6 Juni 2011

Khotbah Galatia 2:11-14

Hidup Kristen yang Berintegritas


Oleh Benny Solihin

(Dikutip dari buku 7 Langkah Menyusun Khotbah yang Mengubah Kehidupan
oleh Benny Solihin)



Pendahuluan
Tembok Besar Cina, the Great wall, merupakan bangunan terpanjang yang pernah dibuat oleh manusia. Untuk membuat tembok raksasa ini, diperlukan waktu ratusan tahun. Tembok itu panjangnya 10.000 li atau 6.400 kilometer, tingginya 8 m dan lebar bagian bawahnya 8 m, sedangkan lebar bagian atasnya 5 m. Tembok ini dibuat dengan tujuan untuk mencegah serbuan bangsa Mongol dari utara pada masa itu. Itulah sebabnya, setiap 180-270 m dibuat semacam menara pengintai. Bagi orang-orang yang hidup pada waktu itu, tembok ini terlalu tinggi untuk dapat dipanjat, terlalu tebal untuk didobrak, dan terlalu panjang untuk dikelilingi. Itulah yang membuat orang-orang yang tinggal di sebelah dalamnya merasa sangat aman.
Namun, sepanjang sejarah, beberapa ratus tahun setelah tembok itu berdiri, orang-orang di sana telah diserang tiga kali. Ribuan musuh masuk tanpa merobohkan dan memanjat tembok. Bagaimana caranya? Mereka masuk melalui pintu utama dengan cara menyuap penjaga pintu gerbang dengan sejumlah uang dan wanita. Karena hal itu, orang sering mengatakan, The Chinese were so busy relying upon the walls of stone that they forgot to teach integrity to their next generations.” Artinya, “Orang-orang Tionghoa pada masa itu terlalu bersandar pada kekuatan tembok yang terbuat dari batu tersebut, sehingga mereka lupa untuk mengajarkan tentang integritas kepada generasi muda mereka.” Tanpa integritas para penjaga, kekuatan tembok besar yang luar biasa dalam melindungi dan menyelamatkan jiwa-jiwa manusia tidak berarti apa-apa.
Saudara, sama seperti tembok besar, kekuatan Injil untuk menyelamatkan jiwa manusia tidak akan berarti apa-apa jika orang-orang Kristen yang dipercayakan Injil oleh Tuhan hidup tanpa integritas. Bukankah itu telah sering kita lihat sehari-hari. Pernahkah Saudara mendengar kalimat-kalimat seperti ini?
  • “Buat apa ke gereja? Teman saya, dari remaja sampai tua hidupnya di gereja terus, tetapi omongannya enggak ada yang bisa dipegang.
  • “Ayah saya sudah bersumpah bahwa seumur hidup ia tidak mau masuk gereja, karena waktu muda, ia pernah ditipu oleh seorang majelis gereja.
  • “Hamba Tuhan kok seperti itu? Apanya yang mau diteladani?”

Kalimat-kalimat seperti itu jelas menunjukkan bahwa kehidupan orang Kristen yang tidak mempunyai integritas merupakan ancaman yang besar bagi efektivitas penyebaran Injil.

Penjelasan
Ancaman seperti itu sesungguhnya sudah terjadi sejak awal kehidupan jemaat pertama. Bahkan dilakukan oleh seorang rasul yang justru dipercayakan oleh Tuhan Yesus sebagai pemimpin gereja mula-mula. Nama rasul itu adalah Petrus. 

Kisah Perselisihan antara Paulus dan Petrus (Gal. 2:11-14)
Latar-belakang perikop ini dimulai dengan mengisahkan tentang Petrus dan Barnabas serta orang-orang Kristen Yahudi yang sedang mengadakan perjamuan makan bersama dengan orang-orang Kristen yang bukan keturunan Yahudi dan yang tidak bersunat di Antiokhia. Hal seperti ini mungkin telah biasa dilakukan dalam jemaat Antiokhia dan juga biasa bagi Petrus. Perjamuan ini berjalan baik sampai datangnya orang-orang kelompok Yakobus dari Yerusalem. Orangorang ini mungkin adalah orang-orang Kristen yang masih memegang tradisi Taurat dengan ketat dan mengharuskan orang-orang Kristen Yahudi untuk tidak bergaul erat dengan orang-orang Kristen yang tidak bersunat, apalagi makan semeja dengan mereka.  
Melihat kedatangan orang-orang ini, Petrus menjadi takut dan ia mengundurkan diri dan menjauhi orang-orang Kristen yang tidak bersunat yang tadinya semeja dengannya. Kata “mengundurkan diri” yang dipakai oleh Paulus di sini adalah suatu istilah yang biasanya dipakai dalam istilah perang yang berarti mundur pelan-pelan mencari posisi yang aman. Petrus melakukan hal itu untuk mengamankan dirinya.
Kalau yang melakukan tindakan ini orang lain, mungkin hal itu masih bisa dimaklumi. Tetapi yang berbuat itu adalah Petrus, rasul yang diangkat oleh Tuhan Yesus sebagai pemimpin gereja. Ia melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan imannya, tidak sesuai dengan kebenaran Injil.

Latar-belakang Petrus
Saudara-saudara, Petrus bukannya tidak tahu tentang kebenaran Injil yang memberikan keselamatan kepada seluruh manusia dari seluruh bangsa, baik orang Yahudi maupun non- Yahudi. Ia tahu! Bahkan lebih dari itu.

  • Tuhan pernah memberikan suatu penglihatan kepada Petrus yang intinya adalah ia harus datang menemui seorang perwira pasukan Romawi yang bernama Kornelius untuk mengabarkan Injil kepadanya. Ini suatu paradigma baru bagi Petrus, yaitu Injil bukan hanya diperuntukkan bagi orang-orang Yahudi tetapi juga non-Yahudi. Pada peristiwa itu, Petrus sadar dan berkata kepada Kornelius dan kawan-kawannya,

“Kamu tahu, betapa kerasnya larangan bagi seorang Yahudi untuk bergaul dengan orang-orang yang bukan Yahudi atau masuk ke rumah mereka, tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir . . . . Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa manapun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya” (Kis. 10:28, 34, 35).

  •  Pada sidang raya orang-orang Kristen di Yerusalem, ketika rasul-rasul dan penatua-penatua Kristen Yahudi sedang membicarakan apakah orang-orang Kristen yang non-Yahudi harus disunat dan diwajibkan menuruti hukum Musa, Petrus sebagai pemimpin gereja berkata (7b-11),

“Allah yang mengenal hati manusia, telah menyatakan kehendak-Nya untuk menerima mereka, sebab Ia mengaruniakan Roh Kudus juga kepada mereka sama seperti kepada kita dan Ia sama sekali tidak mengadakan perbedaan antara kita dengan mereka, sesudah Ia menyucikan hati mereka oleh iman. Kalau demikian, mengapa kamu mau mencobai Allah dengan meletakkan pada tengkuk murid-murid itu suatu kuk, yang tidak dapat dipikul, baik oleh nenek moyang kita maupun oleh kita sendiri? Sebaliknya, kita percaya bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga.”

Tetapi sekarang apa yang Petrus lakukan? Alkitab berkata, “Ia mengundurkan diri dan menjauhi mereka karena takut akan saudara-saudara yang bersunat.” Sebenarnya, apa yang ditakutkan Petrus? Ada berbagai kemungkinan: (1) ia takut kalau-kalau ia akan dicap sebagai pelanggar hukum Taurat, atau (2) ia takut menjadi pribadi yang tidak menyenangkan kelompok Yakobus, atau (3) ia takut akan “diserang” oleh orang-orang dari kelompok Yakobus. Apapun alasannya, intinya adalah ia takut pada pandangan orang lain atas dirinya. Ia lebih mementingkan image-nya dan mengabaikan integritasnya. Itulah sebabnya Paulus mengatakan “kelakuannya itu tidak sesuai dengan kebenaran Injil.” Inilah kemunafikan.
Saudara, lawan kata dari “integritas” bukanlah “kurang berintegritas,” tetapi “kemunafikan.” Karena integritas itu  sendiri berarti kebulatan, keutuhan, kesamaan antara apa yang ada di dalam hati dan apa yang diucapkan, atau kesamaan antara apa yang diimani dan yang dilakukan dalam perbuatan. Bila Petrus melakukan tindakan yang tidak sama dengan apa yang diimaninya, tindakan itu tidak bisa disebut “kurang berintegritas”, tetapi “kemunafikan”.
Kata munafik (hupokrites,Yunani) merupakan ungkapan khas yang sering dipakai dalam dunia teater pada masa itu, di mana seorang aktor memainkan perannya dengan memakai topeng-topeng yang mewakili peran yang mereka mainkan. Hal ini dengan tepat menggambarkan keberadaan seorang munafik, yang berpura-pura menjadi seseorang dan menyembunyikan wajah asli mereka.

Bahaya Kemunafikan
Dalam kekristenan, kemunafikan sangat perlu diwaspadai. Mengapa?

Pertama, kemunafikan akan dengan cepat menular
Tindakan kemunafikan sangat berbahaya. Kemunafikan seperti virus yang dengan cepat menyebar   kepada orang lain. Coba perhatikan, tindakan Petrus memisahkan dirinya dari perjamuan makan bersama dengan orang-orang Kristen non- Yahudi, dengan cepat diikuti oleh orang-orang Kristen Yahudi lainnya, bahkan dalam ayat ke 13 dikatakan, “Barnabas sendiri turut terseret oleh kemunafikan mereka.” Saudara, Barnabas adalah baik, penuh dengan Roh Kudus dan iman (Kis. 11:24) tetapi menghadapi kemunafikan ia pun “turut terseret.” Apa sebabnya?
Pada dasarnya manusia adalah pemain sandiwara yang ulung. Jauh sebelum kita mengenal Kristus, kita sudah  bertahun-tahun terbiasa hidup dengan mengenakan bermacam-macam topeng. Walaupun kematian Kristus telah menyucikan hati kita, kita perlu waktu dan perjuangan yang gigih untuk berani melepaskan topeng demi topeng. Celakanya, begitu kita tersudut, dengan cepat kita akan kembali mengenakan topeng-topeng lama kita itu.
Bahayanya, sekali suatu tindakan kemunafikan ditolerir di suatu gereja, maka kemunafikan-kemunafikan yang lain akan muncul dengan cepat. Ia akan tumbuh seperti ragi dan menyebar seperti virus sehingga melumpuhkan semangat PI yang pernah berkobar dan akhirnya pengaruh gereja dalam masyarakat akan memudar.

Ilustrasi
Menurut George Barna, pendiri dan ketua dari Barna Reseacrh Group, di California, yang mengkhususkan diri untuk melakukan riset-riset Kristen, selama 15 tahun terakhir ini, gereja-gereja di Amerika telah menghabiskan dana $500 milyard. Itu berarti rata-rata per tahun gereja-gereja di Amerika telah menghabiskan dana sebesar Rp.310 triliun untuk membiayai aktivitas-aktivitas yang diadakan oleh gereja. Yang mengejutkan adalah selama 15 tahun terakhir itu persentase peningkatan jiwa-jiwa baru yang percaya pada Yesus adalah nihil. Apa sebabnya? George Barna menyimpulkan bahwa integritas para pemimpin Kristen merupakan salah satu penyebabnya. Para pemimpin yang tidak memiliki integritas telah menyebarkan kemunafikan yang meluas di dalam gereja-gereja sehingga gereja tidak ada bedanya dengan pentas teater di mana para pemainnya sibuk berganti-ganti topeng.

Kedua, kemunafikan mengaburkan kuasa kebenaran Injil
Kemunafikan Petrus tentu saja sangat menyakitkan hati orang-orang Kristen non Yahudi. Mereka tentu kecewa berat. Walaupun Alkitab tidak membicarakannya, saya memikirkan ada dua akibat yang mungkin terjadi dalam diri mereka:

1.      Mereka akan meminta diri mereka disunat agar mereka dapat menjadi orang Kristen yang sama dengan   
     orang-orang Kristen Yahudi sehingga mereka dapat diterima seutuhnya menjadi anggota gereja Tuhan.
     Jika ini terjadi, maka Injil bukan lagi Injil yang sempurna yang cukup untuk menyelamatkan manusia, tetapi 
     Injil harus plus sunat barulah lengkap.

2.      Mereka akan meninggalkan kekristenan mereka dan kembali pada kekafiran mereka. Hal ini wajar terjadi
      karena mereka merasa kecewa dan pesimis bahwa penebusan yang dilakukan oleh Kristus ternyata tidak       dapat membuat diri mereka menjadi anak-anak Allahdan menjadi satu tubuh dengan orang- orang Kristen

Saudara, tak mengherankan jika Paulus melihat kemunafikan Petrus, ia menegur Petrus dengan keras di hadapan orang banyak:
“Jika engkau, seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara Yahudi?” Kalau perkataan Paulus ini diterjemahkan ke bahasa sekarang, maka kalimatnya akan menjadi demikian, “Jika engkau, seorang Kristen, hidup seperti orang dunia, bukan secara Kristen, bagaimanakah engkau dapat memaksa orang-orang dunia untuk menjadi orang Kristen?”

Jelas, kemunafikan menghalangi orang datang kepada Kristus. Teguran keras juga dilakukan oleh Yesus ketika Ia melihat kemunafikan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Yesus sering berkumpul dengan orang-orang berdosa. Ia berbicara dengan mereka, menegur mereka, menasihati mereka dengan lemah lembut. Tetapi pada waktu Ia berhadapan dengan orang-orang munafik, nada suara-Nya keras dan tajam. Mengapa? Mungkin itu disebabkan oleh dampak besar yang diakibatkan oleh kemunafikan. Pada waktu kecurangan orang munafik terbuka, banyak orang terluka perasaannya, kecewa dan merasa dibohongi. Seorang munafik tidak saja dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan orang terhadap dirinya tetapi juga kepercayaan terhadap Tuhan.

Ilustrasi
Di Jerman, ada seorang anak Yahudi yang sangat mengagumi ayahnya. Kehidupan keluarga itu sangat saleh dan agama adalah pegangan hidup mereka. Kepala keluarga itu menuntut anak-anaknya untuk taat pada ajaran agama seperti dirinya. Pada waktu anak Yahudi itu remaja, keluarganya terpaksa pindah ke daerah lain. Di lokasi yang baru itu tidak ada sinagoge. Tokoh-tokoh penting di daerah itu adalah anggota gereja Lutheran. Pada suatu hari, si ayah mengumumkan kepada keluarganya bahwa mereka semua akan meninggalkan agama tradisi mereka, Yudaisme, dan menjadi anggota gereja  Lutheran dengan satu alasan bahwa tindakan itu perlu dilakukan demi kesuksesan bisnis mereka. Anak remaja itu bingung dan kecewa atas kemunafikan ayahnya. Kepahitan dan kemarahannya tersimpan bertahun-tahun di dalam dirinya.
Ia meninggalkan Jerman dan pergi ke Inggris untuk belajar. Tiap hari ia duduk di British Museum untuk merumuskan idenya dan mengarang buku. Dalam buku itu ia memperkenalkan pandangannya tentang kehidupan secara keseluruhan dan memimpikan suatu dunia yang baru. Buku itu adalah embrio gerakan yang dirancang untuk mengubah dunia. Dalam buku itu ia menggambarkan agama sebagai candu masyarakat yang dijelaskan lewat istilah-istilah ekonominya. Hari ini ada kurang lebih dua miliar manusia di dunia yang hidup di bawah sistim yang diciptakan oleh orang yang pahit itu. Namanya, tentu saja, adalah Karl Marx. Sungguh tragis, dampak kemunafikan seorang bapak harus ditanggung oleh miliaran manusia yang tidak bisa lagi percaya kepada Allah.

Aplikasi
Sungguh dahsyat dampak dari kemunafikan. Ketika menyadari hal ini hati kita menjadi takut karena kita sadar bahwa kita pun adalah orang-orang munafik yang hidup dari topeng ke topeng. Kita selalu ingin dilihat orang sebagai orang baik, tetapi kita tahu kita tidak demikian. Kita mengecam orang yang melakukan dosa, tetapi diam-diam kita sendiri hidup dalam dosa yang sama. Kita membenci orang yang suka berdusta, tetapi hidup kita sendiri bertahun-tahun dibangun atas kebohongan. Kita sering menggelenggelengkan kepala ketika kita mendengar kabar tentang seseorang yang enggan pergi memberitakan Injil, tetapi sebenarnya kita pun sudah lama merasa terpaksa menjalankannya. Oh, hanya Tuhan yang tahu betapa kotornya diri kita masingmasing. Kita bukanlah orang-orang Kristen yang berintegritas. Kita bukanlah orang yang jujur di mata Allah dan manusia. Bahkan kita juga tidak jujur kepada diri kita sendiri. Bila pemberitaan Injil sangat ditentukan oleh integritas kita, maka siapakah dari kita yang berani optimis bahwa pekerjaan yang Tuhan percayakan kepada kita itu akan dapat kita kerjakan dengan sukses?

Pemulihan Petrus dan Kita
Saudara, saya kira pergumulan-pergumulan yang kita alami, juga dialami oleh Petrus. Dia sadar bahwa dia bukanlah orang yang berintegritas. Dia ingat saat malam Yesus hendak disalibkan, Yesus berkata kepada Petrus bahwa ia akan menyangkal-Nya tiga kali. Kata Petrus, “Sekalipun aku harus mati bersama-sama Engkau, aku takkan menyangkal Engkau” (Mat.26:35). Beberapa jam kemudian, ia melakukan persis seperti yang dikatakan Yesus. Petrus mendapati bahwa ia bukan orang yang memiliki integritas seperti yang ia kira selama ini. Kenyataan ini pasti sangat menyakitkan hati Petrus. Petrus tentu bertanya-tanya mengapa seorang manusia sepertinya bisa ditunjuk untuk menjadi pemimpin gereja Tuhan?
Bahkan setelah ia diampuni oleh Tuhan Yesus dan dipercayakan lagi untuk menjadi pemimpin gereja untuk menggembalakan domba-domba Tuhan, ia sekali lagi jatuh pada tindakan kemunafikan. Teguran keras Paulus di muka umum tentu membuat mukanya merah. Ia mungkin marah dan berkata dalam hatinya, “Hai Paulus, jangan sombong! Siapa sih kamu itu? Sebelum kamu menjadi hamba Tuhan, aku sudah menjadi pendeta besar. Sadar Paulus, kamu itu masih mahasiswa praktik satu tahun. Masa depan kamu tergantung rekomendasi aku, ngerti!!!” Atau ia bisa saja membawa Paulus menyingkir berdua dan berkata, “Paulus, kalau aku memang salah, tegur aku secara pribadi, tapi jangan di depan orang banyak seperti itu. Bukankah Tuhan Yesus mengajar kita untuk menegur orang pertama-tama empat mata dulu? Jadi, apa maksud kamu? Ha!”
Tetapi, saudara-saudara, Alkitab diam seribu bahasa dalam melukiskan reaksi Petrus terhadap teguran keras Paulus. Saya menduga yang terjadi mungkin sebaliknya. Teguran keras Paulus mengingatkannya kembali akan suara ayam berkokok yang meruntuhkan kebanggaan dirinya. Ia kembali sadar bahwa dirinya sangat tidak memenuhi kualifikasi untuk menjadi seorang pemimpin Kristen yang dapat diteladani. Perasaan tidak layak mungkin saja menguasai dirinya dan dalam keadaan seperti itu bisa saja dia bertanya kepada Tuhan, “Mengapa aku Tuhan, mengapa aku yang Kau pilih untuk menjadi pemimpin gereja-Mu? Aku bukanlah orang yang berintegritas. Aku tetap sama, Petrus yang dulu! Ah, bagaimana mungkin aku bisa menjadi hamba yang berintegritas?”

Aplikasi
Saudara, itulah persoalan Petrus dan bukankah itu pula yang menjadi persoalan kita semua, hamba-hamba Tuhan yang terlibat dalam pelayanan Tuhan? Syukur kepada Tuhan! Meskipun Tuhan tahu orang macam apakah kita ini; meskipun Tuhan tahu bahwa kita hanyalah sumbu-sumbu yang berasap yang tidak lagi mampu menyala terang; meskipun Tuhan tahu bahwa kita hanyalah buluh-buluh yang telah terkulai yang tidak ada gunanya lagi selain dipatahkan dan dibuang, pengetahuan Tuhan itu tidak menurunkan keyakinan Tuhan bahwa kita masih dapat dipulihkan dan dapat menjadi seorang hamba yang baik. Karena itu Ia datang dan berkata, “Sumbu yang berasap tidak akan Kupadamkan, buluh yang terkulai tidak akan Ku-patahkan.”
Ia tidak memandang hina kekurangan-kekurangan kita. Ia tidak mencari seorang hamba yang sempurna, tetapi seorang hamba yang mau berpegang teguh pada kebenaran dan berusaha mewujudkannya dalam kehidupannya. Ia menghargai seorang hamba yang memiliki komitmen untuk hidup berintegritas dan yang rela ditegur oleh orang lain bila ia tidak bertindak konsisten dengan kebenaran itu.
Saudara, integritas dimulai dengan suatu kejujuran untuk mengakui kelemahan-kelemahan kita. Kemudian meminta Tuhan untuk menolong kita mengatasi kelemahan-kelemahan itu. Maka kasih karunia-Nya cukup untuk memampukan kita dalam mengatasi kelemahan-kelemahan itu dan mengubahnya menjadi tempat di mana kita selalu bersandar pada Tuhan.

Penutup
Sejarah menunjukkan kepada kita bahwa Petrus telah diubah dengan indahnya oleh Yesus. Ia telah menjadi salah satu pilar gereja mula-mula. Dalam suratnya kepada jemaat Kristen mula-mula dia menulis kepada penatua-penatua gereja,

“Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah dan jangan karena kamu mencarikeuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu” (1Ptr. 5:2-3).

Konon menurut tradisi, pada akhir hidupnya, Petrus dihukum salib dengan terbalik. Ia telah menjadi seorang hamba yang berintegritas sehingga pemberitaan Injil menjadi lebih efektif karena hidupnya.
Marilah saudara-saudara, dengan rendah hati kita datang kepada Tuhan memohon agar Ia memulihkan kita kembali. Biarlah Ia melayakkan kita lagi untuk menjadi pemberitapemberita Injil yang memiliki integritas sehingga kita bisamenjadi hamba-hamba-Nya yang efektif di ladang Tuhan.
Yakinlah, Ia tidak akan pernah membuang setiap hamba- Nya yang datang memohon pertolongan. Bahkan dengan anugerah-Nya yang melimpah, Ia akan mengubah kita menjadi baru.

Amin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar