6 Juni 2011

Khotbah Lukas 15:8-10

Perumpamaan Dirham yang Hilang
Oleh Benny Solihin

Khotbah Narasi Orang Pertama Tunggal  
(Dikutip dari buku 7 Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan 
oleh Benny Solihin)



Pendahuluan
Shalom, saudara-saudara. Perkenalkan nama saya Drakhma. Orang-orang memanggil saya dengan Drakhma saja. Saya tidak mempunyai nama keluarga. Pasti agak aneh bagi Saudara, bukan? Tetapi itulah nama saya. Jelas nama saya bukan nama Jawa, Tionghoa, dan bukan juga nama Batak, walaupun kedengarannya agak mirip. Apakah Saudara bisa menerka dari manakah asal saya? India? Bukan! Afganistan? Juga bukan! Yunani? Ya, betul! Saya berasal dari Yunani. Dan dalam bahasa Yunani Drakhma artinya koin perak. Bila Saudara hidup pada zaman Romawi abad pertama, Saudara akan tahu bahwa nama saya begitu populer. Mengapa? Karena saya merupakan salah satu pecahan mata uang Romawi, seperti ratusan, ribuan, sepuluh ribuan dalam mata uang rupiah di negara saudara. Tetapi, ah, saya malu mengatakannya: nilai saya hanya seharga upah satu hari kerja seorang buruh. Di negara saya upah satu hari kerja seorang buruh hanya satu dinar. Di negara Saudara berapa? Mungkin tiga puluh juta, ya? Eh, maaf tiga puluh ribu rupiah, ya?
Saya tertarik masuk ke kebaktian ini karena tadi saya mendengar nama saya di sebut-sebut. Pasti tadi Saudara sedang membaca Lukas 15:8-10 tentang perumpamaan dirham yang hilang, bukan? Mengapa saya tertarik? Karena kisah itu adalah kisah diri saya sendiri. Sayalah si dirham yang hilang itu dan di manapun saya mendengar nama saya disebut, saya selalu tergerak untuk menceritakan kembali kesaksian diri saya itu. Bila Saudara tidak keberatan, izinkan saya menyaksikan kisah itu kepada saudara. Bolehkah? Oke, begini ceritanya.

Kisah si Dirham yang hilang
Saat itu saya masih muda, kira-kira berusia 19 tahun. Saya dengan sembilan teman-teman saya, yang rata-rata lebih tua dari saya, bekerja. Ah, lebih tepat saya katakan kami menjadi hiasan kepala seorang wanita. Wanita itu adalah wanita sederhana. Ia seorang istri yang suaminya bekerja sebagai buruh upahan di kebun anggur. Pada waktu wanita itu menikah, kami, sepuluh dirham, diberikan sebagai emas kawinnya. Sejak saat itu, kami menjadi milik wanita itu dan selalu dipakai sebagai manik-manik kepalanya.
Mungkin Saudara pernah menyaksikan di TV seorang wanita timur tengah yang memakai hiasan kepala dengan juntaian koin-koin. Itu bukan sekadar mode, melainkan emas kawin wanita itu. Hiasan kepala itu akan dikenakannya setiap waktu. Kami berfungsi sebagai simbol yang menyatakan bahwa wanita yang mengenakan hiasan kepala seperti kami adalah wanita yang telah menikah. Dengan adanya kami, kami harap pria pria hidung belang, kuping belang, dan yang berjiwa belalang tidak berani coba-coba untuk menggodanya, apalagi minta no HP-nya. Fungsi kami sama seperti cincin kawin di dalam budaya Saudara sekarang ini.
Bertahun-tahun menjadi hiasan kepala wanita itu, jujur saja saya katakan saya bete. Sebagai orang muda, saya ingin hidup merdeka, bebas dari berbagai ikatan dan rutinitas. Kadang saya curhat kepada teman-teman saya, tetapi mereka sering berkata, “Hidupmu sudah cukup nyaman di sini. Kamu mau apa lagi?” Ada juga yang sok tua menasihati saya dengan berkata, “Saya bisa mengerti perasaanmu. Waktu saya muda, saya juga seperti kamu: cepat bosan, cepat ingin punya banyak uang, cepat ingin populer, ingin punya mobil, ingin
punya rumah, dan hidup bebas tanpa batas. Tetapi kamu harus melawan nafsu dalam hatimu, kalau tidak kamu akan diperdaya setan!” Sungguh saya muak mendengar nasihat mereka.
Pada suatu malam, ketika wanita itu sedang tidur, saya memutuskan tali yang mengikat saya. Beberapa teman saya terbangun dan kaget. Mereka coba mencegah saya. Tetapi tekad saya sudah bulat. Saya tepiskan tangan mereka dan mendorong mereka sekuat tenaga. Kemudian, saya berlari menuju tepi meja dan secepat kilat saya meloncat ke bawah. Tubuh saya meluncur seperti jet coaster. Syuuutttt, buumm!!! Tubuh saya terhempas ke lantai. Keras sekali. Tulang-tulang saya seperti mau patah rasanya. Sakit bukan main. Mata saya berkunang-kunang. Namun tubuh saya masih terus menggelinding seperti roda mobil yang terlepas dari as-nya, meluncur, dan menyenggol beberapa barang. Akhirnya, braakkk . . . tubuh saya terbentur dinding dan berhenti di suatu sudut lemari yang gelap penuh debu. Di situlah saya pingsan. Ketika sadar, saya mendapati diri saya tergeletak dalam kegelapan. Kaki saya terjepit di antara dua lemari, tak mampu bergerak, apalagi ke luar. Samar-samar saya melihat seranggaserangga kecil yang menakutkan mulai mendekati saya. Seperti preman-preman jalanan pada malam hari yang menemukan korbannya, mereka mengerumuni dan menatap saya dengan liarnya. Kemudian secara serempak mereka mulai menginjak-injak tubuh saya. Oh betapa mengerikan. Saya menjerit dan pingsan untuk kedua kalinya.
Saya tidak tahu berapa lama saya pingsan. Ketika saya sadar kembali, seluruh tubuh saya sakit sekali. Saya tahu hidup saya tidak sama lagi. Mimpi-mimpi indah saya telah pergi. Yang tertinggal hanyalah realita dan penyesalan. Mungkin Saudara pernah mendengar kisah tentang seorang gadis desa yang bermimpi menjadi bintang sinetron. Ia pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Namun di sana ia terjebak dalam kehidupan yang gelap, seperti itulah diri saya. Saya merasa diri saya tak berharga lagi. Habislah hidup saya. Tiba-tiba seberkas sinar lampu menembus ke mata saya. Saya melihat langkah-langkah kaki wanita itu mendekati saya. Ia membungkukkan badannya dan menempelkan kepalanya ke lantai untuk mencari saya. Tangannya diulurkan dan meraba-raba setiap sudut lantai untuk memastikan apakah saya ada di sana. Berulang-ulang ia menyapu lantai di sekitar saya. Dari sudut lemari, saya bisa melihat wajahnya yang cemas dan lelah. Tampaknya sudah seharian dia mencaricari diri saya. Meja, kursi, tempayan, alat-alat perabot rumah tangga sudah bergeser dari tempatnya. Saya tahu ia sedang berjuang keras untuk menemukan saya kembali. Beberapa kali ia memanggil-manggil nama saya dengan lembut, “jangan takut Drakhma, tenanglah. Aku pasti akan menemukanmu.” Melihat kegigihan wanita itu untuk menemukan saya, saya sangat terharu. Hati saya dipenuhi oleh getaran perasaan yang belum pernah saya alami sebelumnya. Tanpa terasa air mata saya menetes. Ada perasaan tidak layak bergejolak di dalam hati saya. Siapakah saya sampai wanita majikan saya ini mencari saya tiada henti dengan gelisah? Saya hanyalah sekeping koin murahan yang telah memberontak. Siapakahsaya? Saya adalah koin murahan yang merasa jemu hidup bersama dengannya. Siapakah saya? Saya adalah koin murahan yang tergeletak tidak berdaya dalam kekotoran dan kegelapan, tanpa harapan, tanpa masa depan. Bukankah ia masih mem- punyai sembilan yang lain? Bukankah ia dapat mengganti diri saya dengan drakhma-drakhma lain yang jauh lebih baik. Siapakah saya hingga ia terus mencarinya?
Tiba-tiba saya merasa lemari yang menjepit diri saya sedikit terangkat. Saya cepat menggeser kaki saya ke kanan dan tubuh saya berguling ke luar. “Criiinggg!” Saya tergeletak. Kemudian saya merasa satu tangan yang lembut mengangkat saya. Dibersihkannya diri saya dari debu-debu yang menyelimuti tubuh saya. Ditatapnya diri saya dengan penuh kasih sayang. Saya melihat ada setetes air mata kesukaan yang jatuh dari pelupuk matanya bak mutiara kecil yang bergelincir keluar dari rumah siputnya. Lalu dengan penuh sukacita ia berkata kepada saya, “Akhirnya, aku menemukan engkau kembali, Drakhma.”
Saya melihat wajahnya begitu bersukacita. Sambil menggenggam saya, ia berlari ke luar meninggalkan perabot rumah tangga yang masih berantakan. Ia memanggil-manggil sahabat-sahabat dan tetangga-tetangganya dan berkata, “Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab dirhamku yang hilang itu telah kutemukan. Bersukacitalah bersamasama dengan aku!” Beberapa teman dan tetangganya keluar untuk mengetahui apa yang terjadi. Ketika mereka mengetahui bahwa wanita itu bersukacita hanya karena mendapatkan kembali diri saya yang telah hilang, mereka menjadi kesal lalu berkata satu sama lainnya, “Apa-apaan ini? Kita dikumpulkan dan diajak bersukacita hanya karena ia telah menemukan kembali dirhamnya yang telah hilang? Sungguh keterlaluan wanita ini. Apa dia pikir kita tidak punya kerjaan?” Tetapi wanita itu tidak peduli. Ia tetap berseruseru dan berkata, “Bersukacitalah bersama-sama dengan aku, sebab Drakhmaku yang hilang itu telah kutemukan.” Akhirnya, dengan jengkel satu persatu dari mereka pergi. Tak ada seorang pun yang mau bersukacita bersama dengan wanita itu. Namun, dia tetap tersenyum dan berkata dengan lembut kepada saya, “Aku telah menemukanmu. Aku telah menemukanmu, Drakhma. Jangan pergi lagi, ya.”
Saya menangis untuk kedua kali ketika saya menyadari betapa ia begitu menyayangi saya. Ia tidak peduli dengan tanggapan orang yang meremehkannya karena diri saya. Baginya saya ini miliknya. Baginya saya ini sangat berarti. Baginya saya ini adalah kebanggaan dan sukacitanya. Itulah saat pertama kalinya saya menyadari betapa bahagianya menjadi pusaka miliknya. Saya sangat menyesal bahwa saya telah menganggap sepi kasihnya. Namun, anugerahnya membawa saya kembali ke pangkuannya. Amazing grace, ya amazing grace seperti apa yang dikatakan John Newton:

Amazing grace, how sweet the sound
That saved a wretch like me
I once was lost, but now am found
was blind, but now, I see

Penutup
Nah, Saudara, itulah kesaksian hidup saya. Sekarang Saudara sudah tahu siapakah saya. Namun, ada satu pertanyaan yang saya akan ajukan kepada Saudara, tahukah Saudara mengapa ia bersikeras mencari diri saya? Ya, karena ia tidak ingin satupun dari miliknya terhilang.

Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar