20 Juli 2011

Khotbah Matius 25:14-30

Setiakah Anda Dalam Mengembangkan Talenta Anda?

Oleh Rini Anggraini



Pendahuluan
Saudara-Saudara, kita tentu mengetahui sosok pria yang bernama Walt Disney.  Selain menjadi seorang produser film dan pemain sandiwara yang sangat terkenal, ia juga adalah penemu di dalam bidang animasi serta desain penempatan suara.  Melalui karya-karyanya, Disney berhasil menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa.  Karena itu, tidaklah heran bila pada akhirnya ia mendapat julukan sebagai “legenda di bidang hiburan pada abad ke-20.”
Namun, siapa yang pernah menyangka bahwa semua kesuksesan yang ia raih saat ini tidak diperolehnya dengan mudah?  Ketika itu Disney lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dan setiap hari ia harus bangun pk. 03.30 pagi untuk membantu ayahnya mengantarkan koran-koran pada pelanggan.  Setelah dewasa, Disney mencoba masuk ke dinas ketentaraan, namun usahanya gagal.  Kemudian ia pun mencoba lagi untuk melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, tetapi lagi-lagi ditolak.  Saat itu ia merasa sangat sedih dan bingung,
Saudara, rasanya ia tidak memiliki keahlian khusus lain yang dapat ia jadikan sebagai nilai jualnya, kecuali kecintaannya pada menggambar.  Karena itu perlahan-lahan ia mencoba mengembangkan kemampuannya ini dan memberanikan diri untuk mengirimkan gambar kartunnya ke berbagai studio.  Hasilnya?  Kembali ia ditolak oleh mereka karena karyanya dianggap kurang menarik.  Namun karena kegigihannya, ia pun berhasil mendapatkan kontrak dengan sebuah studio kecil.  Saya kira tidak ada satu orang pun yang pernah membayangkan, bahwa ketika film kartun buatannya yang berjudul Alice in The Wonderland itu diputar, cerita tersebut berhasil menduduki peringkat pertama film Amerika selama tiga tahun berturut-turut.  Rasanya tidak ada satu orangpun yang pernah membayangkan bahwa dari talenta menggambar yang ia miliki, Disney akhirnya berhasil mendirikan sebuah studio sendiri yang kemudian bisa menciptakan tokoh-tokoh kartun penting lainnya seperti Donald Duck, Mickey Mouse, Snow White, Cinderella, dan masih banyak lagi.  Dan rasanya tidak ada satu orangpun yang pernah membayangkan bahwa lewat kesungguhannya menggunakan dan mengembangkan talenta itu, ia berhasil mengumpulkan uang yang kemudian digunakannya untuk mendirikan sebuah taman bermain bagi anak-anak di seluruh dunia, yang dikenal dengan nama The Disneylands.
Saudara, mari kita bayangkan sejenak, kira-kira apa yang akan terjadi bila pada waktu itu Disney tidak sungguh-sungguh menyadari talenta yang ia miliki dan tidak berusaha untuk mengembangkannya dengan maksimal?  Tampaknya ia bukan hanya akan kehilangan seluruh kesuksesan yang telah ia raih selama ini, tetapi ia sendiripun tidak akan pernah menyadari bahwa di dalam dirinya ternyata tersimpan sebuah talenta yang begitu berharga, yang ketika ia kembangkan dapat menjadi berkat bagi orang-orang di seluruh dunia.  Saudara, bukan hanya Walt Disney, tetapi setiap kita di tempat ini pun juga telah dipercayakan mutiara talenta yang begitu berharga untuk kita kembangkan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah menyadarinya?  Sudahkah kita menggunakannya secara maksimal?  Atau jangan-jangan mutiara talenta tersebut sama sekali belum kita sentuh dan belum kita kenali...

I.       Ada pembagian talenta-talenta dan terjadi perbedaan dalam pengelolaannya (tidak dibacakan)
Penjelasan
Saudara, persoalan mengenai talenta ini bukanlah satu persoalan yang dianggap sepele oleh Tuhan Yesus.  Ketika Yesus memberitakan kebenaran tentang kedatangan-Nya nanti yang kedua, issue mengenai talenta menjadi satu bagian penting yang disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya.  Waktu itu Yesus ingin, saat Ia pergi, para murid dapat setia menggunakan seluruh talenta yang telah dipercayakan pada mereka.  Yesus pun mengumpamakannya seperti seorang tuan kaya yang berencana untuk bepergian ke luar negeri dalam tempo yang cukup lama.  Sang tuan ini kemudian memanggil ketiga orang hambanya dan mempercayakan hartanya untuk dikelola oleh mereka.  Saudara, Yesus di sini sesungguhnya memberikan penggambaran yang sangat menarik.  Setiap kita mungkin tidak merasa heran ketika mendengar cerita seperti ini.  Namun, tidak demikian halnya kalau kita hidup di zaman dulu.  “Mempercayakan harta kepada hamba” adalah sebuah kejadian yang tidak biasa dan tidak akan pernah didengar oleh siapapun juga pada saat itu karena kedudukan seorang hamba dianggap sangat rendah.  Hamba di zaman dulu itu tidak punya kesempatan untuk memiliki sesuatu, bahkan atas hidupnya sendiri saja mereka tidak punya hak apa-apa.  Seumur hidup, mereka adalah milik tuannya.
Karena itulah, kesempatan untuk mengelola harta milik sang tuan sesungguhnya adalah suatu anugerah dan kepercayaan yang luar biasa.  Dan, kepercayaan yang tuannya berikan ini tidak main-main.  Hamba yang pertama diberi lima talenta, hamba yang kedua diberi dua, dan yang ketiga diberi satu talenta, masing-masing menurut kesanggupannya.  Saudara, talenta merupakan satuan mata uang yang terbesar di zaman itu.  Seorang pekerja kira-kira harus bekerja 20 tahun untuk bisa mendapatkan satu talenta saja, itupun tanpa dipotong biaya makan dan biaya hidup lainnya.  Jadi meskipun hanya mendapat satu talenta, jumlah tersebut bukanlah jumlah yang patut diremehkan dan lebih dari cukup bagi seorang hamba untuk mulai berusaha.  Dapatkah Saudara bayangkan bagaimana kira-kira perasaan ketiga hamba ini ketika diberi kepercayaan untuk mengelola harta tuannya yang begitu besar? 
Alkitab mengatakan bahwa hamba yang pertama dan kedua ini “segera pergi” untuk menjalankan uang tersebut.   Frasa “segera pergi” di sini sesungguhnya merupakan bukti bahwa mereka tahu dengan jelas tanggung jawab besar yang telah dipercayakan tuannya dan mereka pun langsung berusaha mengerjakannya tanpa ditunda.  Kedua hamba ini tidak hanya duduk berlipat tangan sambil menunggu keuntungan datang kepadanya, namun mereka sungguh-sungguh berusaha keras melangkahkan kakinya mencari keuntungan.  Dan benar saja, jerih payah mereka tidak sia-sia.  Kedua hamba ini dikatakan berhasil menggandakan uangnya serta meraih keuntungan sebanyak 100%.
Namun, hal ini kontras sekali dengan apa yang dilakukan oleh hamba ketiga.  Hamba yang memperoleh satu talenta ini lebih memilih untuk pergi dan menggali lobang di dalam tanah, lalu menyembunyikan uang tuannya di sana.  Saudara, kita memang tidak tahu apa yang menjadi alasan di balik semua tindakannya itu.  Alkitab sendiri pun tidak pernah memberikan gambaran yang jelas mengenai motif dari tindakannya.  Akan tetapi satu hal yang dapat kita ketahui bersama adalah bahwa menurut hukum rabinik pada zaman itu, tindakan menguburkan talenta merupakan tindakan yang dinilai paling aman untuk menghindari kerugian.  Jadi kalau mau dipikir secara logis, tindakan menguburkan talenta sebenarnya adalah tindakan paling tepat yang dapat ditempuh seseorang untuk membebaskannya dari kerugian yang mungkin terjadi.  Uang yang telah dipercayakan oleh tuannya ini tidak akan berkurang sedikitpun.  Tetapi yang menjadi permasalahannya adalah apakah itu yang dikehendaki oleh tuannya? Saudara, sebenarnya pembagian talenta ini dimaksudkan agar para hamba dapat bekerja bagi tuannya, dan bukannya berdiam diri seperti ini.  Pembagian talenta dimaksudkan untuk memampukan hamba ini meningkatkan keuntungan tuannya, dan bukannya dikubur tanpa memperoleh keuntungan sedikit pun. 

Ilustrasi
SS, beberapa waktu yang lalu seorang rekan saya bercerita dengan antusiasnya bahwa sekarang ia telah memiliki sebuah handphone yang baru.  Dengan wajah sumringah ia berkata, “Kamu tahu gak kalo handphone ini tuh adalah handphone yang sudah lama kuidam-idamkan!  Modelnya baru dan keren banget!”  Pada waktu itu saya benar-benar senang ketika mengetahui bahwa impiannya untuk memiliki handphone ini akhirnya terkabul juga.  Kemudian saya pun bertanya pada dia, “Memangnya di handphone-mu itu ada fasilitas apa aja seh?”  Kemudia dia menjawab, “Wahhh buaanyyaaaakkkkkk!  Semua bisa, lengkap deh pokoknya, namanya juga handphone canggih!”  “Berarti kamu uda bisa facebook-an dari handphone-mu dong?”  Dengan muka memerah dan tersenyum lebar dia berkata, “Nah itu dia masalahnya, gue kagak tau cara pakenya!!  Hehehe, ajarin dong!”  Oh Saudara, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, handphone yang begitu canggih, yang dilengkapi dengan fasilitas kamera, MP3, internet, face-book, e-mail, menjadi sia-sia karena hanya digunakan sebatas telepon dan sms!  Sungguh sangat disayangkan bukan?  Seluruh fitur canggih pada handphone tersebut akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya hanya karena pemilik HP tersebut tidak berusaha untuk menggunakan dan mengoptimalkannya.

Aplikasi
Saudara-Saudara, mungkin kita saat ini bisa tersenyum-senyum geli ketika mendengar kisah “kegaptekan” rekan saya ini.  Tapi bukankah kalau mau jujur, kita pun seringkali “gaptek” di dalam mengenali talenta-talenta yang telah Tuhan percayakan pada kita?  Atau mungkin juga ada diantara kita yang sudah tahu apa talenta-talenta kita, namun belum menggunakannya secara maksimal?  Harus saya akui, saya pun pernah menjadi orang yang seperti ini.  Jangankan berusaha untuk mengembangkan talenta yang saya miliki, menggunakan pun rasanya sangat jarang.  Bahkan saya juga sempat tidak mengetahui apa yang menjadi talenta saya.  Namun saya kemudian disadarkan bahwa sesungguhnya talenta yang telah Tuhan percayakan itu bukan untuk disimpan, namun harusnya dipakai dan dikembalikan bagi kemuliaan Tuhan.  Hal ini pula yang Tuhan mau dari setiap engkau, Saudara, sadarilah bahwa sesungguhnya Tuhan telah memberikan pada kita mutiara talenta yang begitu berharga, yang sesuai dengan kapasitas dan panggilan kita di dunia ini.  Ada yang diberi talenta berbicara di depan audience, menyanyi, memimpin pujian, bermain drama, menggambar, fasih dalam berbicara, dan masih banyak lagi.  Ada pula diantara kita yang dipercaya lima, dua, atau mungkin hanya satu talenta.  Namun, apapun jenisnya dan berapapun jumlah talenta yang dipercayakan, kita tetap harus sungguh-sungguh menemukan, mengolah, dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan serta menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita. 
Dan ketahuilah Saudara bahwa setiap keputusan yang kita ambil, entah itu setia dalam mengelola talenta yang telah Tuhan percayakan maupun mengabaikannya begitu saja, sesungguhnya akan membawa kita pada suatu konsekuensi...

II.    Ada penghitungan atas pekerjaan mereka (tidak dibacakan)
Penjelasan
Saudara, kita kembali pada kisah Alkitab tadi. Lama setelah itu dikatakan bahwa sang tuan akhirnya pulang, lalu mengadakan perhitungan dengan ketiga orang hambanya.  Perhitungan pun dilakukan sesuai waktu dan urutannya, dimulai dari hamba pertama.  Hamba yang pertama datang bukan hanya dengan lima talenta yang dia terima, tetapi juga dengan lima talenta yang dihasilkannya.  Hamba ini dapat mendekati tuannya dengan perasaan bebas karena ia telah melakukan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh dan setia.  Hamba ini mengakui dengan rasa syukur atas kesediaan tuannya memberikan sesuatu kepadanya.  Ini dapat dilihat dari pernyataan, “Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku.  Kemudian dia melanjutkan, “lihat, aku telah beroleh laba lima talenta.”  “Lima talenta lainnya” ini berasal dari kata alla talanta (άλλα τάλαντα), yang memberikan suatu ekspresi penekanan; bukan hanya pada talenta-talenta yang sebelumnya telah ia miliki, namun juga pada talenta-talenta lain yang telah berhasil diperoleh.
Dan kesenangan itu menjadi semakin sempurna saat tuannya pun memberikan pujian serta hadiah kepada hamba tersebut, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia.  Engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.  Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” 
         Hal yang sama rupanya dialami juga oleh hamba yang kedua.  Kemurahan hati tuannya ini ternyata tidak berkurang sedikit pun.  Sang tuan tetap memberikan penghargaan yang sama seperti yang telah diberikan pada hamba yang pertama.
Namun saat hamba yang ketiga datang untuk memberikan pertanggungjawaban, suasana pun berubah.  Bukannya segera mengembalikan uang tersebut, hamba ini justru mengeluarkan dulu sedikit perkataan, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut di mana tuan tidak menanam.”  Saudara, coba perhatikan baik-baik.  Saat berbicara, hamba ini rupanya tetap menggunakan panggilan sopan yang sama dengan kedua hamba lainnya, yaitu “Sir” atau “tuan”, namun pada kenyataannya ia memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai tuannya.   Berbeda dengan kedua rekannya, hamba ini justru menganggap tuannya sebagai orang yang kejam, yang menuai di tempat di mana ia tidak menabur dan memungut di mana ia tidak menanam.  Karena alasan inilah hamba itu takut dan pergi menyembunyikan talenta tuannya di dalam tanah.
Saudara, hamba yang ketiga ini kemudian mencoba memberikan pertanggungjawaban kepada tuannya.  Dia mengandalkan dalih karena takut menanggung resiko, maka dia menggali lubang di dalam tanah dan menguburkan uangnya.  Akibatnya ia mampu berkata, “Ini, terimalah kepunyaan tuan!  Kata “ini” berasal dari kata ide (ϊδε) yang artinya look, yang seolah-olah mengatakan bahwa dia memang tidak dapat menggandakan talenta tersebut seperti yang dilakukan oleh teman-temannya, tetapi dia juga ingin menyampaikan bahwa talenta tuannya tersebut tidak berkurang sedikit pun.  Jadi kalau diterjemahkan, kurang lebih hamba itu berkata: “Look, you have what is yours.”  Terlihat sekali dari pernyataannya bahwa hamba tersebut berbicara seolah-olah yang dia lakukan itu bukanlah kesalahan besar.  Malah, tampaknya dia merasa layak memperoleh pujian atas sikapnya yang berhati-hati dengan menyimpan talenta itu di tempat yang aman dan tidak membahayakan.  Di sini ia mengira bahwa dalihnya itu akan berhasil sehingga dia akan selamat dari hukuman. 
Saudara, kalau mau dikoreksi, bukankah kita juga sering menciptakan alasan atas setiap kesalahan yang telah kita lakukan.  Pikiran kita otomatis bekerja untuk mencari alasan agar kita dapat terhindar dari hukuman yang mungkin akan kita alami.  Jika di dunia ini ada sekolah khusus untuk membuat alasan, maka setiap kita mungkin telah mendapatkan gelar doktor atau bahkan mungkin ada diantara kita yang sudah mendapatkan gelar profesor.  Betapa mudahnya kita menyalahkan orang-orang di sekitar kita dan bahkan pada Tuhan sendiri.  Di dunia, kita mungkin masih bisa berbuat begini. Tapi kelak, saat penghakiman-Nya tiba, kita tidak akan dapat berkelit lagi, persis seperti yang dialami hamba ketiga ini…
Secara mengejutkan, sang tuan ini justru berkata kepada hambanya (ay. 26-27), “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam?  Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembalinya aku menerimanya serta dengan bunganya.”  Saudara, pada bagian ini sebenarnya sang tuan sedang mencoba untuk mengatakan bahwa jika sang hamba tahu kalau tuannya kejam, maka sudah sepatutnyalah ia melakukan kebalikan dari apa yang telah dilakukannya. Artinya, jika sang tuan adalah seorang yang kejam, bukankah hamba ini seharusnya menjadi lebih rajin dan lebih bersungguh-sungguh lagi untuk menyenangkan sang tuan? Setidaknya kalau bukan demi kasih maka rasa takut itulah yang harusnya membuat hamba ini bekerja. Atau jika sang hamba menganggap bahwa sang tuan menuai di tempat di mana ia tidak menabur, maka hal itu sesungguhnya tidak ada urusannya dengan diri sang hamba karena tuannyalah pemilik dari talenta tersebut dan ia jelas menghendaki supaya talenta itu dikembangkan.”  Saudara, dakwaan-dakwaan tersebut rupanya mampu menyadarkan dan membungkam hamba ini sehingga ia tidak dapat membela dirinya lagi.
Setelah memarahi hamba tersebut dan membuatnya jelas mengapa dia dipersalahkan, sang tuan pun mengambil tindakan yang sangat tegas. Katanya, “Sebab itu…”  Saudara, kata “sebab itu” sangatlah penting karena menunjukkan hubungan sebab akibat.  Di sini jelas sekali digambarkan bahwa tuannya itu bukan orang yang bertindak semena-mena.  Hamba yang telah diberi kepercayaan ini telah menyia-nyiakan kepercayaan yang tuannya telah berikan, “sebab itu” ia layak menerima konsekuensinya.

Ilustrasi
Saudara, suatu hari seorang sahabat saya mengirimkan sebuah sms singkat pada saya, “ntar kalo loe uda pulang cepet telepon gue yah.  Gue lagi bener-bener sedih!”  Saudara, tidak biasanya ia mengirim sms yang seperti ini.  Dengan penuh kecemasan, akhirnya saya pun segera meneleponnya dan bertanya ada masalah apa.  Dengan terisak ia pun menceritakan bahwa hari itu ia telah dipecat dari pekerjaannya di Jakarta.  Setelah ia cukup tenang, saya pun kemudian bertanya apa yang menyebabkan perusahaan tersebut memecatnya?  Sahabat saya ini kemudian bercerita kalau selama ini dia itu dianggap tidak menunjukkan kinerja yang baik selama bekerja di sana.  Sebagai karyawan, ia dinilai kurang bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sehingga perusahaan pun akhirnya memecatnya.  Saudara, setiap kita yang pernah bekerja tentu menyadari sekali akan aturan-aturan seperti ini.  Ada punishment yang akan perusahaan berikan kepada karyawan yang dinilai tidak bertanggung jawab menjalankan tanggung jawabnya.  Namun di balik itu, perusahaan pun akan menyediakan reward bagi karyawan yang dinilai baik dalam pekerjaannya.  Dan setiap kita bisa mengalami kejadian seperti yang teman saya alami.
Saudara,  jika perusahaan di dunia ini saja dapat memberlakukan aturan seperti ini, apalagi Tuhan yang jelas-jelas adalah pemilik seluruh hidup kita dan juga atas talenta-talenta kita.  Bukankah Ia jauh lebih berhak untuk meminta pertanggungjawaban setiap kita dalam menggunakan seluruh talenta yang telah Ia percayakan?

Aplikasi
Saudara, sadarilah bahwa menggunakan talenta itu bukan suatu pilihan, namun merupakan satu keharusan bagi setiap kita di tempat ini.  Ia memiliki tujuan-tujuan ilahi ketika mempercayakannya pada kita dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan tersebut.  Dan ada waktunya, di mana setiap kita harus mempertanggungjawabkan hal ini.  Pada saat penghakiman terakhir setiap kita akan dihakimi sesuai dengan kesetiaan kita menggunakan talenta yang telah Tuhan percayakan.  Saudara, kebenaran ini sesungguhnya bukan untuk menakut-nakuti setiap kita.  Tapi kita diajak untuk mengintropeksi diri kita, apakah selama ini kita telah setia dalam menggunakan apa yang telah Tuhan percayakan.  Selagi masih ada waktu, selagi masih ada kesempatan, mari pergunakan seluruh talenta itu dengan sebaik-baiknya.

Penutup
Jadi jelaslah Sdr bahwa talenta yang telah Tuhan percayakan adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi kita.  Kita dapat dipercaya untuk melayani Allah dan juga menjadi rekan sekerja-Nya di tengah dunia ini.  Mari kita syukuri hal ini. Bertanggung jawablah untuk sungguh-sungguh menemukan, mengolah, dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan serta menjadi berkat bagi orang di sekitar kita, sehingga kelak Tuhan akan bisa berkata, Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar.  Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu. 

Amin.

2 komentar: