24 Agustus 2011

Eksegese Roma 14:13-23


JANGAN MENJADI BATU SANDUNGAN BAGI SAUDARAMU!
OLEH DESI CUT FRISCA



PENDAHULUAN
Komunitas Yahudi pertama[1] yang percaya kepada Yesus Kristus telah menjadi satu contoh teladan bagaimana kehidupan sesama orang percaya setelah menerima anugerah keselamatan.  Suasana yang saling membangun, saling menguatkan, saling berbagi, dan saling memiliki, menjadi suatu gaya hidup bagi mereka.  Namun, kisah yang sering dijadikan contoh oleh gereja-gereja ini, tidak mudah untuk mengaplikasikannya.  Tidak sedikit terdengar bahwa di dalam gereja masih terjadi tindakan saling menjatuhkan, saling menghakimi, saling menuntut, yang akhirnya satu sama lain tidak lagi saling membangun tetapi saling menjadi batu sandungan.
Hal inilah yang terjadi di dalam jemaat Roma.  Di tengah jemaat yang hidup dengan harmonis sebagai orang percaya, ternyata ada golongan-golongan tertentu yang saling bertentangan.  Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dari segi kerohanian, yang akhirnya berdampak pada aspek lainnya, yaitu etika, moral, dan kehidupan sehari-hari. 
Di dalam Roma 14:13-23, Paulus hendak menasehatkan jemaat ini yang khusus membicarakan mengenai kehidupan antar saudara seiman agar mereka tidak saling menghakimi dan tidak menjadi batu sandungan.  Tulisan ini dimaksudkan agar melalui pembahasan ini pembaca dapat memahami dengan jelas apa sebenarnya maksud Paulus ketika menuliskan bagian ini.  Bagaimanakah keadaan jemaat pada saat itu?  Apakah yang melatarbelakangi permasalahan tersebut?  Dan bagaimana solusinya?  Melalui pembahasan ini diharapkan pembaca dapat mengerti dengan jelas mengenai pesan Paulus agar jangan saling menghakimi dan saling menjadi batu sandungan satu sama lain, sehingga hal tersebut dapat teraplikasikan dalam kehidupan orang percaya pada zaman ini.

LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Roma merupakan kota yang terbesar di dunia dan ibukota kekaisaran yang teragung yang pernah ada di dunia. [2]  Budaya yang sangat mempengaruhi kota ini ialah budaya Yudaisme yang sangat kuat.[3]  Paulus sudah sangat sering ingin mengunjungi kota ini, namun ia banyak mendapatkan rintangan-rintangan menuju ke sana (Roma 1:13).  Karena itu, sekitar tahun 57 A.D, Paulus menuliskan suratnya kepada jemaat Roma ketika dia sedang berada di Korintus dalam perjalanan menuju ke Spanyol (Roma 15:24).[4]  Di dalam suratnya, Paulus hendak menuliskan mengenai inti dari kepercayaan Kristen.  Dengan harapan, Paulus dapat membangun pola (stuktur) dasar iman jemaat, sehingga bila pencemaran itu melanda, mereka sudah mempunyai pertahanan yang efektif dan kuat atas dasar doktrin Kristen yang benar. [5]
Setelah Paulus banyak membahas mengenai dasar doktrin Kristen pada pasal 2-11, Paulus memulai nasehat-nasehatnya yang bersifat praktikal di pasal 12-15.  Secara khusus pada pasal 14, Paulus menasehati agar sebagai saudara seiman, mereka tidak saling menghakimi, tetapi saling membangun, sebagai aplikasi dari setiap dasar pengajaran yang sudah diajarkan.  Pada pasal 14:13-23 ini, Paulus dengan spesifik membahas mengenai perilaku jemaat perihal makanan.  Sangat terlihat, bagaimana perihal ini begitu spesifik dan sepertinya sangat penting untuk dibahas.  Karena itu timbul pertanyaan, sebenarnya siapakah jemaat Roma ini?  Bagaimanakah relasi mereka satu sama lain?
Mengenai asal-usul jemaat Roma, tidak ada indikasi yang jelas.  Namun yang pasti, di dalamnya terdapat orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi (Rm. 1:13).  Bahkan ada salah satu sumber menyatakan bahwa di Roma terdapat 40.000-50.000 orang Yahudi pada abad pertama.[6]  Namun jemaat Roma yang begitu dipuji-puji[7] oleh Paulus ini, ternyata memiliki perpecahan-perpecahan di dalamnya.  Salah satu konflik utama yang terjadi ialah mengenai perbedaan antara “kaum lemah” dan “kaum kuat” dan penjelasan mengenai bagaimana kaum kuat seharusnya menuntun kaum lemah ketika mereka jatuh.  Dalam hal ini sangat kental permasalahan tentang pembedaan antara orang-orang Yahudi dan orang-orang non-Yahudi.[8]
Bagian ini menjelaskan mengenai makanan yang dapat membuat kaum lemah menjadi jatuh tersandung.  Terdapat kata makan (makanan) sebanyak 7 kali dan minum (minuman) 2 kali.  Bagi orang yang kuat iman, perihal makanan tidaklah menjadi masalah karena bagi Tuhan hal itu bukanlah yang menjadi fokus utama.  Tidak ada pembedaan bagi orang yang makan atau tidak makan sesuatu.  Allah tetap menyambut orang, baik yang makan sayur, makan daging, menguduskan hari Sabat, dan lain-lain.[9]
Ada tiga hal yang membuat kaum lemah menjadi lemah. [10]  Pertama, makan daging.  Kaum lemah hanya boleh makan sayur-sayuran, sementara kaum kuat boleh makan segala jenis makanan (14:2).  Kedua, minum anggur.  Ada kemungkinan pasal 14:17 di mana disebutkan mengenai minuman, mengarah pada minum anggur yang dianggap sebagai sesuatu hal yang sangat dienggani untuk dilakukan.  Selain itu, minum anggur menurut kaum lemah juga dianggap ada hubungannya dengan persembahan binatang.[11]  Ketiga, melakukan sesuatu yang membuat saudaranya jatuh tersandung sesuai dengan subyektifitasannya masing-masing. [12]
Melihat penjelasan di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa baik kaum kuat maupun kaum lemah telah dipengaruhi oleh sejarah dalam Perjanjian Lama mengenai pandangan mereka mengenai makanan.  Pada zaman Perjanjian Lama, orang Kanaan memiliki kebiasaan umum yaitu ketika mereka menyembah berhala, mereka datang dengan mempersembahkan makanan kepada berhala tersebut. [13]  Hal inilah yang dikemukan oleh Paulus yaitu larangan mengenai keterlibatan orang-orang Kristen dalam pesta, makan, dan penyembahan berhala tersebut.  Namun, Paulus tidak hanya menegur dari sisi tersebut, tetapi lebih cenderung kepada persoalan etika Kristen terhadap immoralitas dalam penyembahan berhala di kuil-kuil.[14]
Makanan najis atau tidak najis ditentukan oleh masing-masing pribadi.  Hal ini bukan berarti dosa itu bergantung pada suara hati masing-masing.[15]  Nasehat Paulus ialah supaya kaum kuat dapat menempatkan dirinya pada tempat yang tepat.  Paulus juga hendak mengingatkan kaum kuat bahwa adalah benar jika kaum lemah menolak untuk makan makanan yang tidak suci.[16]  Memang, kata koino.n yang dipakai pada bagian ini dapat diartikan sebagai hal yang biasa dan sudah lazim, tetapi dalam keagamaan hal itu menjadi tidak suci atau najis, bagi mereka yang beranggapan itu najis.[17]  Paulus sedang tidak mengeneralisasi dosa.  Bukan berarti dosa itu dikatakan dosa atau bukan hanya berdasarkan apa yang orang lain katakan.[18]
Paulus menyadari bahwa di dalam tradisi Yahudi, masalah makanan dan minuman yang halal maupun yang haram, sangatlah kental.  Orang-orang Yahudi memiliki aturan-aturan yang sangat ketat mengenai makanan dan minuman yang diklasifikasikan berdasarkan firman Tuhan yang dicatat dalam Imamat 11.[19]  Namun di dalam Kristus, Paulus lebih mau menekankan akan esensi dari aturan-aturan tersebut yaitu keyakinan pribadi harus diletakkan di bawah kesejahteraan rohani Kerajaan Allah karena kemuliaan penuh bagi Allah hanya dapat dipertahankan di mana ada kesatuan.[20]  Yang terutama ialah bagaimana persekutuan kita dengan Tuhan terus bertumbuh dan bagaimana totalitas hidup kita di hadapan Tuhan untuk terus berkomitmen melakukan apa yang benar di hadapan-Nya.[21]

KONSEP BATU SANDUNGAN
Penguraian Paulus mengenai batu sandungan, menimbulkan pertanyaan, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan “jangan menjadi batu sandungan”.  Hal ini dapat dibahas dengan lebih dalam lagi mengenai bagaimanakah posisi dari kaum lemah dan kaum kuat ini dan sejauh manakah peran mereka dalam bersikap di dalam suatu komunitas umat percaya.  Ketika salah satu pihak tidak menjalankan perannya dengan baik, melakukan perannya dengan berlebihan, atau tidak melakukan perannya sama sekali, kemungkinan telah menjadi batu sandungan itu cukup besar.
Perikop ini menegaskan bahwa orang-orang yang kuat imannya jangan membuat orang-orang yang lemah imannya menjadi semakin lemah.  Jelas, ayat 13 ditujukan kepada orang yang kuat imannya.[22]  Pada ayat 13 ini, Paulus hendak menekankan mengenai penggunaan kata kri,nein (krinein) yang diterjemahkan sebagai kata “judge” dalam bahasa Inggris hendak memperkenalkan penjelasan berikutnya yaitu come to a decision yang berarti menegaskan atau mendorong untuk mengambil keputusan tersebut.  Keputusan apa?  Yaitu keputusan untuk jangan membuat saudara lain jatuh.  Inilah yang ditekankan oleh Paulus agar mereka dapat hidup dengan rukun dan penuh kasih di dalam saudara seiman.[23]
Pemikiran teologi Paulus mengenai makanan dan kebebasan Kristen bukan hanya ada dalam perikop ini, melainkan ada juga dalam surat-suratnya yang lain.  Paulus menjelaskan mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala (1Kor. 8:1-13), makanan yang halal dan membangun (1Kor. 6:12), dan tidak adanya makanan yang haram (1Tim. 4:4, 5).[24]  Bagi Paulus tidak ada sesuatu yang dapat menghalangi kebebasan Kristen terhadap makanan, tidak ada yang haram.  Memang dalam masyarakat Yahudi zaman Perjanjian Baru peraturan tentang makanan ketat sekali, khususnya mengenai binatang dan burung yang haram yang dijelaskan dalam Perjanjian Lama (Im. 11:1-23; Ul. 14:4-20).  Namun, penghapusan tentang peraturan itu telah menjadi salah satu tema penting dalam Perjanjian Baru (Mark. 7:19-20; Rm. 14:1-23).[25]
Paulus mendorong agar kaum lemah berhenti mengkritik kaum kuat dan kaum kuat berhenti mencari kesalahan kaum lemah.[26]  Kadang-kadang kaum lemah melakukan sesuatu, karena setiap orang melakukannya, tidak ingin berbeda dengan orang lain, atau melakukannya karena tidak ingin dianggap rendah dan ketinggalan zaman.[27]  Kebebasan orang-orang kuat untuk menggunakan kemerdekaan dalam Kristus sebaiknya digunakan untuk membangun, agar mereka jangan jatuh dalam dosa, terlebih jangan sampai meninggalkan Kristus hanya karena soal makanan.[28]  Kebebasan Kristen adalah kebebasan yang didasarkan atas kasih.  Kasih yang mana Kristus telah nyatakan kepada semua orang, golongan, dan ras.  Tanpa kasih, penerapan kebebasan Kristen akan berubah menjadi kekacauan semata, di mana setiap orang akan merasa sebebas-bebasnya melakukan atau makan sesuatu tanpa mempertimbangkan adanya tanggung jawab terhadap semua saudara seiman dalam jemaat.[29]  Paulus memanggil kita untuk taat dalam iman.  Hal ini memang membuat kita menjadi bebas dalam melakukan aktifitas apapun tetapi tetap dalam kerangka ketaatan dalam iman.  Hal ini juga berarti bahwa kita dipanggil untuk terbuka dengan orang lain yang hidup berbeda dengan kita, tetapi dalam komunitas orang-orang yang telah dipanggil Allah dalam rencana-Nya, pembenaran-Nya, dan sambutan-Nya.[30]
Maksud Paulus yaitu kewajiban setiap orang Kristen adalah memikirkan segala sesuatu, tidak hanya yang bersangkut paut dan membawa akibat bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain.  Paulus tidak bermaksud mengatakan, bahwa kita harus selalu membiarkan pandangan orang lain mengatur tingkah laku kita; karena ada hal-hal prinsipil yang harus ditentukan sendiri.  Tetapi ada banyak hal yang netral dan biasa; ada banyak hal yang sebenarnya tidak baik, juga tidak buruk; ada banyak hal yang tidak merupakan bagian penting dari kehidupan dan tingkah laku, melainkan hanya sekedar selingan hidup saja.  Agustinus mengatakan, bahwa seluruh etika Kristen dapat diringkas dalam satu ucapan: “Kasihilah Allah, dan lakukanlah apa yang kamu suka.”  Dalam satu hal, itu adalah benar; tetapi kekristenan tidak hanya terdiri dari kasih kepada Allah; tetapi juga kasih kepada sesamanya seperti kepada diri sendiri.[31]

IMPLIKASI DAN KESIMPULAN
Barclay mengutarakan ada tiga inti dari kekristenan yang prinsipnya tidak mementingkan diri sendiri.  Pertama, kebenaran, yaitu memberikan kepada manusia dan Allah apa yang menjadi haknya (memposisikan diri kita pada orang lain).  Kedua, damai yaitu segala sesuatu yang dilakukan demi kebutuhan utama dari manusia.  Ketiga, sukacita,yaitu sukacita yang bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk membahagiakan orang lain.[32]  Sekali lagi Paulus menegaskan bahwa Kerajaan Allah bukan bergantung pada makanan, minuman, atau jenis makanan tertentu.  Paulus hendak menyatakan bahwa yang terpenting ialah bagaimana hubungan kita dengan Tuhan, bagaimana pandangan kita terhadap apa yang benar di hadapan Allah.[33]
Dengan demikian permasalahan kaum lemah dan kaum kuat yang ada di Roma ini, sebenarnya dapat diselesaikan jika kedua pihak mau saling menundukkan diri di bawah otoritas Allah.  Ketika setiap orang memiliki orientasi yang fokus kepada Kristus, maka setiap orang percaya dapat hidup rukun bersama.  Keduanya bukan saling menghakimi, menjatuhkan, atau saling menjadi batu sandungan, tetapi saling menjadi berkat satu sama lain.
Melihat tujuan orang Kristen yang adalah mengejar persekutuan yang berkenan di hadapan Allah dan manusia, sudah selayaknyalah orang-orang percaya melakukan hal demikian.  Kristus harus menjadi yang terutama, sedangkan makanan adalah second.[34]  Mengejar kasih lebih utama daripada pengetahuan, karena dengan kasih maka komunitas dapat dibangun.[35]  Karena itu, dengan menjadi batu sandungan, maka gereja yang adalah tubuh Kristus tidak akan dapat bertumbuh dengan baik.  Tetapi justru relasi yang terus saling membangun dan mendukunglah yang akan membuat gereja tersebut berkenan di hati Tuhan dan menjadi berkat bagi sekitarnya.








DAFTAR KEPUSTAKAAN

BUKU
Barclay, William.  Pemahaman Alkitab setiap Hari: Roma.  Jakarta: Gunung Mulia, 1986.
Barker, Kenneth L.  New International Version Study Bible.  Grand Rapids: Zondervan, 1985.
Barrett, C. K.  A Commentary On The Epistle To The Romans.  New York: Harper & Row, 1957.
Bartlett, David L.  Westminster Bible Companion: Romans.  Louisville: Westminster, 1995.
Brown, Raymond E.  An Introduction to the New Testament.  New York: Doubleday, 1997.
Carson, Donald A, Douglass J. Moo, dan Leon Morris.  An Introduction to the New Testament.  Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1992.
Guthrie, Donald.  Pengantar Perjanjian Baru Vol. 2.  Surabaya: Momentum, 2009.
Hendriksen, William.  New Testament Commentary: Romans.  Grand Rapids: Baker, 1981.
Keener, Craig S.  The IVP Background Commentary New Testament.  Downers Grove: Intervarsity, 1993.
Tenney, Merril C.  Survei Perjanjian Baru.  Malang: Gandum Mas, 2006.
JURNAL
Agustinus Ruben, “Menangani Konflik Antara Golongan Kuat dan Golongan Lemah.”  Jurnal Jaffray 1/ Juni (2003) 56-68.


[1]Untuk lebih detil, baca Kisah Para Rasul 2:41-47.
[2]William Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Roma (Jakarta: Gunung Mulia, 1986) 8.
[3]Merril C. Tenney, Survei Perjanjian Baru (Malang: Gandum Mas, 2006) 376.
[4]Donald A. Carson, Douglass J. Moo, dan Leon Morris, An Introduction to the New Testament (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1992) 241-242.
[5]Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Roma 8.
[6]Raymond E. Brown, An Introduction to the New Testament (New York: Doubleday, 1997) 561.
[7]Roma 1:1-7, jemaat Roma merupakan orang-orang yang telah dipanggil menjadi milik Kristus (ay.6), dikasihi Allah, dipanggil Allah, dan dijadikan orang-orang kudus (ay.7).  Dalam bagian lain Paulus pun menyatakan bagaimana jemaat Roma telah penuh dengan kebaikan, segala pengetahuan, dan sanggup untuk saling menasihati (15:14).  Pertumbuhan jemaat di Roma ini sangat bertumbuh dengan pesat.  Bahkan pertumbuhan mereka ini sampai tersiar ke seluruh dunia (1:8).
[8]Thomas R. Schreiner, Baker Exegetical Commentary On The New Testament: Romans (Grand Rapids: Baker, 2003) 640-641.
[9]David L. Bartlett, Westminster Bible Companion: Romans (Louisville: Westminster, 1995) 126.
[10]William Hendriksen, New Testament Commentary: Romans (Grand Rapids: Baker, 1981) 467.
[11]Ibid. 467.
[12]Ibid. 467.
[13]Agustinus Ruben, “Menangani Konflik Antara Golongan Kuat dan Golongan Lemah,”  Jurnal Jaffray 1/ Juni (2003) 56-68.
[14]Ruben, “Menangani Konflik Antara Golongan Kuat dan Golongan Lemah” 60.
[15]Hendriksen, New Testament Commentary: Romans 462.
[16]Ibid.
[17]C. K. Barrett, A Commentary On The Epistle To The Romans (New York: Harper & Row, 1957) 263.
[18]Kenneth L. Barker, New International Version Study Bible (Grand Rapids: Zondervan, 1985) 1768.
[19]Craig S. Keener, The IVP Background Commentary New Testament (Downers Grove: Intervarsity, 1993) 442-444.
[20]Donald Guthrie, Pengantar Perjanjian Baru Vol. 2 (Surabaya: Momentum, 2009) 25.
[21]Keener, The IVP Background Commentary New Testament 442-444.
[22]Schreiner, Baker Exegetical Commentary On The New Testament: Romans 726.
[23]Barrett, A Commentary On The Epistle To The Romans 262.
[24]Ayat-ayat di sini disesuaikan dengan konteksnya masing-masing.  Namun secara prinsip, Paulus memiliki prinsip yang sama.
[25]Ruben, “Menangani Konflik Antara Golongan Kuat dan Golongan Lemah” 62.
[26]Hendriksen, New Testament Commentary: Romans 461.
[27]Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Roma 289.
[28]Ruben, “Menangani Konflik Antara Golongan Kuat dan Golongan Lemah” 64.
[29]Ibid. 66.
[30]Bartlett, Romans: Westminster Bible Companion 127-128.
[31]Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Roma 283-284.
[32]Barclay, Pemahaman Alkitab setiap Hari: Roma 285-286.
[33]Hendriksen, New Testament Commentary: Romans 464.
[34]Barrett, A Commentary On The Epistle To The Romans 265.
[35]Hendriksen, New Testament Commentary: Romans 465.

1 komentar: