21 Juni 2011

Khotbah Matius 27:32-44

Penghormatan Tertinggi Hanya Bagi Sang Raja

Oleh Tjia Djie Kian



Pendahuluan
       Saudara-saudara, Taj Mahal adalah nama salah satu hotel termahal di India.  Walaupun harga kamarnya mahal, tahun lalu ada penyewa yang memborong semua kamar di hotel tersebut. Dia bukan raja minyak, juga bukan Malinda Dee, tetapi pemerintah Amerika Serikat.  Mereka juga menyewa semua kamar di dua hotel mewah lain di dekatnya.  Ini dilakukan waktu Presiden Obama mengunjungi India selama dua hari sambil membawa 800 orang staf termasuk secret service, pesawat tempur, kapal perang dsb.  Biaya kunjungan dua harinya adalah 500 juta dolar.  Sunguh mahal, tetapi bagi Amerika Serikat biaya itu masih dianggap wajar karena Obama sebagai pemimpin tertinggi Amerika perlu mendapatkan keselamatan dan kenyamanan yang paling tinggi.
       Saudara, titel atau jabatan memang seharusnya membuat seseorang layak mendapatkan penghormatan yang sesuai. Tapi selain kepada mereka mereka yang bertitel, kita biasanya juga memberikan penghormatan kepada orang yang telah berjasa kepada kita terlepas dia bertitel atau tidak.  Saudarar, saya ingat waktu masih pemuda pernah menyumbang darah untuk seorang anak kecil yang menderita demam berdarah.  Saya kaget sekali waktu dua minggu kemudian dikirimin satu keranjang penuh buah-buahan segar dari orangtuanya: ucapan terima kasih karena saya ikut menolong anaknya sembuh. 
       Tetapi saudara, dari sekian banyak orang yang pernah hidup, yang sedang hidup dan yang akan hidup, sebenarnya hanya ada satu saja orang yang layak mendapatkan penghormatan tertinggi dari kita; penghormatan itu bukan hanya karena titelnya melainkan juga karena apa yang telah dilakukannya bagi kita. Orang itu adalah Yesus Kristus. Sayangnya, tidak semua orang bersedia melakukan hal ini, setidaknya itulah yang terjadi pada hari penyaliban.   

Penjelasan
       Saudara, penyaliban adalah puncak dari serangkaian penangkapan, persidangan dan penganiayaan yang dialami Yesus sejak malamnya. Setelah ditangkap di Getsemani, persidangan Yahudi menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus.  Hukuman itu disahkan oleh persidangan Romawi yang mendapatkan tekanan dari orang Yahudi.  Yesus juga menerima berbagai penganiayaan: Dia diejek, dijadikan mainan sebagai raja gadungan, diludahi, dipukul dan dicambuk.  Dan puncaknya adalah penyaliban di Golgota. 
Alkitab tidak memberikan detail bagaimana Yesus disalib karena pembaca mula-mula sangat tahu kebrutalan penyaliban. Alkitab lebih tertarik memperlihatkan kepada kita respon orang-orang terhadap Yesus yang disalib dan respon Tuhan terhadap respon mereka. 
        Nah, Saudara, kalau kita lihat di perikop ini setidaknya ada lima kelompok orang yang memberikan respon kepada Yesus. Kelompok pertama adalah prajurit Romawi.  Mereka adalah orang-orang asing yang tidak kenal siapa Yesus.  Mereka hanya bertugas menyalibkan Dia.  Apa yang mereka lakukan kepada Yesus sebenarnya tidak istimewa karena mereka juga biasa melakukan hal yang mirip kepada orang lain yang disalib:  mereka memberi Yesus minum anggur bercampur dengan empedu yang pahit, mereka membuang undi untuk membagi baju Yesus dan duduk mengawasi-Nya, mereka memasang tulisan di atas salib dengan nada menghina: “Inilah Yesus, Raja Orang Yahudi”.  Mereka menyalibkan Yesus di antara orang-orang yang dianggap amat jahat oleh Romawi, yakni orang-orang Yahudi yang mencoba memberontak terhadap Romawi.  Semua yang mereka lakukan adalah penghinaan bagi Yesus.
        Kelompok kedua adalah orang-orang yang lewat di dekat salib.  Mereka adalah orang-orang Yahudi yang bersiap mengadakan perayaan Paskah.  Sebagian mungkin pernah melihat mukijzat yang dilakukan Yesus atau mendengarkan pengajaran Yesus.  Sebagian lagi mungkin pernah berteriak, “HOSANA!” ketika Yesus masuk ke Yerusalem sambil menaiki keledai. Mereka adalah orang-orang awam yang hanya tahu serba sedikit tentang Yesus.  Sambil menggelengkan kepala satu sama lain, mereka mengulangi begitu saja tuduhan yang dijadikan alasan pemberian hukuman mati bagi Yesus oleh pengadilan Yahudi.  Logika mereka sederhana: kalau memang Yesus mengklaim Dia adalah Anak Allah, yang punya hubungan erat dengan Allah, Dia pasti bisa turun dari salib.  Jadi kalau Allah tidak menyelamatkan-Nya, maka klaim-Nya pasti palsu.
       Kelompok ketiga adalah para pemimpin agama Yahudi yang sangat memahami ajaran kitab suci dan selalu menentang Yesus.  Kefasihan teologi mereka ditunjukkan melalui tiga rangkaian ejekan yang dilontarkan tentang Yesus: (1) Dia menyelamatkan orang lain, ayo selamatkan diri sendiri! (2) Dia adalah Raja Israel, ayo turun dari salib! (3) Dia menaruh kepercayaan kepada Allah, biarkan Allah membebaskan Dia! Dengan ketajaman teologinya mereka mengejek identitas sejati Yesus. 
       Kelompok keempat adalah para pemberontak yang ikut disalibkan.  Orang-orang yang sedang tersiksa dan hampir mati itu juga menghina Yesus seperti orang-orang lain! 
       Kelompok kelima seharusnya hadir membela Yesus, namun mereka absen.  Mereka adalah murid-murid-Nya yang telah bersama-sama dengan Yesus selama tiga tahun lebih.  Seharusnya mereka lebih mengenal Yesus dibandingkan orang-orang lain, mengetahui nubuat-Nya tentang penderitaan yang harus dialami, melihat kuasa-Nya dan mendengar pengajaran-Nya.  Tetapi pagi itu mereka tidak kelihatan sehingga Yesus harus terseok-seok memikul salib-Nya menuju ke Golgota.  Tidak ada Simon Petrus yang pernah mengakui titel Yesus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah Yang Hidup!” sehingga perlu seorang Simon lain dari Kirene yang baru hari itu muncul untuk memikul salib Yesus. Ketidakhadiran mereka berarti mereka tidak menganggap Yesus sebagai Raja yang layak dihormati dan dilindungi. 
       Saudara, kepada kita diperlihatkan semua orang yang menolak dan menghina Yesus: orang Yahudi dan bukan Yahudi, ahli teologia maupun orang awam, sang penjajah maupun yang dijajah bahkan yang melawan penjajah, orang sehat maupun yang hampir mati, orang yang tidak tahu apa-apa tentang Dia dan yang telah hidup bersama-Nya selama tiga tahun. Penolakan mereka mewakili penolakan seluruh manusia terhadap Sang Juruselamat, penolakan yang selalu dihadapi-Nya selama ini dan menjadi puncak penolakan terhadap Yesus selama ini. 
       Saudara, dengan siapakah diri kita bisa disamakan? Kita yang disini mungkin tidak mirip dengan para prajurit Romawi atau orang-orang biasa apalagi dengan para pemberontak. Kalau mau dicocokkan, kita mungkin lebih mirip dengan para ahli agama karena kita tahu banyak tentang kitab suci atau bahkan mungkin lebih mirip dengan para murid yang setiap hari hidup dekat dengan Tuhan. Tapi seharusnya sikap kita terhadap Yesus lebih baik dari mereka, karena kita tahu kisah Paskah dan akhir cerita dari semuanya. Tapi, apakah pasti benar demikian? 

Ilustrasi
       Waktu terjadi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, anak pertama saya, baru 5 bulan.  Ketika penjarahan mulai terjadi di dekat rumah, saya dan isteri mulai panik.  Kami menyiapkan koper besar untuk mengangkut barang-barang penting jika keadaan mendesak.  Saya menitipkan beberapa kaleng susu bayi ke rumah tetangga yang diperkirakan aman dari jarahan karena saya tidak tahu berapa lama dan berapa parah kerusuhan akan berlangsung.  Namun kami tidak bisa pergi malam itu karena ada kerumunan massa dimana-mana.  Sepanjang malam saya berjaga bersama orang-orang satu kompleks sambil mendengarkan berita mencekam dari radio dan membawa besi panjang yang runcing.  Dalam pikiran saya, massa dari luar boleh menjarah barang-barang, tetapi saya akan melindungi isteri dan anak saya sampai titik darah penghabisan. Tapi, bersyukurlah hal itu tidak pernah terjadi. 
       Beberapa hari kemudian kondisi mereda dan ketika saya merenungkan peristiwa malam itu, saya ditegur keras oleh Tuhan dan sungguh merasa terpukul.  Saya diingatkan betapa sepanjang malam itu saya begitu sedikit bergantung kepada Allah. Saya dan isteri hanya satu kali berdoa bersama. Saya kehilangan perspektif akan Allah pada saat krisis itu dan lebih bergantung kepada tongkat besi yang runcing dalam genggaman saya.  Saat itu saya tidak berbeda dengan orang lain yang tidak mengenal Allah yang hidup, padahal saya tahu tentang Dia, apalagi saya adalah pembina remaja pada waktu itu, tetapi dalam praktek saya gagal mengakui Dia sebagai Tuhan yang berkuasa.  Saya juga tidak mengarahkan orang lain untuk bersandar kepada Dia.  Saya tidak ada bedanya dengan murid-murid Yesus pada waktu malam penyaliban.
       Saudara, secara verbal dan logika mungkin kita tidak menolak Dia; tidak sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa Yesus adalah Raja di atas segala raja yang layak diagungkan. Akan tetapi dalam prakteknya bukan tidak mungkin kita menjadikan sumber daya kita sendiri sebagai tuhan menggantikan Dia. Barangkali sebagian dari kita yang memiliki kemampuan akademik tinggi kurang merasa perlu untuk sungguh-sungguh meminta pertolongan Tuhan pada waktu mengerjakan tugas. Mungkin kita sudah sering berkhotbah dan melayani sehingga tidak merasakan kebutuhan bergantung kepada Dia. Mungkin juga kita menghadapi masalah yang demikian berat sampai kita tidak lagi yakin Tuhan berkuasa menolong dan kita malah berpaling dari Dia.
Saudara, dunia selalu menawarkan tuhan-tuhan alternatif, apakah itu kemampuan diri, uang, kesuksesan, sehingga kita tidak dapat lagi mengandalkan Tuhan yang benar.  Seharusnya tidak demikian, bukan? Seharusnya kita tidak hanya mengakui titel Yesus sebagai Tuhan dan Raja tetapi benar-benar menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Raja yang menguasai SETIAP aspek kehidupan kita.  Itulah penghormatan kita kepada Dia. 
       Namun saudara, penghormatan kita kepada Dia bukan hanya karena siapa Dia, tetapi juga karena apa yang telah dilakukan-Nya untuk kita.  Firman Tuhan tidak mencatat peristiwa-peristiwa penyaliban begitu saja tetapi menyajikannya sedemikian rupa untuk memperlihatkan bahwa semua perlakuan yang diterima oleh Yesus sesungguhnya menggenapi Firman Tuhan di Perjanjian Lama dan menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh Raja dan Anak Allah yang mengasihi orang berdosa.  Beberapa contoh:
       Pertama, pemberian anggur campur empedu oleh prajurit dan ejekan imam tentang Yesus yang menaruh harapan-Nya pada Allah mengacu  kepada Mazmur 69, suatu mazmur yang menggambarkan orang benar yang menderita.  Undian untuk membagi pakaian Yesus, penjagaan terhadap Yesus dan lewatnya orang-orang sambil menggelengkan kepala mengacu kepada Mazmur 22, suatu mazmur yang menggambarkan penderitaan orang benar yang dibuang oleh manusia dan merasa dibuang pula oleh Allah. Jadi Firman Tuhan memberitahu kita: semua yang terjadi sudah dinubuatkan dan Yesus adalah orang benar yang mengalami ketidakadilan.
       Kedua, tindakan prajurit yang menyalibkan Yesus di antara dua pemberontak adalah penggenapan Yesaya 53 yang berbicara tentang Hamba Yang Menderita dan menunjukkan Yesuslah hamba itu.
Ketiga, kata “inilah” pada tulisan “inilah Yesus, raja orang Yahudi” di kayu salib, ditaruh sebagai kata pertama sehingga alasan penyaliban dijadikan proklamasi bahwa memang Yesus adalah Raja Orang Yahudi.
Keempat, kata-kata ejekan tentang identitas Yesus yang diucapkan baik oleh orang-orang yang lewat maupun para ahli agama menjadi suatu proklamasi tentang identitas Yesus yang sesungguhnya: Dialah Sang Penyelamat, Dialah Raja Orang Israel, Dia Orang yang menaruh kepercayaan kepada Allah.
Dengan demikian semua klaim identitas Yesus yang menjadi bahan ejekan oleh orang-orang justru ditunjukkan sebagai klaim yang benar.  Yesus memang orang benar yang menderita; Yesus benar-benar Raja, Anak Allah, Juruselamat dan seharusnya Dia tidak dihina, tetapi diagungkan.      
       Saudara, implikasi kebenaran ini sungguh besar: jika Dia benar-benar Raja dan Anak Allah, sungguh luar biasa bahwa Dia bersedia menanggung semua hinaan itu di kayu salib.  Jika pemimpin negara dihina, penghinanya minimal masuk penjara dan di beberapa negara akan lenyap.  Tetapi Yesus jauh lebih tinggi dari pemimpin negara mana pun sementara penghinaan yang diterima-Nya begitu dahsyat.  Disini Firman Tuhan mengajak kita untuk tidak hanya melihat identitas Yesus yang sesungguhnya tetapi juga untuk melihat kasih Yesus. 
       Saudara, kita tentu tidak akan bisa menyelami perasaan Yesus Sang Raja dan Anak Allah itu ketika Dia dihina sedemikian rupa. Tetapi Firman Tuhan mencatat bahwa Dia diam seribu bahasa dan terus menanggung hinaan itu.  Dalam penderitaan yang begitu hebat, godaan untuk lepas dari semua itu pastilah berat.  Pencobaan di akhir pelayanan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya lebih berat daripada pencobaan-Nya di padang gurun di awal pelayanan-Nya. Namun di Taman Getsemani, Dia telah memutuskan untuk meminum cawan pahit itu.  Dia tidak turun dari salib, Dia menderita dan justru karena itulah Dia menunjukkan bahwa Dialah Mesias sejati, Mesias yang harus menderita.  Dia taat pada kehendak Bapa dalam misi untuk menyelamatkan saudara dan saya.  Inilah kasih-Nya kepada kita. 

Ilustrasi
       Saudara, 65 tahun yang lalu, di sebuah laboratorium nuklir di Los Alamos ada 8 orang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen untuk meledakkan bom atom.  Salah satunya bernama Louis Slotin yang berusia 35 tahun.  Ia sedang mengadakan percobaan menentukan massa kritis uranium yang dapat memicu suatu reaksi nuklir.  Caranya adalah dengan mendekatkan dua belahan setengah bola yang di dalamnya ada uranium dan menahannya dengan obeng. Sesaat sebelum massanya menjadi kritis, ia akan menarik kedua belahan itu sehingga menghentikan reaksi berantai uranium.  Sudah berulangkali dia melakukan eksperimennya dengan sukses.  Hari itu, obengnya jatuh pada waktu dia mendekatkan kedua belahan padahal massa kritis telah terjadi sehingga muncul radiasi kuat.  Dengan refleks dia menarik belahan yang atas dan melemparkannya ke bawah dan radiasi berhenti.  Tindakannya menyelamatkan tujuh orang lainnya tetapi dia sendiri meninggal 9 hari kemudian karena telah terpapar radiasi empat kali batas radiasi yang mematikan. Apa yang dilakukannya menjadikan dia pahlawan di mata pemerintah Amerika Serikat karena dianggap telah menyelamatkan nyawa 7 orang rekannya.
       Saudara, sekalipun tindakan Louis luar biasa, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan Yesus.  Kesediaan Yesus untuk menderita bukan suatu refleks mendadak atau tak berdaya, tetapi dengan kesadaran penuh.  Bukan hanya itu, Yesus bersedia menderita bukan untuk menyelamatkan orang-orang baik tetapi untuk menyelamatkan orang-orang berdosa yang telah memusuhi-Nya, menyalibkan-Nya, meninggalkankan-Nya. Roma 5:8 menyebutkan: “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”  

Aplikasi
       Saudara, menyadari semua ini, tidakkah hati kita dipenuhi oleh rasa takjub dan ucapan syukur yang meluap-luap oleh karena kasih-Nya yang begitu besar bagi kita?  Kita yang adalah para pendosa, yang dulunya sama seperti orang-orang yang telah menolak Dia, telah diselamatkan dan diangkat menjadi anak-anak Allah. Inilah kasih terbesar, bahwa Anak Allah telah berinkarnasi dan dalam ketaatan kepada Bapa, menderita untuk menyelamatkan kita.  Sulit sekali ini diungkapkan dengan kata-kata, tetapi fakta ini harus terus men-drive kita dalam hidup sebagai orang Kristen. 
Memang kita tidak akan berhenti disini.  Kita pasti ingin membagikan kasih itu juga kepada orang lain, membawa mereka mengenal Yesus.  Kita juga harus meneladani Yesus, misalnya dalam mengasihi orang-orang yang telah menyakiti kita, orang tua yang telah mengabaikan kita, orang-orang yang telah merusak gereja kita.  Itu semua harus kita lakukan, akan tetapi jikalau kita tidak selalu kembali kepada apa yang mendorong kita melakukan semuanya, yaitu kasih dari Golgota, maka kita tidak dapat melakukan itu semua atau melakukannya dengan cara dan motivasi yang keliru.
       Saudara, tidak sedikit hamba Tuhan yang jatuh dalam peninggian diri sendiri, mengejar ilah kesuksesan, hatinya begitu keras untuk mengasihi jemaat dan lebih mengasihi program.  Mungkinkah itu karena bagi mereka karya Kristus di salib menjadi suatu teori atau khotbah yang sekedar diulang-ulang dari tahun ke tahun, dari khotbah ke khotbah.  Mungkinkah mereka tidak lagi menemukan luapan syukur dan ketakjuban kepada apa yang Allah lakukan di salib?
       Bagaimanakah dengan Saudara dan saya hari ini?  Sebagai orang-orang yang telah mendapat anugerah Allah, yang dilimpah dengan berkat dan kemurahan Allah, yang telah mendengarkan khotbah ratusan bahkan ribuan kali, masih adakah luapan hati yang bersyukur atas apa yang Tuhan lakukan kepada kita pendosa yang dikasihani?  Atau apakah semua itu malahan telah menumpulkan perasaan saudara dan saya?

Penutup
Memasuki Jumat Agung ini, marilah kita memohon agar Tuhan sekali lagi dan bahkan terus menerus sesudah masa sengsara ini lewat, menggugah hati kita untuk mengagumi dan bersyukur atas kasih karunia Tuhan yang luar biasa ini, supaya Tuhan terus mengisi pikiran kita dengan kemuliaan salib, menjadikan Dia Raja dan Tuhan dalam hati, kehidupan dan pelayanan kita dan berdoa supaya ada lebih banyak orang yang akan memuliakan Dia sebagai Tuhan dan Raja melalui kita. 

Amin

1 komentar:

  1. Yes, let us glorify Him in our preaching..We are only His instrument...

    BalasHapus