9 Juli 2011

Khotbah Kejadian 32:22-31

Aku Ingin Jadi Bintang

Oleh Danny A. Gamadhi




My Secret
Waktu aku kecil, aku sangat suka menghitung bintang di langit.  Setiap kali bepergian bersama ayah, aku pasti duduk di belakang dan menengadah.  Tangan kecilku menunjuk ke atas dan mulutku komat-kamit menghitung kerlap-kerlip berlian alam semesta di tengah gelapnya langit.  Aku selalu yakin bahwa suatu hari kelak, aku akan dapat menghitung semuanya.
Pepatah mengatakan, “Like father, like son,” tapi itu tidak terjadi padaku.  Kebiasaan menghitung bintang ini kuwarisi dari kakekku.  Konon, kakekku juga seorang penikmat pertunjukkan langit di malam hari yang kelam.  Semakin gelap malam itu, semakin antusias ia.  Ia pecinta bintang sama seperti aku.  Ia berbisik-bisik di tengah kegelapan malam seolah mengantar bintang-bintang itu untuk terlelap dalam pelukan jagat raya yang akbar.
Bintang memiliki makna yang penting bagiku.  Sejak kecil aku menyimpan rahasia besar yang diturunkan dari Allah kepada kakekku.  Bertahun-tahun aku menyimpan rahasia ini dan tidak membiarkan seorangpun tahu, tidak juga saudara kandungku.  Suatu malam, Allah menampakkan diri pada kakekku.  Ia membawa kakekku ke luar dan berkata, “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat, jika engkau dapat menghitungnya.”  Ketika kakekku masih terkagum-kagum atas keelokan alam semesta, Tuhan berfirman, “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu” (Kej. 15:5).  Bukan hanya itu, Tuhan juga berjanji pada kakekku bahwa Ia akan memberkati kakekku dan membuat namanya masyur (12:2).  Melalui keturunannya segala bangsa akan mendapat berkat.  Serta, keturunannya akan diberikan negri yang amat luas dan berlimpah-limpah sumber daya alam (15:18-20).
Kakekku telah meninggal ketika aku berumur 15 tahun, tapi janji ini terus diturunkan kepada ayahku dan setelahnya . . . .  Aku tidak yakin.  Tadi aku berkata bahwa aku menyimpan sebuah rahasia yang berkaitan dengan bintang.  Inilah rahasianya: ibuku pernah bercerita pengalamannya ketika ia mengandungku.  Ibu mengandung dua anak kembar yang bertolak-tolakan di dalam rahimnya.  Karena teknologi kedokteran belum secanggih hari ini, ibuku tahu bahwa ia terancam maut ketika akan melahirkan kami.  Ibupun berdoa pada Tuhan dan meminta petunjuk.  Lalu Tuhan berfirman kepadanya sebuah rahasia yang tidak pernah kuberitahukan kepada orang lain: “Dua bangsa ada dalam kandunganmu, dan dua suku bangsa akan berpencar dari dalam rahimmu; suku bangsa yang satu akan lebih kuat dari yang lain, dan anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda” (25:23).  Tuhan berfirman pada ibu bahwa anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda!  Itu berarti anak yang mudalah yang akan menjadi pewaris janji Allah yang tak terbayangkan itu.  Janji tentang bintang adalah milik anak yang muda.  Akulah anak itu.

My Story
Perkenalkan nama saya adalah Yakub.  Mengapa kalian terlihat bingung?  Oh, aku tahu, kalian pasti berharap Yakub berbadan besar, gagah seperti pahlawan, berbulu, dan galak.  Kalau itu yang kalian cari, mungkin sebenarnya yang kalian maksud adalah kakakku, Esau.  Ia seorang pria sejati, badannya kekar dan berotot, tinggi, pemberani, menyukai tantangan, dan hmm.. gambaran pria yang jantan.  Tapi aku, seorang yang cerdas.  Meskipun kembar, kami sangat bertolak belakang.
Sejak muda, kakakku sudah jarang di rumah, ia pergi berhari-hari untuk berburu di hutan, pulang sebentar, dan kemudian pergi lagi.  Ia seperti seorang prajurit perang, ke mana-mana selalu membawa tombak, panah, dan pedang.  Tapi aku, aku menyukai keindahan, aku orang yang tenang, dan senang tinggal di rumah.  Aku mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di dalam rumah, juga mengatur budak-budak yang bekerja untuk ayahku. 
Jika mau dikatakan, kakakku adalah seorang yang work hard, sedangkan aku, seorang yang work smart.  Sejak muda, ia pergi dan mengandalkan kekuatan fisiknya, tapi aku duduk dan mengatur rencana.  Aku harus memutar otak untuk menyusun rencana yang sempurna, dan otakku tidak mengecewakan.  Setiap kali aku menyusun rencana, tidak ada yang dapat menggagalkanku, tidak juga Tuhan.  Aku benci bergantung pada orang, itulah mengapa aku terus berjuang sendiri selama hidup, demi diriku dan keluargaku.

My Plan
Kalian tahu, aku lahir sebagai anak bungsu, tapi aku tidak mau didikte takdir begitu saja, ibuku cerita bahwa ketika keluar dari kandungan aku didapatinya sedang merenggut tumit kakakku.  Aku tidak pernah rela dinomorduakan.  Aku sangat menanti-nantikan saat di mana janji Tuhan pada ibuku itu menjadi kenyataan, “Anak yang tua akan menjadi hamba kepada anak yang muda” (25:23).  Huh, tapi Tuhan terlalu lamban, aku tidak dapat mengandalkan-Nya.  Maka aku mengambil alih tugas-Nya.  Dengan sedikit mengakali kakakku, hak kesulungan menjadi milikku.  Haha, kalian lihat, dengan kecerdikan, aku bahkan dapat membelokkan takdir dan menyetir jalannya sejarah.
Esau telah menyerahkan hak itu kepadaku, kini saatnya aku menagih dari ayahku.  Tapi bagaimana caranya, ia tentu tidak akan percaya pada perjanjian “sup kacang merah” kami.  Aku selalu punya rencana.  Aku menyamar menjadi Esau, ide yang sangat brilian, dan ibuku ada di balik semua ini.  Aku rasa ia yang mewariskan kecerdikan ini padaku.  Dengan kecerdikan dan perencanaan yang cermat, aku selalu menang.

My Flight
Tapi ada satu kejadian, di mana aku dibuat benar-benar berantakan, maksudku benar-benar kacau!  Aku bahkan hampir mati!  Setelah Esau tahu bahwa aku menerima berkat anak sulung dari ayahku, Ishak, ia menjadi sangat geram.  Ia bersumpah akan membunuhku.  Uh, tipuan “sup kacang merah” itu adalah sebuah kekonyolan anak muda yang akhirnya menghantuiku seumur hidup.  Awalnya aku merasa sangat senang karena dapat mengunggulinya.  Aku biasanya selalu kalah dalam hal apapun, tapi tidak kali ini.  Tapi kengerian dan kemarahannya membuatku sangat ketakutan.  Aku sering mimpi dibunuhnya.  Aku berlari sekuat tenaga, dan bekerja pada Laban, pamanku.  Aku menikahi kedua putrinya (aku merasa kali itu aku lengah dan berhasil ditipunya), dan mempunyai anak.  Tetapi ketakutan itu tidak pernah hilang dari jiwaku, ia seperti bayangan di kegelapan yang dapat muncul sewaktu-waktu.  Aku berusaha melupakannya, tapi aku tahu, Esau tidak akan dapat memaafkanku.

My Plan (again)
Suatu kali aku memutuskan untuk berhadapan dengan ketakutan terbesarku itu.  Aku orang yang penuh perencanaan, juga kali ini.  Jika aku mendatangi ia begitu saja, tentu aku akan dibunuhnya, semua kekayaanku akan menjadi miliknya, dan keluargaku akan diambil menjadi budaknya.  Lihat, hidupku penuh dengan perjuangan.  Aku betul-betul harus mengandalkan kecerdikanku dalam setiap situasi.  Bertemu dengannya adalah seperti bertaruh.  Jika menang aku memperoleh hidupku, tapi jika kalah, aku kehilangan segalanya.
Aku menyuruh seorang hambaku yang pemberani untuk maju terlebih dahulu dan bertemu kakakku.  Aku berpesan baik-baik agar ia bicara dengan sopan, dan sujud di hadapannya – kakakku seorang yang temperamental.  Aku juga berpesan agar ia berkata begini kepada Esau, “Hambamu Yakub telah bekerja pada Laban sebagai orang asing dan diam di situ selama ini.  Ia telah mempunyai lembu, sapi, keledai dan kambing domba, budak laki-laki dan perempuan, dan aku disuruh memberitahukan ini kepada tuanku agar kiranya hambamu Yakub mendapat kasihmu” (32:4-5).  Aku rasa itu kalimat terbaik yang dapat kususun.  Maka iapun pergi, tapi beberapa hari kemudian ia kembali.  Sebenarnya aku senang ia dapat pulang hidup-hidup, namun aku cemas akan berita yang ia bawa.  Ia berkata begini, “Tuan, aku sudah sampai pada kakakmu, Esau, dan ia sekarang sedang di jalan hendak menemui engkau.  Ia dan empat ratus orang yang bersamanya.”
Empat ratus orang?  Mati aku.  Tiba-tiba darah mengalir sangat cepat ke jantung dan otakku, aku memaksa otakku untuk bekerja lebih cepat.  Ayo Yakub, berpikirlah!  Seperti biasa, aku segera menyusun rencana.  Aku membagi orang-orangku, beserta lembu, kambing domba, dan unta ke dalam dua kelompok.  Jika Esau datang dan menyerang yang satu, maka kelompok yang lain dapat melarikan diri, dan kerugianku tidak seberapa (32:8).
Aku pun berdoa kepada Allah kakekku, Abraham, dan Allah ayahku, Ishak, Allah yang  pernah berjanji juga kepadaku, kira-kira begini, “Ya Tuhan, lepaskanlah aku dari tangan kakakku, Esau.  Engkau telah begitu baik kepadaku selama ini, kumohon sebab aku takut kepadanya, jangan-jangan ia datang membunuh aku, dan isteri-isteriku, dan anak-anakku.  Ya Tuhan, bukankah Engkau sendiri berjanji akan menyertai aku dan membuat keturunanku sebanyak bintang di langit?”
Hidupku penuh dengan perjuangan, aku tidak pernah menaruh kepercayaanku pada seorangpun, aku harus berjuang sendiri, berpikir dan mengatur strategi.  Setelah berdoa, aku menyiapkan sebagian hartaku untuk kupersembahkan pada Esau.  Aku mengumpulkan kambing, domba, unta, lembu, dan keledai.  Aku akan menyerahkan harta sebanyak ini untuk melunakkan hatinya agar ia tidak membunuhku.  Aku pun tertidur karena kelelahan. 
Di tengah malam, aku terbangun, nafasku terengah-engah, tiba-tiba aku teringat akan isteri dan anak-anak yang amat kucintai.  Bagaimana jika nanti Esau membunuh mereka, bagaimana jika mereka dijadikannya budak?  Jika besok, Esau mengejar kami dari belakang, dan kami masih harus menyeberang sungai untuk melarikan diri, maka dengan mudah Esau akan menangkap kami.  Ada banyak perempuan dan anak-anak kecil, mereka tidak dapat berlari cepat.  Ah, aku harus segera bertindak.
Malam itu juga, aku membangunkan isteri dan anak-anakku, mereka tampak kelelahan, tapi aku memaksa mereka, ini demi keselamatan mereka.  Aku membawa mereka menyeberang sungai Yabok, sedang aku sendirian tinggal di tempatku semula.  Aku lumayan tenang melihat mereka telah berada di seberang sungai, tapi pikiranku tetap kalut, aku memikirkan ulang setiap strategiku dan menimbang kemungkinan lain yang dapat dilakukan Esau di luar perhitunganku.  Tubuhku kelelahan, tapi adrenalinku membuatku tetap terjaga.

My Fight 
Ketika aku sedang memperhitungkan segala sesuatu, tiba-tiba seorang laki-laki misterius datang dan menyerangku.  Ia tidak memukulku, tetapi berusaha untuk membanting dan melumpuhkanku.  Aku curiga, ia adalah anak buah kakakku.  Semalam-malaman kami bergulat.  Aku tidak akan membiarkan seorangpun mengalahkanku, dan aku akan menggunakan segala cara untuk menang.  Hidupku penuh perjuangan, dan kali ini pun aku tidak boleh kalah.  Aku mengerahku segenap kekuatan bergulat dengan orang asing ini.
Dan kemudian apa yang terjadi?  Ketika mulai matahari menyingsing di ufuk Timur, ia memukul sendi pangkal pahaku.  Keseimbangan tubuhku hilang dan terasa sakit yang luar biasa.  Aku tersungkur kesakitan di depan orang itu, tapi aku tidak melepaskannya.  Ia berkata, “Biarkan aku pergi, fajar telah menyingsing.”  Tapi aku memegang tangannya erat-erat, menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Aku tidak akan membiarkan engkau pergi, jika engkau tidak memberkati aku.”  Ia terdiam, namun kemudian ia mengajukan sebuah pertanyaan yang membuatku membisu seribu bahasa.  Ia menanyakan namaku.
Kalian tahu, selama bertahun-tahun, aku berusaha menyembunyikan identitasku, tapi pertanyaan itu membuat semua masa laluku menyeruak ke luar.  Aku harus menyebut nama yang identik dengan jati diriku, si penipu!  Aku terdiam, kekuatanku melemah, kepalaku tertunduk, dan dengan perlahan aku menjawab, “Yakub.”  Aku memang Yakub, si penipu ulung dan licik, bahkan orang terdekatku kukelabui demi mencapai kemauanku. 
Ia medekatkan kepalanya ke arahku dan berkata dengan serius, “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel.  Namamu tidak akan lagi disebut si penipu, tapi si pemenang, karena engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang!” (32:28).  Tiba-tiba mataku terbuka, ya ampun, aku bukan bergumul melawan manusia, melainkan melawan Allah sendiri.  Orang asing ini bukan suruhan kakakku, ia adalah Tuhan Allah!  Celaka aku, binasa aku!  Tapi aku mencoba bertanya, “Dan engkau, siapa namamu?”  tapi ia menolak menjawab.  Aku semakin menyadari bahwa Ia adalah Allah, Ia seolah berkata, “Yakub, tidakkah engkau menyadari siapa Aku ini?”  Ia pun memberkati aku, menurunkan kuasa atasku, kemudian pergi dan menghilang di balik kabut pagi-pagi buta.
Aku tersadar, orang yang menggulatku adalah Allah.  Ia sendiri datang dan melawanku.  Aku telah melihat Allah dan nyawaku tertolong.  Ia membiarkanku hidup.  Sama sekali tidak pernah terpikir olehku, bahwa Allahlah yang menjadi lawanku dan berusaha melumpuhkanku.  Tadinya aku berpikir bahwa Allah itu seperti seorang kakek tua baik hati yang selalu memberi hadiah.  Tapi, aku tidak menduga, Ia justru melawanku dan bermaksud melumpuhkanku.  Mengapa Allah melakukan ini?

My New Identity
Saudara-saudara, seumur hidupku, aku tidak pernah membiarkan orang lain mengatur nasibku, tidak juga Tuhan.  Aku berpikir bahwa nasibku ditentukan oleh usaha dan kecerdikanku sendiri.  Namun, peristiwa di sungai Yabok telah menamparku dengan sangat kuat.  Ini merupakan gambaran seorang anak manusia yang mencoba melawan Allah dan kehendak-Nya.  Sepanjang hidupku aku telah mencoba melawan Allah dan rencana-Nya bagi hidupku.  Dan malam itu Allah menghentikanku.  Ia membuatku menyerah dan tidak berdaya.  Ia membuatku berhenti melawan diri-Nya.  Dan di sana, Ia memberiku nama yang baru.  Mulai hari itu, aku tidak akan lagi disebut si penipu, si licik, melainkan Israel, a prince of God, nama yang lebih agung dari segala nama orang besar di dunia.  Itulah aku yang baru.
Oh, Sungai Yabok, peristiwa yang takkan kulupakan.  Hidupku tidak pernah sama lagi sejak saat itu.  Allah menghancurkan semua kekuatan dan strategi yang selama ini kuandalkan.  Aku menjadi seperti bayi yang telanjang, begitu lemah dan rapuh, di hadapan Allah yang besar, sehingga aku hanya dapat memohon, “Ya Allah, janganlah tinggalkan diriku, sebelum Engkau memberkati aku!  Tuhan, aku memerlukan-Mu, kasihanilah aku.  Aku menyerah, aku sadar bahwa aku tidak berdaya.”

My Lesson
Di luar Tuhan, kita tidak dapat berbuat apa-apa, bahkan tidak dapat menyelamatkan nyawaku sendiri.  Sepanjang hidupku aku telah berjuang melawan Allah.  Dan Allah balik melawanku.  Allah ingin kita meninggalkan semua perencanaan dan tindakan yang kita buat di luar Dia.  Ia ingin, bukan hanya mendapat kepingan terbesar dalam diri kita, ia ingin semuanya.  Bukan hanya menduduki prioritas tertinggi kita, tapi Ia ingin menjadi pusat dari seluruh keberadaan kita.  Untuk mencapai ke sana, kita harus melepas keyakinan kita akan kemampuan kita, masa lalu dan pengalaman yang cemerlang, kecakapan yang kita andalkan, dan membiarkan Dia mengatur semuanya.

My Calling
Saudara-saudara, apakah Allah sedang melawanmu saat ini?  Apakah engkau, seperti Yakub, berusaha untuk hidup dengan kemampuan dan rencanamu sendiri?  Apakah engkau mempunyai pandangan hidup seperti Yakub: jangan percaya siapapun, berjuang sendiri dengan kemampuanmu?  Ketika kita terus hidup dengan kekuatan dan perencanaan kita sendiri, sebenarnya kita sedang melawan Allah.
Mari, hari ini, jangan keraskan hatimu, Ia yang memanggilmu lebih kuat dari siapapun.  Ia mau kita melepaskan apa yang dahulu kita anggap sebagai kekuatan dan bergantung kepada-Nya, hanya kepada-Nya.  Ketika engkau terjerat masalah yang berat, pergumulan yang tak kunjung selesai, berhentilah mengandalkan kekuatanmu, Allah telah lama menanti untuk menolongmu.  Ia berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat. 11:28).”
Ia adalah Yesus, Allah yang sangat mengasihimu melebihi siapapun juga.  Ia adalah Anak Allah yang menjadi manusia untuk menyelamatkan engkau dan aku.  Ia adalah Juruselamat, dan Ia memanggilmu hari ini.  Maukah engkau melepaskan semua kebangganmu dan datang kepada-Nya, seperti seorang anak kecil yang berlari ke pelukan ayahnya?  Tangan-Nya terbuka untukmu.


Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar