16 Mei 2011

Khotbah Yohanes 3:22-30

Ia Harus Makin Besar
Oleh Andrey Thunggal



  Pendahuluan
            Saudara, baru-baru ini ada seorang hamba Tuhan yang berkesempatan untuk melayani di suatu gereja. Suatu saat tanpa sengaja ia mendengar perbincangan antara salah satu pendeta senior dengan beberapa jemaat yang adalah teman-teman dekatnya.  Salah satu jemaat tersebut berkata kepada sang pendeta senior demikian: “Pak Pendeta, rasanya si penginjil baru itu, penginjil X, sudah mengambil hati jemaat ini-itu.  Bagaimana tidak, dia sering visitasi jemaat sih, makanya banyak yang tertarik sama penginjil itu.  Kalau  pak Pendeta tidak hati-hati, bisa-bisa penginjil itu yang akan diangkat menjadi gembala gereja ini, apalagi kayaknya penginjil X tampaknya memang sangat berambisi untuk menjadi gembala.”  Mendengar statement dari jemaat tersebut, sang pendeta senior ini berkata demikian: “Ah, si penginjil X itu bisanya cuma visitasi doang, tapi nggak sadar kalau dia itu cuma lulusan STT yang tidak jelas.  Nggak sopan juga tuh  orang, tidak tahu apa kalau saya ini sudah melayani selama 15 tahun.  Nggak mungkinlah dia yang diangkat jadi gembala di gereja ini, saya menang pengalaman.”  Saudara, akhirnya pembicaraan tersebut berlanjut dengan sesi gosip sana gosip sini dan hanba Tuhan yang tanpa sengaja mendengar pembicaraan itu segera melarikan diri  takut diundang menjadi rekan gosip kelompok itu.
            Saudara, bukankah kisah yang demikian menjadi sebuah cerminan realita yang terjadi dalam kehidupan para hamba Tuhan?  Tidak jarang juga kita mendengar kasus di mana ada perpecahan dalam pelayanan yang dipicu karena adanya hamba Tuhan senior yang berusaha mempertahankan “kekuasaannya” ketika muncul hamba Tuhan junior yang potensial.  Hal ini juga dekat dengan kita bukan?  Ketika Allah memberkati pelayanan kita, secara tidak langsung popularitas pelayanan kita semakin tinggi.  Namun ketika berada dalam masa-masa tersebut, seringkali muncul “kompetitor” baru yang seakan-akan menyaingi kita;  entah itu teman pelayanan, adik tingkat, dan lain-lain.  Apalagi di sekeliling kita ada orang-orang yang turut memanaskan situasi, seakan-akan menantikan reaksi kita terhadap “kompetitor” baru tersebut.  Kehadiran mereka akhirnya membuat kita terancam, kita takut kehilangan kedudukan serta takut popularitas kita tenggelam.  Pada awalnya kita mungkin tidak mencari popularitas, namun ketika popularitas pelayanan kita semakin meninggi, terkadang kita tidak menyadari bahwa justru popularitas itu sendiri telah menjadi tantangan terbesar bagi kita.  Bila hal ini tidak dihadapi dengan tepat, maka akan berpotensi menimbulkan ketegangan, konflik, percekcokan, bahkan perpecahan di antara sesama hamba Tuhan.  Karena itu, dibutuhkan respon yang tepat untuk menghadapi tantangan tersebut.
           
            Dari perikop yang kita baca, setidaknya ada 3 respon yang harus dipunyai seorang hamba Tuhan terhadap tantangan popularitas pelayanan pribadinya. Respon apakah itu?
I.       Menyadari bahwa pelayanan kita berasal dari Tuhan  (22-27)
Saudara, popularitas pelayanan Yohanes Pembaptis bisa dikatakan sedang mencapai puncaknya, bahkan banyak orang Farisi dan Saduki datang untuk memberikan dirinya untuk dibaptis (Mat. 3:7).  Gaya hidupnya yang sederhana serta berita kebenaran yang diserukannya menjadi daya tarik tersendiri sehingga begitu banyak orang menjadi pengikutnya.  Yohanes telah menjadi seorang nabi terbesar saat itu dan menjadi pengharapan bagi bangsa Israel.
Namun, penulis Injil Yohanes memberikan keterangan kepada kita mengenai latar belakang dari kisah yang baru saja kita baca.  Penulis mencatat terjadinya pertikaian antara murid-murid Yohanes dengan seorang Yahudi mengenai baptisan.  Sebenarnya pertikaian yang muncul bukan mengenai masalah antara baptisan Yohanes dan Yesus, melainkan tentang masalah ritual pembasuhan (ay. 25; bdk.  2:6).   Baptisan sendiri bisa merupakan tanda bagi seorang Gentile yang beralih menjadi seorang Yahudi ataupun dilakukan oleh sebagian kelompok untuk menyucikan dirinya.  Namun, baptisan untuk seorang Yahudi bukanlah suatu hal yang lumrah.  Baptisan Yohanes tersebut mengakibatkan kesalahpahaman dari kebanyakan kaum intelektual Yahudi.  Tentu murid-murid Yohanes masuk ke dalam perdebatan tersebut tanpa sebuah pemahaman yang kuat.  Mereka lebih mempertahankan posisi Yohanes sehingga ketika mereka tak mampu lagi mempertahankan argumen mereka, maka mereka mulai mengkontraskan pelayanan baptisan Yohanes dan Yesus.
Akhirnya kefrustrasian mereka mulai beralih kepada sebuah protes karena kesuksesan Yesus dalam pelayanan.  Bayangkan saja, Yesus bisa dikatakan sebagai junior bila dibandingkan guru mereka yang lebih senior karena Yesus pernah dibaptis oleh guru mereka, namun ternyata malah Ia yang lebih banyak menarik orang-orang.  Murid-murid Yohanes bahkan tidak mau menyebut nama Yesus dan menyebutnya dengan sebutan “Dia.”  Padahal mereka menyebut Yohanes dengan sebutan “Rabi,” yang seakan-akan menunjukkan posisinya yang lebih tinggi dari Yesus.  Bagi mereka Yohanes dan Yesus adalah rival dan saling bersaing.  Bahkan mereka menggunakan istilah hiperbola “semua orang pergi kepada-Nya” untuk memprovokasi Yohanes.
            Yohanes Pembaptis menjawab protes murid-muridnya ini dengan menyatakan bahwa segala sesuatu termasuk pelayanannya datangnya dari sorga (ay. 27).  “Sorga” (ouvrano,j, Yun. ouranos) merupakan sebuah istilah bangsa Yahudi untuk merepresentasikan Allah sendiri (bdk. Dan. 4:26; Rm. 1:18; Luk. 15:18).  Artinya, Yohanes mengerti dengan jelas bahwa panggilan dan pelayanannya tersebut merupakan pemberian Allah.  Dengan demikian, ia harus menghargai panggilan yang telah diterimanya dari Allah dan tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, apalagi dengan pribadi Sang Mesias.  Dengan kata lain, jawabannya tersebut merupakan sebuah penilaian atas kesuksesan pelayanan Yesus maupun pelayanannya, ia menyadari semua itu adalah pemberian Allah.
            Apakah Saudara pernah mendengar nama Roberto Baggio?  Saya yakin bagi setiap penggemar sepak bola tidaklah asing dengan nama yang satu ini.  Baggio adalah seorang superstar pada masanya dan tercatat sebagai penyerang paling subur dalam mencetak gol bagi Juventus, klub yang dibelanya saat itu.  Namun tak disangka muncullah pemain baru, seorang pemuda berumur 20 tahun yang juga berposisi sama dengannya, dialah Alessandro Del Piero.  Dalam waktu yang sangat singkat Del Piero berhasil menggantikan Baggio sebagai tukang gedor kepercayaan Juventus, bahkan dalam setahun saja Baggio mendapati dirinya sebagai penghuni bangku cadangan Juventus.  Saudara, pada masa-masa itu Baggio pernah diwawancarai wartawan setempat mengenai keberadaan dirinya yang mulai tergantikan oleh Del Piero.  Bahkan mereka sengaja mengeluarkan statement seperti berikut: “Bagaimana mungkin King Baggio telah tergeser oleh anak kemarin sore seperti Del Piero?”  Namun menariknya Baggio menjawab pertanyaan itu dengan sebuah statement, “hidup ini bagaikan roda, kadang di atas, kadang juga di bawah; saat ini mungkin sudah saatnya saya berada di bawah, dan Del Piero berada di atas.”
Saudara, menarik bahwa Baggio menyadari bahwa perannya diatur oleh sebuah kekuatan yang lebih berotoritas darinya; dalam kasusnya tentu saja filsafat roda tersebut yang secara tidak langsung, menurutnya, mengatur hidupnya.  Sehingga ketika muncul orang lain yang sepertinya mengancam posisi maupun popularitasnya, bahkan ketika ia diperhadapkan dengan para wartawan yang berusaha mengadu domba dia dengan orang lain, ternyata ia dapat menyikapi hal ini dengan bijaksana sembari menyadari bahwa setiap orang mempunyai peran dan kapasitasnya masing-masing.  Bahkan Baggio secara tidak langsung mengakui adanya kekuatan eksternal yang mengatur peran setiap orang.
            Saudara,  jika Baggio saja menyadari bahwa peran dan keberhasilannya tersebut bukanlah berasal dari dirinya sendiri, terlebih Yohanes yang menyadari bahwa pelayanannya itu merupakan pemberian Allah sendiri.  Artinya Allah-lah yang mengaruniakan peran dan pelayanan kepada setiap hamba-hamba-Nya secara spesifik, termasuk kepada kita.  Namun terkadang kita tidak dapat menyangkali bahwa sikap hati kita tanpa sadar telah berkata lain: ini pelayananku, ini pencapaianku, ini hasil usahaku, ini hasil kerja kerasku selama bertahun-tahun.  Mungkin tidak jarang kita merasa bahwa oleh karena kekuatan kitalah pelayanan boleh berkembang, entah itu karena kepandaian kita dalam berorganisasi, berdiplomasi, berkhotbah, dan sebagainya.  Bahkan mungkin saja kita merasa bahwa jika bukan karena kita, pelayanan pun tidak akan berkembang.
Namun Saudara, bagaimana dengan sikap kita ketika ada orang lain yang memiliki kemampuan-kemampuan yang lebih dari kita?  Mungkin ia rekan pelayanan kita, mungkin ia adik tingkat kita, yang multi-talent, dan akhirnya lebih sering mendapat pujian dan sanjungan dari orang lain.  Mungkin biasanya kita dikelilingi oleh orang-orang yang memuji kita, namun ternyata sekarang kita menemukan bahwa rekan kitalah yang dikelilingi oleh orang-orang tersebut.  Bahkan mungkin tanpa sengaja ada teman-teman dekat kita yang mulai membanding-bandingkan diri kita dengan rekan kita tersebut.  Terpengaruhkah kita terhadap situasi yang demikian?  Ia mungkin mampu  berkhotbah dengan lebih baik, berdoa dengan lebih indah, lebih populer di dalam pergaulan dibandingkan dengan kita.    Apakah kita merasa terancam, tersaingi, iri hati, atau bahkan diam-diam memikirkan cara untuk menjatuhkan popularitasnya?  Kita menjadi sulit bekerjasama karena menganggap dan mengklaim pelayanan itu adalah milik kita, tidak ada orang lain yang pantas “merebutnya.”  Ada kalanya, kita menjadi terlalu sibuk menjaga popularitas, dan pelayanan kita hanya menjadi sebuah ajang pembuktian diri, bahwa kita layak dan mampu mengerjakannya.
Marilah kita menyadari bahwa setiap peran maupun pelayanan kita semuanya berasal dari Allah.  Mari kita sadari sedari mula “bibit-bibit kedengkian” di dalam hati kita.  Mari introspeksi diri dan menyadari bila kita masih beroleh kesempatan melayani dan memiliki peran serta kemampuan, semuanya itu bukan karena kekuatan dan kepandaian kita sendiri, semuanya bukan milik kita secara pribadi, melainkan anugerah Allah semata.
            Respon kita yang berikutnya adalah . . .

II.    Menyadari bahwa peran kita adalah sebagai seorang hamba Tuhan  (28-29)
            Saya masih ingat perkataan salah seorang guru ketika saya masih di bangku SMA: “langkah awal yang membuat orang lupa diri adalah ketika ia menempatkan dirinya sebagai tuan bagi dirinya.”  Saudara, saya pikir perkataan ini ada benarnya.  Penting bagi seseorang untuk menempatkan dirinya sebagai hamba agar ia tidak lupa diri.
            Prinsip yang sama ternyata diterapkan juga oleh Yohanes (bacakan ayat 28).  Ia mengingatkan murid-murid akan pernyataannya terdahulu bahwa ia bukanlah Mesias, dan ini mengindikasikan karakternya sebagai orang yang diutus Allah untuk mendahului Mesias (bdk. 1:20, 23).  Seakan-akan Yohanes ingin berkata demikian:  “Posisi saya memang bukanlah yang terdepan, saya adalah pemberita, dan saya memang diutus sebagai pendahulu yang harus menyiapkan kedatangan Dia yang lebih besar.”  Bahkan dalam menjelaskan hubungannya dengan Yesus, Yohanes menyatakan bahwa ia adalah sahabat bagi Sang mempelai laki-laki, yaitu Yesus  (bacakan ayat 29).
            Sahabat mempelai laki-laki (Ibr. shoshbens), mempunyai peran yang sangat penting di dalam perkawinan Yahudi.  Ia bertindak sebagai penghubung antara mempelai laki-laki dan mempelai wanita, mengatur prosesi perkawinan, hingga memimpin pesta perkawinan itu.  Bahkan ia mempunyai satu tugas khusus, yaitu menjaga kamar pengantin wanita, sehingga tidak ada pengantin laki-laki lain yang bisa masuk.  Ia hanya akan membuka pintu kamar pengantin itu apabila ia mendengar suara mempelai laki-laki yang sebenarnya.  Ketika ia mengenal suara itu, ia akan membukakan pintu serta meninggalkan kamar itu sebab tugasnya telah diselesaikan dan kedua mempelai telah bertemu.  Ia tidak akan mempunyai rasa iri hati terhadap mempelai laki-laki dalam hubungannya dengan mempelai wanita.  Kalau tugasnya telah selesai, ia dengan rela untuk undur dan menghilang dari seluruh arena.
Saudara, Yohanes menggunakan ilustrasi ini sebagai pengantar untuk menjelaskan bahwa ia mengerti dengan jelas peran yang diberikan kepadanya.  Tugasnya adalah mempertemukan bangsa Israel dengan Yesus, mengatur perkawinan antara Kristus sebagai mempelai laki-laki dan bangsa Israel sebagai mempelai wanita. Tugas itu telah diselesaikannya, dan karena itu dengan sukacita ia mengundurkan diri.  Meningkatnya popularitas Yesus telah memberikan sukacita yang besar, dan tugas Yohanes berjalan dengan sukses.  Ia mengerti hal ini dengan jelas, karena ia menyadari bahwa perannya sebagai pendahulu Kristus.
            Saudara, saya yakin kita semua mengetahui bahwa penemu benua Amerika adalah Christopher Colombus.  Namun, apakah Saudara pernah mendengar nama Vicente Pinzón?   Ia adalah salah satu asisten Colombus yang menakhodai salah satu kapal ekspedisi dalam pencarian wilayah baru.  Sebenarnya, dialah orang yang pertama kali menginjakkan kaki di Bahama, benua Amerika.  Namun, tahukah saudara bahwa pada saat itu dalam tradisi kolonialisme, ketika bendera kolonial ditancapkan di daerah baru, maka secara resmi daerah tersebut menjadi milik kolonialis, dan orang pertama yang menancapkannya akan dikenang sebagai orang pertama yang menemukan daerah tersebut.  Sebenarnya Pinzon berhak menancapkan bendera Spanyol sebagai klaim bahwa dirinya adalah penemu benua Amerika karena memang dialah yang pertama kali menemukannya.  Namun ia menyadari keberadaan dirinya sebagai seorang bawahan sehingga ia memilih untuk mempersiapkan jalan bagi Colombus dan membiarkan nama kaptennya itu dikenang sebagai penemu benua Amerika.
            Saudara, bukankah ketika kita bercermin pada kisah Yohanes Pembaptis maupun Vincent Pinzon, seharusnya kita juga menyadari keberadaan kita sebagai hamba-hamba Tuhan?  Namun faktanya kita akan selalu berhadapan dengan tantangan popularitas pelayanan kita.  Begitu banyaknya godaan bagi kita untuk salah mengambil posisi untuk disanjung dan berbangga atas segala pencapaian kita.  Akhirnya kita mendapatkan diri kita telah menjadi tuan bagi diri kita sendiri.
Ketika kita menempatkan diri kita sebagai tuan, maka kita tidak akan pernah siap dalam menghadapi situasi di mana muncul orang-orang lain yang berkompeten.  Bukankah situasi seperti itu pasti terjadi?  Akan selalu ada orang-orang lain yang berpotensi untuk lebih populer, entah di dalam pelayanan maupun studi kita saat ini.  Di sekitar kita ada orang-orang yang lebih vokal, lebih cakap, lebih kreatif, dan lebih dalam banyak hal.  Pada akhirnya kita akan cenderung melihat orang lain sebagai rival, calon tuan lain yang mengancam eksistensi, jabatan, posisi dan peran kita.  Dengan demikian, kita sesungguhnya telah menjadi hamba bagi popularitas kita sendiri.
Ingatlah Saudara bahwa posisi kita adalah sebagai seorang hamba Tuhan, sehingga ketika tantangan popularitas itu datang, kita tidak tergoda untuk menempatkan posisi sebagai tuan bagi diri kita sendiri.  Kita terpanggil sebagai hamba-hamba-Nya hanya untuk melayani Dia.  Bukankah tidak ada kebanggaan yang lebih besar selain sebuah kesempatan untuk melayani Allah?
            Saudara, respon yang terakhir adalah . . .

III. Menyadari bahwa fokus kita adalah untuk memuliakan Allah  (30)
            Apakah Saudara pernah mendengar istilah Cat and Dog Theology?  Inti teologi “anjing-kucing” tersebut mengatakan bahwa tujuan dari segala sesuatu adalah kemuliaan Allah.  Tidak ada panggilan yang lebih besar dari seorang Kristen, apalagi seorang hamba Tuhan, selain untuk memuliakan Allah. 
            Hal ini dimengerti dengan jelas oleh Yohanes dalam ayat ke-30 (bacakan).  Ia menutup penjelasannya tersebut dengan menjelaskan bahwa hal ini merupakan rencana Allah jikalau popularitas Mesias harus semakin bertambah-tambah, sedangkan popularitas pelayannya harus semakin berkurang.  Ia menjelaskan bahwa tujuan pelayanannya adalah untuk memuliakan Yesus, sehingga tidak ada persaingan antara mereka.
            Kedua kata kerja yang digunakan di sini yaitu “makin besar” (auvxa,nw, Yun. auxano) dan “makin kecil” (evlatto,w, Yun. elatoo) juga dapat digunakan untuk menggambarkan bertambah besarnya dan bertambah kecilnya cahaya matahari atau bulan.  Yohanes menunjukkan bahwa dalam tujuan Allah perannya harus semakin menyusut sejak tugasnya terselesaikan, sedangkan peran Yesus harus semakin bertambah besar.  Peran dan popularitas Yesus bagaikan matahari terbit yang semakin bercahaya, sedangkan peran dan popularitas Yohanes harus semakin redup.
            Kemuliaan Allah telah menjadi fokus dari pelayanan Yohanes, sehingga ketika ia diperhadapkan dengan tantangan popularitas antara dirinya dengan Yesus, ia menyadari bahwa memang sudah seharusnya pribadi Kristus semakin dipermuliakan dan tidak ada tempat sedikit pun bagi kemuliaan dirinya sendiri.
            Saudara, saya ingat sewaktu saya masih aktif di pelayanan di suatu tempat  dulu.  Saat itu saya mengetuai kepanitiaan perayaan paskah dan membawahi sejumlah orang dalam kepanitiaan.  Sehabis perayaan Paskah tersebut, seseorang yang kami anggap sangat terhormat di tempat kami menghampiri salah seorang anggota saya yang juga sempat mengetuai lembaga lain, lalu menyalaminya sambil berkata demikian, “Engkau pasti ketua panitia Paskah ini, selamat ya, acara berjalan dengan baik dan banyak orang diberkati.”  Saya yang saat itu tanpa sengaja berdiri di dekatnya mendengar perkataan tersebut dan bergegas meninggalkan ruangan dengan hati yang sangat panas.
Waktu itu saya tiba-tiba merasa setiap jerih payah saya dalam kepanitiaan tidak dihargai dengan pantas.  Memang orang terhormat itu tidak bersalah karena ia tidak mengetahui dengan jelas siapa ketua yang sesungguhnya.  Namun saya terlanjur kecewa karena orang lain yang menerima pengakuan yang seharusnya ditujukan kepada saya.  Dalam kekecewaan dan kemarahan, saya pergi menyendiri.  Saya terus mengeluh dan mengeluh hingga akhirnya saya tersentak, saya menyadari satu hal, bahwa ternyata saya menuntut sebuah pengakuan dan penghormatan atas pelayanan yang saya lakukan.  Saya tersentak, seakan-akan tidak percaya bahwa pelayanan saya yang seharusnya berfokus pada kemuliaan Allah telah bergeser kepada kemuliaan diri sendiri.  Kemarahan dan kekecewaan saya akhirnya beralih menjadi sebuah tangisan penyesalan yang mendalam. 
            Saudara, bukankah disorientasi yang saya alami tersebut kadangkala terjadi juga pada diri kita sebagai hamba Tuhan?  Kita mengejar pengakuan, penerimaan dan sanjungan dari manusia.  Kita ingin dihargai, diterima, diakui, dan disanjung ketika melakukan pelayanan kita.  Apalagi jika seandainya ada orang-orang di sekeliling kita yang mulai membanding-bandingkan pelayanan kita dengan rekan yang lain.  Kita akhirnya menjadi kecewa dan frustasi ketika sanjungan yang biasanya ditujukan kepada kita telah beralih dan ditujukan kepada rekan kita tersebut.  Namun Saudara, bukankah pada dasarnya ketika fokus kita bukan lagi kepada kemuliaan Allah, sesungguhnya kita tidak layak lagi disebut sebagai hamba Tuhan?  Kadang kita terlena dengan segala popularitas yang menghinggapi kita, sehingga lupa bahwa seharusnya kemuliaan Allah-lah yang menjadi fokus utama kita.  Marilah kita melakukan pelayanan kita dengan kesadaran penuh bahwa segala hormat, pujian, dan kemuliaan hanyalah ditujukan bagi Allah. 
           
            Saudara, di tengah tantangan popularitas pelayanan yang begitu menggoda, kita seharusnya menyadari bahwa keseluruhan pelayanan kita berasal dari Tuhan.  Kita perlu menyadari bahwa peran kita adalah sebagai hamba Tuhan sehingga akhirnya dalam melayani fokus kita hanyalah untuk memuliakan Tuhan.  Memang kadangkala kita lalai dalam menyadari hal-hal tersebut dan terlena dengan popularitas pelayanan kita, kita sibuk mempertahankan kedudukan dan terjerumus untuk mencari kemuliaan diri sendiri dalam melayani Tuhan.  Namun, marilah kita sebagai seorang hamba Tuhan belajar untuk menyadari keberadaan diri kita di hadapan Allah yang Mahamulia.  Menyadari bahwa semuanya adalah dari Dia, oleh Dia dan untuk Dia.  Sehingga dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk menanggapi popularitas pribadi kita dan fokus melayani-Nya dengan sepenuh hati. 
            Allah yang memanggil kita, yaitu Allah yang Mahamulia itu, akan memampukan kita untuk setia menjalankan peran sebagai hamba-Nya yang tahu mengabdi kepada Sang Tuan dan melakukan pelayanan yang telah Ia percayakan. Semua hanya untuk kemuliaan-Nya. 

Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar