematik.[4] Bahkan Paulus harus menulis setidaknya empat surat untuk mengatasi problem yang nampak cukup pelik tersebut.[5] Pasal 13 ini dengan menarik ditempatkan Paulus di tengah-tengah pasal 12 dan 14 yang sedang membicarakan problem tentang karunia-karunia lahiriah.[6] Sehingga pasal 13 dapat dilihat sebagai transisi dari pasal 12 ke pasal 14.[7] Dari segi kesusastraan terdapat banyak perbedaan pendapat mengenai genre pasal 13.[8] Tetapi bagi penulis, pengetahuan tentang jenis genre pasal ini tidak terlalu menentukan untuk memahami teks ini. Bagi penulis, yang terpenting adalah pemahaman mengenai alur argumentasi Paulus serta konteks yang ada disekitar teks, yakni pasal 12 dan 14.[9] Karena itu dalam makalah ini tidak perlu dibahas termasuk genre apa pasal 13 ini. Kesimpulan yang paling jelas adalah: melihat konteks pasal 13 yang berada ditengah pasal 12 dan 14, dapat disimpulkan bahwa Paulus berusaha untuk mengatasi salah paham jemaat Korintus mengenai karunia-karunia lahiriah dengan memberikan pengertian tentang makna kasih, serta kepentingan dan keutamaan kasih dibandingkan dengan karunia-karunia lahiriah.[10]
EKSEGESE
Untuk mengerti alur sistematika argumentasi Paulus, diperlukan analisa diagram kalimat, serta analisa secara menyeluruh (yakni analisa grammatik, dan analisa leksikal) pada frasa utama dari teks ini: h Agaph oudepote piptei.
Kedudukan agaph oudepote piptei pada pasal 13
Pasal 13 ini dengan jelas dibagi menjadi tiga bagian kecil: ayat 1-3, ayat 4-7, dan ayat 8-13.[11] Pertanyaannya adalah: apa yang mengikat tiga bagian kecil tersebut menjadi satu kesatuan yang utuh dalam pemikiran Paulus? Analisa sistematika argumentasi Paulus melalui diagram kalimat perlu dilakukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Pertama-tama, analisa dimulai dari bagian 1. Demikian analisa dari penulis:
1 ean lalw taij glwssaij twn anqrwpwn
kai twn aggelwn
de mh ecw agaphn
gegona calkoj hcwn
h kumbalon alalazon
2 ean kai ecw profhteian
kai eidw panta ta musthria
kai pasan thn gnwsin
ean kai ecw pasan thn pistin wste orh meqistanai
de ecw mh agaphn eimi ouqen
3 kan qwmisw panta ta uparconta mou
kai ean paradw to swma mou ina kauchswmai[12]
de ecw mh agaphn ouden wfeloumai
Dapat diperhatikan bahwa dalam bagian 1 terdapat frasa de ecw mh agaphn yang diulang sebanyak tiga kali. Tentu saja ini adalah permainan retorika yang menunjukkan penekanan dari Paulus. Kesimpulan dalam bagian ini adalah: tanpa adanya kasih sebagai motivasi maka karunia-karunia lahiriah (bahasa, pengetahuan, karunia bernubuat) adalah sia-sia.[13] Dengan ini, dapat diperhatikan pula bahwa subjek yang mengikat bagian ini adalah kata h agaph.
Berlanjut ke bagian dua, demikian analisanya:
4 h agaph makroqumei
crhsteuetai
h agaph ou zhloi
5 h agaph ou perpereuetai
ou fusioutai
ouk aschmonei
ou zhtei ta eauthj
ou paroxunetai
ou logizetai to kakon
6 ou cairei epi th adikia de sugcairei th alhqeia
7 panta stegei
panta pisteuei
panta elpizei
panta upomenei
Dengan amat jelas dapat dilihat bahwa fokus pembahasan bagian dua adalah mengenai karakteristik h agaph.[14] Subjeknya adalah kata benda h agaph, sedangkan 15 kata kerja yang berjajar berfungsi untuk menjelaskan subjek tersebut.[15] Melihat kesimpulan dari analisis bagian satu dan dua, maka dapat disimpulkan lebih lanjut bahwa kesatuan yang mengikat bagian 1 dan 2 adalah kata benda h agaph. Dengan demikian, h agaph adalah kata terpenting untuk memahami pasal 13.
Setelah menganalisa struktur argumentasi Paulus pada bagian 1 dan 2, dan mendapatkan kesimpulan seperti diatas, analisa akan penulis lanjutkan pada bagian 3. Demikian diagramnya:
8 h agaph oudepote piptei
de eite profhteiai katarghqhsontai
eite glwssai pausontai
eite gnwsij katarghqhsetai
9 gar ginwskomen ek merouj
kai profhteuomen ek merouj
10 de otan elqh to teleion ek merouj
to katarghqhsetai
11 ote hmhn nhpioj elaloun wj nhpioj
efronoun wj nhpioj
elogizomhn wj nhpioj
de ote gegona anhr tou nhpiou ta kathrghka
12 gar blepomen arti di esoptrou
en ainigmati
de tote proswpon
proj proswpon
arti ginwskw ek merouj
de tote epignwsomai kaqwj kai epegnwsqhn
13 de nuni menei pistij elpij agaph
ta tria tauta meizwn de toutwn h agaph
Dapat diperhatikan bahwa Paulus sedang memperbandingkan agaph dengan profhteiai, gnwsij dan glwssai. Perbandingan ini ditunjukkan dengan adanya 6 kata de yang berjajar dari ayat 8-13.[16] Kemudian dengan adanya pemakaian kata kerja yang sinonim yakni katarghqhsontai dan pausontai, yang menjelaskan hal yang sama pada karunia lahiriah: tiga karunia tersebut tidak sempurna dan akan berakhir. Perbandingannya adalah: segala karunia lahiriah akan berakhir, sedangkan agaph tidak akan berakhir. Frasa oudepote piptei yang ditambahkan pada kata agaph menunjukkan hal tersebut. Penjelasan sifat temporal dari karunia lahiriah itu diruncingkan Paulus dengan gaya retorika yang memakai metafora kanak-kanak dan metafora cermin.[17] Melihat analisa di atas, dapat disimpulkan bahwa pengikat bagian ketiga adalah frasa oudepote piptei.
Dapat diperhatikan, jika dilihat memakai diagram alur sistemaika argumentasi Paulus, h agaph oudepote piptei adalah gagasan yang mengikat tiga bagian kecil dari pasal 13. Kata agaph mengikat ide bagian 1 dan 2, sedangkan oudepote piptei menyambungkan bagian 1-2 dengan bagian 3. Berikutnya, perhatian akan difokuskan kepada analisa makna teologis dari agaph oudepote piptei.
Makna h agaph oudeopote piptei dalam pasal 13
Makna frasa h agaph oudepote piptei, harus dipahami dari kata h agaph sendiri, serta pemakaian frasa oudepote piptei. Pertama-tama, analisa leksikal perlu dikerjakan pada kata h agaph. Pembaca harus hati-hati agar tidak terjerumus dalam eksegesis yang berlebihan pada kata agaph.[18] H agaph harus dilihat dalam pemakaian penulis secara keseluruhan, dalam kasus kali ini tentu saja pada karya-karya Paulus. Paulus memakai kata agaph dipisahkan dengan sifat-sifat erotisme dan seksual, dimana ketika akan menjelaskan hal-hal tersebut Paulus lebih sering memakai kata erwj.[19] Ada beberapa alternatif untuk menerjemahkan dan mengartikan kata agaph, namun dalam pasal 13 ini kata agaph harus dilihat sebagai kasih yang mengarahkan relasi antar manusia.[20] Tentu saja ini diperkuat oleh konteks yang memperlihatkan bahwa Paulus sedang berusaha membenahi kesalahpahaman jemaat Korintus mengenai karunia-karunia lahiriah.
Tetapi meskipun h agaph pada pasal 13 dimengerti sebagai kasih yang mengarahkan relasi antar manusia, h agaph juga mempunyai makna teologis yang khusus. Pengertian terhadap makna agaph harus dimulai dengan pemahaman bahwa bagi Paulus, sumber agaph itu sendiri adalah Allah yang bekerja di dalam Kristus.[21] Sangat jelas bahwa Paulus amat sepakat dengan Yohanes 4:8, “Allah adalah kasih”.[22] Paulus memahami bahwa kasih adalah natur dari Allah sendiri (Rm. 8:37-39). Karena itu Paulus mengingatkan jemaat Korintus yang sejatinya telah berada di dalam Kristus, harus memiliki kasih itu dalam kehidupan mereka. Paulus melihat kasih Kristus yang rela disalib adalah kasih yang diwujudkan dalam tindakan (Ef. 5:1-2). Sehingga kasih pun adalah sebuah tindakan, sebuah behavior, bukan sebagai sesuatu yang abstrak yang tidak dapat dilihat.[23] Kasih adalah sebuah kualitas karakter yang membedakan antara antara warga kerajaan surga dengan manusia dunia.[24] Kasih adalah dasar sikap hidup umat Kristen, sehingga kasih adalah yang pertama-tama dan terutama untuk dimiliki orang Kristen sebelum segala karunia-karunia lahiriah. Inilah yang disebut dengan keutamaan kasih.[25] Namun pemahaman tentang makna keutamaan kasih tidak dapat dilepaskan dari frasa oudepote piptei, yang merupakan frasa sentral dan mengikat bagian ketiga pasal 13.
Dalam konteks pasal 13, piptei bermakna secara figuratif atau kiasan, karena subjek yang diterangkan, yakni agaph merupakan sesuatu yang abstrak.[26] Khusus dalam teks 8:1, kata piptei harus diperhatikan dengan adanya konjungsi de yang menunjukkan adanya komparasi di dalam bagian ini, kemudian kata keterangan yang ada di depannya yakni oudepote, serta bentuk grammatik verba tersebut. Dengan kata perbandingan de, piptei punya kedudukan sejajar dengan katargthsetai dan pausetai, yang menerangkan sifat dari karunia-karunia lahiriah (bahasa, pengetahuan dan nubuat) yang akan “come to an end” (NIV), dengan tepat LAI menerjemahannya “akan lenyap”. Berbeda dengan dua verba yang sejajar dibawahnya, piptei diberikan frasa oudepote, kata keterangan yang berarti never, tidak pernah, yang menajamkan perbedaan sifat karunia-karunia lahiriah dengan kasih.[27]
Kata kerja piptei memakai tense present, yang berarti saat ini, terus-menerus, tanpa mengerti sampai kapan berakhirnya.[28] Sehingga sebenarnya bentuk present pada kata kerja ini juga punya unsur future, melihat hubungan dengan kata kerja yang mengikutinya.[29] Mood indikatif memastikan keseriusan, dan kepastian bahwa h agaph tidak akan berakhir. Berbeda dengan dua kata kerja pada klausa berikutnya, memakai tensa future, lebih tepatnya predictive future, yang berarti di masa depan dua subjek pada dua klausa tersebut (pengetahuan dan bahasa) benar-benar akan berakhir, digantikan dengan suatu keberadaan yang lain.[30] Bentuk indikatif yang dipakai adalah declarative indicative, yang menunjukkan pernyataan yang tegas oleh penulis, serta kepastian dari hal yang dinyatakan.[31] Kesimpulan yang jelas adalah bahwa karunia-karunia lahiriah, yang tidak sempurna (8:9) akan lenyap ketika yang sempurna tiba (8:10). “Yang sempurna tiba” disini jelas merujuk kepada kedatangan Kristus kali yang kedua, karena saat itulah Paulus akan “mengenal dengan sempurna” dan “meninggalkan sifat kanak-kanak.”[32] Agaph berbeda dengan karunia-karunia lahiriah, karena ketika yang sempurna itu tiba ia tidak akan berakhir. Dengan tepat LAI menerjemahkan oudepote piptei dengan frasa “tidak berkesudahan.” Inilah sifat agaph yang melampaui temporalitas dan punya nada eskatologis.
Nada eskatologis dari agaph ini diperkuat oleh ayat 13 yang merupakan kesimpulan dari pasal 13 dan menunjukkan keutamaan kasih, bahkan bila dibandingkan dengan iman dan pengharapan. Kasih adalah yang paling besar dari kedua hal tersebut, karena ketika Kristus datang kali yang kedua, iman dan pengharapan akan berakhir. Iman akan mencapai kepenuhannya, dan pengharapan akan mendapatkan penggenapannya. Di dalam kekekalan, kasih akan terus bertahan sebagai karakter dari relasi Allah dan umat-Nya.[33] Inilah mengapa agaph oudepote piptei, dengan makna teologis eskatologisnya adalah gagasan sentral pada pasal 13. Agaph oudepote piptei adalah kunci untuk melihat bagian 1 dan 2, serta metafora-metafora yang dipakai Paulus pada bagian 3. Agaph oudepote piptei adalah kunci keseluruhan pasal 13, bahkan seluruh praksis Kristiani.
KESIMPULAN
Eksegese yang penulis paparkan di atas telah menunjukkan bahwa gagasan sentral dan gagasan penyatu dari 1Korintus 13 adalah frasa agaph oudepote piptei. Pertama, melalui diagram alur argumentasi hal ini ditunjukkan oleh kedudukan agaph oudepote piptei yang mengikat bagian 1, 2 dan 3. Kedua, secara makna teologis, menunjukkan bahwa agaph oudepote piptei ini menunjukkan natur kasih yang melampaui temporalitas, kekal, berbeda dengan karunia-karunia lahiriah yang akan berhenti pada waktunya, pada kedatangan Kristus yang kedua. Dengan pemahaman sifat agaph yang kekal itu, Paulus menekankan kepentingan utama dalam memiliki kasih sebelum karunia-karunia yang ada, pada bagian pertama pasal 13 (ay. 1-3). Dengan pemahaman sifat agaph yang kekal itu, Paulus menunjukkan karakter-karakter yang merefleksikan keberadaan kasih pada masa kini (ay. 4-7). Dengan pemahaman sifat kasih yang kekal itu, secara luas Paulus mendasarkan bahwa kasih adalah dasar dari praksis Kristen.
Akhir kata, marilah kita sebagai pengikut Kristus terus mengingat kalimat dari Yohanes (yang penulis yakin Paulus pasti sangat setuju): “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1Yoh. 3:18). Mari berpraksis atas dasar kasih yang kekal, kasih yang tidak berkesudahan!
Soli Deo Gloria!
DAFTAR PUSTAKA
Bauer, Walter. A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature. Chicago: University of Chicago Press, 1979.
Brooks, James A. and Carlton L. Winbery. Syntax of New Testament Greek. Boston: University of America: 1979.
Brown, Raymond E. An Introduction to The New Testament. New York: Double Day, 1997.
Carson, D. A. dan Douglas J. Moo. An Introduction to The New Testament-Second Edition. Grand Rapids: Zondervan, 2005.
Dunn, James D. G. Ed. The Cambridge Companion to St. Paul. Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Evans, Craig. Ancient Texts for New Testament Studies. Peabody: Hendrickson, 2005.
Fee, Gordon. Eksegesis Perjanjian Baru: Edisi Ketiga. Malang: Literatur SAAT, 2008.
________. The First Epistle to the Corinthians. NICNT; GrandRapids: Eerdmans, 1987.
Garland, David E. 1 Corinthians. BECNT; GrandRapids: Baker, 2003.
Hafemann, Scott J. “Letter to The Corinthians” dalam Dictionary of Paul and His Letters: A Compendium of Contemporary Biblical Scholarship. G. F. Hawthrone. Ed. Et. al. Downers Groje: IVP, 1993.
Hansen, G. W. “Rhetorical Criticism” dalam Dictionary of Paul and His Letters. 822-826.
Keener, Craig. The IVP Bible Background Commentary: New Testament. Downers Grove: IVP, 1993.
Klassen, William. “Love (NT and Early Jewish)” dalam The Anchor Bible Dictionary. New York: DoubleDay, 1992. 386-391.
McRay, John R. “Corinth” dalam Dictionary of New Testament Background. Craig Evans and Stanley Porter (ed); Downers Grove: IVP, 2000. 221-237
Mohrlang, R. “Love” dalam Dictionary of Paul and His Letters. 575-578.
Michaelis, W. “piptw, ptwma, ptwsij, ekpiptw, katapiptw, parapiptw, paraptwma, peripiptw” Theological Dictionary of New Testament Vol. VI. G. Kittel (ed). Grand Rapids: Eerdmans, 1964. 161-173.
Novum Testamentum Graece 27 rejidierte Auflage. Stuttgart: Deutsche Bibelgesellschaft, 1993.
Sanders, Jack T. “First Corinthians 13: Its Interpretations Since the First World War” Interpretation April 1966. 161-187.
Stauffer, “agapaw, agaph, agaphtoj” Theological Dictionary of New Testament. G. Kittel (ed). Grand Rapids: Eerdmans, 1964. 21-52.
Sutanto, Hasan. Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia. Jakarta: LAI, 2003.
Thiselton, Anthony. The First Epistle to the Corinthians. NIGTC; GrandRapids: Eerdmans, 2000.
Wallace, Daniel B. Greek Grammar Beyond the Basics: an Exegetical Syntax of the New Testament. GrandRapids: Zondervan, 1996.
[2]Terdapat problem tekstual pada frasa ini. Terdapat varian pembacaan yang membaca teks ini: ekpiptei. Teks D, yakni kodeks Bezae Cantrabrigiensis, yang termasuk kategori 4 abad 5 dan berasal dari keluarga Barat, membaca ekpiptei. Namun Papirus 46, Kodeks Sinaiticus, Kodeks Vaticanus, Kodeks Aleksandria, Kodeks Ephraemi Syri Rescriptus, yang termasuk kodeks dengan kategori 1 dan berasal dari abad 4-5, (yang paling pagi adalah papirus 46 yang berasal dari abad 2). Kemudian, uncial 048 yang berasal dari abad ke empat, serta minuskul 33 membaca dengan variasi yang diterima NA 27, piptei. Melihat bukti eksternal yang melimpah di atas, maka penulis sepakat dengan NA 27 yang membaca frasa ini agaph oudepote piptei. Pembahasan yang sama disampaikan oleh Anthony Thiselton, The First Epistle to the Corinthians (NIGTC; GrandRapids: Eerdmans, 2000) 1060. Pada frasa ini LAI TB menerjemahkan: Kasih tidak berkesudahan, NIV: Love never fails.
[3]Dalam surat 1Korintus sendiri lihat: 12:31, 14:1, 16:14. Dalam surat-surat Paulus yang lain: Rm. 13:9; Ef. 4:2, 5:2 ; Kol. 3:14. Bdk: 2Yoh. 1:6.
[5]Para sarjana nampaknya sepakat mengenai hal ini. Untuk diskusi lebih lanjut pembaca dipersilakan menelusuri karya Raymond E. Brown, An Introduction to The New Testament (New York: Double Day, 1997) 512-540. Lihat pula artikel Scott J. Hafemann, “Letter to The Corinthians” dalam Dictionary of Paul and His Letters: A Compendium of Contemporary Biblical Scholarship (G. F. Hawthrone. Ed. Et. al. Downers Grove: IVP, 1993) 165-179. Problematika jemaat Korintus antara lain: terdapat perpecahan (1:10, 11:18, 3:1-3). Kemudian dalam pemahaman secara teologis dan praktis, ada kekurangpahaman mengenai kekudusan hidup jemaat Kristiani, yang ditunjukkan dengan adanya percabulan (5:1, 6:12-18), kurang pahamnya doktrin kebangkitan (15), berbagai macam dosa (5:11, 6:9-10), problem mengenai perkawinan (7), persembahan kepada berhala (8, 10:14;18-20), berbagai kesalahan-kesalahan dalam ibadah, terutama tentang perjamuan anggur (11:2-16, 14:18;20-24, 14:26-39).
[6]Melihat hal ini ada juga sarjana yang berpendapat bahwa Pasal 13 ini tidak berasal dari Paulus, misalnya Johaness Weiss. Mengenai proposal Weiss tersebut, tanggapan-tanggapan, serta sejarah panjang penafsiran pasal 13 ini, pembaca dapat melihat artikel dari Jack T. Sanders, “First Corinthians 13: Its Interpretations Since the First World War” Interpretation April 1966. 161-187. Pembahasan cukup ringkas namun padat dapat ditemukan dalam Thiselton, First Corinthians 1027-1030.
[7]Bdk. Sanders, “First Corinth” 172-173. Garland juga serupa, 1 Corinthians 605. Lihat juga pembahasan Gordon D. Fee, The First Epistle to the Corinthians (NICNT; GrandRapids: Eerdmans, 1987) 626.
[8]Para sarjana memberikan berbagai proposal mengenai jenis sastra perikop ini. Brown melihatnya sebagai sebuah hymn, An Introduction 533. Garland melihatnya sebagai sebuah encomium. 1 Corinthians 606. Ringkasan mengenai berbagai pandangan tersebut dapat dilihat lebih jelas dalam Sanders, “First Corinth” 161-162. Thiselton juga enggan untuk terlibat dalam perdebatan mengenai genre pasal 13, ia langsung menyimpulkan bahwa pasal 13 adalah sejenis deliberative rhetoric. First Corinthians 1030.
[9]Ben Witherington, dalam tafsirannya yang memakai pendekatan sosio-retorik (yang sangat dekat dengan rethorical-criticsm), memberikan pendapat bahwa pasal 13 ini dapat dimasukkan dalam struktur retorika Greco-roman sebagai bagian dari “argumen pembelaan”. [Conflict and Community in Corinth; a Sosio-Rhetorical Commentary on 1 and 2 Corinthians (GrandRapids: Eerdmans, 1995)] 264-267. Dengan mempertimbangkan bahwa tujuan Rhetorical Criticism adalah untuk mengerti analisa mendetail sistematika argumentasi Paulus, dan apa yang Paulus maksudkan pada tulisannya, sedangkan tujuan tersebut sudah dipenuhi oleh analisis diagram kalimat serta analisis grammatik dan leksikal yang penulis lakukan, maka penulis merasa tidak perlu untuk mencantumkan pendekatan tersebut dalam paper ini. Mengenai Rhetorical Criticism pembaca dapat melihat artikel dari: G. W. Hansen, “Rhetorical Criticism” dalam Dictionary of Paul and His Letters. 822-826.
[11]Sarjana-sarjana nampaknya sepakat mengenai hal ini, misalnya: Thiselton, First Corinthians 1030. Fee, First Epistle 628. Witherington, Conflict and Community 267. Hanya Garland yang membaginya menjadi empat dengan ayat 13 sebagai bagian kesimpulan. 1 Corinthians 606.
[12]Terdapat permasalahan tekstual tingkat C. Untuk pembahasan lebih lanjut dan komprehensif, pembaca bisa melihat analisa Thiselton, First Corinthians 1042.
[13]Garland, 1 Corinthians 610. Bdk. Fee, First Epistle 635. Mengenai analisis lebih lanjut tentang frasa ini secara grammatik dan leksikal, pembaca dipersilahkan menelusuri tafsiran-tafsiran tersebut.
[15]Pembahasan lebih lanjut mengenai 15 kata kerja dalam bagian ini dapat diperhatikan dalam Garland, 1Corinthians 617-620. Fee, First Epistle 636-642. Thiselton, First Corinthians 1046-1060.
[16]de disini berfungsi sebagai contrastive conjunction. Lihat: Daniel B. Wallace, Greek Grammar Beyond the Basics: an Exegetical Syntax of the New Testament (GrandRapids: Zondervan, 1996) 657
[17]Mengenai dua metafora ini, pembaca dapat menelusuri bahan dari Craig Keener, The IVP Bible Background Commentary: New Testament (Downers Grove: IVP, 1993). Implikasi langsung dari latarbelakang metafora-metafora yang punya unsur retoris tersebut juga dapat dilihat pada tafsiran-tafsiran yang penulis pakai sebagai acuan.
[18]D. A. Carson, Exegetical Fallacies: Kesalahan-kesalahan Eksegesis (Surabaya: Momentum, 2009) 28-31, 60-64.
[19]Thiselton, First Corinthians 1034. Jelas Paulus dipengaruhi oleh pemahaman dari kata Ibrani ahab, yang memang merupakan akar kata agaph. Lihat Stauffer, “agapaw, agaph, agaphtoj” TDNT I. 21.
[20]Kamus Bauer memberikan dua pilihan alternatif untuk mengartikan agaph, yang terdiri dari sub-sub arti. Dua terjemahan yang dasar adalah: love atau b. a love-feast. Untuk kemungkinan terjemahan yang kedua dapat disisihkan, karena arti tersebut berkaitan dengan tradisi perjamuan makan yang sering terjadi di gereja mula-mula. Pemakaian kata h agaph di dalam literatur PB maupun Yudaisme ternyata bisa menunjuk kepada beberapa kemungkinan: 1. Kasih manusia, 2. Kasih dari Allah dan Kristus. Disini, sepakat dengan Bauer, penulis melihat pilihan pertama sebagai yang paling tepat. BDAG 5.
[21]Lih. Gal. 2:20b dan 2Kor. 12:11. Mengenai arti kasih dalam Perjanjian Baru dan early Jewish pembaca bisa melihat juga William Klassen, “Love (NT and Early Jewish)” dalam The Anchor Bible Dictionary (New York: DoubleDay, 1992) 386-391.
[22]Memang hal ini tidak menyimpulkan bahwa pemahaman teologi Yohanes mempunyai relasi dengan Paulus, tetapi ini menunjukkan pemahaman keduanya serupa. Thiselton, 1 Corinthians 1035.
[24]Thiselton, First Corinthians 1035.
[25]R. Mohrlang menegaskan: “For Paul love is the most important of all the Christian graces and the very heart of Christian ethics” bisa dilihat pada “Love” dalam Dictionary of Paul and His Letters 575-578.
[26]BDAG 659. Ada dua makna dasar, yakni secara literal: a. sesuatu yang jatuh dari tempat tinggi atau b. sesuatu yang sebelumnya berdiri tegak, namun jatuh. Jika dilihat dengan makna figuratif, yang subjeknya adalah benda atau sesuatu yang abstrak maka piptei secara figuratif berarti become invalid, come to an end, fail. Sesuatu itu akan berakhir, tidak ada lagi. Lihat diskusi lanjutan dalam W. Michaelis, “piptw, ptwma, ptwsij, ekpiptw, katapiptw, parapiptw, paraptwma, peripiptw” TDNT VI. 164-166. Pemakaian makna figuratif dari piptei (yang berasal dari kata dasar piptw) dapat ditemukan dalam banyak bagian teks PB Misal. 1Kor 10:12, Lk. 20:18a, Ibr 4:11. Mengenai sifat abstrak dari agaph, harus diingat bahwa agaph secara teologis bukan merupakan sesuatu yang abstrak, malahan sesuatu yang real dalam tindakan.
[29]Garland, 1 Corinthians 621.
[31]Ibid. 448-449.
[32]Bdk. Fee, First Epistle 646. Garland, 1Corinthians 622. Analisa kata ton teleion: Wallace, Greek Grammar 295.
[33]Untuk penafsiran lebih lanjut lihat tiga tafsiran di atas. Kali ini penulis sepakat dengan Garland. Ibid. 625-626
sy baru menemukan blog ini, trimakasih isinya sanga membantu saya. Tuhan memberkati anda semua. thanks
BalasHapusterima kasih atas blok ini sangat membantu saya Tuhan Yesus memberkati saudara.
BalasHapus