Lingkaran kecil... Lingkaran Besar...
Oleh Melissa C. T
Pendahuluan
Saudara-Saudara, saya pernah membaca sebuah cerita dongeng dari negeri Tiongkok. Alkisah ada orang tua yang memiliki tujuh orang anak kembar. Setiap anak diberikan kekuatan ajaib oleh orang tuanya. Ada yang memiliki kekuatan api, tanah, air, angin dan lain sebagainya. Suatu kali orang tuanya memberikan suatu tugas khusus kepada anak-anak-Nya. Untuk menyelesaikan tugas ini, mereka harus bekerja sama dan menggunakan kekuatan mereka masing-masing. Sebelum menyelesaikan tugas tersebut, menguji coba dulu kekuatan mereka. Masing-masing menunjukkan kekuatan mereka. Ketika melihat saudara kembarnya yang lain, yang satu mulai berpikir bahwa kekuatan dirinyalah yang lebih baik dari yang lain. Kemudian masing-masing menganggap diri mereka lebih unggul dari yang lainnya. Mereka mulai memandang negatif saudara kembar yang lainnya. Mereka mulai adu kekuatan dan saling melukai. Mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri dan melupakan tugas yang diberikan oleh orang tuanya yang harus mereka kerjakan bersama-sama.
Saudara-Saudara, ketujuh anak kembar ini lupa bahwa mereka adalah saudara kembar, yang mempunyai orang tua yang sama. Kekuatan yang berasal dari orang tua mereka. Mereka juga lupa untuk menyelesaikan tugas mereka. Sebenarnya di mana letak permasalahannya sehingga mereka bisa melupakan semuanya itu? Masalahnya berawal ketika ketujuh anak kembar ini memiliki pikiran bahwa diri mereka sendirilah yang paling hebat. Ketika mereka mulai mengeksklusifan diri mereka.
Saudara-Saudara, dari cerita ini, kita bisa menarik sesuatu yang baik, bahwa dengan mengeksklusifkan diri itu dapat menimbulkan masalah. Kita harus waspada karena kita bisa saja terjebak pada pemikiran yang sama, bahwa bisa saja kita menganggap bahwa saya atau kelompok saya lebih baik dari yang lain. Cerita ketujuh anak kembar ini ingin menyampaikan masalah moralitas saja. Hal yang serupa, tetapi tak sama, juga ternyata diungkapkan di dalam firman Tuhan yang kita baca tadi. Bagian firman Tuhan ini ingin mengungkapkan bahwa sebenarnya Tuhan Yesus tidak menginginkan kita untuk memiliki karakter yang mengeksklusifkan diri dari sesama orang percaya.
Saya katakan pesan yang ingin diungkapkan dari cerita dongeng dengan firman Tuhan ini tak sama karena jelas bahwa dalam firman Tuhan, ada yang jauh lebih dalam lagi yang ingin diungkapkan Yesus, bukan hanya sekedar masalah moralitas saja. Mari Saudara, kita sama-sama mempelajari dan merenungkan bagian dari firman Tuhan ini.
Tubuh
Mari kita lihat bersama sebenarnya apa yang sedang terjadi saat itu. Pada ayat 38, kita lihat bahwa kali ini Yohanes angkat bicara untuk mewakili keduabelas murid Yesus. Dia melihat ada orang yang di luar kelompok murid Yesus yang mengusir Setan. Sebenarnya hal usir-mengusir Setan itu adalah hal yang biasa pada jaman itu. Orang‑orang yang tidak percaya kepada Yesus pun dapat melakukannya. Orang-orang seperti itu kalau di Indonesia kita sebut dukun atau kalau di Amerika: ghostbuster mungkin ya? Pada jaman Tuhan Yesus hidup, orang yang hendak mengusir Setan itu akan menggunakan nama yang mereka percaya lebih berkuasa dari Setan yang hendak mereka usir. Tidak bisa asal sebut nama, misalnya saja, “Dalam nama Otong aku usir kamu!” Setannya juga mungkin bertanya-tanya, “Siapa itu Otong? Punya kuasa apa dia?”
Jadi mereka yang mau mengusir Setan, bisa saja menggunakan nama Salomo atau menggunakan nama raja lainnya yang berkuasa. Nah, pada jaman itu, Yesus sedang terkenal karena kuasa-Nya. Berita tentang kesuksesan Yesus dalam melakukan mujizat, termasuk mengusir Setan, itu telah tersebar luas. Bayangkan saja, Yesus mengusir Legion (Markus 5:9-13), Setan yang jumlahnya banyak itu dengan mudahnya. Apalagi murid-murid Yesus juga pernah menggunakan nama Yesus untuk mengusir Setan. Jadi sangatlah wajar apabila nama Yesus itu dipercaya memiliki kuasa yang besar. Wajar pula jika ada orang yang mencoba-coba menggunakan nama Yesus untuk mengusir Setan, tetapi masalahnya berhasil atau tidak?
Pada perikop ini dapat kita lihat pada ayat 38, bahwa orang yang anonimus tersebut ternyata berhasil mengusir Setan di dalam nama Yesus yang disaksikan oleh keduabelas murid Yesus. Reaksi keduabelas murid tersebut adalah mencegah agar hal tersebut terjadi tetapi gagal. Ini dapat terlihat dari kata “cegah” yang digunakan. Dalam bahasa aslinya, kata kerja yang digunakan adalah ekoluomen dalam imperfect tense, yang artinya adalah usaha mereka untuk melarang itu gagal. Sebenarnya apa sih yang menjadi keberatan Yohanes dan murid-murid Yesus yang lainnya, sehingga mereka mencegah orang anonimus tersebut?
Mari kita lihat di ayat 38 bagian akhir, jawabannya adalah karena ternyata pengusir Setan yang anonimus itu bukanlah anggota kelompok keduabelas murid Yesus. Yohanes dan murid-murid yang lainnya mungkin berpikir, “Kan hanya kami yang sudah diberikan kuasa untuk mengusir Setan itu (Markus 6:7). Orang tersebut tidak memiliki hak untuk menggunakan nama Tuhan Yesus untuk mengusir Setan. Yang berhak menggunakan nama Yesus untuk mengusir Setan itu ya kita ini kelompok keduabelas murid Yesus.” Kalau kita perhatikan lebih seksama di ayat 38, ada frasa “bukan pengikut kita” Yohanes menggunakan kata “kita” yang berasal dari kata Yunani hemin.
Saudara-Saudara, kalau saya menyebutkan kata “kita”, itu berarti bukan hanya Saudara saja yang terlibat, tetapi juga saya. Jadi engkau dan saya. Yohanes juga mengatakan kata “kita”, bukan mengatakan “pengikut Engkau, Yesus”. Ini menandakan bahwa Yohanes berpikir bahwa dirinya dan murid-murid yang lainnya juga layak untuk diikuti. Padahal kenyataannya, yang patut untuk diikuti itu hanya Yesus. Sepertinya Yohanes menyejajarkan posisinya dan merasa layak untuk menjadi guru, sama dengan Yesus.
Saudara, ternyata yang suka membeda-bedakan atau menggolong-golongkan orang itu bukan hanya orang-orang yang hidup pada jaman itu. Pada jaman ini juga ternyata masih seperti itu. Sampai-sampai ini menjadi penelitian bagi orang-orang yang berkonsentrasi di bidang psikologi atau sosial sampai detik ini. Salah satu penelitian dalam ilmu Psikologi Sosial yang telah dibuat oleh banyak peneliti dan dilakukan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Salah satu teorinya mengatakan bahwa manusia itu memiliki kecenderungan untuk membagi dunia sosial ke dalam dua kategori yang berbeda: in-group (“kita”) dan berbagai out-group (“mereka”). Lebih lanjut dikatakan bahwa jika tahapannya cuma sampai pembagian dunia sosial ke dalam “kita” dan ”mereka”, hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah. Yang menjadi masalah adalah ketika orang yang termasuk dalam kategori “kita” memandang diri mereka lebih baik, daripada kelompok “mereka”. Apalagi apabila individu dari kelompok “kita” ini merasa ciri khas (superioritas) kelompok atau budaya mereka terancam, maka mereka akan beraksi negatif terhadap kelompok lain.
Percayakah Saudara bahwa secara sadar atau tidak sadar kita juga sering kali melakukannya? Mari kita buktikan. Coba Saudar pikirkan anggota keluarga kita. Kalau kita dan keluarga kita masing-masing dibuat sebuah lingkaran, maka kalau digambarkan secara keseluruhan, maka kita akan mendapati banyak lingkaran. Bagiku, keluargaku adalah in-group sedangkan keluarga orang lain adalah out-group. Kalau Cuma sampai situ tidak ada masalah bukan? Tetapi yang akan menjadi masalah adalah ketika, misalnya, saya menganggap bahwa keluarga sayalah yang paling baik, lebih unggul dari keluarga saudara karena keluarga saya ada keturunan ningrat, turunan sultan, kaum elit, punya kuasa, lalu kemudian saya mengeksklusifkan diri dan mengganggap keluarga Saudara tidak ada apa-apanya. Saya bahkan meremehkan keluarga Saudara bukan saja dengan perbuatan tetapi juga dengan kata-kata. Bukankah ini akan menjadi masalah?
Masalahnya timbul dari diri saya. Saya mulai membuat kategori “saya” dan “kamu”, membangun tembok lingkaran bagi diri saya. Saya mulai melihat diri lebih superior kemudian memandang kelompok lain lebih inferior.
Kalau kita lihat kembali, Yohanes melakukan hal yang sama. Yohanes dan para murid membangun garis batas dan memisahkan diri, antara “kita” dengan “dia”. Jelas sekali terlihat bahwa Yohanes mempunyai konsep eksklusif dan elit dalam hidupnya saat itu. Yohanes memposisikan diri sebagai salah satu anggota dari kelompok elit yaitu keduabelas murid Yesus. Bahkan dia adalah satu dari antara tiga orang murid yang terdekat dengan Tuhan Yesus, selain Yakobus dan Petrus. Yohanes berada dalam lingkaran dalam sedangkan orang anonimus tersebut berada di luar lingkaran.
Ya, memang benar pengusir Setan anonimus tersebut berada di luar lingkaran, tetapi jangan lupa bahwa dia juga masih berada di dalam sebuah lingkaran yang lebih luas, yaitu lingkaran pengikut Kristus. Pengusir Setan anonimus itu mungkin memang tidak bersama-sama mengikuti Yesus secara fisik tetapi bukan berarti dia bukan pengikut Yesus. Faktanya adalah orang tersebut menggunakan nama Yesus karena ia percaya bahwa nama Yesus itu memiliki kuasa. Dan Yesus sendirilah yang memberikan kuasa itu kepadanya. Itulah juga yang membuatnya berhasil mengusir Setan. Berbeda halnya dengan tujuh orang anak Skewa pada Kis 19:13-15 yang gagal mengusir Setan karena menggunakan nama Yesus dengan sembarangan. Bukan hanya anak-anak Skewa yang gagal mengusir Setan, tetapi ironisnya, kalau kita lihat pada Markus 9:14-29 ternyata murid-murid Yesus juga mengalami kegagalan dalam mengusir Setan.
Inilah mungkin yang menjadikan para murid Yesus itu menjadi geregetan. Kalau saat itu ada lagunya Sherina mungkin Yohanes sudah menyanyikannya seperti ini mungkin ya: “geregetan jadinya geregetan, apa yang harus ku lakukan...?” Ya yang dilakukan Yohanes adalah “mengadu” kepada Yesus.
Tetapi yang mengejutkan adalah reaksi Yesus terhadap masalah ini. Yesus malah berkata, “Jangan kamu cegah dia!” Kata “cegah” menggunakan imperative present active tense, dari kata koluete, maksudnya adalah nasehat Yesus ini bukan hanya diberikan untuk jaman itu saja, tetapi ini berlaku terus menerus. Mengapa Yesus melarang para muridnya untuk mencegah? Karena sebenarnya pengusir Setan aninomus tersebut sedang melakukan pekerjaan Yesus.
Ini berkaitan erat dengan kalimat selanjutnya pada ayat 39, bahwa “tidak seorangpun yang telah mengadakan mujizat demi nama-Ku, dapat seketika itu juga mengumpat Aku.” Yang secara sederhana dapat diartikan bahwa seseorang yang sudah mengerti dengan benar bahwa nama Yesus berkuasa, maka dia tidak akan dengan mudahnya untuk berbalik begitu saja dan menjadi musuh dari orang percaya.
Pada ayat 40 secara implisit kita dapat melihat bahwa pengusir Setan anonimus tersebut sebenarnya ada di pihak Yesus, ini berarti dia adalah anggota Kerajaan Surga dan melawan kerajaan Iblis.
Saudara-Saudara, sebenarnya inilah yang ingin diajarkan Yesus kepada para murid-Nya, bahwa mereka tidak boleh mengeksklusifkan diri dan menganggap bahwa hanya mereka sajalah yang dapat melakukan pekerjaan Tuhan. Hanya merekalah yang menjadi orang-orang penting dalam Kerajaan Surga. Bagian ini Tuhan juga ingin mengajarkan tentang konsep Kerajaan Surga yang benar. Sebelum kejadian ini, sebenarnya Tuhan Yesus sudah mengajarkannya melalui berbagai cara, tetapi keduabelas murid ini masih saja belum ngeuh, belom connect.
Kedua belas murid terlalu mudah untuk menggolong-golongkan orang berdasarkan hal-hal yang duniawi, padahal seharusnya para murid harus melihatnya dengan kaca mata Kerajaan Surga. Yesus ingin memecahkan lingkaran eksklusif yang telah dibuat oleh keduabelas murid-Nya. Yesus ingin mengatakan bahwa “Kerajaan Surga itu tidak sekecil yang kalian pikirkan, murid-Ku. Kerajaan Surga itu luas dan setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus adalah bagian dari Kerajaan Surga itu sendiri. Kita ini sama-sama warga Kerajaan Surga.”
Saudara, saya pernah terlibat dalam suatu perbincangan di antara teman-teman yang berasal dari berbagai gereja. Awalnya hanya sharing tentang hal-hal yang ringan. Salah satunya adalah membahas tentang buku-buku yang baik untuk dibaca. Kemudian tercetuslah sebuah kalimat dari seorang teman saya, “Sekarang ini saya jadi kurang suka untuk membaca buku-buku dari penerbit pip (sensor). Abis bukunya ngomongnya tentang itu lagi, itu lagi. Saya rasa kelompok mereka itu selalu menganggap kebenaran itu hanya milik mereka sendiri. Lama-lama sebel juga dengernya. Mereka kira cuma gereja mereka aja yang paling bagus. Coba bandingin sama gerejaku. Gereja mereka itu cuma bisa ngomong doang, cuma bisa mikir doang, teologianya juga cuma sampe buku doang. Buktinya mana kerjanya? Saya pikir, gerejanya juga ga berkembang tuh sekarang ini, malah ada yang bubar kan?” Wah Saudara, suasana jadi panas karena teman saya yang lain itu bergereja di tempat tersebut. Dengan cepat ia mulai berargumen. Ditambah lagi dengan teman saya yang bergereja di denominasi yang lain, ia memaparkan pendapatnya dengan menggunakan data statistik segala. Wuh, dapat dibayangkan ya Saudara, betapa panasnya perbincangan tersebut. Mereka mulai berbicara atas nama gereja mereka masing-masing. Mulai membangun tembok lingkaran-lingkaran “saya“ dan “kamu” atau “kita” dengan “mereka”. Mereka mulai membandingkan, menganggap kelompoknya lebih unggul dari pada yang lain. Saling mengkritik dan menjatuhkan. Terjadilah diskusi panas yang mengarah kepada pertengkaran.
Saudara-Saudara, inikah yang diinginkan oleh Yesus dari setiap orang percaya? Apakah Yesus menginginkan setiap anak-Nya untuk bertengkar, membangun tembok lingkaran-lingkaran, menganggap diri lebih unggul dari yang lainnya, membangun sebuah kelompok yang eksklusif dan bersaing satu dengan yang lainnya? Dari jauh-jauh hari, Tuhan Yesus sudah memperingati kita melalui perikop yang kita bahas ini. Tuhan Yesus tidak menginginkan kita untuk memiliki karakter yang mengeksklusifkan diri dari sesama orang percaya.
Karakter inilah yang Yesus inginkan dari setiap murid-Nya bahwa kita ini harus membuka diri kita. Hancurkan paradigma keeksklusifan yang kita bangun sendiri. Ini berlaku bagi keduabelas murid Yesus, saya, Saudara, dan setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Tuhan Yesus tidak ingin kita membangun lingkaran-lingkaran, kemudian membuat batasan-batasan dan perbedaan kemudian mengeksklusifkan diri. Janganlah kita membuat lingkaran-lingkaran itu berdasarkan denominasi, gereja, sekolah teologi, atau berdasarkan apa yang kamu percayai apakah itu armenianisme, calvinisme, premil, postmil, dan lain-lain.
Saudara, jangan jauh-jauh, dalam komunitas kita saat ini, apakah kita saat ini sedang membangun sebuah komunitas sendiri? Kalau ada seseorang teman yang datang kepada Saudara, kemudian mulai “mengusik” dan mencoba untuk masuk ke dalam komunitas Saudara, apa reaksi kita? Apakah kita akan menerima orang tersebut dengan lapang dada, dengan tangan terbuka, menyambut dengan rendahan hati, dengan senyuman yang lemah lembut dan murah hati?
Saudara, bersyukur kalau kita tidak sedang membuat lingkaran-lingkaran dan membangun tembok di sekelilingnya, kemudian menganggap diri eksklusif. Bersyukur kalau kita ini dapat menerima setiap orang yang percaya kepada Kristus dengan tangan yang terbuka dan dengan kasih menyambut setiap mereka dengan kasih Kristus. Bersyukur juga kalau kita saat ini sedang ditegur oleh Tuhan untuk menghancurkan tembok yang kita bangun terhadap sesama warga Kerajaan Surga.
Sebab apa jadinya jika kita membuat lingkaran, membangun temboknya menjadi semakin tebal, dan mengeksklusifkan diri dari sesama yang lain? Bukankah kita akan menuai perselisihan di antara warga Kerajaan Surga? Bukankah hal tersebut dapat mengarah kepada perpecahan di antara tubuh Kristus?
Mari Saudara, kita belajar untuk menerima setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus, tidak terbatas dari dari denominasi mana, dari mana asal gereja mereka, dari sekolah teologi apa. Mari kita pandang sesama kita itu juga sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan. Pekerjaan untuk membangun Kerajaan Surga di tengah-tengah dunia ini. Pandanglah mereka dengan kasih, sebagai rekan sekerja kita. Jangan pandang mereka sebagai saingan dan musuh karena kita sedang sama-sama ada di dalam perperangan melawan kerajaan Iblis. Jangan biarkan Iblis senang ketika melihat anak-anak Tuhan berselisih satu dengan yang lainnya dan saling menjatuhkan.
Penutup
Saudara-Saudara, kalau boleh saya gambarkan kita ini sebagai sebuah lingkaran kecil. Setiap kita ini pasti memiliki teman yang dekat dengan kita, saya akan menggambarkan lingkaran lagi di luar lingkaran yang pertama. Kita ini hidup bukan saja di tengah-tengah orang yang dekat dengan kita, tetapi ada juga orang-orang lain. Saya akan menggambarkan lagi lingkaran yang lebih besar dari sebelumnya. Kalau saya gambarkan, ini akan menjadi banyak sekali lingkaran. Saya bisa juga menggambarkan sebuah lingkaran mewakili sekumpulan orang-orang yang sepaham dengan kita dan menyebutnya sebagai gereja (church). Maka akan ada banyak lingkaran gereja. Setiap gereja itu adalah tubuh Kristus yang adalah invisible church. Kita adalah anggota dari tubuh Kristus, sekaligus warga Kerajaan Surga. Dalam Efesus 5:23, Paulus menggambarkan Yesus adalah Kepala Jemaat. Paulus dalam 1 Kor 12:12-27 berkata bahwa setiap anggota tubuh Kristus punya tugas dan perannya masing-masing. Paulus mengandaikan bahwa kita ini seperti satu tubuh yang memiliki banyak anggota.
Sampai di sini, kita tidak melihat masalahnya bukan? Yang menjadi masalah adalah ketika kita memiliki sikap atau karakter yang mengeksklusifkan diri; menganggap diri superior dan kelompok lainnya itu inferior. Masalah ini bisa mengarah kepada konflik dan perpecahan di dalam tubuh Kristus. Karena itulah Tuhan Yesus tidak menginginkan kita untuk memiliki karakter yang mengeksklusifkan diri dari sesama orang percaya.
Marilah kita memandang sesama orang percaya itu dengan kaca mata Kerajaan Surga bahwa mereka berada di pihak yang sama dengan kita, tanpa memandang perbedaan tadi dan janganlah kita menghalang-halangi mereka untuk melakukan pekerjaan Kristus dan melakukan hal-hal yang berguna bagi pembangunan Kerajaan Surga. Jangan lupa kita ini sedang berada di dalam peperangan melawan Kerajaan Iblis. Kita harus menyatukan hati kita, kekuatan kita karena kita ini adalah milik Kristus. Di satukan di dalam nama Yesus, Allah yang mahakuasa.
Kekuatan untuk melawan Kerajaan Iblis diberikan kepada kita, murid-murid Yesus. Kuasa itu ada di dalam nama Yesus Kristus yang telah bangkit dan yang telah mengalahkan maut. Seperti sebelum Yesus terangkat ke Surga, Yesus memberikan janji penyertaan-Nya kepada murid-Nya dalam Matius 28:20 “ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Amin
amin...
BalasHapus