16 Mei 2011

Khotbah Ulangan 9:1-6

Waspada, Jangan Membanggakan Diri!

Oleh Andrey Thunggal



Pendahuluan
Saudara, 77 tahun lalu di lapangan Gottenstrand, kota Nuremberg, Jerman, digelar sebuah pertemuan raya yang monumental.  Ratusan ribu warga Jerman datang menyaksikan pemimpin baru mereka yang akan membawa Jerman kepada sebuah era baru di mata dunia.  Adolf Hitler, demikian namanya, adalah seorang pemimpin yang sangat berkarismatik, cerdas, dan sangat berambisi.  Ia sangat mahir dalam berdiplomasi, bahkan sangat ahli dalam menyusun strategi perang.  Semua orang di lapangan itu bahkan menyamakannya dengan Tuhan, dengan meneriakkan satu slogan: “Hail Hitler!”  Erwin Rommel, salah seorang panglima Hitler, bahkan menuliskan kesannya dalam catatan hariannya, “Hitler, God of Germany.  The greatest leader of the world, even God himself can’t stop him.”
Memang Saudara, Jerman kemudian memasuki era kejayaannya di bawah pemerintahan Hitler.  Begitu banyak negara yang takluk kepada Jerman karena merasa tidak mungkin mengalahkan Hitler dan pasukannya.  Hitler telah mencapai puncak keberhasilannya, penuh kebanggaan dan keangkuhan pribadi.  Namun siapa sangka, kebanggaan bahkan keangkuhan diri seorang Hitler akhirnya berakhir dengan keputusannya untuk bunuh diri ketika pasukan Sekutu berhasil mengepungnya di bunker pribadinya.
Saudara, bukankah keberhasilan itu seringkali menjadi bagian dalam kehidupan kita?   Apalagi di tengah perkembangan zaman yang menuntut setiap individu harus berprestasi, sehingga setiap orang berlomba-lomba untuk mencapai keberhasilan itu.  Namun terkadang godaan untuk mengambil kredit bagi diri sendiri begitu kuatnya.  Akhirnya ketika godaan tersebut dituruti, keberhasilan kita berakhir dengan sebuah sikap membanggakan diri, entah karena potensi ataupun karena kecakapan diri kita.   Inilah faktanya, bahwa orang Kristen pun tidak kebal dengan hal yang demikian.  Kita mungkin mengira oleh karena kita pandai, maka kita dapat melalui ujian dengan nilai yang memuaskan.  Mungkin kita mengira oleh karena kita cakap bernegosiasi, maka proyek itu dapat dimenangkan.  Bahkan kita juga berpikir bahwa oleh karena kebenaran diri kitalah, maka Tuhan memberikan keberhasilan dalam hidup kita.  Padahal dalam sikap membanggakan diri itulah, kita sementara gagal di hadapan Allah.  Memang, tidak ada salahnya kita berhasil, namun kita perlu waspada dengan sikap membanggakan diri sendiri.
Oleh karena itu, jikalau kita mendapatkan keberhasilan, jangan pernah mengira bahwa hal itu karena kecakapan kita.  Saudara, bukan karena kita mampu, atau karena kebaikan diri kitalah sehingga kita layak menerimanya.  Mengapa demikian?  Sesungguhnya keberhasilan yang kita raih itu disebabkan oleh dua faktor


        I.  Keberhasilan yang kita raih merupakan hasil campur tangan Allah.
Saudara, pada masa pemerintahan Hitler, begitu banyak orang yang setuju dengan tulisan Rommel tadi, bahwa sangking hebatnya Hitler, bahkan Tuhan pun tidak sanggup menghentikannya.  Namun pada faktanya Hitler pun akhirnya gagal.  Ternyata kecakapan dan kehebatan Hitler tersebut bukanlah sebuah jaminan.  Saudara, kisah Hitler ini menjadi pelajaran buat kita, bahwa keberhasilan kita tidak berdasar pada kecakapan atau potensi yang kita miliki. Hal ini jugalah yang diperingatkan Musa kepada bangsa Israel.
Bagian perikop yang baru saja kita baca merupakan sebuah peringatan yang diucapkan oleh Musa kepada bangsa Israel sebelum mereka memasuki tanah Kanaan.  Pada saat itu bangsa Israel sementara berada di dataran Moab, seberang sungai Yordan, dan tengah bersiap untuk memasuki tanah Kanaan.  Saya membayangkan seorang Musa, pemimpin bangsa Israel yang mahsyur itu, telah lanjut usianya.  Dan di tengah-tengah kesempatan terakhirnya bersama bangsa yang dikasihinya itu, Musa menuturkan peringatannya kepada mereka.  Ingatan Musa menerawang jauh ke masa sekitar 40 tahun lalu yang silam, di mana ia menyaksikan bangsa yang dipimpinnya itu memberontak terhadap Allah.  Ya, di tempat yang sama ini, bangsa Israel bersungut-sungut terhadap Allah.  Mereka memberontak dalam ketakutan ketika mengetahui bahwa mereka akan menghadapi bangsa Enak di Kanaan itu;  “Apa?  Kamu pasti gila Musa!  Memangnya kamu ingin membawa kami untuk dibinasakan oleh raksasa-raksasa itu?  Mengapa Tuhan membawa kami ke negeri ini supaya kami semua tewas oleh pedang, sedangkan istri dan anak-anak kami menjadi tawanan mereka?  Bukankah lebih baik jika kami pulang ke Mesir?  Musa, jika kami tidak diperbolehkan kembali, Engkaulah yang lebih pantas mati!”  Saudara, pemberontakan yang memilukan itu akhirnya mengakibatkan Allah menghukum Israel sehingga generasi tersebut habis binasa dalam pengembaraan di padang gurun.  Mereka gagal karena mengandalkan kekuatan mereka sendiri.  Ketika berhadapan dengan lawan yang lebih tangguh, mereka menjadi takut dan gentar.
Saudara, kini keturunan berikutnya dari bangsa yang memberontak itu, diberikan kesempatan kedua oleh Allah untuk memasuki tanah Kanaan.  Dan sekali lagi Musa kembali memperingatkan bangsa Israel agar tidak gentar menghadapi penduduk Kanaan yang lebih besar dan lebih kuat, apalagi ditambah dengan kota-kota mereka yang besar dan berkubu.  Bangsa Israel tentu sudah mendengar tentang orang-orang Enak dari cerita orang tua mereka, bagaimana kuatnya orang Enak itu, sehingga orang Israel seperti belalang di hadapan para raksasa Enak.  Siapakah yang dapat bertahan menghadapi orang Enak?
Musa sengaja mengingatkan bahwa orang Enak adalah bangsa yang tidak dapat ditaklukkan oleh siapapun.  Maksudnya adalah, supaya Israel menyadari bahwa bukan oleh karena kekuatan merekalah tanah Kanaan dapat direbut.  Musa seakan-akan ingin mengatakan kepada Israel, “Belajarlah dari pengalaman ketakutan masa lalu kalian!”  Namun Musa juga tidak ingin generasi baru Israel ini melakukan kesalahan yang sama seperti pendahulu mereka, yang gentar dan takut menghadapi bangsa Kanaan. Itulah sebabnya dalam ayat ke-3 Musa mengatakan:
Maka ketahuilah pada hari ini, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan di depanmu laksana api yang menghanguskan; Dia akan memunahkan mereka dan Dia akan menundukkan mereka di hadapanmu.  Demikianlah engkau akan menghalau dan membinasakan mereka dengan segera, seperti yang dijanjikan kepadamu oleh TUHAN.
Sebagaimana Tuhan berjalan di depan Israel dengan tiang awan dan tiang api, demikianlah Dia akan berjalan di depan pasukan Israel sebagai api yang menghanguskan untuk mengalahkan musuh mereka.  Musa mau menyadarkan Israel bahwa kemenangan bukanlah terletak pada seberapa banyak, kuat dan gagahnya mereka, bukan juga pada kepandaian mereka dalam menyusun strategi untuk berperang.  Sesungguhnya, kunci keberhasilan Israel adalah karena intervensi Tuhan, campur tangan Tuhan.
Saudara, sewaktu SD saya pernah mendapatkan tugas untuk membuat sebuah prakarya; sebuah vas bunga dari pipa paralon.  Saat itu saya bersemangat sekali untuk mengerjakannya.  Ayah saya seorang tukang, sejak kecil saya sangat familiar dengan berbagai peralatan tukang tersebut.  Anak-anak lain tentu tidak dapat mengerjakannya karena mereka tidak tahu cara menggunakan gergaji dan mengecat, jadi, so pasti saya bisa.  Saya mulai mengerjakannya, lalu ayah menghampiri saya, “Bikin apa? Sini papa bantu.”  “Ah, udahlah Pa, saya bisa mengerjakannya sendiri,” jawab saya dengan penuh percaya diri.  Saudara, ternyata, Andrey kecil yang penuh kepercayaan diri itu mulai mendapati dirinya mengalami kesulitan.  Dia tahu teori memegang gergaji, namun ia tidak terlatih untuk itu.  Hari semakin larut, padahal besok pengumpulan tugas itu, dan tugasnya belum selesai, malah semakin kacau.  Andrey kecil pun semakin kalut, semakin takut, lalu menangis.  Karena kelelahan, iapun tertidur.  Besok paginya ia terbangun, lalu kaget, karena mendapati tugasnya telah selesai!  Sebuah vas bunga yang cantik, sempurna! Siapa yang mengerjakannya?  Dan Andrey kecil itu menemukan bahwa ada bekas cat yang tertinggal di wajah ayahnya yang sedang tertidur, cat dengan warna yang sama.  Andrey kecil itu menyadari, bahwa ia tidak akan pernah berhasil jikalau itu bukan hasil campur tangan ayahnya.
Saudara, setiap kita pasti akan berhadapan dengan “tugas vas bunga” tersebut;  entah proyek-proyek yang sementara kita hadapi dalam pekerjaan kita, atau juga tugas-tugas maupun ujian yang akan kita hadapi dalam studi kita.  Semuanya itu adalah proses menuju keberhasilan.  Namun ternyata kita mendapatinya begitu sulit, bahkan mungkin mustahil bagi kita.  Di tengah-tengah keadaan itu, godaan untuk mengandalkan kemampuan diri sendiri begitu kuatnya, kita mungkin mulai memikirkan cara-cara yang dapat kita lakukan untuk menuntaskan hal tersebut.
Namun Saudara, saya mengajak kita untuk berhenti sejenak.  Mari kita bercermin dari peringatan Musa terhadap Israel; maukah kita bersandar pada Allah dan tidak mengandalkan kecakapan kita?  Marilah kita mempersilahkan Allah untuk campur tangan, memimpin kita dalam segala hal.  Saudara, semakin kita bersandar pada Allah, semakin kita menyadari bahwa setiap keberhasilan yang akan kita raih itu semata-mata hanya karena campur tangan Allah.
Saudaraku, faktor yang berikutnya...

        II.  Keberhasilan yang kita raih merupakan anugerah Allah semata.
Saudara, di sepanjang ayat 4-6, tercatat 3 kali Musa memperingatkan bangsa Israel agar mereka tidak membanggakan diri sendiri.  Seolah-olah oleh karena jasa-jasa merekalah maka Allah memberikan tanah Kanaan kepada mereka.  Benarkah demikian?  Ayat 4 dan 5 menyaksikan kepada kita demikian: padahal karena kefasikan bangsa-bangsa itulah TUHAN menghalau mereka dari hadapanmu.
Kefasikan secara harafiah dapat berarti kejahatan.  Kefasikan ini berlaku secara spiritual, yaitu sebuah penolakan untuk beribadah kepada Tuhan, dan juga secara etis-moral, contohnya penyelewengan seksual, atau adat istiadat yang kejam.  Melalui penelitian arkeologi, diketahui bahwa agama pribumi orang Kanaan adalah salah satu agama yang paling fasik, paling diperbudak hawa nafsu dan paling rusak secara spiritual maupun moral di daerah itu.  Kefasikan inilah yang menyebabkan Tuhan menjatuhkan hukuman atas mereka, dengan menghalau mereka dari negeri mereka sendiri.
Istilah “jasa-jasa/kebenaran hati dan kefasikan dalam konteks perikop ini adalah istilah yang sering digunakan dalam setting pengadilan Yahudi, untuk membuktikan siapa yang benar dan siapa yang salah.  Dalam kasus ini, konflik antara Israel dan Kanaan cenderung dipandang dalam konteks pengadilan tersebut untuk menemukan siapa yang benar dan siapa yang salah terhadap Allah.  Allah menyatakan bahwa Israel adalah pemenangnya sehingga tidak heran jika Israel cenderung melihat dirinya sebagai pihak yang benar.  Memang bangsa Kanaan dihukum karena kefasikan mereka, namun bangsa Israel menang bukan karena kebenaran hati mereka.
Di ayat 6 Musa mengingatkan Israel demikian:  Sesungguhnya engkau bangsa yang tegar tengkuk!  Tegar tengkuk merupakan sebuah gambaran sikap yang suka memberontak terhadap Allah.  Alkitab mencatat Israel berulangkali memberontak terhadap Tuhan di padang gurun, mereka sering bersungut-sungut terhadap Tuhan, berzinah dengan perempuan Moab, menyembah Baal-Peor, bahkan mereka juga menyembah anak lembu emas.  Bukankah sudah selayaknya Tuhan menghukum Israel juga?
Saudara, saya bertanya-tanya mengapa Tuhan mau memberikan tanah Kanaan kepada bangsa yang demikian.  Namun akhir ayat 5 memberitahu kita demikian:  dan supaya TUHAN menepati janji yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham, Ishak dan Yakub.  Jelas bahwa Tuhan setia pada janji-Nya terhadap Israel sehingga Ia tetap memelihara Israel dan memberikan tanah Kanaan kepada mereka.  Jelas bahwa Israel tidak mempunyai andil apa-apa terhadap keberhasilan mereka, malah sebenarnya Israel tidak layak untuk itu.  Jadi mengapa Israel berhasil?  Jawabannya adalah karena anugerah Allah semata.
Di Prancis pada tahun 1795, ada seorang gelandangan bernama Jean Valjean yang tertangkap basah sedang mencuri sepotong roti.  Ia dijebloskan dalam penjara bahkan berulang kali harus keluar masuk penjara karena mencuri.  Di suatu malam yang dingin, Valjean berjalan tanpa arah, ia tidak punya rumah, dan tidak ada seorangpun yang bersedia membukakan pintu rumahnya.  Dengan kelelahan ia duduk di sudut kota sambil menggigil, hingga ia melihat sesosok pria tua yang menghampirinya, “Mari ikut aku, tinggallah di rumahku untuk malam ini.”  Sang pria tua itu, ternyata seorang pastor yang baik hati.  Tak cukup memberikan tumpangan, ia menjamu tamunya itu dengan hidangan makan malam, dan itu adalah makanan termewah yang pernah disantap Valjean.
Keesokan paginya sang pastor terbangun oleh gedoran pada pintu rumahnya.  Ketika ia membukanya, ternyata di depan pintu telah berdiri dua sosok yang ia kenali; sang polisi kota, bersama dengan Valjean yang sementara terborgol.  “Selamat pagi Pastor, saya berhasil menangkap basah penjahat ini, beserta dengan perabot perak Anda yang dicuri olehnya.”  Valjean tertunduk malu, ia tidak berani menatap wajah orang yang telah menyelamatkan hidupnya semalam.  Sang pastor terdiam sejenak, lalu berkata: “Ah Valjean, mengapa engkau pergi begitu cepat?  Aku masih ingin memberikan barang perak lainnya kepadamu.  Maaf merepotkan Anda Pak polisi, Anda salah paham.  Pria ini adalah sahabat saya.”
Saudara, Valjean si Pencuri itu, di kemudian hari lebih dikenal orang sebagai Walikota Valjean.  Dalam kepemimpinannya, tidak ada lagi gelandangan yang berkeliaran, bahkan angka kejahatan menurun drastis.  Dan di akhir buku catatan hariannya, ia menuliskan demikian, “Siapakah Valjean?  Bukankah ia dulu adalah gelandangan dan pencuri?  Tuhan, terima kasih atas kasih dan kebaikan-Mu kepadaku yang tidak layak ini.”  Saudara, sesungguhnya Valjean mengerti, bahwa keberhasilannya itu bukan karena dirinya, melainkan anugerah Allah semata.
Saudara, izinkan saya berandai-andai, mencoba memposisikan diri sebagai salah satu malaikat yang bernyanyi di hadapan para gembala saat malam hari di mana Tuhan Yesus lahir.  Saya pasti akan bertanya-tanya: “Mengapa Yesus, Tuhan, mau turun ke dunia, merendahkan diri-Nya, bahkan mati di kayu salib demi menyelamatkan manusia yang berdosa itu?  Manusia yang selalu membangga-banggakan dirinya, menganggap bahwa dirinya benar dan layak di hadapan Allah, padahal mereka tidak sadar bahwa nabi Yesaya sendiri pernah berkata:  kami seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor.  Manusia itu kotor!  Manusia itu tidak layak!  Namun Kristus, dalam kasih dan kesetiaan-Nya, menanggung segala cela dan malu mereka, agar mereka diselamatkan, agar mereka menjadi anak-anak Allah.  Itulah anugerah, anugerah Allah.”
Saudara, bukankah tidak ada keberhasilan yang lebih besar dari sebuah “keberhasilan” untuk diselamatkan dan menjadi anak-anak Allah?  Sebagai orang Kristen yang telah menerima anugerah keselamatan itu, bukankah kita seharusnya memandang segala sesuatu, termasuk keberhasilan yang kita terima adalah sebagai anugerah Allah?  Kalau kita berhasil, itu semata-mata karena anugerah Allah.  Namun ada kalanya godaan untuk mengambil kredit/pujian bagi diri kita sendiri begitu kuatnya.  Mungkin kita merasa bahwa kita layak mendapat keberhasilan itu sebagai ganjaran atas kebenaran diri kita.  Mungkin juga  karena kita merasa telah menjadi orang Kristen yang baik, sehingga kita berpikir bahwa kita layak menerimanya.  Selama ini mungkin kita telah menjadi orang baik-baik, bekerja dengan baik, belajar dengan giat, dan kita berpikir bahwa oleh karena itulah kita berhasil.  Saudaraku, ingatlah bahwa bukan oleh karena kebenaran diri kita, bukan juga oleh karena kekuatan kita, sehingga kita layak menerima keberhasilan tersebut.  Sesungguhnya tidak ada satupun yang dapat dibanggakan, selain karena Allah yang setia dan mengasihi kita, karena semuanya merupakan anugerah Allah semata.

Penutup
Saudara, suatu saat kita akan selalu berhadapan dengan apa yang namanya keberhasilan.  Namun sebagai anak-anak Tuhan, seharusnya kita menyadari bahwa keberhasilan itu dapat diraih bukan oleh karena kecakapan kita.  Justru karena Allah sendiri yang turut campur tangan, memampukan serta memimpin kita dalam meraihnya.  Keberhasilan itu juga bukan karena kebenaran diri kita sendiri sehingga seolah-olah kita layak menerimanya.  Kita menerimanya justru hanya karena anugerah Allah semata.
Saudaraku, marilah kita berbangga, bukan karena diri kita sendiri.  Namun marilah kita berbangga, hanya karena Allah yang berkenan untuk memampukan kita, serta memberikan anugerah-Nya kepada kita.
Allah yang setia pada janji-Nya terhadap Israel itu, adalah Allah yang sama, yang memimpin kita dalam meraih keberhasilan di dalam anugerah-Nya, serta menolong kita untuk senantiasa berbangga karena Dia.

Amin.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar