31 Mei 2011

Khotbah Yunus 3:10-4:11

Mengasihi Orang-Orang yang Dianggap Tidak Layak

Oleh Spridel Hae Tada



Pendahuluan
          Saudara-saudara, pada bulan Juli tahun 2008, ada suatu peristiwa eksekusi bagi dua orang terpidana mati yang bernama Sumiarsih dan Sugeng.  Mereka ini adalah pelaku pembunuhan terhadap 5 orang anggota keluarga Purwanto pada tahun 1988 di Surabaya.  Pembunuhan yang dilatar belakangi oleh masalah utang-piutang ini sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan!  Itulah sebabnya, kedua tersangka ini divonis hukuman mati dan baru dieksekusi setelah mereka di penjara selama 20 tahun.  Dengan demikian, inilah hukuman yang dianggap setimpal dengan kejahatan mereka.  Bahkan, permohonan grasi mereka terus-menerus ditolak oleh presiden.  Dan mungkin eksekusi ini adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh pihak keluarga korban.
          Saudara-saudara, kedua pelaku pembunuhan ini sulit sekali untuk diampuni secara hukum.  Namun, tahukah saudara bahwa ibu Sumiarsih ini justru mendapatkan pengampunan yang sesungguhnya ketika ia berada dalam penjara?  Ibu Sumiarsih bertobat saat ia berada di penjara.  Ibu Sumiarsih ini dianggap tidak layak untuk mendapatkan pengampunan dari hukum manusia, namun ia telah beroleh pengampunan dari Allah.  Orang seperti ibu Sumiarsih ini dianggap tidak layak untuk dikasihi oleh siapapun.  Namun ternyata Allah mengasihi orang seperti ini sehingga Allah mengampuni dosa-dosanya. 
          Saudara-saudara, biasanya cukup mudah bagi kita untuk mengasihi orang-orang yang baik kepada kita.  Sebaliknya, kita akan cukup sulit untuk mengasihi orang-orang yang berbuat jahat atau yang menyakiti kita.  Orang-orang seperti ini dinilai tidak layak untuk kita kasihi.  Mungkin kita berkata: “Ngapain saya mengasihi dia, dia kan jahat sama saya!”  Saudara, kita tidak boleh lupa bahwa sesungguhnya mengasihi orang-orang yang dianggap tidak layak untuk dikasihi adalah sesuatu yang harus kita lakukan sebagai orang percaya.  Saudara-saudara, harus diakui bahwa hal ini seringkali tidak mudah untuk dilakukan.  Hal ini juga yang dialami oleh nabi Yunus dalam perikop yang kita baca ini.

I. Kemarahan Yunus atas tindakan Allah yang mengampuni orang-orang Niniwe (3:10-4:5) (Tidak disebutkan)

Penjelasan
          Ketika Yunus pergi ke Niniwe, ia berseru: “40 hari lagi Niniwe akan ditunggangbalikkan!”  Mendengar berita itu orang-orang Niniwe begitu terkejut dan ketakutan.  Itu artinya akan ada malapetaka besar yang akan membinasakan mereka.  Setelah itu, mulai dari rakyat jelata sampai raja Niniwe mulai bepuasa.  Mereka menyatakan mau berbalik dari segala kejahatan mereka.  Para prajurit mungkin berjanji bahwa mereka tidak akan lagi menyiksa tawanan perang dengan sangat kejam.  Atau seluruh rakyat mungkin berjanji bahwa mereka tidak akan lagi menyembah berhala.  Ketika Allah melihat respons mereka, Allah yang penuh kasih itu menunjukkan belas kasihan-Nya.  Allah membatalkan hukuman dan mengampuni dosa mereka. 
          Yunus tidak senang ketika ia melihat pengampunan Allah bagi orang Niniwe.  Dalam hatinya Yunus bertanya-tanya: “Mengapa Yahweh harus mengampuni orang-orang yang jahat itu?  Lalu Yunus merasa kesal sehingga ia marah.  Kemarahan Yunus ini seperti api yang menyala-nyala.
          Kemudian ia berdoa: “Ya TUHAN, aku tahu bahwa Engkau adalah Allah yang pengasih dan penyayang.  Aku tahu bahwa Engkau mengasihi umat-Mu.”  Yunus tahu benar siapa Allah yang ia layani.  Lalu apa masalahnya?  Kemudian Yunus berkata lagi: “Mengapa sekarang Engkau juga menunjukkan kasih-Mu kepada orang-orang Niniwe itu?  Mereka itu tidak pantas dikasihani, seharusnya mereka dihukum karena kejahatan mereka!  Aku tidak ingin melihat mereka diperlakukan sama seperti Engkau memperlakukan umat-Mu.  Kalau begini jadinya, lebih baik aku mati daripada hidup!”
          Setelah itu, Allah kemudian bertanya kepada Yunus: “Layakkah engkau marah?”  Yunus tidak menjawab pertanyaan Allah.  Mungkin Yunus merasa dia berhak marah kepada Allah karena menurutnya Allah telah salah bertindak.  Namun sebenarnya Yunus tidak mempunyai hak untuk marah.  Kalau Yahweh adalah Allah yang pengampun dan Yunus hanyalah hamba-Nya, apa haknya untuk marah terhadap tindakan Allah? 

Ilustrasi
       Saudara, pada waktu SMP, saya mempunyai seorang teman yang menganggap saya ini sebagai saingannya dalam hal akademis.  Pada saat kelas 3 kami mengikuti tes beasiswa.  Singkat cerita saya mendapatkan beasiswa itu sedangkan dia gagal.  Kemudian untuk menutupi rasa malunya, teman saya ini akhirnya menyebarkan suatu berita bahwa saya bisa memperoleh beasiswa itu karena “belas kasihannya.”  Ia mengatakan bahwa sebenarnya dialah yang lulus tes beasiswa sedangkan saya gagal.  Keluarganya tidak mengizinkannya untuk sekolah di Surabaya, sehingga dia memberikan haknya itu kepada saya.  Ia juga menyebabkan terputusnya kerjasama antara pemberi beasiswa saya dengan lembaga yang membantu proses seleksi beasiswa di kota kami. 
          Ketika menjelang lulus SMA, saya mendengar bahwa teman saya inipun berhasil mendapatkan beasiswa di kampus yang sama dengan saya.  Saya juga mendengar bahwa ia telah bertobat ketika SMA.  Saya bertanya-tanya kepada Tuhan: “Kok bisa dia bertobat?”  Atau “Mengapa dia memperoleh berkat yang sama dengan saya?”  Saya memaknai beasiswa ini sebagai anugerah Tuhan, tetapi “Mengapa Tuhan juga memberikan anugerah yang sama kepada dia?”  Tanpa saya sadari, saya sudah protes terhadap kasih Tuhan yang telah mengampuni dosa teman saya.  Saya juga protes karena Tuhan memberikan beasiswa yang sama kepada teman saya.  Sesungguhnya saya tidak berhak sama sekali untuk komplain kepada Tuhan atas segala kebaikan dan kasih Tuhan kepada teman saya.  Seharusnya saya bersyukur bahwa akhirnya teman saya ini bertobat dan memperoleh beasiswa seperti saya.

Aplikasi
          Saudara-saudara, pernahkah kita protes kepada Tuhan karena Ia juga mengasihi orang-orang jahat, musuh-musuh kita, atau orang-orang yang telah menyakiti kita?  Atau setidaknya pernahkah kita bertanya: “Mengapa Tuhan memberkati dia?”  Atau “Mengapa Tuhan baik sama dia?”  Tanpa kita sadari, dibalik pertanyaan ini terkandung makna bahwa kita sudah melakukan penilaian pantas atau tidaknya seseorang menerima kasih Tuhan! 
          Sebagai anak-anak Tuhan, mungkin kita merasa bahwa wajar jika Tuhan mengampuni dosa atau memberkati kita.  Namun ternyata Tuhan mengasihi orang lain juga.  Bagaimana respons kita?  Apakah kita akan bersyukur?  Atau sebaliknya kita protes karena merasa orang-orang itu tidak pantas mendapat kasih Allah?  Jangan lupa saudara, bahwa Tuhan berhak melakukan apapun yang Ia kehendaki.  Dengan demikian kita tidak berhak marah, protes, atau mempertanyakan kasih Tuhan yang diberikan kepada orang lain!
Saudara-saudara, lalu apa yang terjadi dengan Yunus selanjutnya?

II. Pelajaran dari Allah bagi Yunus (ay 6-11) (Tidak disebutkan)

Penjelasan
Yunus tidak tahu bahwa Allah, Sang Pencipta sedang mempersiapkan suatu pelajaran bagi dirinya.  Allah akan memakai ciptaannya-Nya supaya Yunus bisa memahami kasih Allah kepada orang Niniwe.  Allah menumbuhkan sebatang pohon jarak di dekat pondoknya.  Yunus terkejut dan sangat gembira melihat ada sebatang pohon jarak yang sangat rindang.  Yunus sudah membayangkan betapa sejuknya ketika ia berada di dalam naungan pohon itu khususnya di siang hari yang sangat panas.
            Keesokan harinya, ternyata ada dua buah kejutan bagi Yunus.  Ketika fajar menyingsing, Allah mengirimkan seekor ulat kecil untuk merusak batang maupun akar pohon itu.  Memang pohon jarak ini tampak kokoh dan sangat rindang.  Namun ternyata pohon ini mudah patah bahkan rusak walaupun oleh kerusakan ringan pada batangnya.  Pada akhirnya daun dan pohon itu layu sebelum matahari terbit. 
Belum hilang rasa terkejut dan kebingungan Yunus, datanglah kejutan berikutnya.  Allah mengirimkan angin timur dari arah gurun.  Angin timur atau sirocco ini terkenal dengan temperatur panasnya yang menyengat.  Sungguh Yunus begitu tersiksa dengan kondisi ini.  Ia menjadi sangat dehidrasi, lemas, dan lesu.  Lalu kemarahan itu berkobar kembali seperti api yang menyala-nyala dalam hati YunusYunus merasa ia tidak sanggup lagi bertahan hidup.  Ia berharap supaya ia mati saja. 
          Pada saat itu, untuk yang kedua kalinya Allah bertanya “Layakkah engkau marah karena pohon jarak itu?  Kali ini dengan sisa-sisa kekuatannya Yunus menjawab: “Selayaknyalah aku marah sampai mati.
            Kemudian Allah berkata kepada Yunus: “Engkau sayang kepada pohon jarak itu, yang untuknya sedikitpun engkau tidak berjerih payah dan yang tidak engkau tumbuhkan, yang tumbuh dalam satu malam dan binasa dalam satu malam pula.  Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?”
          Saudara, memang Alkitab tidak mencatat apa reaksi Yunus terhadap perkataan Allah ini.  Namun tidaklah berlebihan jika kita menduga bahwa perkataan Allah ini seperti anak panah yang menancap tepat di hati Yunus.  Kalau dirinya saja begitu sayang pada pohon jarak, apalagi Allah, Sang Pencipta tentunya lebih lagi menyayangi ciptaan-Nya.  Rupanya Yahweh tidak hanya mengasihi Israel sebagai umat pilihan-Nya, tetapi Ia juga mengasihi semua manusia dari bangsa manapun.
Saudara, bukankah Yesus juga mengasihi semua orang?  Sesungguhnya, tidak ada seorangpun yang layak untuk dikasihi oleh Tuhan Yesus karena semuanya adalah manusia berdosa.  Namun, Ia datang ke dunia ini untuk mencari orang-orang berdosa (Luk. 5:31-32).  Karena kasih-Nya, Yesus rela mati untuk orang-orang yang sebenarnya tidak layak untuk dikasihi ini.  Justru karena ketidaklayakkan itulah maka Ia menganugerahkan kasih-Nya kepada manusia berdosa.  Allah tidak ingin Yunus terjebak dalam pemahamannya yang salah sehingga Allah menggunakan cara yang tepat untuk mengajari hamba-Nya ini.

Ilustrasi
          Saudara, ibu saya meninggal ketika saya berumur 6 tahun.  Dua tahun kemudian ayah saya menikah lagi dan pindah ke kota lain.  Akhirnya saya diasuh oleh kakak sulung saya.  Papa saya lebih memperhatikan keluarga barunya sehingga mau tidak mau kami harus mandiri.  Sejak saat itu, muncullah kekecewaan saya terhadap papa saya.
          Pada saat awal kuliah, papa saya begitu marah kepada kakak sulung saya karena ia menjual sebidang tanah untuk biaya awal kuliah saya.  Peristiwa ini membuat saya semakin kecewa lagi dengan papa saya.  Saya merasa papa saya lebih sayang dengan hartanya daripada saya.  Padahal, sejak saya diasuh kakak saya, papa saya tidak pernah memberikan uang satu rupiah untuk biaya hidup saya.  Namun, perlahan-lahan Tuhan mulai mengingatkan saya supaya saya belajar mengasihi papa saya. 
          Pada bulan Desember 2007, saya bertemu dengan papa saya setelah 7 tahun kami tidak bertemu.  Kemudian, sehari setelah pertemuan itu, papa saya memutuskan untuk pulang.  Hal ini kembali melukai hati saya, karena ternyata papa saya lebih memilih merayakan Natal-tahun baru bersama dengan mama tiri dan saudara-saudara tiri saya daripada dengan anak-anak maupun cucu kandungnya.  Padahal sudah 15 tahun kami tidak pernah merayakan Natal bersama papa.  Rasa kecewa saya yang telah tertimbun bertahun-tahun semakin mendalam.  Saya merasa tidak ada gunanya saya belajar mengasihi papa saya, karena ia sendiri tidak terlalu peduli kepada kami.  Hati saya sudah terlalu sakit sehingga saya tidak bisa memberikan pengampunan kepada papa saya!  Namun, oleh anugerah Tuhan yang perlahan-lahan melembutkan hati saya, akhirnya setelah 2,5 tahun kemudian baru saya bisa mengampuni papa saya.  Tuhan mengajari saya untuk mengasihi seseorang tanpa syarat seperti cara Tuhan mengasihi saya, walaupun orang itu berulang kali menyakiti hati saya.

Aplikasi
          Saudara, Allah rindu supaya kita juga mengasihi orang lain sama seperti cara Dia mengasihi kita.  Kita harus belajar untuk mengasihi orang-orang yang dianggap tidak layak untuk dikasihi.  Pertanyaannya sekarang adalah siapakah orang-orang yang menurut kita tidak pantas untuk kita kasihi?  Mungkin orang itu adalah ayah atau ibu yang kurang bertanggung jawab dan telah menyakiti kita.  Ataukah orangtua yang selalu mengkritik atau memarahi kita ketika kita berbuat salah dan tidak pernah memuji kita kalau kita berprestasi atau berkelakuan baik. Mungkin juga orang itu mantan kekasih atau sahabat yang telah mengkhianati kita. Ataukah orang itu adalah kakak tingkat atau adik tingkat yang pernah menyakiti kita dengan perkataan atau perbuatan mereka. Mungkin orang itu adalah teman kita yang paling menyebalkan!  Saudara, memang hal ini tidak mudah, tetapi marilah kita belajar mengasihi seperti cara Tuhan mengasihi kita.

Penutup
          Saudara-saudara, Allah adalah kasih.  Kasih Allah ini diberikan kepada semua orang.  Ini bukan karena kebaikan kita sehingga kita layak untuk dikasihi-Nya.  Allah berhak menyatakan kasih dan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada siapapun yang Ia kehendaki.  Itulah sebabnya kita tidak berhak protes apalagi marah terhadap kasih Allah yang diberikan kepada orang lain.  Allah juga mau kita mengasihi orang-orang yang kita anggap tidak layak untuk dikasihi.  Mungkin hal ini tidak mudah, tetapi Allah mau mencari orang-orang yang mau meneladani kasih-Nya.  Ia menantang saudara dan saya untuk mengasihi orang-orang yang telah menyakiti kita, musuh kita, bahkan orang-orang yang jahat kepada kita.  Bila kita mau belajar dari Tuhan sendiri bagaimana caranya mengasihi orang-orang seperti itu, maka Roh Kudus sendiri yang akan memampukan kita untuk melakukan hal itu.  Jika kita bisa mengasihi orang-orang yang menurut kita tidak layak untuk dikasihi, maka kasih Allah itu telah nyata di dalam diri kita. 

Amin

30 Mei 2011

Buku "7 Langkah ..." Pengertian Khotbah Ekspositori

(Dikutip dari buku "7 Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan' oleh Benny Solihin)



Sudah tujuh tahun Onesimus melayani Tuhan sebagai pendeta di sebuah gereja dan selama itu hampir setiap minggu ia berkhotbah di gereja yang digembalakannya. Mungkin, buat kebanyakan hamba Tuhan hal seperti itu sangat berat, tetapi tidak bagi Pendeta Onesimus. Pelayanan mimbar baginya merupakan pelayanan yang sangat menyenangkan karena ia merasa bahwa Tuhan memberinya talenta khusus dalam bidang ini. Jemaat pun berpendapat demikian. Karenanya, ia tidak pernah merasa stres dengan tugas berkhotbah setiap minggu, bahkan tidak jarang ia berkhotbah dua tiga kali seminggu dengan khotbah yang berbeda.
 Tetapi akhir-akhir ini, ia merasa bosan dengan pola khotbahnya. Selama tujuh tahun ia telah berkhotbah secara topikal, entah sudah berapa ratus topik ia khotbahkan, atau juga secara tekstual dengan mengangkat satu dua ayat sebagai dasar khotbahnya. Kadang ia ingin berkhotbah secara ekspositori, sayangnya ia sendiri tidak memahami dengan jelas apa khotbah ekspositori itu. Seingat dia, pada waktu di bangku kuliah teologi, dosennya pernah berkata bahwa khotbah dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu khotbah topikal, tekstual, dan khotbah ekspositori. Dua macam khotbah yang pertama itu jelas bagi dia, tetapi yang terakhir masih samar-samar. Hanya kesan dia, khotbah ekspositori itu rumit dan banyak penjelasannya seperti seorang dosen yang mengajar di ruang kuliah. Ia juga telah berusaha membeli beberapa buku dan mencari informasi tentang khotbah ekspositori di internet. Walaupun usaha itu sedikit banyak telah membantu pengertiannya, sejujurnya ia masih bingung dengan arti sebenarnya khotbah ekspositori itu.

Pendefinisian Khotbah Ekspositori
Apa yang dialami oleh Pendeta Onesimus merupakan pengalaman kita bersama. Kita telah mendengar istilah khotbah ekspositori, mungkin, jauh sebelum kita menjadi pengkhotbah. Bahkan kita mungkin juga telah mengikuti pelatihan-pelatihan tentang khotbah ini. Tetapi bila kita diminta untuk
mendefinisikan apakah khotbah ekspositori itu, maka mungkin akan ada keraguan dalam diri kita. Salah satu sebabnya adalah karena khotbah ekspositori oleh para ahli homiletik telah didefinisikan dengan beragam cara menurut sudut pandang dan kriteria masing-masing sehingga tidak jelas definisi mana yang benar. Hal ini juga diamati oleh Harold T. Bryson, seorang profesor khotbah dan direktur dari Institute of Christian Ministry di Mississippi College di Amerika. Namun kemudian, dia dengan cermat mengklasifikasi definisi-definisi yang ada dalam tiga macam pendekatan, yaitu berdasarkan etimologi, morfologi, dan substansi.[1]

Berdasarkan Etimologi.[2]  Menurut Bryson, kata ekspositori mempunyai akar kata expose yang berasal dari kata exposen (Inggris), exposer (Perancis), atau exponere (Latin). Dalam bahasa Latin yang lebih modern (180- 600 M.), pengertian dari exponere berarti “menafsirkan atau menjelaskan.” Berdasarkan pendekatan ini, maka dalam khotbah ekspositori faktor yang dominan adalah penjelasan, sedangkan faktor-faktor lain, seperti pendahuluan, ilustrasi, aplikasi, dan penutup khotbah hanya berfungsi sebagai penopang penjelasan. Pada abad ke-16, John Calvin memahami khotbah ekspositori dengan pengertian ini. Itu sebabnya, pola khotbah Calvin diawali dengan menjelaskan pengertian suatu teks dari ayat ke ayat
kemudian menerapkannya ke dalam kehidupan pendengarnya.[3]

Berdasarkan Morfologi.[4]  Pendekatan ini lebih menekankan definisi khotbah ekspositori berdasarkan bentuk khotbahnya. Menurut Bryson, pendekatan morfologi menghasilkan paling tidak empat macam
pendefinisian, yaitu khotbah ekspositori yang didefinisikan berdasarkan:
(1) Panjang-pendeknya teks yang dikhotbahkan. Dalam pendekatan ini khotbah diklasifikasikan sebagai khotbah topikal, tekstual, dan ekspositori. Salah satu tokohnya adalah Andrew W. Blackwood. Dalam bukunya Expository Preaching for Today, ia mengartikan khotbah ekspositori sebagai khotbah dari teks Alkitab yang panjangnya lebih dari dua atau tiga ayat yang berurutan.[5]  Pendapat ini tampaknya dilatarbelakangi oleh usaha Blackwood untuk membedakan khotbah ekspositori dari khotbah tekstual yang hanya bertumpu pada satu atau dua ayat berurutan dan dari khotbah topikal yang bertumpu pada banyak ayat dari berbagai tempat.
(2) Pengambilan teks secara seri atau berurutan dari satu kitab sebagai dasar khotbah. Beberapa ahli homiletik, seperti William M. Taylor dan F. B. Meyer, memahami khotbah ekspositori sebagai khotbah yang mengkhotbahkan teks-teks Alkitab dalam satu kitab secara berurutan setiap minggunya.
(3) Perlakuan terhadap teks. Ahli homiletik lainnya, seperti Charles W dan Nolan Howington, berpendapat bahwa khotbah ekspositori adalah khotbah yang berpusat pada teks dan setiap poin dan sub-poin dalam kerangkanya diperoleh dari teks yang sedang dikhotbahkan.
(4) Tafsiran yang berjalan. Sebagian ahli homiletik memahami khotbah ekspositori sebagai khotbah yang mempunyai format seperti sebuah buku tafsiran di mana khotbah berjalan dari kata ke kata dan ayat ke ayat tanpa menghiraukan kesatuan amanat, kerangka, dan dorongan persuasif yang ada di dalam teks tersebut. Di dalam sejarah khotbah, beberapa pengkhotbah yang sangat luar biasa, seperti John Chrysostom, Martin Luther, Ulrich Zwingli, dan John Calvin, menggunakan pendekatan ini.[6]

Berdasarkan Substansi. Menurut pendekatan ini bukan etimologi atau morfologi yang penting, melainkan substansi. Substansi dalam khotbah ekpositori adalah bahwa berita khotbah harus bersumber dari amanat teks Alkitab sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulisnya.[7]  John A. Broadus, yang termasuk dalam kelompok ini, mendefinisikan khotbah ekspositori
sebagai:

Khotbah yang terutama diisi atau didominasi dengan eksposisi Alkitab. . . . Teks yang diambil bisa berupa perikop yang panjang, atau yang sangat pendek, bahkan bisa hanya sebagian kalimat. Selain itu bisa juga teks yang diambil berupa satu seri, atau satu bagian yang berdiri sendiri.[8]

Merrill F. Unger dalam bukunya Principles of Expository Preaching mendukung pendekatan substansi. Bagi Unger, kriteria yang menentukan sebuah khotbah dapat digolongkan dalam khotbah ekspositori bukan panjang-pendeknya teks, melainkan cara pengkhotbah menafsirkan teks tersebut. Bila pengkhotbah menafsirkannya sedemikian rupa sehingga ia dapat menemukan makna yang sesungguhnya sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan pendengar masa
kini, maka khotbah tersebut dapat digolongkan sebagai khotbah ekspositori.[9]
John W. R. Stott juga berpandangan yang sama. Dalam bukunya yang klasik, Between Two World, ia menyatakan bahwa dalam khotbah ekspositori,

teks yang dikhotbahkan bisa saja hanya satu ayat, atau satu kalimat, atau bahkan hanya satu kata. Itu tak berbeda dengan satu paragraf, atau satu pasal, atau satu kitab penuh. Panjang-pendeknya teks tidak penting, sejauh teks itu adalah teks Alkitab. Yang penting adalah apa yang kita lakukan dengan teks itu. Entah teks itu panjang atau pendek, tanggung jawab kita sebagai ekspositor adalah mengungkapkannya sedemikian rupa sehingga amanatnya[10] berbicara dengan jelas, apa adanya, akurat, relevan, tanpa tambahan, pengurangan atau perubahan.[11]

Haddon Robinson, dalam bukunya yang sangat populer, yakni Biblical Preaching yang terbit pertama kali pada tahun 1980, berada pada jalur pemikiran yang sama dengan Unger dan Stott. Ia sama sekali tidak melihat khotbah ekspositori dari sudut bentuk (morfologi). Baginya, “khotbah
ekspositori pada hakikatnya adalah lebih berupa suatu filsafat daripada suatu metode.”[12] Karena itu, ia mendefinisikan khotbah ekspositori sebagai:

Khotbah yang “mengkomunikasikan suatu konsep alkitabiah, yang diperoleh dari dan disampaikan melalui penyelidikan historis, gramatikal,  dan kesusastraan suatu teks di dalam konteksnya, di mana Roh Kudus pertama-tama menerapkannya kepada kepribadian dan pengalaman pengkhotbah, kemudian melalui pengkhotbah, menerapkannya kepada para pendengar.”[13]

Pada dasarnya, definisi khotbah ekspositori Robinson, demikian juga Unger dan Stott, menekankan pada cara penafsiran teks yang mengutamakan penemuan amanat yang sebenarnya dari penulis teks. Namun, ia melangkah lebih maju dengan memberi penambahan pada unsur peranan Roh Kudus dan pengkhotbah sebagai pribadi yang pertama-tama harus taat pada kebenaran firman yang ia akan sampaikan dan juga sebagai komunikator yang harus mempersiapkan aplikasi-aplikasi yang sesuai dan mengena kepada para pendengarnya. Belakangan ini, para pakar homiletik lebih cenderung mengakui
pengertian khotbah ekspositori berdasarkan substansi; substansi jauh lebih penting daripada etimologi dan morfologi. Khotbah ekspositori dapat mengambil bentuk yang bermacam-macam, tetapi substansinya tidak boleh berubah.


Unsur-unsur Penting Khotbah Ekspositori
            Pemahaman tentang khotbah ekspositori berdasarkan substansi akan menjadi lebih jelas ketika kita memahami unsur-unsur yang ada di dalam substansinya. Unsur-unsur itu adalah amanat teks, eksegese, dan relevansi.

Amanat teks Alkitab
            Amanat teks Alkitab menjadi dasar satu-satunya berita khotbah. Setiap pengkhotbah wajib memulai khotbahnya dengan membaca teks Alkitab dan dilanjutkan dengan menjelaskan amanat dari teks yang dibacanya. Dengan begitu, dalam persiapannya, seorang pengkhotbah harus mempunyai disiplin yang kuat untuk menjaga agar berita khotbahnya murni bersumber dari amanat teks yang sedang diselidikinya, bukan dari luar teks Alkitab. Ide-ide lain – ide pengkhotbah, teolog, filsuf, psikolog, politisi, atau lain-lainnya – bisa saja dipakai sebagai tambahan argumen pendukung, tetapi tidak layak untuk menjadi dasar berita khotbah. “Referensi ayat-ayat Alkitab dari bagian yang lain hanya digunakan untuk mengkonfirmasi, mendukung, atau menguraikan prinsip-prinsip yang tampak jelas dalam
konteks dekat teks tersebut.”[14]
            Seorang pengkhotbah, menurut Robinson, perlu jujur menjawab pertanyaan, “Apakah Anda, sebagai seorang pengkhotbah, sedang berusaha keras untuk menundukkan pikiran Anda kepada Alkitab, atau Anda sedang menggunakan Alkitab untuk mendukung pikiran Anda?”[15]  Tiap pengkhotbah dituntut untuk taat dan setia pada amanat dari teks yang diselidikinya; ia tidak berhak menggantinya dengan amanatnya sendiri. Sebagaimana tugas utama seorang duta adalah menyuarakan amanat yang diterimanya dari orang yang mengutusnya, demikian pula seorang pengkhotbah. Sebagai duta Allah, tugasnya hanyalah menyampaikan amanat teks yang pernah dipercayakan kepada para penulis Alkitab.

Eksegese
Eksegese teks secara cermat dan akurat dengan menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang sehat merupakan tindakan yang harus dilakukan pengkhotbah untuk memperoleh amanat teks.
Fokus utama pengkhotbah pertama-tama adalah mendapatkan amanat yang sebenarnya dari teks yang akan dikhotbahkannya. Perlu selalu diingat bahwa setiap teks Alkitab ditulis karena adanya suatu kejadian atau peristiwa sejarah yang melibatkan baik penulis Alkitab maupun para pembacanya. Itu sebabnya, amanat teks hanya bisa ditemukan jika pengkhotbah mempertimbangkan konteksnya dengan saksama. Pengabaian konteks membuat setiap orang dapat menafsirkan ayat-ayat Alkitab sesuai dengan keinginannya. Setiap teks dapat dijadikan khotbah apa pun sesuai dengan kehendak pengkhotbah. Tak berlebihan jika ada orang yang mengatakan bahwa context is the king. Konteks menentukan segalanya. Dalam khotbah ekspositori, eksegese yang objektif dalam menemukan amanat teks merupakan
unsur yang tidak boleh diabaikan.

Relevansi
Amanat teks tersebut diberitakan kembali oleh pengkhotbah kepada para pendengar masa kini dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka dan membuat aplikasi-aplikasi yang relevan.
Amanat teks yang telah diperoleh merupakan firman Tuhan yang pernah dikatakan Tuhan kepada umat Allah pada masa lalu, pada zaman Alkitab. Kita menyakini bahwa firman itu bersifat kekal untuk semua manusia pada segala zaman. Itulah sebabnya, tugas pengkhotbah adalah membawa berita kekal itu untuk kembali berbicara kepada manusia masa kini. Untuk melaksanakan tugas itu dengan efektif, tentunya pengkhotbah tidak boleh mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pendengarnya agar dapat membuat aplikasi yang mengena dari firman yang disampaikan tersebut. Khotbah ekspositori yang mengabaikan aplikasi yang relevan bagi pendengarnya bukanlah khotbah ekspositori, bahkan bukan khotbah sama sekali.

Pemahaman yang Salah tentang Khotbah Ekspositori
Untuk melengkapi pengertian kita tentang khotbah ekspositori, ada baiknya kita membahas apa yang bukan khotbah ekspositori itu. Cara ini pertama kali dikembangkan oleh Faris D. Whitesell dalam karyanya Power in Expository Preaching.[16]  Kemudian, dikembangkan oleh para ahli homiletik
lainnya. Di bawah ini, kita akan melihat pemahaman yang salah tentang khotbah ekspositori.

Khotbah ekspositori adalah khotbah yang ditentukan oleh panjang-pendeknya teks
Pendapat Andrew W. Blackwood, yang mengartikan khotbah ekspositori sebagai khotbah dari teks Alkitab yang panjangnya lebih dari dua atau tiga ayat yang berurutan,[17]  telah banyak ditolak oleh para ahli homiletik yang lebih modern. Bagi mereka esensi yang terpenting dalam khotbah ekspositori bukanlah panjang-pendeknya teks, melainkan apakah teks yang dijadikan dasar khotbah itu telah ditafsirkan dengan baik dan akurat oleh pengkhotbah sehingga amanat teks yang sesungguhnya, sebagaimana yang dimaksudkan oleh penulisnya, ditemukan oleh pengkhotbah. Menurut Chapell, bisa jadi seorang pengkhotbah berpikir bahwa satu unit ekspositori itu adalah sama dengan satu atau dua paragraf, atau hanya satu perikop Alkitab. Padahal, satu unit ekspositori itu bisa saja terdiri atas beberapa perikop, beberapa pasal, bahkan keseluruhan kitab, sejauh teks tersebut menyampaikan sebuah kebenaran rohani tunggal sebagaimana yang dimaksud oleh penulisnya.[18]  Jadi, panjang pendeknya teks yang dipilih
sebagai landasan khotbah tidak menentukan apakah khotbah itu khotbah ekspositori atau bukan.

Khotbah ekspositori adalah khotbah yang menjelaskan ayat per ayat
Khotbah ekspositori sering kali dianggap sebagai khotbah yang menguraikan teks Alkitab dari ayat ke ayat secara berurutan[19] dan menjelasan kata-kata penting, baik dari sudut artinya maupun dari sudut gramatika dan struktur sastranya. Pandangan ini sama sekali tidak benar, karena khotbah ekspositori ditandai bukan oleh soal apakah pengkhotbah memberi penjelasan ayat per ayat dan kata per kata, melainkan apakah pengkhotbah menyampaikan amanat teks yang terkandung dalam teks yang dibahasnya. Robinson menegaskan bahwa kata-kata dan frasa-frasa tidak pernah berhenti dalam dirinya sendiri. Kata-kata hanya akan menghasilkan suatu amanat bila dihubungkan dengan kata-kata lainnya.[20] Amanat itu muncul dalam bentuk konsep, atau pesan dari penulis Alkitab kepada pembaca atau
pendengar mula-mulanya. Dengan cermat Robinson menyatakan:

Seorang ekspositor mengkomunikasikan suatu konsep . . . . Karena itu, di dalam pendekatan kita terhadap Alkitab, perhatian kita pertama-tama  bukan diarahkan pada arti kata per kata, melainkan pada maksud para penulis Alkitab dalam menggunakan kata-kata itu. Dengan kata lain, kita tidak dapat mengerti konsep-konsep yang ada dalam sebuah perikop hanya dengan menganalisis kata-kata yang ada di dalamnya secara terpisah-pisah. . . . Jika kita ingin mengerti Alkitab untuk mengkomunikasikan amanatnya, kita harus memahaminya dalam tataran ide-ide.[21]

Jelaslah, khotbah ekspositori bukanlah khotbah yang berisi penjelasan ayat per ayat dan kata per kata tanpa menghiraukan amanat teks sebagai kesatuan pesannya.

Khotbah ekspositori adalah khotbah yang selalu berbentuk poin-poin
Tidak benar bahwa khotbah ekspositori itu harus mempunyai kerangka yang berbentuk poin-poin (deductive model), atau yang lebih dikenal dengan sebutan three-point sermon. Kesalahpahaman ini membuat bentuk khotbah ekspositori menjadi monoton, membosankan, dan tidak kreatif. Padahal,
bentuk khotbah ekspositori dapat bervariasi, kadangkala bisa dalam bentuk deduktif, induktif (di mana salah satu bentuknya adalah narasi), atau kombinasi keduanya. Penggunaan poin-poin dan subpoin hanyalah salah satu cara dalam mengkomunikasikan amanat suatu khotbah dan cara itu sangat tepat bila struktur teks itu sendiri mempunyai pola demikian, tetapi tentu saja tidak semua teks Alkitab seperti itu.[22] Bila teks Alkitab yang digunakan oleh pengkhotbah berasal dari surat-surat, penggunaan model deduktif dengan memakai poin-poin dan subpoin sangat tepat, karena pada umumnya teks-teks yang berbentuk surat terbagi dalam pokok-pokok pikiran yang jelas. Tetapi, bila teks yang diambil berbentuk narasi, maka penggunaan model deduktif akan membuat teks narasi itu kehilangan sebagian kekuatannya. Dalam kasus ini, model induktif lebih tepat dipergunakan. Karenanya, pengkhotbah perlu belajar untuk melepaskan diri dari keharusan bentuk three-point sermon. Kesimpulannya, khotbah ekspositori
bukanlah khotbah yang selalu ditandai dengan adanya poin-poin dalam kerangkanya.

Khotbah ekspositori adalah khotbah yang didominasi oleh eksegese
Walaupun dari sudut etimologinya istilah ekspositori didominasi oleh pengertian penjelasan atau penguraian,[23]  namun tidak tepat bila kemudian dianggap bahwa khotbah ekspositori itu semata-mata harus dipenuhi dengan penjelasan-penjelasan eksegese tanpa aplikasi yang relevan bagi pendengar. Memang khotbah seperti itu akan terlihat sangat akademis, tetapi itu tidak berarti banyak bagi para pendengar. Yang dibutuhkan mereka bukan sebuah ceramah tentang fakta-fakta Alkitab, melainkan sebuah khotbah yang menyatakan apa yang Tuhan ingin katakan kepada mereka secara pribadi.
Karenanya, yang utama bagi seorang pengkhotbah ekspositori adalah membuat amanat teks yang telah berbicara kepada orang-orang percaya pada masa lalu kembali berbicara kepada umat Allah pada masa kini. Amanat teks itu tidak akan berdampak apa-apa sampai pengkhotbah mengaplikasikan kebenarannya ke dalam hidup para pendengar. Perlu untuk diingat bahwa khotbah ekspositori bukanlah khotbah yang melulu berisi penjelasan alkitabiah.

Manfaat Khotbah Ekspositori
Dalam memahami khotbah ekspositori secara lebih menyeluruh, kita perlu mengetahui apa manfaatnya khotbah ekspositori itu. Pada kenyataannya, khotbah ekspositori mempunyai banyak manfaat baik bagi pengkhotbah maupun bagi jemaat. Berikut ini kita akan melihat manfaatmanfaat bagi keduanya.

Bagi Pengkhotbah
Menumbuhkan rasa tanggung jawab dan integritas
Sesuai substansinya, khotbah ekspositori mewajibkan pengkhotbahnya untuk menyampaikan apa yang Allah katakan dan bukan apa yang pengkhotbah ingin katakan; itu sebabnya pengkhotbah tidak bisa membuat amanat teks yang mendasari khotbahnya secara akal-akalan atau rekayasa tanpa penyelidikan yang serius. Pengkhotbah yang tidak mau peduli pada amanat teks, sesungguhnya sedang memanipulasi pendengarnya. Seperti seorang duta, seorang pengkhotbah bukanlah seorang yang bebas; ia berbicara di mimbar hanya untuk menyampaikan amanat yang dibawanya, bukan amanat yang diciptanya. Penyimpangan makna teks Alkitab bisa menghasilkan iman Kristen yang menyimpang. Itu sebabnya, tidak ada jalan lain bagi pengkhotbah kecuali bekerja keras, “mencangkul” dan “menggali” teks dalam konteksnya untuk mendapatkan amanat yang sesungguhnya. Tuntutan ini akan menumbuhkan tanggung jawab dan integritas pengkhotbah menjadi seorang pemberita firman yang serius, tidak memanipulasi berita, tidak malas, dan tidak sembarangan.

Memupuk rasa percaya diri yang benar
Otoritas yang paling kuat dari seorang pengkhotbah bukan terletak pada dirinya sendiri, melainkan pada amanat khotbah yang dibawanya. Bila amanat khotbah yang akan disampaikannya itu sungguh-sungguh amanat teks firman Tuhan, maka pengkhotbah boleh yakin bahwa Roh Kudus yang sama, yang telah menginspirasikan penulis untuk menulis teks tersebut, akan bekerja mendukung firman-Nya sendiri. Paulus mempunyai keyakinan seperti itu ketika ia berkata kepada jemaat Korintus, “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang menyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1Kor. 2:4). Yang mampu mengubah hati manusia bukanlah hikmat dan kekuatan manusia, tetapi kekuatan Roh Kudus yang bekerja melalui firman-Nya. Dengan pemahaman demikian, seorang pengkhotbah ekspositori, betapapun sederhana khotbah yang disampaikannya, dapat berdiri dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.

Memberi dukungan wibawa dalam mengaplikasi khotbah
Salah satu sebab mengapa aplikasi suatu khotbah sering kali tidak bisa diterima oleh pendengar adalah karena aplikasi itu tidak bersumber pada amanat teks. Aplikasi yang seperti itu membuat pendengar merasa bahwa pengkhotbah “menembak” mereka atau paling tidak menegur mereka tanpa alasan yang kuat. Bila aplikasi khotbah bersumber dari amanat teks, maka wibawa yang muncul dalam diri pengkhotbah bukan berasal dari dirinya, melainkan semata-mata dari teks Alkitab. Terlebih lagi, bila pengkhotbah menyusun khotbah seri dari sebuah kitab, maka pendengar tidak akan berprasangka bahwa pengkhotbah sengaja memilih suatu topik tertentu untuk diaplikasi pada mereka. Semua teguran, imbauan, dan nasihat akan diterima dengan wajar oleh pendengar sebagai pesan dari Tuhan sendiri.

Menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman Alkitab yang lebih menyeluruh
Perangkap yang sering menjerat seorang pengkhotbah adalah mengkhotbahkan hanya teks-teks atau topik-topik tertentu dari Alkitab yang disukai atau dikuasainya. Hal ini jelaslah akan merugikan bukan hanya jemaat, melainkan juga pengkhotbah sendiri. Kecenderungan itu menghambat pertumbuhan pengkhotbah dalam pengetahuan dan pemahaman firman Tuhan. Khotbah ekspositori mendorong pengkhotbahnya untuk menggali dengan serius kekayaan teks yang akan dikhotbahkan dengan kesadaran
bahwa setiap teks mempunyai amanat dan latar belakang yang unik. Pengkhotbah diajak untuk melihat apa yang selama ini mungkin belum pernah diminati atau diperhatikannya. Hasilnya, cepat atau lambat pengetahuan dan pemahaman Alkitabnya akan bertumbuh lebih holistis dan dalam.

Menyediakan bahan khotbah yang tak pernah habis
Seorang pengkhotbah ekspositori tidak akan pernah kehabisan bahan khotbah sebab di dalam Alkitab ada puluhan ribu teks Alkitab yang mempunyai konteks yang berbeda-beda. Itu berarti, materi penjelasan dan amanat setiap teks yang dikhotbahkan tidak akan pernah sama. Sekarang, yang menjadi tantangan pengkhotbah bukanlah soal mencari bahan-bahan khotbah, tetapi soal menggali teks-teks itu dan membuat beritanya dirasakan lagi oleh orang-orang zaman kini.

Mengurangi stres dalam memilih topik khotbah
Menentukan topik khotbah, terlebih lagi bagi seorang gembala yang berkhotbah tiap-tiap minggu di depan jemaatnya, sering kali menimbulkan tekanan yang tidak ringan. Adakalanya beberapa hari menjelang berkhotbah, ia masih belum dapat menemukan topik yang akan ia khotbahkan, atau mungkin juga ia sudah beberapa kali mengganti topik tanpa kepastian. Bila waktunya makin mendekat, stresnya pun akan makin meningkat. Dalam keadaan demikian, hampir dapat dipastikan khotbah yang dihasilkan adalah khotbah yang tidak “matang.” Sejatinya, pengkhotbah dapat menghindari stres yang demikian ini dengan menyampaikan khotbah ekspositori.  Ia hanya perlu menentukan teks apa yang akan ia khotbahkan, bukan topiknya, kemudian ia menggalinya dengan setia dan tekun. Akan lebih memudahkan lagi bila gereja menentukan khotbah seri dari suatu kitab. Dari Senin pengkhotbah sudah mengetahui perikop apa yang akan dikhotbahkannya pada minggu depan. Persiapan bisa dilakukan segera dan waktu yang tersedia baginya cukup untuk menyusun khotbah yang baik.

Bagi Pendengar
Firman Tuhan akan menjadi makanan rohani yang sehat
Seumpama makanan, khotbah ekspositori bukanlah camilan, melainkan makanan sehat yang kandungan gizinya mampu memenuhi kebutuhan yang diperlukan bagi pertumbuhan rohani jemaat. Jemaat akan mendengar khotbah-khotbah alkitabiah dan relevan yang merupakan makanan rohani yang murni yang berasal dari firman Tuhan. Ini akan menjamin adanya pertumbuhan iman jemaat, sebagaimana Paulus tuliskan bahwa iman timbul dari pendengaran dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm. 10:17).

Menumbuhkan pemahaman Alkitab yang lebih baik dan utuh
Khotbah ekspositori bukan hanya membuat pengkhotbah bertumbuh dalam pemahaman Alkitab, melainkan jemaat pun ikut bertumbuh. Melalui penjelasan-penjelasan yang diberikan, jemaat belajar untuk memahami firman Tuhan berdasarkan konteksnya. Selain mengetahui apa yang Tuhan perintahkan, mereka juga memahami latar belakang mengapa Tuhan memberi perintah tersebut. Lambat laun, hal ini akan membentuk pola pikir yang sehat dalam diri jemaat dalam memahami Alkitab. Jemaat tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran sesat yang seringkali mendasarkan pengajaran mereka dari ayat-ayat yang diambil lepas dari konteksnya.

Memupuk kecintaan dan kekaguman pada firman Tuhan
Karena khotbah ekspositori memfokuskan pemberitaannya pada amanat teks Alkitab, maka perhatian jemaat selama khotbah diarahkan terusmenerus pada apa yang dikatakan oleh Alkitab. Jemaat akan melihat kekayaan dan keunikan Alkitab sebagai firman Allah yang tidak ada habishabisnya bagi mereka. Wajarlah jika kesan pendengar setelah mereka mendengar khotbah ekspositori adalah perasaan kagum pada keindahan dan kuasa firman Tuhan, bukan pada diri pengkhotbah. Kendati tidak dapat dipungkiri bahwa seorang pengkhotbah ekspositori yang baik akan dikagumi oleh jemaatnya, tetapi yang utama dan pertama adalah kekaguman dan kecintaan jemaat pada firman Tuhan.

Mendapat makanan rohani yang seimbang
Kecenderungan pengkhotbah untuk mengkhotbahkan topik-topik atau teks-teks favoritnya sering kali didorong oleh latar belakang teologi yang dimilikinya. Seorang pengkhotbah yang mempunyai paham teologi kemakmuran akan lebih banyak mengangkat ayat-ayat yang berkenaan dengan berkat dan kesuksesan. Sebaliknya, seorang pengkhotbah yang mempunyai paham teologi penderitaan khotbah-khotbahnya kental dengan nuansa penderitaan. Begitu juga, seorang pengkhotbah yang mempunyai kesukaan berbicara tentang hati Bapa akan selalu mendasari khotbahnya dengan ayatayat Alkitab yang berhubungan dengan kasih Bapa. Kecenderungan semacam ini menimbulkan ketidakseimbangan “gizi” rohani bagi jemaat karena mereka akan mendengar topik yang sama berulang-ulang selama mereka menjadi jemaat di gereja tersebut. Khotbah ekspositori, yang mendasari khotbah dengan amanat teks, bukan amanat favoritnya, dapat menghindari pengkhotbah dari kecenderungan tersebut. Dengan demikian, jemaat dapat menikmati makanan rohani yang seimbang dan beragam.

Tinjauan terhadap Kritikan-kritikan yang Ditujukan pada Khotbah Ekspositori
Walaupun pada umumnya khotbah ekspositori telah diajarkan di banyak sekolah tinggi teologi, seminari, atau juga pada pelatihan-pelatihan khotbah, kenyataannya tidak banyak pengkhotbah yang mempraktikkan pendekatan ini dengan konsisten. Penyebabnya bukan karena mereka tidak mengakui bahwa pendekatan khotbah ekspositori sangat baik, melainkan lebih karena kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi saat mempersiapkan khotbah ekspositori ini. Kesulitan-kesulitan inilah yang melahirkan kritikan-kritikan pada khotbah ekspositori. Biasanya kritikan-kritikan itu berkisar pada persoalan bahwa khotbah ekspositori membutuhkan waktu persiapan yang panjang, kurang aplikatif, dan monoton. Sebenarnya, dalam pembahasan sebelumnya kita telah melihat bahwa khotbah ekspositori tidak memiliki kelemahan-kelemahan seperti itu. Sekali lagi, kritikan-kritikan seperti itu bukan dikarenakan pada hakikat khotbah ekspositori, melainkan pada masalah kesulitan-kesulitan pribadi yang melaksanakannya. Untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut, berikut ini akan dibahas tujuh langkah menyusun khotbah ekspositori.


[1]Harold T. Bryson, Expository Preaching: The Art of Preaching Through a Book of the Bible (Nashville: Broadman & Holman Publisher, 1995), 15-25.
[2]Etimologi adalah cabang ilmu bahasa yang menyelidiki asal-usul kata serta perubahan dalam bentuk dan makna (Kamus Besar Bahasa Indonesia [edisi ketiga; Balai Pustaka, 2002]), 309.
[3] Bryson, Expository, 15-17.
[4] Morfologi adalah cabang ilmu bahasa yang berkaitan dengan satuan bentuk bahasa yang dipakai. Disarikan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, 755.
[5] Andrew W. Blackwood, Expository Preaching for Today (Grand Rapids: Baker, 1977), 13-17
[6] Bryson, Expository, 18-22.
[7] Ibid, 22-26.
[8] John A. Broadus, On the Preparation and Delivery of Sermons (ed. J. B. Weatherspoon; NewYork: Harper and Row, 1944), 303.
[9] Merrill F. Unger, Principles of Expository Preaching (Grand Rapids: Zondervan, 1955), 33.

[10] Dalam bahasa Inggris kata yang sering dipakai untuk menunjukkan pesan yang ingin disampaikan penulis dalam suatu teks adalah message. Dalam bahasa Indonesia kata ini sering diterjemahkan dengan pesan, berita, pengertian, gagasan, atau ide. Tetapi, dalam buku ini dipergunakan kata “amanat” dengan pertimbangan bahwa kata amanat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai “pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.” Pengertian ini lebih sesuai dengan makna kata message dalam bahasa Inggris.
[11] John W. R. Stott, Between Two Worlds: The Art of Preaching in the Twentieth Century (Grand Rapids: Eerdmans, 1997), 126.
[12] Haddon W. Robinson, Biblical Preaching: The Development and Delivery of Expository Messages (Grand Rapids: Baker, 1980), 22.
[13] Ibid., 20.
[14] Bryan Chapell, Christ-Centered Preaching: Redeeming the Expository Sermon (Grand Rapids: Baker, 1994), 131.
[15] Robinson, Biblical, 22.
[16] Faris D. Whitesell, Power in Expository Preaching (Westwood, N. J. : Fleming H. Revell Co., 1967), vii.
[17] Blackwood, Expository, 13.

[18] Chapell, Christ, 52-53.
[19] Cara pendekatan khotbah seperti ini lebih dikenal dengan sebutan homili (running commentary) atau tafsiran berjalan.
[20] Robinson, Biblical, 23.
[21] Ibid.
[22] Bryson, Expository, 32.

[23] Penekanan ini juga terlihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang mendefinisikan kata eksposisi sebagai uraian atau paparan yang bertujuan menjelaskan maksud dan tujuan, khususnya yang bersangkut paut dengan suatu karangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 290).