30 Oktober 2011

Khotbah Efesus 4:17-32

MANUSIA BARU
OLEH ANDREY THUNGGAL



Pendahuluan
Saudara, ketika beberapa bulan yang lalu pelayanan di Manado, saya mengalami sebuah kejadian yang menarik. Suatu saat saya berjalan pulang dari gereja melewati sebuah  jalan yang sedikit lenggang.  Ada beberapa mobil memang, namun masih cukup jauh, dan saya menyeberangi jalan itu bersama beberapa orang.  Namun tiba-tiba ada sebuah mobil kijang merah yang ugal-ugalan, ngebut, dan hampir menabrak sekelompok ibu-ibu di depan saya.  Sontak sang sopir langsung berteriak, sambil memaki, lalu berkata: “Ngoni pe badan besi sto?!” (“Kalian punya badan besi ya?!”)  Dalam sekejab, saya langsung menyaksikan percekcokan antara bapak-bapak dari dalam mobil dengan ibu-ibu itu; seperti di sinetron-sinetron, namun yang ini bukan sandiwara.  Yang lebih menarik saudara, di kaca depan kijang merah itu, tertulis: Panitia HUT Kaum Bapa se-gereja-gereja ... (sensor).
Saudara, saya pikir kasus yang saya hadapi itu adalah satu dari sekian banyak kasus lain yang juga Saudara mungkin pernah alami; kasus yang membuktikan bahwa identitas Kristen seseorang itu tidak menjamin perilakunya sesuai dengan imannya.  Padahal perilaku seseorang itu bagaikan sebuah baju yang dikenakan, yang menunjukkan identitasnya sang pemakainya.  Perilaku orang Kristen tentu seharusnya menunjukkan identitasnya sebagai orang Kristen.  Namun yang menjadi masalahnya adalah, tidak sedikit dari mereka tidak menyadari bahwa tingkah laku yang mereka tunjukkan itu sebenarnya tidak matching dengan identitas mereka.  Contohnya saja bapak-bapak yang tadi itu.  Namun hal ini bukan hanya terjadi di kalangan jemaat, namun terjadi juga dalam kehidupan hamba Tuhan.  Di daerah-daerah tertentu kita dapat menemukan hamba Tuhan yang mabuk sebelum berkhotbah, bahkan mengajak anak-anak pemuda untuk mabuk bersama sebelum besoknya mereka di-sidi.  Bahkan tidak jarang kita mendengar hamba-hamba Tuhan yang selingkuh, menjadi hamba uang, bahkan hidup dalam berbagai hawa nafsunya.  Mereka tidak menyadari, bahwa mereka masih hidup dalam cara hidup yang lama.  Jangan lupa Saudara, mereka adalah orang-orang yang dulunya ada di seminari, yang duduk juga dalam kuliah maupun ibadah, dididik untuk menjadi hamba Tuhan yang hidup dalam cara hidup yang benar.  Namun ternyata kita temukan bahwa hal tersebut tidak menjamin seorang kebal terhadap kasus tersebut.  Jika hal ini tidak diwaspadai sedari dini, maka bukan tidak mungkin kita juga akan hidup dalam cara hidup yang demikian.
Oleh karena itu Saudara, penting bagi kita untuk memiliki cara hidup yang matching dengan identitas kita sebagai hamba Tuhan.  Penting bagi kita untuk mewaspadai sedari dini, cara hidup yang tidak berkenan pada Allah itu.  Penting bagi kita untuk menyelidiki dalam kehidupan kita, apakah cara hidup kita sudah berkenan kepada Allah, menunjukkan identitas kita sebagai hamba-hamba-Nya.  Penting bagi kita untuk menanggalkan cara hidup kita yang lama, dan mengenakan cara hidup yang baru.  Penting bagi kita untuk menanggalkan manusia lama, dan mengenakan manusia baru.

Penjelasan
Nah Saudara, hal inilah yang juga disampaikan oleh Paulus dalam surat Efesus ini.  Saudara, jika kita menghubungkan perikop ini dengan bagian pembukaan pasal 4, di sana Paulus mengatakan bahwa, “aku menasihatkan kamu . . . supaya hidupmu berpadanan dengan panggilan itu.”  Dan dalam ayat 17-32 di tekankan lebih lanjut tentang hidup yang berpadanan dengan panggilan Allah.  Karena itu ia menulis di ayat 17,  “sebab itu, kukatakan dan kutegaskan agar jangan hidup lagi sama seperti orang yang tidak mengenal Allah.”
Siapakah figur orang yang tidak mengenal Allah ini?  Paulus mendeskripsikan mereka di ayat 17-19 sebagai orang yang memiliki pikiran yang sia-sia, hati yang gelap, jauh dari Allah, bodoh dan degil, sehingga mereka menyerahkan dirinya kepada hawa nafsu dan berbuat segala kecemaran.  Paulus menggunakan istilah pleonexia yang diterjemahkan oleh LAI sebagai hawa nafsu.  Istilah ini dalam pengertian aslinya menggambarkan sifat rakus, tidak pernah puas, tamak, iri hati.  Dengan kata lain, istilah ini dapat diartikan sebagai nafsu serakah yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan diri sendiri;  nafsu yang tidak terkendali untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya; dan hal ini muncul melalui
berbagai tindakan seperti mencuri, memaksakan kehendak, penipuan, pertengkaran, ataupun berbagai rupa-rupa percabulan.  Mereka inilah yang disebut oleh Paulus di ayat 22 sebagai manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan.  Jadi manusia lama itu terlihat dengan jelas sebagai mereka yang hidup dengan hawa nafsunya, yang melakukan segala macam perbuatan cemar.
Dengan menunjuk pada figur manusia lama itulah, Paulus mengingatkan orang percaya akan identitas mereka sebagai orang-orang yang telah mengenal Allah.  Paulus mengatakan di ayat 20-21, “tetapi kamu bukanlah demikian.  Kamu telah belajar mengenal Kristus, mendengar tentang Dia, dan menerima pengajaran dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus.”  Paulus mengingatkan bahwa merekalah orang-orang yang telah mendapat anugerah Allah, mereka yang dulu berjalan dalam kecemaran dan hawa nafsu menuju kebinasaan itu, ditarik keluar oleh Allah.  Kepada mereka inilah, Paulus mengingatkan mereka agar mereka tidak menjadi sama dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah.  Di ayat 22-24 dikatakan: “kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan,  supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
Saudara, konsep manusia lama – manusia baru ini merupakan salah satu tema penting dalam teologi Paulus.  Roma 6:6  mengatakan bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.  Sementara Galatia 3:27 mengatakan bahwa identitas anak-anak Allah adalah mengenakan Kristus.  Mengenai hal ini, Thomas Schreiner menyebutkan bahwa  orang percaya dimampukan untuk melepaskan manusia lama, yaitu natur Adam yang pertama, yang telah mati melalui kematian Adam kedua di kayu salib; demikian juga orang percaya dimampukan untuk mengenakan manusia baru, Adam kedua, melalui kebangkitan Kristus.
Konsep ini semakin jelas ketika kita mencoba menyimak paralelisme bagian ini dengan tulisan Paulus yang lain, dalam Kolose 3:9-10.



Kolose 3:9-10
Efesus 4:22-24

3:9
ἀποθέσθαι . . .  τὸν παλαιὸν ἄνθρωπον
4:22
ἀπεκδυσάμενοι τὸν παλαιὸν ἄνθρωπον
telah menanggalkan manusia lama
3:10
ἐνδυσάμενοι τὸν νέον
4:24
ἐνδύσασθαι τὸν καινὸν ἄνθρωπον
telah mengenakan manusia baru
3:10
τὸν ἀνακαινούμενον εἰς ἐπίγνωσιν
4:23
ἀνανεοῦσθαι δὲ τῷ πνεύματι τοῦ νοὸς ὑμῶν
terus-menerus diperbaharui

Kata kerja yang digunakan oleh kedua bagian ini, yakni apothesthai-apekdusamenoi dan endusamenoi-endusasthai menggunakan tense aorist, yang berarti bahwa hal tersebut telah terjadi satu kali di masa lampau, dan efeknya berlangsung hingga kini.  Artinya, ketika seseorang mengenal Kristus, maka ia telah menanggalkan manusia lama, dan pada saat itu telah mengenakan manusia baru, yaitu Kristus.  Namun kondisi ini tidak berhenti di situ saja; Paulus memakai istilah anakainoumenon dan ananeousthai yang menggunakan tense present passive, yang sama-sama dapat diartikan dengan makna terus-menerus diperbaharui.  Hal ini menunjukkan bahwa pembaharuan, atau pengudusan orang percaya itu merupakan karya Roh Kudus yang memampukan orang percaya agar terus-menerus diperbaharui.  Dengan kata lain, perubahan status manusia lama menjadi manusia baru itu terjadi satu kali saja, namun pembaharuan hidup orang percaya itu terjadi terus-menerus.
Suatu pertanyaan mungkin timbul dalam pikiran kita, “Diperbaharui dalam hal apa?”  Di ayat 23 Paulus menggunakan istilah to pneumati tou noos humon yang secara literal diterjemahkan sebagai the spirit of your mind, atau roh dari akal budimu.  Istilah ini dapat kita mengerti dengan lebih jelas apabila kita melihat karakteristik gaya penulisan surat zaman itu yang menggabungkan dua kata sinonim, sehingga istilah ini sebenarnya dapat diartikan sebagai bagian “inner,” di dalam manusia.  Jika kita bandingkan dengan tulisan Paulus di Roma 12:2, maka di situ Paulus menasihatkan jemaat Roma agar berubah oleh pembaharuan budi, noos.  Sementara itu ayat serupa di Kolose 3:10, Paulus menjelaskan perubahan terus-menerus itu agar orang percaya dapat memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.  Dengan demikian, jelaslah bahwa pembaharuan yang terjadi dalam orang percaya adalah pembaharuan akal budi atau pikiran seseorang yang semakin serupa Kristus.
Karena itu, Paulus menyadari, bahwa tanda seseorang mengenakan manusia baru itu terlihat dari perubahan akal budi/pola pikir yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga nampak dari perilaku orang tersebut.  Sehingga di ayat 25-32, Paulus menjabarkan serangkaian nasihat praktis sebagai wujud orang yang mengenakan manusia baru.


Larangan
Nasihat
Alasan
4:25
Kebohongan
Mengatakan kebenaran
Sesama anggota
4:26-27
Amarah berkepanjangan
Penyelesaian konflik dan amarah
Mencegah iblis mengambil kesempatan
4:28
Mencuri
Bekerja sendiri
Membagikan sesuatu kepada yang berkekurangan
4:29-30
Perkataan kotor
Pakai perkataan yang membangun
Membagikan kasih karunia pada orang lain; tidak mendukakan Roh Kudus.
4:31-32
Kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah, kejahatan
Ramah terhadap yang lain, penuh kasih mesra, saling mengampuni
Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita

Yang menarik bahwa dalam bagian ini Paulus tidak hanya sekadar memberikan nasihat, namun ia juga memberikan alasan mengapa hal tersebut harus dilakukan.  Jelas sekali hal ini berhubungan dengan argumen Paulus sebelumnya, bahwa Roh Kudus berkarya membaharui akal budi orang percaya secara terus-menerus; pembaharuan akal budi menghasilkan praksis yang benar.
Secara singkat Saudara, pada perikop ini Paulus menegaskan bagi orang percaya, agar mereka tidak lagi hidup sama seperti orang yang tidak mengenal Allah.  Mereka itulah orang-orang yang disebut sebagai manusia lama, yang akan binasa karena hidup menurut hawa nafsu mereka.  Oleh karya Kristus, orang percaya telah dimampukan untuk menanggalkan manusia lama itu, dan mengenakan manusia baru.  Dan dalam kemanusiaan yang baru itulah,  akal budi/pola pikir orang percaya terus-menerus diperbaharui oleh Roh Kudus.  Sehingga melalui pola pikir yang diperbaharui itulah, muncul praksis yang benar; yakni perilaku manusia baru.  Menanggalkan perbuatan-perbuatan manusia lama yang penuh dengan hawa nafsu, dan mengenakan manusia baru yang semakin serupa Kristus.

Ilustrasi
Saudara, suatu kali sementara makan bersama, seorang adik tingkat mengeluh, “Aduuhh...yak opo yo carane bagi waktu?  Tugas-tugas durung mari, belom pertemuan ini itu, eh bajuku wes numpuk pula.”  Saudara, saya pikir keluhan sang adik tingkat ini sangat manusiawi.  Di tengah kepadatan jadwal di seminari tersebut, masuk akal jika untuk mata kuliah cuci baju ini pun perlu di-manage dengan baik.  Bayangkan saja saudara, untuk mencuci baju yang telah menumpuk selama seminggu, dibutuhkan waktu merendam, mengucek, serta membilas yang tidak sedikit; bahkan ada yang suka merendam semalaman.  Tak hanya itu, perlu waktu untuk menjemur dan menyetrika.  Setidaknya Saudara, mata kuliah cucilogi ini memakan waktu 2 SKS, 50 menit untuk rendam, kucek dan bilas, 50 menit untuk proses jemur dan setrika.  Tidak heran Saudara, ada beberapa mahasiswa yang telah berhasil menemukan cara kreatif untuk menyasati mata kuliah ini, yakni dengan menggunakan filsafat rotasisisme.  Filsafat ini membantu sekali dalam mengurangi jumlah baju yang dipakai.  Jumlah baju yang seharusnya sejumlah 6 hari, dapat diminimalkan hingga setengahnya.  Saudara mau tahu bagaimana caranya?  Baju kuliah hari Senin “didaur-ulang” untuk hari Kamis, Selasa untuk hari Jumat, dan Rabu untuk hari Sabtu.  Tentu kesan yang ditampilkan adalah baju yang dipakai itu berganti-ganti, namun kalau diperhatikan, selama seminggu hanya ada 3 baju kuliah.  Ramah lingkungan Saudara.
Saudara, filsafat rotasisisme ini mungkin menggelikan bagi sebagian kita, namun tidak sedikit juga di antara kita yang “rada jijik” dengan filsafat ini. Memang standar setiap orang berbeda, namun saya yakin bahwa untuk memakai baju yang sama selama seminggu saja, adalah sebuah ketidak-wajaran. 

Aplikasi
Saudara, kita semua sadar, tidak seharusnya seseorang mengenakan baju yang lama terus-menerus, ia harus menggantinya dengan yang baju yang baru.  Namun ketika memaknai perikop ini, saya menjadi tertegun; ternyata saya lebih “jijik” untuk memakai baju yang lama terus-menerus, namun saya kurang merasa “terganggu” dengan memakai “baju” perilaku yang lama terus-menerus.  Ya Saudara, agaknya kita perlu kembali menyelidiki “baju” perilaku yang selama ini kita kenakan, jangan-jangan “baju” perilaku kita itu adalah “baju’ yang lama. 
Mungkin kita familiar ketika berbicara mengenai Allah, iman, maupun kekristenan, namun kita sebenarnya berada di titik rawan; rawan ketika iman maupun pengetahuan akan Allah itu hanya berada pada level konsep, wacana, maupun doktrin belaka.  Mungkin kita fasih dalam berteologi, namun di sisi lain, mungkin kita gagap dalam bertindak, gagap ketika cara hidup kita dilihat.  Mungkin, sadar atau tidak sadar kita terhanyut dalam perkataan atau perbincangan yang sia-sia, gosip, atau malah cenderung menjelek-jelekkan orang lain, istilahnya pembunuhan karakter orang lain.  Mungkin kita menjadi orang yang dengan mudahnya mengikuti amarah kita, bahkan menyimpan kesalahan orang lain dengan begitu mendalam.   
Mungkin kita adalah orang-orang yang terusik ketika melihat rekan kita mampu lebih pandai, lebih mampu daripada kita.  Iri hati ketika rekan kita “lebih diberkati” daripada kita.  Mungkin demi kepentingan diri kita sendiri, kita memilih untuk memelintir kebenaran, kompromi demi memuaskan hawa nafsu kita.  Kita lebih suka dilayani, meskipun sudah seharusnya kita melayani.  Kita lebih mengutamakan kepentingan diri kita sendiri, daripada menaruh perhatian terhadap kepentingan orang lain.  Atau mungkin juga, kita terlihat baik di luar, namun kita malu kalau cara hidup kita yang selama ini tersembunyi itu diketahui orang lain.  Kita tertunduk malu, karena kita sadar, ternyata kita masih mengenakan baju yang lama, yakni manusia lama itu.
Saudara, mari kita tunduk sejenak di hadapan Tuhan.  Mari kita merenungkan kembali makna penebusan Kristus dalam hidup kita ketika Engkau dan saya bertemu dengan anugerah Allah itu.  Kita yang seharusnya binasa, tenggelam dalam lumpur dosa itu, ditebus dengan darah-Nya yang kudus.  Ia memilih untuk memikul cela dan malu kita, supaya kita menjadi umat kesayangan-Nya, umat yang kudus, milik kepunyaan Allah sendiri.  Kita yang dulunya berjalan dalam kecemaran dan kesia-siaan, telah dimampukan untuk berjalan dalam kebenaran dan kekudusan.  Kita yang seharusnya tak dapat memilih yang apa yang benar, kini diperbaharui sehingga kita dapat memilih apa yang menyenangkan Dia.

Penutup
Saudara, untuk apa kita tinggal dalam cara hidup manusia lama?  Untuk apa kita berkubang dalam cara hidup yang sia-sia itu?  Buatlah keputusan hari ini, dan tinggalkan semua cara hidupmu yang lama.  Masuklah dalam  penyerahan yang penuh pada Roh Kudus, dan izinkan Dia memperbaharui hati dan pikiran kita, sehingga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang berkenan di hadapan-Nya.  Menjadi hamba yang dipakai dan diperkenan oleh Allah.  Kiranya Roh Kudus senantiasa menolong dan memampukan kita semua. 


Amin


1 komentar:

  1. Pak Pendeta, dan Mas Andrey, mohon ijin copas tulisan ini, untuk dipakai sbg bahan renungan di ibadah kelompok rumah tangga gereja saya.
    Salam Jens, Gereja GMIST

    BalasHapus