Relasi yang Baik dengan Sesama, Wujud Ibadah yang Benar Oleh Pilipus Ferdinand Pendahuluan Saudara-saudara, coba perhatikan gambar ini. Menurut saudara ini gambar apa? (sambil menunjukkan gambar sebuah EPIRB). Ini bukan gambar sebuah termos air, tapi gambar sebuah EPIRB (Emergency Positioning Indicating Radio Beacon). EPIRB adalah salah satu instrumen keselamatan yang wajib terdapat di atas sebuah kapal. Sesuai dengan namanya, alat ini berfungsi untuk memberikan informasi tentang posisi/lokasi terakhir sebuah kapal pada saat terjadi suatu marabahaya. Tujuannya adalah supaya kapal ini segera mendapat pertolongan dari kapal-kapal lain. Pada saat kapal tenggelam dan EPIRB mulai terendam air, maka secara otomatis alat ini akan memancarkan sinyal ke satelit. Sinyal yang diterima oleh satelit akan langsung diolah untuk mengetahui nama kapal yang tenggelam itu, berikut posisi dan waktu terjadi musibah tersebut. Kemudian informasi-informasi ini akan langsung dikirim ke semua kapal-kapal di seluruh dunia. Dan kapal-kapal yang terdekat dengan posisi tersebut HARUS segera memberikan pertolongan. Sekalipun kapal yang menerima pesan marabahaya tersebut berbeda dengan kapal yang sedang mengalami musibah. Artinya, meskipun kapal tersebut tidak satu perusahaan dengannya, crew-nya juga tidak berasal dari negara yang sama. Namun, ketika sinyal dan pesan marabahaya diterimanya, maka ia akan segera menuju ke lokasi tersebut untuk memberikan pertolongan. Saudara, kadang kalau lagi berlayar, kita merasa sepertinya kita sendirian di tengah laut. Sejauh mata memandang hanya langit dan laut. Namun kita tahu ada kapal-kapal lain yang siap membantu jika kita mengalami masalah. EPIRB ini menghubungkan kita dengan kapal-kapal yang lain. Itu berarti, secara “sosial” alat ini juga berfungsi mempersatukan satu kapal dengan kapal lainnya. Tidak peduli apakah mereka satu perusahaan atau satu negara, ketika sinyal itu diterimanya, ia harus langsung memberi pertolongan. Saudara, saya kira kehidupan orang kristen juga seperti ini. Di dalam hati kita ada “EPIRB” yang mempersatukan kita, yaitu kasih Kristus. Itu berarti, kita juga tidak akan tinggal diam ketika kita tahu ada saudara seiman yang menderita. Kita juga tidak akan bersikap masa bodoh jika ada saudara kita yang membutuhkan pertolongan. Saudara, ketika gempa Nias terjadi, kita melihat banyak gereja mengirimkan bantuan, bukan hanya uang atau barang, namun mereka juga mengirim tim relawan untuk membantu mereka saudara-saudara seiman di sana. Inilah sikap hidup yang memang harus kita miliki sebagai orang percaya. Sebab sebagai orang-orang yang telah menerima anugerah melalui pengorbanan Kristus, kita pun harus hidup dalam persatuan dengan saudara seiman lainnya dan memiliki relasi yang baik dengan mereka. Namun saudara, tidak jarang kita juga menemukan situasi yang bertolak belakang. Bukankah sering kali kita melihat ada orang Kristen yang hanya mau menolong jika yang menderita itu adalah keluarga kita sendiri. Kadang kita juga melihat ada gereja hanya mau memberikan bantuan jika gereja itu satu sinode dengannya. Mereka membangun “tembok” dan tidak mau peduli dengan orang lain. Saudara, bagaimana mungkin gereja bisa menjadi saksi Kristus yang baik, jika di dalamnya saja masih terdapat perbedaan-perbedaan seperti ini? Saudara, inilah yang juga terjadi pada jemaat di Korintus. Penjelasan Saudara-saudara, seperti yang kita ketahui, jemaat Korintus adalah salah satu jemaat yang didirikan oleh Paulus, ketika ia melakukan perjalanan misinya yang kedua. Jemaat Korintus adalah jemaat sangat diberkati Tuhan. Tuhan menganugerahkan berbagai macam karunia kepada jemaat ini. Namun Saudara sekalipun demikian, jemaat Korintus justru merupakan jemaat yang paling bermasalah dan yang paling menyedihkan hati Paulus. Mengapa? Karena jemaat ini sedang terjangkiti virus “perpecahan.” Secara umum ada tiga penyebab terjadinya perpecahan di dalam jemaat Korintus: Pertama, perpecahan yang terjadi sebagai akibat munculnya praktek pengkultusan atas beberapa pemimpin, sehingga jemaat terpecah menjadi beberapa golongan, golongan Paulus, Apolos, Kefas. Kedua, perpecahan terjadi sebagai akibat adanya kesombongan rohani. Di mana jemaat yang memiliki karunia-karunia tertentu merasa lebih rohani, lebih hebat daripada yang lain. Ketiga, perpecahan yang disebabkan karena adanya diskriminasi sosial di dalam jemaat. Di mana jemaat yang kaya tetap mempertahankan eksklusifime mereka, tidak mau peduli dengan jemaat yang miskin. Nah saudara, yang terakhir/ketiga inilah yang menjadi sorotan Paulus dalam perikop yang kita baca tadi. Dari teks ini, kita melihat bahwa perpecahan yang disebabkan karena diskriminasi sosial, justru terjadi pada saat jemaat Korintus berkumpul bersama untuk makan perjamuan. Di ayat 18 Paulus mengatakan, “bahwa apabila kamu berkumpul sebagai Jemaat, ada perpecahan di antara kamu.” Saudara, telah menjadi kebiasaan gereja saat itu, bahwa setiap kali mereka mengadakan Perjamuan Kudus selalu diawali dengan perjamuan makan, yang mereka sebut perjamuan kasih. Dalam perjamuan kasih ini, biasanya masing-masing orang membawa makanannya untuk kemudian dimakan secara bersama-sama. Karena belum memiliki rumah ibadah tetap, jemaat biasanya berkumpul untuk beribadah dan makan perjamuan di rumah-rumah anggota jemaat yang kaya. Dan biasanya di rumah orang kaya ini ada 2 ruangan yang dipakai untuk berkumpul, yaitu ruangan makan (dinning room) yang disebut triclinium (ada reclining seat), dan ruang tengah yang disebut atrium (ada kolam air kecil ”Impluvium”). (Lihat gambar) Saudara, sejak awal pertemuan, perpecahan itu sudah tampak. Orang-orang kaya yang jumlahnya lebih sedikit, akan datang lebih awal, dan langsung berkumpul dalam triclinium. Mereka tidak mau bergabung bersama-sama dengan orang-orang dari kalangan menengah bawah di aula (atrium). Bukan saja berkumpul secara secara eksklusif di ruangan VIP, mereka juga langsung menikmati sendiri makanan dan minuman yang mereka bawa. Mereka tidak mau menunggu anggota jemaat yang lain, yang umumnya adalah jemaat yang tak punya, untuk berbagi makanan dengan mereka. Jadi sementara mereka kekenyangan, jemaat yang lain yang tidak membawa makanan harus rela berdiri dengan perut kosong. Sebenarnya kebiasaan saling berbagi makanan dalam perjamuan adalah suatu hal yang umum dilakukan juga oleh orang2 tidak percaya dalam ibadah mereka. Namun ironis saudara, justru di dalam gereja Tuhan sendiri suatu hal yang bahkan telah menjadi kebiasaan umum ini justru tidak dilakukan. Saudara, apa yang dilakukan jemaat Korintus ini mendapat kecaman dari Paulus. Di ayat 20, Paulus menegaskan bahwa perjamuan yang mereka lakukan itu bukanlah perjamuan Tuhan. Eksklusifisme dan sikap tidak mau berbagi yang dipraktekkan oleh para orang kaya ini dikecam Paulus, bukan saja karena akan membawa dampak tidak sehat dalam kehidupan jemaat itu. Namun juga karena sikap yang demikian jelas bertentangan dengan makna perjamuan kudus yang sedang mereka rayakan itu. Itulah sebabnya di ayat 22 ia berkata, “Apakah kamu tidak mempunyai rumah sendiri untuk makan dan minum? Atau maukah kamu menghinakan Jemaat Allah dan memalukan orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa? Apakah yang kukatakan kepada kamu? Memuji kamu? Dalam hal ini aku tidak memuji.” Dalam konteks inilah, selanjutnya Paulus mengutip kembali perkataan Tuhan Yesus pada saat Perjamuan Terakhir-Nya dengan murid-murid-Nya, untuk mengingatkan jemaat Korintus akan makna dari perjamuan kudus yang sedang mereka rayakan itu. Saudara, Tuhan Yesus sendiri sebagaimana yang dikutip Paulus di ayat 24 dan 25, mengatakan bahwa Perjamuan kudus itu dirayakan untuk mengingat akan karya Kristus, yang bukan saja telah menyelamatkan mereka, namun juga telah meruntuhkan tembok-tembok pemisah di antara mereka dan membuat mereka menjadi satu keluarga, keluarga Allah. Jadi ketika mereka memakan roti dan meminum cawan, mereka mengingat akan tubuh Kristus yang telah diserahkan dan darah-Nya yang telah dicurahkan bagi mereka. Kristus telah memberi diri-Nya untuk menyelamatkan dan mempersatukan mereka. Inilah semangat “memberi diri,” inilah semangat “berbagi” yang harus mereka teladani ketika mereka merayakan Perjamuan Kudus. Saudara, Paulus mengecam jemaat Korintus karena bukannya semangat berbagi yang mereka praktekkan, sebaliknya mereka hanya fokus pada kepentingan mereka sendiri. Mereka tidak peduli dengan orang lain. Mereka hanya mengasihi diri mereka sendiri. Tidak ada kasih di dalam perjamuan kasih yang mereka lakukan. Sikap eksklusif dan tidak mau berbagi yang dipraktekkan oleh jemaat Korintus ini, sangat kontras dengan kehidupan jemaat mula2 di Yerusalem. Kisah Para Rasul 2:44-45 mengatakan, “Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing.” Ilustrasi Saat ini tidak jarang kita melihat, sikap eksklusif yang membedakan antara orang kaya dan orang miskin masih terjadi juga dalam kehidupan gereja modern. Misalnya seperti sebuah kisah nyata yang terjadi di gereja X. Suatu kali gereja ini mengadakan acara untuk memperingati ulang tahun gereja tersebut. Panitia menyiapkan konsumsi berupa nasi kotak, yang akan dibagikan kepada seluruh jemaat yang menghadiri perayaan tersebut. Namun saudara, tanpa diketahui oleh jemaat yang lain, ternyata panitia membedakan menu di dalam nasi kotak tersebut. Kotaknya sama, tapi isinya beda. Menu untuk jemaat kaya jauh lebih enak daripada untuk jemaat biasa. Saudara, sikap yang dipraktekkan dalam gereja X ini jelas menunjukkan bahwa gereja ini sesungguhnya tidak hidup di dalam kasih dan persatuan. Mereka bukannya tidak tahu tentang prinsip kesatuan dan semangat berbagi di dalam jemaat. Mereka tahu saudara, tapi mereka tidak mau mempraktekkannya. Selanjutnya Paulus mengingatkan jemaat Korintus di ayat 27, “Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.” Saudara, sering kali orang Kristen salah memahami maksud dari perkataan Paulus di sini. Itulah sebabnya, sering kali ayat ini dipakai untuk menakut-nakuti jemaat. Perjamuan Kudus dianggap sebagai suatu ritual yang sangat sakral, sehingga hanya mereka yang suci, yang tidak berbuat dosa yang bisa ambil bagian dalam Perjamuan Kudus. Akibatnya, tidak jarang jemaat menjadi tidak berani datang ke Perjamuan Kudus. Saudara, hal ini terjadi karena mereka menafsir secara keliru ayat ini. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan makan roti dan minum cawan Tuhan dengan “cara yang tidak layak?” Frasa “dengan cara yang tidak layak” di sini mengacu pada kebiasaan jemaat Korintus yang salah yang ditulis di ayat 20-22. Dengan demikian yang dimaksud Paulus dengan makan dan minum dengan “cara yang tidak layak” di sini adalah bahwa: Barangsiapa yang mengambil bagian dalam perjamuan kudus setelah mereka menghabiskan semua makanan yang mereka bawa dalam perjamuan kasih; mereka yang tidak mau berbagi dengan yang lain; mereka yang hanya mementingkan diri sendiri pada saat perjamuan kasih tersebut; mereka inilah yang dikatakan berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Saudara, mengambil bagian dalam perjamuan kudus dengan cara atau sikap seperti ini adalah suatu dosa. Itulah sebabnya di ayat 28, Paulus mengingatkan mereka agar sebelum mereka masuk dalam perjamuan kudus, mereka harus “menguji diri” mereka terlebih dahulu. Apa maksudnya frasa “menguji diri” di sini? Apakah ini berarti bahwa hanya mereka yang benar-benar suci, mereka yang tidak berbuat dosa, yang boleh mengambil bagian dalam perjamuan kudus? Saya kira tidak. Karena jika benar syaratnya adalah harus tidak berbuat dosa, maka tentu tidak ada seorang pun yang layak mengikuti perjamuan kudus, sebab kita semua berbuat dosa. 1 Yohanes 1:8 mengatakan, “jika kita berkata bahwa kita tidak berdosa, maka kita menipu diri kita sendiri dan kebenaran tidak ada di dalam kita.” Kita adalah orang-orang berdosa yang diselamatkan oleh anugerah Allah semata. Lalu kalau begitu, apa yang dimaksud Paulus dengan “menguji diri” di ayat 28 ini? Ada penafsir yang mengatakan bahwa “menguji diri” di sini adalah berarti kita mengaku harus dosa2 kita sebelum kita datang ke meja Tuhan, ketika kita mengaku dosa kita, Tuhan menyucikan kita dan membuat kita layak datang ke hadirat-Nya. Saya kira pernyataan ini benar. Memang sebelum kita datang ke meja Tuhan kita memeriksa diri dan mengaku dosa kita kepada Tuhan. Namun, apakah hal ini yang Paulus maksudkan dengan “menguji diri” dalam konteks 1 Korintus 11? Atau apakah “menguji diri” dalam konteks perikop ini adalah, bahwa setiap orang harus memeriksa atau melihat kembali bagaimana relasinya dengan saudara seiman? Saya kira kata kunci untuk lebih memahami hal ini terdapat di ayat 29, di mana dikatakan “barangsiapa makan dan minum tanpa mengaku tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya.” Frasa “mengakui tubuh Tuhan” di sini bukan berarti kita mengakui bahwa roti tersebut adalah sungguh2 tubuh Yesus secara jasmani. Sebab dalam konteks perikop ini, frasa “tubuh Tuhan” di sini mengacu pada Tubuh Kristus. Atau yang dalam ayat 18 disebut Jemaat, gereja, yaitu orang2 yang percaya kepada Yesus. Saudara, dengan dasar inilah, jelas kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud Paulus dengan istilah “menguji diri” di ayat 28 adalah bahwa: Setiap orang yang mengambil bagian dalam perjamuan kudus tanpa mengakui adanya kesatuan dalam tubuh Kristus, atau dengan kata lain, tanpa mengakui relasi kebersamaan dengan orang percaya lainnya; orang2 inilah yang akan menghadapi penghukuman Allah. Saudara, ketika kita beribadah termasuk mengikuti perjamuan Kudus, kita tidak hanya mengarahkan fokus kita secara vertikal kepada Tuhan, tetapi kita juga memperhatikan bagaimana relasi secara horizontal dengan saudara seiman lainnya. Saudara, dua hal ini saling berkaitan satu sama lain. Namun saudara, dalam konteks pasal 11 ini, ketika Paulus mengatakan kita harus “menguji diri,” maka penekanan Paulus di sini lebih pada relasi secara horizontal dengan saudara seiman. Yaitu bahwa mereka harus memeriksa dan memastikan terlebih dahulu bahwa mereka mempunyai relasi yang baik dengan orang percaya lainnya. Dan hal ini harus ditunjukkan melalui sikap mereka yang mau berbagi dalam perjamuan kasih tersebut. Penekanan Paulus tentang relasi horizontal ini, adalah hal yang sama yang juga ditekankan oleh Tuhan Yesus dalam Matius 5:23-24, “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” Ilustrasi Saudara-saudara, tanggal 12 januari lalu sebuah gempa berkekuatan 7.0 SR menggunjang Haiti (tunjukkan gambar). Hampir 90% bangunan runtuh, ratusan ribu orang meninggal, dan jutaan lainnya luka-luka. Pasca gempa ini, Haiti berubah menjadi negara yang sangat mencekam. Orang2 yang selamat justru terlibat dalam kerusuhan besar, kejahatan di mana-mana (lihat gambar berikut). Mereka saling berebut makanan dan minuman. Bahkan saling membunuh untuk bisa mendapatkan makanan. Saudara, ada satu gambar yang saya lihat. Di mana ada seorang yang dibakar hidup2 dan diseret ditengah kota. Saya tidak ingin menampilkannya di sini, karena sangat mengerikan saudara.. Haiti ini negara Kristen, 80% penduduknya beragama Kristen dan Katolik. Namun apa yang terjadi pasca gempa ini sangat memprihatinkan. Di tengah2 kesulitan yang menimpa mereka, mereka bukannya bersatu menghadapi musibah ini. Prinsip kasih yang selama ini mereka pegang, seolah2 lenyap begitu saja. Bukannya saling meringankan beban mereka, malah masing-masing berusaha cari selamat, mikirin diri sendiri. Saya sangat memahami bahwa tentu bukan sebuah kondisi yang mudah bagi mereka. Mereka telah kehilangan tempat tinggal, keluarga yang dicintai, bahkan sekarang mereka pun terancam mati kelaparan. Namun, yang ingin saya soroti adalah sikap mereka yang begitu egosentris. Mereka tidak peduli dengan orang lain. Bukan saja tidak peduli dengan orang lain, mereka bahkan rela saling menghancurkan, saling membunuh demi kepentingan mereka sendiri. Di mana spirit of love, di mana spirit berbagi itu? Saudara-saudara, hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi di Jepang. Gempa dan tsunami yang telah memakan puluhan ribu korban. Kini yang masih hidup pun terancam bahaya radiasi nuklir. Radiasi nuklir telah mencemari makanan dan air minum, membuat beberapa wilayah di sana mengalami krisis makanan dan minuman. Namun saudara, di tengah-tengah kesulitan dan penderitaan yang mereka alami, orang Jepang tetap bersatu, dan saling memperhatikan. Krisis pangan yang terjadi bisa saja membuat mereka panik dan kemudian memborong bahan pangan sebanyak2nya dan menumpuknya di gudang. Tapi mereka tidak melakukannya, mereka tidak mau memikirkan diri mereka sendiri. Spirit kebersamaan dan sikap peduli juga muncul ketika toko2 menjual bahan makanan dengan harga diskon. Haiti dan Jepang kurang lebih mengalami musibah yang sama, penderitaan yang kurang lebih sama, namun sikap mereka dalam menghadapi kesulitan ini jelas sangat berbeda. Orang2 Haiti yang notabene orang Kristen, justru menunjukkan sikap yang tidak sesuai dengan iman yang mereka miliki. Sebaliknya orang jepang yang bukan Kristen, justru bisa menghidupi nilai2 kebersamaan, kasih dan saling peduli. Saudara, bagian ini memang berbicara dalam konteks perjamuan kudus. Tapi saya rasa bukan berarti ketika kita mau mengikuti perjamuan kudus saja, kita memperhatikan hubungan kita dengan sesama. Seluruh hidup kita adalah ibadah kepada Tuhan, bukan hanya ketika kita ada gereja saja. Itu berarti menjaga relasi yang baik, yang ditunjukkan dengan sikap saling peduli, saling berbagi, saling memperhatikan, harus menjadi bagian yang integral dalam seluruh kehidupan kita. Aplikasi Bagaimana dengan kita? Bagaimana dengan kehidupan ibadah kita? Apakah kita juga telah sungguh-sungguh memperhatikan relasi kita dengan sesama, sebaik kita menjaga saat-saat teduh kita? Adakah kita sungguh-sungguh peduli terhadap teman-teman kita yang mungkin sedang mengalami kesulitan? Atau jangan-jangan kita berpikir, oh saya kan datang untuk belajar firman Tuhan, jadi urusan sosialisasi urusan nantilah... Nantilah kalau tugas-tugas saya udah beres semua, baru saya perhatikan teman-teman saya. Nantilah... ini kan high-season, nanti aja kalau udah agak longgar. Tapi bukankah setiap hari adalah high-season saudara? Atau kita berkata, Nantilah kalau ga terlalu padat, semester ini kan padat bangat. Saudara, dulu waktu di semester satu saya merasa semester itu sulit sekali. Kini ketika berada di semester 6, saya tetap saja merasa ini semester yang sulit. Artinya apa saudara? Artinya setiap semester punya kesulitan sendiri-sendiri. Jika kita menunggu sampai punya waktu yang longgar baru kita memperhatikan orang lain, maka waktu itu tidak pernah akan datang. Penutup Saudara, ketika mempersiapkan bagian ini, saya teringat akan khotbah seorang pendeta yang mengatakan bahwa orang dunia punya prinsip “Jika-Maka,” jika punya waktu, maka saya akan memperhatikan orang lain, jika saya tidak sibuk maka saya akan menolong orang lain. Namun bagi orang percaya prinsip yang dipegang adalah “Meskipun-Namun.” Meskipun saya semester ini padat, meskipun tugas-tugas saya masih belum selesai, meskipun saya sendiri lagi dalam kesulitan, meskipun saya sendiri sedang bergumul, Namun, saya tetap akan memperhatikan orang lain, Namun, saya akan tetap berbagi waktu saya yang sedikit ini dengan orang lain. Saudara-saudara, maukah kita mengambil komitmen untuk melakukan hal ini? Kiranya Tuhan sendiri yang akan terus mengingatkan kita dan memampukan kita untuk hidup sebagaimana Ia kehendaki. Amin |
Blog ini dipersembahkan kepada setiap hamba Tuhan yang rindu untuk meningkatkan pelayanannya dalam berkhotbah. Kerinduan tsb mempunyai tujuan akhir yang pasti, yaitu hadirnya kemuliaan Tuhan dalam khotbah-khotbahnya sehingga mentransformasi setiap pendengarnya.
8 Juni 2011
Khotbah 1 Korintus 11:17-34
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Senang
BalasHapus