Jujurkah Kita? Oleh Rini Anggraini Pendahuluan Saudara-Saudara, kejujuran tampaknya telah menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan kita dewasa ini. Mulai dari pengemis jalanan yang pura-pura sakit, pedagang yang mengurangi timbangan, pelaku bisnis yang main curang, produsen iklan yang menggunakan trik untuk menipu konsumen, hingga para koruptor dari kelas teri maupun kelas kakap, rasanya cukup dapat menjadi gambaran nyata bahwa nilai-nilai kejujuran itu memang sudah pudar. Karena itu, tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang wartawan sebuah surat kabar, “Ketidakjujuran tampaknya sudah menjadi suatu kebiasaan yang sangat umum dalam masyarakat kita. Terkadang ketidakjujuran itu dilakukan karena dianggap sebagai alasan yang terbaik. Namun, ketidakjujuran juga tidak jarang dilakukan hanya demi keuntungan pribadi, secara khusus untuk memudahkan usaha-usaha yang berkaitan dengan hubungan-hubungan sosial maupun bisnis.” Saudara, pada suatu siang ada seorang salesman obat mengetuk pintu sebuah rumah tua yang penghuninya miskin. Setelah wanita pemilik rumah ini mengintip siapa yang datang, ia segera berkata kepada anak laki-lakinya yang masih kecil, “Nak, ayo cepat bukakan pintu dan katakan pada salesman tersebut bahwa ibu sedang mandi.” Sang anak pun segera berlari ke depan dan setelah membukakan pintu ia berkata, “Pak, tadi ibu saya berpesan dari ruang tamu katanya ia sedang mandi.” Saudara, kejadian sepele seperti di atas tentu bukanlah hal yang asing lagi di telinga kita, atau bahkan hal seperti itu telah menjadi bagian yang kita lakukan sehari-hari. Kita juga sering ikut tergelincir dalam praktik-praktik ketidakjujuran, baik dalam perkara-perkara yang besar maupun sekedar mengatakan dusta-dusta kecil, dusta-dusta untuk menjaga kesopanan, mengatakan kejujuran yang setengah benar saja, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang serupa? Saudara, kejujuran memang barang langka yang sukar ditemui dalam masyarakat kini. Penjelasan “Sebenarnya apa seh yang dimaksud dengan kejujuran itu? Kejujuran, seperti yang diuraikan dalam Alkitab, sesungguhnya memiliki makna yang luas. Mari kita sama-sama membuka Titus 2:7-8, “Jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.” Selain itu mari kita kembali membuka 2Korintus 8:21. SS, ketika Paulus menuliskan tentang komitmennya untuk mengurus dengan jujur uang yang diberikan orang-orang percaya guna membantu orang-orang yang kekurangan, dia berkata begini: “Karena kami memikirkan yang baik, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia.” Dari sini kita melihat bahwa kejujuran itu sesungguhnya bukan hanya berbicara mengenai pemakaian lidah untuk berkata kebenaran, tetapi melibatkan juga cara hidup serta pola pemikiran yang benar sehingga dapat menghasilkan gaya hidup yang patut dipuji dan dihormati. Kejujuran itu harus meliputi cara hidup kita seluruhnya, yaitu seluruh pembicaraan, pikiran, motivasi, serta tindakan kita; baik ketika kita sedang sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain. Melalui pengertian tersebut kita harus menyadari bahwa standar kejujuran yang Allah berikan jelas tidak sama dengan standar kejujuran yang dunia tawarkan. Bagi dunia, kejujuran itu hanya bersifat relatif dan tergantung pada situasi. Apa yang benar dalam satu situasi belum tentu benar di dalam situasi lain. Akibatnya, tidak ada standar kejujuran yang absolut. Terkadang dunia juga sering menyamakan kejujuran dengan hukum. Mereka mengatakan bahwa apa saja yang diperbolehkan di dalam hukum yang tertulis dari negara adalah jujur. Jika hukum tidak menyebutkan bahwa suatu tindakan itu adalah benar atau salah, maka mereka akan menganggap bahwa hal tersebut benar. Karena itu tidak heran bila ada banyak orang-orang yang melakukan praktek ketidakjujuran namun tetap dapat berkata, “Loh memangnya kenapa kalau aku melakukan ini? Toh tidak ada hukum yang melarang!” Ada pula orang-orang yang menilai kejujuran itu sebagai persoalan hati nurani dari setiap orang. Mereka berpendapat bahwa mematuhi hukum-hukum yang berlaku itu hanya dilakukan agar tidak memperoleh hukuman saja. Jadi sesungguhnya, hukum yang sebenarnya itu ada di dalam diri seseorang. Tidak ada tindakan yang benar-benar salah sehingga apapun boleh diperbuat dan sama sekali tidak dinyatakan salah, kecuali hal tersebut melanggar hati nuraninya. Saudara, itulah nilai-nilai kejujuran yang dunia tawarkan saat ini. Semuanya sangatlah subyektif dan tidak memiliki standar yang pasti. Namun tidak demikian dengan Alkitab, Bagi Allah, kejujuran adalah sesuatu yang mutlak dan harus dilakukan dalam seluruh aspek hidup kita. Kejujuran itu bukan sekedar apa yang kita katakan dan kita perbuat, namun menyangkut seluruh motivasi, pikiran, serta hati kita. Kejujuran itu bukan sekedar dilakukan dalam perkara-perkara besar, namun menyangkut pula perkara-perkara kecil yang mungkin kita anggap remeh. Dan kejujuran itu pun bukan sekedar dilakukan untuk kepentingan diri, namun menyangkut tanggung jawab kita juga kepada Allah dan sesama. Ilustrasi Di dalam bukunya, seorang musisi bernama Don Wyrtzen menceritakan bagaimana ayahnya, Jack Wyrtzen, pendiri Word of Life, mengajarnya secara keras tentang kejujuran. Dikisahkan bawa saat itu Don menghadiri KKR ayahnya di New York’s Time Square. Suatu kali ia dan temannya yang bernama Jimmy memutuskan untuk naik kereta bawah tanah. Alih-alih membeli tiket seharga 15 sen dolar, mereka memutuskan untuk merangkak saja di bawah pintu pagar putar. Malam itu, ia dan Jimmy menyombongkan kepandaian mereka sehingga dapat naik kereta keliling New York tanpa membayar apa pun. Namun, sang ayah justru menanggapi hal itu dengan sangat serius. Sang ayah mengatakan pada mereka bahwa tindakan tersebut adalah kecurangan dan Allah sangat membencinya. Kemudian ia pun dipaksa oleh ayahnya untuk menulis sepucuk surat ke New York City Port of Authority dan meminta maaf kepada mereka serta melampirkan uang untuk membayar tiket. Saudara, bagi sang ayah kejujuran adalah perkara yang sangat serius di mata Allah dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengajari anaknya mengenai hal ini. Aplikasi Lalu bagaimana dengan setiap kita? Apakah kita pun menyadari bahwa kejujuran adalah suatu hal yang sangat dituntut Allah dalam kehidupan orang percaya? Penjelasan lebih lanjut Saudara, berulang kali Alkitab menegaskan pada kita bahwa sifat hakiki Allah adalah kebenaran. Dalam Yesaya 65:16 dan Mazmur 31:6 dikatakan bahwa Ia adalah Allah yang Benar; Mazmur 119:16 dan Yohanes 17:17 juga mengatakan bahwa Ia adalah Firman yang Benar; kemudian Yohanes 16:13 pun berkata hal yang serupa bahwa Ia adalah Roh yang Benar. Jadi, Allah yang kita miliki sesungguhnya adalah Allah yang Benar, dapat diandalkan, setia, serta dapat dipercaya di dalam memelihara komitmen-komitmen-Nya. Oleh karena itulah, Allah sangat membenci, bahkan mengutuki ketidakjujuran di dalam segala bentuknya. Ketidakjujuran merupakan kekejian bagi-Nya karena itu adalah milik Si Jahat. Yohanes 8:44 mengatakan bahwa iblis adalah pendusta dan bapa dari segala pendusta. Jadi pada saat kita melakukan ketidakjujuran, sesungguhnya kita sedang mengikuti pola hidup iblis dan menempatkan diri untuk menjadi musuh Allah. Apakah Saudara ingat akan kisah Ananias dan Safira? Suami istri ini menjual sebidang tanah kemudian menyimpan sebagian uangnya untuk mereka sendiri serta membawa sisanya kepada rasul sebagai persembahan. Mereka tidak berdosa karena mereka memberi sebagian hasil penjualan tanah mereka, namun mereka jatuh dalam dosa ketika berusaha membuat orang lain percaya bahwa mereka telah memberikan seluruh uangnya bagi Tuhan. Dan akibat perbuatan tersebut, Allah menghukum mati Ananias dan Safira saat itu juga. Saudara, di sini kita menyaksikan bahwa Allah sangat membenci ketidakjujuran, bahkan yang sekecil apapun bentuknya. Ia menindak pelanggaran tersebut dengan begitu keras. Karenanya, Saudara, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa saat ini Allah tidak akan keberatan bila kita bersikap tidak jujur. Seharusnya kisah tersebut dapat menjadi warning bagi kita bahwa Allah sangat concern akan masalah kejujuran. Ia menuntut agar setiap orang percaya dapat mempraktikkan kejujuran ini secara konsisten, di mana pun dan kapan pun, baik ketika sedang sendiri maupun saat berhadapan dengan orang lain. Saudara-Saudara, seharusnya sebagai orang percaya kita dapat menyadari kembali dengan sungguh-sungguh apa peran kita yang sebenarnya di tengah dunia ini. Dalam Efesus 5:8-11, Paulus pun menjelaskan hal ini secara tegas, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.” Di sini Paulus mencoba menegaskan bahwa kehidupan orang percaya tidaklah boleh sama seperti dahulu. Allah telah menebus kita dari cara hidup kita yang lama sehingga kehidupan kita saat ini haruslah berpadanan dengan status kita yang baru. Yang menarik adalah ketika Paulus mencoba mengontraskan kehidupan orang percaya dan orang yang belum percaya dengan istilah terang dan gelap. Istilah terang di sini sebenarnya merupakan penggambaran Paulus akan terang yang telah dibawa oleh Yesus Kristus ke dalam hidup orang-orang percaya. Rupanya ada tiga hal yang ingin Paulus tekankan mengenai istilah “terang” tersebut. Pertama, terang akan menghasilkan buah-buah yang baik, yaitu kebajikan, keadilan, dan kebenaran. Kedua, terang memampukan orang-orang percaya untuk membedakan apa yang membawa sukacita dan dukacita bagi Allah. Dan yang ketiga, terang itu akan membuka tabir dari setiap kejahatan. Saudara, seharusnya kebenaran ini dapat menyadarkan setiap kita bahwa inilah peran yang harus kita jalani sebagai orang percaya. Sesungguhnya Allah telah memampukan sekaligus menuntut kita untuk menjadi terang di tengah-tengah dunia yang gelap ini, dan salah satunya adalah melalui kehidupan yang jujur. Allah ingin agar kejujuran itu bukan hanya sekedar sesuatu yang kita ketahui atau percayai, namun dapat menjadi gaya hidup setiap kita sehingga orang lain pun dapat melihat perbedaan tersebut. Ilustrasi Saudara, suatu hari saya mendengar sebuah kesaksian yang menarik dari seorang pemuda Kristen yang baru saja lahir baru. Pemuda itu menceritakan tentang pengalamannya ketika pergi berbelanja ke sebuah supermarket. Diceritakan bahwa setelah selesai berbelanja dan membayar, ia pun bergegas kembali ke mobil sambil mendorong kereta belanjaannya. Saat ia sedang memasukkan barang-barang belanjaannya, ia rupanya menemukan ada sebuah kartu ucapan yang terselip di bawah kereta belanjaan tersebut dan belum sempat ia bayarkan. Spontan saja ia bergegas masuk lagi ke toko, mengantri, dan meminta maaf pada kasir. Saat kasir tersebut sedang membungkus kartunya, seorang ibu yang berada di belakangnya tampak tercengang sambil berkata pelan, “Ya ampun Dik, itu kan cuma sebuah kartu ucapan! Siapa juga yang tahu? Enggak usah kembali!” Saudara, kemudian pemuda tersebut bercerita bahwa selama beberapa detik ia hanya bisa terdiam tanpa tahu harus berkata apa. Namun, tak lama kemudian ia berhasil mendapatkan jawaban yang tepat untuk ibu tersebut, “Bu, seandainya ibu kehilangan dompet,” katanya sambil tersenyum, “Saya yakin ibu berharap dompet itu ditemukan oleh orang konyol seperti saya, bukan?” Aplikasi Saudara, saat ini dunia sangat membutuhkan orang-orang yang jujur. Dan kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melakukannya? Setiap kita dipanggil bukan untuk menjadi serupa dengan dunia ini, namun untuk membawa terang, sehingga orang-orang dapat melihat perbedaan di dalam diri kita. Mungkin tindakan kita memang tidak akan bisa menghentikan praktik-praktik ketidakjujuran yang ada di dalam dunia ini, namun setidaknya kita telah belajar untuk menetapkan standar kejujuran tersebut pada diri kita sendiri. Setelah itu, kita akan bisa melanjutkannya pula dalam keluarga kita, tempat kerja, bahkan lingkungan sekitar kita. Penutup Percayalah Saudara apa yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia karena Allah sangat menghargai setiap usaha kita dalam menerapkan kejujuran. Ada kemungkinan bahwa dalam perjalanannya, setiap kita akan mengalami begitu banyak masalah, seperti kehilangan pekerjaan, diejek, dijauhi, dan banyak tantangan-tantangan berat lain yang dapat saja kita hadapi. Namun percayalah, Allah sendiri yang akan menjadi pembela kita. Kita tidak perlu takut, sebab hidup kita ada di tangan-Nya. Yang terpenting Saudara, teruslah hidup dalam kejujuran dan jangan menyerah! Lihatlah bagaimana Allah akan berkarya melalui kehidupan kita. Amin. |
Blog ini dipersembahkan kepada setiap hamba Tuhan yang rindu untuk meningkatkan pelayanannya dalam berkhotbah. Kerinduan tsb mempunyai tujuan akhir yang pasti, yaitu hadirnya kemuliaan Tuhan dalam khotbah-khotbahnya sehingga mentransformasi setiap pendengarnya.
20 Juli 2011
Khotbah Eks. Topikal: Kejujuran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar