Jujurkah Kita? Oleh Rini Anggraini Pendahuluan Saudara-Saudara, kejujuran tampaknya telah menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan kita dewasa ini. Mulai dari pengemis jalanan yang pura-pura sakit, pedagang yang mengurangi timbangan, pelaku bisnis yang main curang, produsen iklan yang menggunakan trik untuk menipu konsumen, hingga para koruptor dari kelas teri maupun kelas kakap, rasanya cukup dapat menjadi gambaran nyata bahwa nilai-nilai kejujuran itu memang sudah pudar. Karena itu, tepatlah apa yang dikatakan oleh seorang wartawan sebuah surat kabar, “Ketidakjujuran tampaknya sudah menjadi suatu kebiasaan yang sangat umum dalam masyarakat kita. Terkadang ketidakjujuran itu dilakukan karena dianggap sebagai alasan yang terbaik. Namun, ketidakjujuran juga tidak jarang dilakukan hanya demi keuntungan pribadi, secara khusus untuk memudahkan usaha-usaha yang berkaitan dengan hubungan-hubungan sosial maupun bisnis.” Saudara, pada suatu siang ada seorang salesman obat mengetuk pintu sebuah rumah tua yang penghuninya miskin. Setelah wanita pemilik rumah ini mengintip siapa yang datang, ia segera berkata kepada anak laki-lakinya yang masih kecil, “Nak, ayo cepat bukakan pintu dan katakan pada salesman tersebut bahwa ibu sedang mandi.” Sang anak pun segera berlari ke depan dan setelah membukakan pintu ia berkata, “Pak, tadi ibu saya berpesan dari ruang tamu katanya ia sedang mandi.” Saudara, kejadian sepele seperti di atas tentu bukanlah hal yang asing lagi di telinga kita, atau bahkan hal seperti itu telah menjadi bagian yang kita lakukan sehari-hari. Kita juga sering ikut tergelincir dalam praktik-praktik ketidakjujuran, baik dalam perkara-perkara yang besar maupun sekedar mengatakan dusta-dusta kecil, dusta-dusta untuk menjaga kesopanan, mengatakan kejujuran yang setengah benar saja, atau melakukan tindakan-tindakan lain yang serupa? Saudara, kejujuran memang barang langka yang sukar ditemui dalam masyarakat kini. Penjelasan “Sebenarnya apa seh yang dimaksud dengan kejujuran itu? Kejujuran, seperti yang diuraikan dalam Alkitab, sesungguhnya memiliki makna yang luas. Mari kita sama-sama membuka Titus 2:7-8, “Jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu, sehat dan tidak bercela dalam pemberitaanmu sehingga lawan menjadi malu, karena tidak ada hal-hal buruk yang dapat mereka sebarkan tentang kita.” Selain itu mari kita kembali membuka 2Korintus 8:21. SS, ketika Paulus menuliskan tentang komitmennya untuk mengurus dengan jujur uang yang diberikan orang-orang percaya guna membantu orang-orang yang kekurangan, dia berkata begini: “Karena kami memikirkan yang baik, bukan hanya di hadapan Tuhan, tetapi juga di hadapan manusia.” Dari sini kita melihat bahwa kejujuran itu sesungguhnya bukan hanya berbicara mengenai pemakaian lidah untuk berkata kebenaran, tetapi melibatkan juga cara hidup serta pola pemikiran yang benar sehingga dapat menghasilkan gaya hidup yang patut dipuji dan dihormati. Kejujuran itu harus meliputi cara hidup kita seluruhnya, yaitu seluruh pembicaraan, pikiran, motivasi, serta tindakan kita; baik ketika kita sedang sendiri maupun ketika berhadapan dengan orang lain. Melalui pengertian tersebut kita harus menyadari bahwa standar kejujuran yang Allah berikan jelas tidak sama dengan standar kejujuran yang dunia tawarkan. Bagi dunia, kejujuran itu hanya bersifat relatif dan tergantung pada situasi. Apa yang benar dalam satu situasi belum tentu benar di dalam situasi lain. Akibatnya, tidak ada standar kejujuran yang absolut. Terkadang dunia juga sering menyamakan kejujuran dengan hukum. Mereka mengatakan bahwa apa saja yang diperbolehkan di dalam hukum yang tertulis dari negara adalah jujur. Jika hukum tidak menyebutkan bahwa suatu tindakan itu adalah benar atau salah, maka mereka akan menganggap bahwa hal tersebut benar. Karena itu tidak heran bila ada banyak orang-orang yang melakukan praktek ketidakjujuran namun tetap dapat berkata, “Loh memangnya kenapa kalau aku melakukan ini? Toh tidak ada hukum yang melarang!” Ada pula orang-orang yang menilai kejujuran itu sebagai persoalan hati nurani dari setiap orang. Mereka berpendapat bahwa mematuhi hukum-hukum yang berlaku itu hanya dilakukan agar tidak memperoleh hukuman saja. Jadi sesungguhnya, hukum yang sebenarnya itu ada di dalam diri seseorang. Tidak ada tindakan yang benar-benar salah sehingga apapun boleh diperbuat dan sama sekali tidak dinyatakan salah, kecuali hal tersebut melanggar hati nuraninya. Saudara, itulah nilai-nilai kejujuran yang dunia tawarkan saat ini. Semuanya sangatlah subyektif dan tidak memiliki standar yang pasti. Namun tidak demikian dengan Alkitab, Bagi Allah, kejujuran adalah sesuatu yang mutlak dan harus dilakukan dalam seluruh aspek hidup kita. Kejujuran itu bukan sekedar apa yang kita katakan dan kita perbuat, namun menyangkut seluruh motivasi, pikiran, serta hati kita. Kejujuran itu bukan sekedar dilakukan dalam perkara-perkara besar, namun menyangkut pula perkara-perkara kecil yang mungkin kita anggap remeh. Dan kejujuran itu pun bukan sekedar dilakukan untuk kepentingan diri, namun menyangkut tanggung jawab kita juga kepada Allah dan sesama. Ilustrasi Di dalam bukunya, seorang musisi bernama Don Wyrtzen menceritakan bagaimana ayahnya, Jack Wyrtzen, pendiri Word of Life, mengajarnya secara keras tentang kejujuran. Dikisahkan bawa saat itu Don menghadiri KKR ayahnya di New York’s Time Square. Suatu kali ia dan temannya yang bernama Jimmy memutuskan untuk naik kereta bawah tanah. Alih-alih membeli tiket seharga 15 sen dolar, mereka memutuskan untuk merangkak saja di bawah pintu pagar putar. Malam itu, ia dan Jimmy menyombongkan kepandaian mereka sehingga dapat naik kereta keliling New York tanpa membayar apa pun. Namun, sang ayah justru menanggapi hal itu dengan sangat serius. Sang ayah mengatakan pada mereka bahwa tindakan tersebut adalah kecurangan dan Allah sangat membencinya. Kemudian ia pun dipaksa oleh ayahnya untuk menulis sepucuk surat ke New York City Port of Authority dan meminta maaf kepada mereka serta melampirkan uang untuk membayar tiket. Saudara, bagi sang ayah kejujuran adalah perkara yang sangat serius di mata Allah dan ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk mengajari anaknya mengenai hal ini. Aplikasi Lalu bagaimana dengan setiap kita? Apakah kita pun menyadari bahwa kejujuran adalah suatu hal yang sangat dituntut Allah dalam kehidupan orang percaya? Penjelasan lebih lanjut Saudara, berulang kali Alkitab menegaskan pada kita bahwa sifat hakiki Allah adalah kebenaran. Dalam Yesaya 65:16 dan Mazmur 31:6 dikatakan bahwa Ia adalah Allah yang Benar; Mazmur 119:16 dan Yohanes 17:17 juga mengatakan bahwa Ia adalah Firman yang Benar; kemudian Yohanes 16:13 pun berkata hal yang serupa bahwa Ia adalah Roh yang Benar. Jadi, Allah yang kita miliki sesungguhnya adalah Allah yang Benar, dapat diandalkan, setia, serta dapat dipercaya di dalam memelihara komitmen-komitmen-Nya. Oleh karena itulah, Allah sangat membenci, bahkan mengutuki ketidakjujuran di dalam segala bentuknya. Ketidakjujuran merupakan kekejian bagi-Nya karena itu adalah milik Si Jahat. Yohanes 8:44 mengatakan bahwa iblis adalah pendusta dan bapa dari segala pendusta. Jadi pada saat kita melakukan ketidakjujuran, sesungguhnya kita sedang mengikuti pola hidup iblis dan menempatkan diri untuk menjadi musuh Allah. Apakah Saudara ingat akan kisah Ananias dan Safira? Suami istri ini menjual sebidang tanah kemudian menyimpan sebagian uangnya untuk mereka sendiri serta membawa sisanya kepada rasul sebagai persembahan. Mereka tidak berdosa karena mereka memberi sebagian hasil penjualan tanah mereka, namun mereka jatuh dalam dosa ketika berusaha membuat orang lain percaya bahwa mereka telah memberikan seluruh uangnya bagi Tuhan. Dan akibat perbuatan tersebut, Allah menghukum mati Ananias dan Safira saat itu juga. Saudara, di sini kita menyaksikan bahwa Allah sangat membenci ketidakjujuran, bahkan yang sekecil apapun bentuknya. Ia menindak pelanggaran tersebut dengan begitu keras. Karenanya, Saudara, jangan sekali-kali kita berpikir bahwa saat ini Allah tidak akan keberatan bila kita bersikap tidak jujur. Seharusnya kisah tersebut dapat menjadi warning bagi kita bahwa Allah sangat concern akan masalah kejujuran. Ia menuntut agar setiap orang percaya dapat mempraktikkan kejujuran ini secara konsisten, di mana pun dan kapan pun, baik ketika sedang sendiri maupun saat berhadapan dengan orang lain. Saudara-Saudara, seharusnya sebagai orang percaya kita dapat menyadari kembali dengan sungguh-sungguh apa peran kita yang sebenarnya di tengah dunia ini. Dalam Efesus 5:8-11, Paulus pun menjelaskan hal ini secara tegas, “Memang dahulu kamu adalah kegelapan, tetapi sekarang kamu adalah terang di dalam Tuhan. Sebab itu hiduplah sebagai anak-anak terang, karena terang hanya berbuahkan kebaikan dan keadilan dan kebenaran, dan ujilah apa yang berkenan kepada Tuhan. Janganlah turut mengambil bagian dalam perbuatan-perbuatan kegelapan yang tidak berbuahkan apa-apa, tetapi sebaliknya telanjangilah perbuatan-perbuatan itu.” Di sini Paulus mencoba menegaskan bahwa kehidupan orang percaya tidaklah boleh sama seperti dahulu. Allah telah menebus kita dari cara hidup kita yang lama sehingga kehidupan kita saat ini haruslah berpadanan dengan status kita yang baru. Yang menarik adalah ketika Paulus mencoba mengontraskan kehidupan orang percaya dan orang yang belum percaya dengan istilah terang dan gelap. Istilah terang di sini sebenarnya merupakan penggambaran Paulus akan terang yang telah dibawa oleh Yesus Kristus ke dalam hidup orang-orang percaya. Rupanya ada tiga hal yang ingin Paulus tekankan mengenai istilah “terang” tersebut. Pertama, terang akan menghasilkan buah-buah yang baik, yaitu kebajikan, keadilan, dan kebenaran. Kedua, terang memampukan orang-orang percaya untuk membedakan apa yang membawa sukacita dan dukacita bagi Allah. Dan yang ketiga, terang itu akan membuka tabir dari setiap kejahatan. Saudara, seharusnya kebenaran ini dapat menyadarkan setiap kita bahwa inilah peran yang harus kita jalani sebagai orang percaya. Sesungguhnya Allah telah memampukan sekaligus menuntut kita untuk menjadi terang di tengah-tengah dunia yang gelap ini, dan salah satunya adalah melalui kehidupan yang jujur. Allah ingin agar kejujuran itu bukan hanya sekedar sesuatu yang kita ketahui atau percayai, namun dapat menjadi gaya hidup setiap kita sehingga orang lain pun dapat melihat perbedaan tersebut. Ilustrasi Saudara, suatu hari saya mendengar sebuah kesaksian yang menarik dari seorang pemuda Kristen yang baru saja lahir baru. Pemuda itu menceritakan tentang pengalamannya ketika pergi berbelanja ke sebuah supermarket. Diceritakan bahwa setelah selesai berbelanja dan membayar, ia pun bergegas kembali ke mobil sambil mendorong kereta belanjaannya. Saat ia sedang memasukkan barang-barang belanjaannya, ia rupanya menemukan ada sebuah kartu ucapan yang terselip di bawah kereta belanjaan tersebut dan belum sempat ia bayarkan. Spontan saja ia bergegas masuk lagi ke toko, mengantri, dan meminta maaf pada kasir. Saat kasir tersebut sedang membungkus kartunya, seorang ibu yang berada di belakangnya tampak tercengang sambil berkata pelan, “Ya ampun Dik, itu kan cuma sebuah kartu ucapan! Siapa juga yang tahu? Enggak usah kembali!” Saudara, kemudian pemuda tersebut bercerita bahwa selama beberapa detik ia hanya bisa terdiam tanpa tahu harus berkata apa. Namun, tak lama kemudian ia berhasil mendapatkan jawaban yang tepat untuk ibu tersebut, “Bu, seandainya ibu kehilangan dompet,” katanya sambil tersenyum, “Saya yakin ibu berharap dompet itu ditemukan oleh orang konyol seperti saya, bukan?” Aplikasi Saudara, saat ini dunia sangat membutuhkan orang-orang yang jujur. Dan kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melakukannya? Setiap kita dipanggil bukan untuk menjadi serupa dengan dunia ini, namun untuk membawa terang, sehingga orang-orang dapat melihat perbedaan di dalam diri kita. Mungkin tindakan kita memang tidak akan bisa menghentikan praktik-praktik ketidakjujuran yang ada di dalam dunia ini, namun setidaknya kita telah belajar untuk menetapkan standar kejujuran tersebut pada diri kita sendiri. Setelah itu, kita akan bisa melanjutkannya pula dalam keluarga kita, tempat kerja, bahkan lingkungan sekitar kita. Penutup Percayalah Saudara apa yang kita lakukan tidak akan pernah sia-sia karena Allah sangat menghargai setiap usaha kita dalam menerapkan kejujuran. Ada kemungkinan bahwa dalam perjalanannya, setiap kita akan mengalami begitu banyak masalah, seperti kehilangan pekerjaan, diejek, dijauhi, dan banyak tantangan-tantangan berat lain yang dapat saja kita hadapi. Namun percayalah, Allah sendiri yang akan menjadi pembela kita. Kita tidak perlu takut, sebab hidup kita ada di tangan-Nya. Yang terpenting Saudara, teruslah hidup dalam kejujuran dan jangan menyerah! Lihatlah bagaimana Allah akan berkarya melalui kehidupan kita. Amin. |
Blog ini dipersembahkan kepada setiap hamba Tuhan yang rindu untuk meningkatkan pelayanannya dalam berkhotbah. Kerinduan tsb mempunyai tujuan akhir yang pasti, yaitu hadirnya kemuliaan Tuhan dalam khotbah-khotbahnya sehingga mentransformasi setiap pendengarnya.
20 Juli 2011
Khotbah Eks. Topikal: Kejujuran
Khotbah Matius 25:14-30
Setiakah Anda Dalam Mengembangkan Talenta Anda? Oleh Rini Anggraini Pendahuluan Saudara-Saudara, kita tentu mengetahui sosok pria yang bernama Walt Disney. Selain menjadi seorang produser film dan pemain sandiwara yang sangat terkenal, ia juga adalah penemu di dalam bidang animasi serta desain penempatan suara. Melalui karya-karyanya, Disney berhasil menyentuh hati jutaan orang di seluruh dunia, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa. Karena itu, tidaklah heran bila pada akhirnya ia mendapat julukan sebagai “legenda di bidang hiburan pada abad ke-20.” Namun, siapa yang pernah menyangka bahwa semua kesuksesan yang ia raih saat ini tidak diperolehnya dengan mudah? Ketika itu Disney lahir dalam sebuah keluarga yang miskin dan setiap hari ia harus bangun pk. 03.30 pagi untuk membantu ayahnya mengantarkan koran-koran pada pelanggan. Setelah dewasa, Disney mencoba masuk ke dinas ketentaraan, namun usahanya gagal. Kemudian ia pun mencoba lagi untuk melamar pekerjaan ke berbagai perusahaan, tetapi lagi-lagi ditolak. Saat itu ia merasa sangat sedih dan bingung, Saudara, rasanya ia tidak memiliki keahlian khusus lain yang dapat ia jadikan sebagai nilai jualnya, kecuali kecintaannya pada menggambar. Karena itu perlahan-lahan ia mencoba mengembangkan kemampuannya ini dan memberanikan diri untuk mengirimkan gambar kartunnya ke berbagai studio. Hasilnya? Kembali ia ditolak oleh mereka karena karyanya dianggap kurang menarik. Namun karena kegigihannya, ia pun berhasil mendapatkan kontrak dengan sebuah studio kecil. Saya kira tidak ada satu orang pun yang pernah membayangkan, bahwa ketika film kartun buatannya yang berjudul Alice in The Wonderland itu diputar, cerita tersebut berhasil menduduki peringkat pertama film Amerika selama tiga tahun berturut-turut. Rasanya tidak ada satu orangpun yang pernah membayangkan bahwa dari talenta menggambar yang ia miliki, Disney akhirnya berhasil mendirikan sebuah studio sendiri yang kemudian bisa menciptakan tokoh-tokoh kartun penting lainnya seperti Donald Duck, Mickey Mouse, Snow White, Cinderella, dan masih banyak lagi. Dan rasanya tidak ada satu orangpun yang pernah membayangkan bahwa lewat kesungguhannya menggunakan dan mengembangkan talenta itu, ia berhasil mengumpulkan uang yang kemudian digunakannya untuk mendirikan sebuah taman bermain bagi anak-anak di seluruh dunia, yang dikenal dengan nama The Disneylands. Saudara, mari kita bayangkan sejenak, kira-kira apa yang akan terjadi bila pada waktu itu Disney tidak sungguh-sungguh menyadari talenta yang ia miliki dan tidak berusaha untuk mengembangkannya dengan maksimal? Tampaknya ia bukan hanya akan kehilangan seluruh kesuksesan yang telah ia raih selama ini, tetapi ia sendiripun tidak akan pernah menyadari bahwa di dalam dirinya ternyata tersimpan sebuah talenta yang begitu berharga, yang ketika ia kembangkan dapat menjadi berkat bagi orang-orang di seluruh dunia. Saudara, bukan hanya Walt Disney, tetapi setiap kita di tempat ini pun juga telah dipercayakan mutiara talenta yang begitu berharga untuk kita kembangkan. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita sudah menyadarinya? Sudahkah kita menggunakannya secara maksimal? Atau jangan-jangan mutiara talenta tersebut sama sekali belum kita sentuh dan belum kita kenali... I. Ada pembagian talenta-talenta dan terjadi perbedaan dalam pengelolaannya (tidak dibacakan) Penjelasan Saudara, persoalan mengenai talenta ini bukanlah satu persoalan yang dianggap sepele oleh Tuhan Yesus. Ketika Yesus memberitakan kebenaran tentang kedatangan-Nya nanti yang kedua, issue mengenai talenta menjadi satu bagian penting yang disampaikan Yesus kepada murid-murid-Nya. Waktu itu Yesus ingin, saat Ia pergi, para murid dapat setia menggunakan seluruh talenta yang telah dipercayakan pada mereka. Yesus pun mengumpamakannya seperti seorang tuan kaya yang berencana untuk bepergian ke luar negeri dalam tempo yang cukup lama. Sang tuan ini kemudian memanggil ketiga orang hambanya dan mempercayakan hartanya untuk dikelola oleh mereka. Saudara, Yesus di sini sesungguhnya memberikan penggambaran yang sangat menarik. Setiap kita mungkin tidak merasa heran ketika mendengar cerita seperti ini. Namun, tidak demikian halnya kalau kita hidup di zaman dulu. “Mempercayakan harta kepada hamba” adalah sebuah kejadian yang tidak biasa dan tidak akan pernah didengar oleh siapapun juga pada saat itu karena kedudukan seorang hamba dianggap sangat rendah. Hamba di zaman dulu itu tidak punya kesempatan untuk memiliki sesuatu, bahkan atas hidupnya sendiri saja mereka tidak punya hak apa-apa. Seumur hidup, mereka adalah milik tuannya. Karena itulah, kesempatan untuk mengelola harta milik sang tuan sesungguhnya adalah suatu anugerah dan kepercayaan yang luar biasa. Dan, kepercayaan yang tuannya berikan ini tidak main-main. Hamba yang pertama diberi lima talenta, hamba yang kedua diberi dua, dan yang ketiga diberi satu talenta, masing-masing menurut kesanggupannya. Saudara, talenta merupakan satuan mata uang yang terbesar di zaman itu. Seorang pekerja kira-kira harus bekerja 20 tahun untuk bisa mendapatkan satu talenta saja, itupun tanpa dipotong biaya makan dan biaya hidup lainnya. Jadi meskipun hanya mendapat satu talenta, jumlah tersebut bukanlah jumlah yang patut diremehkan dan lebih dari cukup bagi seorang hamba untuk mulai berusaha. Dapatkah Saudara bayangkan bagaimana kira-kira perasaan ketiga hamba ini ketika diberi kepercayaan untuk mengelola harta tuannya yang begitu besar? Alkitab mengatakan bahwa hamba yang pertama dan kedua ini “segera pergi” untuk menjalankan uang tersebut. Frasa “segera pergi” di sini sesungguhnya merupakan bukti bahwa mereka tahu dengan jelas tanggung jawab besar yang telah dipercayakan tuannya dan mereka pun langsung berusaha mengerjakannya tanpa ditunda. Kedua hamba ini tidak hanya duduk berlipat tangan sambil menunggu keuntungan datang kepadanya, namun mereka sungguh-sungguh berusaha keras melangkahkan kakinya mencari keuntungan. Dan benar saja, jerih payah mereka tidak sia-sia. Kedua hamba ini dikatakan berhasil menggandakan uangnya serta meraih keuntungan sebanyak 100%. Namun, hal ini kontras sekali dengan apa yang dilakukan oleh hamba ketiga. Hamba yang memperoleh satu talenta ini lebih memilih untuk pergi dan menggali lobang di dalam tanah, lalu menyembunyikan uang tuannya di sana. Saudara, kita memang tidak tahu apa yang menjadi alasan di balik semua tindakannya itu. Alkitab sendiri pun tidak pernah memberikan gambaran yang jelas mengenai motif dari tindakannya. Akan tetapi satu hal yang dapat kita ketahui bersama adalah bahwa menurut hukum rabinik pada zaman itu, tindakan menguburkan talenta merupakan tindakan yang dinilai paling aman untuk menghindari kerugian. Jadi kalau mau dipikir secara logis, tindakan menguburkan talenta sebenarnya adalah tindakan paling tepat yang dapat ditempuh seseorang untuk membebaskannya dari kerugian yang mungkin terjadi. Uang yang telah dipercayakan oleh tuannya ini tidak akan berkurang sedikitpun. Tetapi yang menjadi permasalahannya adalah apakah itu yang dikehendaki oleh tuannya? Saudara, sebenarnya pembagian talenta ini dimaksudkan agar para hamba dapat bekerja bagi tuannya, dan bukannya berdiam diri seperti ini. Pembagian talenta dimaksudkan untuk memampukan hamba ini meningkatkan keuntungan tuannya, dan bukannya dikubur tanpa memperoleh keuntungan sedikit pun. Ilustrasi SS, beberapa waktu yang lalu seorang rekan saya bercerita dengan antusiasnya bahwa sekarang ia telah memiliki sebuah handphone yang baru. Dengan wajah sumringah ia berkata, “Kamu tahu gak kalo handphone ini tuh adalah handphone yang sudah lama kuidam-idamkan! Modelnya baru dan keren banget!” Pada waktu itu saya benar-benar senang ketika mengetahui bahwa impiannya untuk memiliki handphone ini akhirnya terkabul juga. Kemudian saya pun bertanya pada dia, “Memangnya di handphone-mu itu ada fasilitas apa aja seh?” Kemudia dia menjawab, “Wahhh buaanyyaaaakkkkkk! Semua bisa, lengkap deh pokoknya, namanya juga handphone canggih!” “Berarti kamu uda bisa facebook-an dari handphone-mu dong?” Dengan muka memerah dan tersenyum lebar dia berkata, “Nah itu dia masalahnya, gue kagak tau cara pakenya!! Hehehe, ajarin dong!” Oh Saudara, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, handphone yang begitu canggih, yang dilengkapi dengan fasilitas kamera, MP3, internet, face-book, e-mail, menjadi sia-sia karena hanya digunakan sebatas telepon dan sms! Sungguh sangat disayangkan bukan? Seluruh fitur canggih pada handphone tersebut akhirnya tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya hanya karena pemilik HP tersebut tidak berusaha untuk menggunakan dan mengoptimalkannya. Aplikasi Saudara-Saudara, mungkin kita saat ini bisa tersenyum-senyum geli ketika mendengar kisah “kegaptekan” rekan saya ini. Tapi bukankah kalau mau jujur, kita pun seringkali “gaptek” di dalam mengenali talenta-talenta yang telah Tuhan percayakan pada kita? Atau mungkin juga ada diantara kita yang sudah tahu apa talenta-talenta kita, namun belum menggunakannya secara maksimal? Harus saya akui, saya pun pernah menjadi orang yang seperti ini. Jangankan berusaha untuk mengembangkan talenta yang saya miliki, menggunakan pun rasanya sangat jarang. Bahkan saya juga sempat tidak mengetahui apa yang menjadi talenta saya. Namun saya kemudian disadarkan bahwa sesungguhnya talenta yang telah Tuhan percayakan itu bukan untuk disimpan, namun harusnya dipakai dan dikembalikan bagi kemuliaan Tuhan. Hal ini pula yang Tuhan mau dari setiap engkau, Saudara, sadarilah bahwa sesungguhnya Tuhan telah memberikan pada kita mutiara talenta yang begitu berharga, yang sesuai dengan kapasitas dan panggilan kita di dunia ini. Ada yang diberi talenta berbicara di depan audience, menyanyi, memimpin pujian, bermain drama, menggambar, fasih dalam berbicara, dan masih banyak lagi. Ada pula diantara kita yang dipercaya lima, dua, atau mungkin hanya satu talenta. Namun, apapun jenisnya dan berapapun jumlah talenta yang dipercayakan, kita tetap harus sungguh-sungguh menemukan, mengolah, dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan serta menjadi berkat bagi orang-orang di sekitar kita. Dan ketahuilah Saudara bahwa setiap keputusan yang kita ambil, entah itu setia dalam mengelola talenta yang telah Tuhan percayakan maupun mengabaikannya begitu saja, sesungguhnya akan membawa kita pada suatu konsekuensi... II. Ada penghitungan atas pekerjaan mereka (tidak dibacakan) Penjelasan Saudara, kita kembali pada kisah Alkitab tadi. Lama setelah itu dikatakan bahwa sang tuan akhirnya pulang, lalu mengadakan perhitungan dengan ketiga orang hambanya. Perhitungan pun dilakukan sesuai waktu dan urutannya, dimulai dari hamba pertama. Hamba yang pertama datang bukan hanya dengan lima talenta yang dia terima, tetapi juga dengan lima talenta yang dihasilkannya. Hamba ini dapat mendekati tuannya dengan perasaan bebas karena ia telah melakukan tanggung jawabnya dengan sungguh-sungguh dan setia. Hamba ini mengakui dengan rasa syukur atas kesediaan tuannya memberikan sesuatu kepadanya. Ini dapat dilihat dari pernyataan, “Tuan, lima talenta tuan percayakan kepadaku. Kemudian dia melanjutkan, “lihat, aku telah beroleh laba lima talenta.” “Lima talenta lainnya” ini berasal dari kata alla talanta (άλλα τάλαντα), yang memberikan suatu ekspresi penekanan; bukan hanya pada talenta-talenta yang sebelumnya telah ia miliki, namun juga pada talenta-talenta lain yang telah berhasil diperoleh. Dan kesenangan itu menjadi semakin sempurna saat tuannya pun memberikan pujian serta hadiah kepada hamba tersebut, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia. Engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Hal yang sama rupanya dialami juga oleh hamba yang kedua. Kemurahan hati tuannya ini ternyata tidak berkurang sedikit pun. Sang tuan tetap memberikan penghargaan yang sama seperti yang telah diberikan pada hamba yang pertama. Namun saat hamba yang ketiga datang untuk memberikan pertanggungjawaban, suasana pun berubah. Bukannya segera mengembalikan uang tersebut, hamba ini justru mengeluarkan dulu sedikit perkataan, “Tuan, aku tahu bahwa tuan adalah manusia yang kejam yang menuai di tempat di mana tuan tidak menabur dan yang memungut di mana tuan tidak menanam.” Saudara, coba perhatikan baik-baik. Saat berbicara, hamba ini rupanya tetap menggunakan panggilan sopan yang sama dengan kedua hamba lainnya, yaitu “Sir” atau “tuan”, namun pada kenyataannya ia memiliki pandangan yang sangat berbeda mengenai tuannya. Berbeda dengan kedua rekannya, hamba ini justru menganggap tuannya sebagai orang yang kejam, yang menuai di tempat di mana ia tidak menabur dan memungut di mana ia tidak menanam. Karena alasan inilah hamba itu takut dan pergi menyembunyikan talenta tuannya di dalam tanah. Saudara, hamba yang ketiga ini kemudian mencoba memberikan pertanggungjawaban kepada tuannya. Dia mengandalkan dalih karena takut menanggung resiko, maka dia menggali lubang di dalam tanah dan menguburkan uangnya. Akibatnya ia mampu berkata, “Ini, terimalah kepunyaan tuan! Kata “ini” berasal dari kata ide (ϊδε) yang artinya look, yang seolah-olah mengatakan bahwa dia memang tidak dapat menggandakan talenta tersebut seperti yang dilakukan oleh teman-temannya, tetapi dia juga ingin menyampaikan bahwa talenta tuannya tersebut tidak berkurang sedikit pun. Jadi kalau diterjemahkan, kurang lebih hamba itu berkata: “Look, you have what is yours.” Terlihat sekali dari pernyataannya bahwa hamba tersebut berbicara seolah-olah yang dia lakukan itu bukanlah kesalahan besar. Malah, tampaknya dia merasa layak memperoleh pujian atas sikapnya yang berhati-hati dengan menyimpan talenta itu di tempat yang aman dan tidak membahayakan. Di sini ia mengira bahwa dalihnya itu akan berhasil sehingga dia akan selamat dari hukuman. Saudara, kalau mau dikoreksi, bukankah kita juga sering menciptakan alasan atas setiap kesalahan yang telah kita lakukan. Pikiran kita otomatis bekerja untuk mencari alasan agar kita dapat terhindar dari hukuman yang mungkin akan kita alami. Jika di dunia ini ada “sekolah khusus untuk membuat alasan”, maka setiap kita mungkin telah mendapatkan gelar doktor atau bahkan mungkin ada diantara kita yang sudah mendapatkan gelar profesor. Betapa mudahnya kita menyalahkan orang-orang di sekitar kita dan bahkan pada Tuhan sendiri. Di dunia, kita mungkin masih bisa berbuat begini. Tapi kelak, saat penghakiman-Nya tiba, kita tidak akan dapat berkelit lagi, persis seperti yang dialami hamba ketiga ini… Secara mengejutkan, sang tuan ini justru berkata kepada hambanya (ay. 26-27), “Hai kamu, hamba yang jahat dan malas, jadi kamu sudah tahu, bahwa aku menuai di tempat di mana aku tidak menabur dan memungut dari tempat di mana aku tidak menanam? Karena itu sudahlah seharusnya uangku itu kauberikan kepada orang yang menjalankan uang, supaya sekembalinya aku menerimanya serta dengan bunganya.” Saudara, pada bagian ini sebenarnya sang tuan sedang mencoba untuk mengatakan bahwa jika sang hamba tahu kalau tuannya kejam, maka sudah sepatutnyalah ia melakukan kebalikan dari apa yang telah dilakukannya. Artinya, jika sang tuan adalah seorang yang kejam, bukankah hamba ini seharusnya menjadi lebih rajin dan lebih bersungguh-sungguh lagi untuk menyenangkan sang tuan? Setidaknya kalau bukan demi kasih maka rasa takut itulah yang harusnya membuat hamba ini bekerja. Atau jika sang hamba menganggap bahwa sang tuan menuai di tempat di mana ia tidak menabur, maka hal itu sesungguhnya tidak ada urusannya dengan diri sang hamba karena tuannyalah pemilik dari talenta tersebut dan ia jelas menghendaki supaya talenta itu dikembangkan.” Saudara, dakwaan-dakwaan tersebut rupanya mampu menyadarkan dan membungkam hamba ini sehingga ia tidak dapat membela dirinya lagi. Setelah memarahi hamba tersebut dan membuatnya jelas mengapa dia dipersalahkan, sang tuan pun mengambil tindakan yang sangat tegas. Katanya, “Sebab itu…” Saudara, kata “sebab itu” sangatlah penting karena menunjukkan hubungan sebab akibat. Di sini jelas sekali digambarkan bahwa tuannya itu bukan orang yang bertindak semena-mena. Hamba yang telah diberi kepercayaan ini telah menyia-nyiakan kepercayaan yang tuannya telah berikan, “sebab itu” ia layak menerima konsekuensinya. Ilustrasi Saudara, suatu hari seorang sahabat saya mengirimkan sebuah sms singkat pada saya, “ntar kalo loe uda pulang cepet telepon gue yah. Gue lagi bener-bener sedih!” Saudara, tidak biasanya ia mengirim sms yang seperti ini. Dengan penuh kecemasan, akhirnya saya pun segera meneleponnya dan bertanya ada masalah apa. Dengan terisak ia pun menceritakan bahwa hari itu ia telah dipecat dari pekerjaannya di Jakarta. Setelah ia cukup tenang, saya pun kemudian bertanya apa yang menyebabkan perusahaan tersebut memecatnya? Sahabat saya ini kemudian bercerita kalau selama ini dia itu dianggap tidak menunjukkan kinerja yang baik selama bekerja di sana. Sebagai karyawan, ia dinilai kurang bertanggung jawab menjalankan pekerjaannya sehingga perusahaan pun akhirnya memecatnya. Saudara, setiap kita yang pernah bekerja tentu menyadari sekali akan aturan-aturan seperti ini. Ada punishment yang akan perusahaan berikan kepada karyawan yang dinilai tidak bertanggung jawab menjalankan tanggung jawabnya. Namun di balik itu, perusahaan pun akan menyediakan reward bagi karyawan yang dinilai baik dalam pekerjaannya. Dan setiap kita bisa mengalami kejadian seperti yang teman saya alami. Saudara, jika perusahaan di dunia ini saja dapat memberlakukan aturan seperti ini, apalagi Tuhan yang jelas-jelas adalah pemilik seluruh hidup kita dan juga atas talenta-talenta kita. Bukankah Ia jauh lebih berhak untuk meminta pertanggungjawaban setiap kita dalam menggunakan seluruh talenta yang telah Ia percayakan? Aplikasi Saudara, sadarilah bahwa menggunakan talenta itu bukan suatu pilihan, namun merupakan satu keharusan bagi setiap kita di tempat ini. Ia memiliki tujuan-tujuan ilahi ketika mempercayakannya pada kita dan kita harus berusaha sekuat tenaga untuk mencapai tujuan tersebut. Dan ada waktunya, di mana setiap kita harus mempertanggungjawabkan hal ini. Pada saat penghakiman terakhir setiap kita akan dihakimi sesuai dengan kesetiaan kita menggunakan talenta yang telah Tuhan percayakan. Saudara, kebenaran ini sesungguhnya bukan untuk menakut-nakuti setiap kita. Tapi kita diajak untuk mengintropeksi diri kita, apakah selama ini kita telah setia dalam menggunakan apa yang telah Tuhan percayakan. Selagi masih ada waktu, selagi masih ada kesempatan, mari pergunakan seluruh talenta itu dengan sebaik-baiknya. Penutup Jadi jelaslah Sdr bahwa talenta yang telah Tuhan percayakan adalah suatu anugerah yang luar biasa bagi kita. Kita dapat dipercaya untuk melayani Allah dan juga menjadi rekan sekerja-Nya di tengah dunia ini. Mari kita syukuri hal ini. Bertanggung jawablah untuk sungguh-sungguh menemukan, mengolah, dan menggunakannya bagi kemuliaan Tuhan serta menjadi berkat bagi orang di sekitar kita, sehingga kelak Tuhan akan bisa berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, engkau telah setia memikul tanggung jawab dalam perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” Amin. |
Khotbah Lukas 5 : 1-11
Panggilan yang Mengubahkan
Oleh Rini Anggraini
Pendahuluan
Saudara-Saudara, pada bulan Maret lalu sebuah surat kabar menuliskan headline yang cukup besar pada halaman utamanya: “Heroik, Bill Clinton bebaskan dua wartawan.” Kisah ini rupanya dimulai dengan ditawannya dua orang wartawan Amerika, Laura Ling dan Euna Lee, oleh Korea Utara yang kita ketahui bersama sedang mengalami ketegangan cukup besar dengan negara Amerika. Negara komunis ini mendapati mereka sedang melakukan kegiatan jurnalistik di wilayah Korea Utara secara ilegal sehingga mereka dituduh telah memata-matai negara ini. Akhirnya, kedua wanita ini pun dikenai sanksi hukuman 12 tahun kerja paksa.
Mendengar berita ini, Amerika, negara super power yang dikenal sebagai negara yang sangat protektif terhadap warga negaranya, memanggil dan mengutus Bill Clinton untuk melakukan sebuah misi. Clinton diminta untuk mengupayakan jalur diplomasi bagi kedua wartawan ini agar dapat segera dibebaskan. SS, usaha ini ternyata membuahkan hasil. Clinton berhasil membebaskan mereka sehingga presiden dan rakyat Amerika pun memberikan sambutan serta apresiasi yang luar biasa.
Nah, mari kita berandai-andai. Seandainya saudara menjadi Bill Clinton, apa yang kira-kira saudara rasakan? Bangga, karena dipilih oleh sebuah negara super power seperti Amerika? Atau senang, karena mendapatkan kepercayaan untuk melakukan tugas yang mulia di mana tidak semua orang mendapat kepercayaan ini? Jika hal ini yang saudara rasakan, saya pikir itu wajar. Sangat manusiawi kalau kita merasa bangga dan senang ketika memperoleh misi besar di mana tidak semua orang dipercaya untuk melakukannya.
Tetapi tahukah Saudara, sesungguhnya kita yang ada di tempat ini adalah orang-orang yang juga telah dipercayakan suatu misi yang besar dan mulia. Kita dipanggil untuk melakukan perkara-perkara kekekalan, di mana tidak semua orang bisa memperolehnya. Dan panggilan ini bukan berasal dari Presiden, Raja, atau orang penting lainnya, namun dari Tuhan Yang Berkuasa, Raja di Atas Segala Raja, Tuhan yang telah menciptakan seluruh alam semesta ini. Bukankah itu merupakan kebanggaan yang luar biasa?
Saudara-Saudara, sesungguhnya hamba Tuhan adalah orang-orang yang secara khusus dipanggil oleh Allah untuk mengerjakan misi-Nya.
Setidaknya ada dua kebenaran yang harus kita ketahui berkenaan dengan panggilan Allah ini…
I. Panggilan kita sebagai hamba Tuhan adalah didasarkan pada anugerah-Nya semata.
Penjelasan
Saudara, saya tidak tahu bagaimana perasaan Saudara sekalian ketika mengetahui bahwa Tuhan telah memanggil Saudara untuk menjadi hamba-Nya. Mungkin ada diantara kita yang merasa begitu tidak layak menerima panggilan ini. Tapi, mungkin juga ada diantara kita yang menganggap, “ Oh, memang sudah sepantasnya Tuhan memilih saya, karena saya adalah orang yang giat melayani Tuhan, saya fasih dalam berbicara, saya pandai dan memiliki banyak karunia, serta rajin mengabarkan Injil. Wah, pokoknya sosok hamba Tuhan tuh gue banget deh!”
Saudara, melalui perikop ini sesungguhnya kita bisa melihat dengan jelas orang-orang seperti apa yang Tuhan panggil untuk menjadi murid-murid-Nya. Menarik sekali kalau kita lihat bagaimana Tuhan justru memilih dan memanggil orang-orang yang berasal dari tepi Danau Genesaret. Tepi Danau Genesaret adalah satu daerah yang terpencil dan cukup miskin, di mana mata pencahariaan utama penduduknya adalah menangkap ikan. Orang-orang yang tinggal di sana rata-rata kurang terpelajar, kurang sopan, dan tutur katanya pun kasar. Namun, Tuhan tetap memanggil Simon, Yakobus dan Yohanes, yang menurut orang tampaknya tidak berkualitas, untuk menjadi murid-murid-Nya.
Ketika Yesus tiba di tempat ini, orang-orang saling berdesakan untuk mendekati Dia. Rupanya, mereka ingin sekali mendengarkan pengajaran-Nya. Agar tidak terjepit diantara orang banyak, Yesus pun akhirnya meminjam salah satu perahu, yaitu milik Simon dan memintanya untuk menolakkan perahu tersebut sedikit jauh dari pantai. Kemudian, Yesus pun mengajar dari atas sana.
Setelah selesai mengajar, Yesus kembali meminta Simon untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jalanya. Saudara, saat itu rupanya hari sudah cukup siang. Simon yang adalah seorang nelayan profesional pasti tahu bahwa menangkap ikan yang paling baik itu seharusnya dilakukan di malam hari, bukannya di siang bolong seperti ini. Pada siang hari, ikan-ikan justru akan turun untuk mencari tempat yang lebih sejuk. Saya mencoba membayangkan apa yang kira-kira dipikirkan Simon pada saat itu. Berbagai kebingungan dan keberatan mungkin timbul di benaknya, “Hah, kembali lagi ke laut? Apa tidak salah? Kami yang sudah terbiasa melaut saja semalaman sudah tidak berhasil mendapatkannya, apalagi sekarang di siang bolong seperti ini? Ini sesuatu yang mustahil! Lagipula, Yesus itu kan seorang Guru. Masa lalunya pun tukang kayu. Ia pasti tidak tahu kapan waktu yang tepat untuk menjala ikan!” Sesungguhnya pernyataan-pernyataan seperti itu mungkin saja terlintas di benak Simon yang notabene sudah ahli dalam menjala ikan. Tetapi tahukah SS apa yang menjadi responnya saat itu? Simon berkata, “Guru, telah semalam-malaman kami tak henti-hentinya menjala dan kami tidak berhasil menangkap apa-apa. Tetapi, karena Engkau yang menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Ya Saudara, Simon tetap memutuskan untuk mengikuti perintah Yesus. Walau bagaimanapun juga, Yesus adalah Guru yang sangat ia hormati. Meskipun Simon mungkin tidak setuju dengan pemikiran-Nya, meskipun saat itu Simon merasa sangat lelah dan ingin cepat pulang, ia tetap menaati perintah Gurunya.
Dan kemudian mukjizat itu pun terjadi, di depan mata Simon, di dalam perahu miliknya sendiri. Ia gentar, bingung! Pikirannya kembali dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan, “Sesungguhnya siapakah Orang ini sehingga laut dan segala isinya dapat tunduk kepada-Nya? Tidak mungkin seorang biasa dapat melakukan mukjizat seperti itu karena jumlah ikan-ikan yang mereka peroleh jauh melebihi batas normal sehingga peristiwa ini pasti bukan hanya kebetulan belaka.” Tiba-tiba saja ia mulai sadar siapakah Yesus yang sebenarnya. Pada saat itulah Simon langsung tersungkur di hadapan Yesus. Ia merebahkan diri, berlutut dengan muka sampai menyentuh tanah sebagai tanda hormat dan sembah. Lalu dengan gentar Simon Petrus berkata, “Tuhan, pergilah dari padaku, karena aku ini seorang berdosa”. Saudara, perkataan ini sesungguhnya bukanlah permintaan kepada Yesus agar segera pergi, namun lebih mengacu pada teriakan kebingungan, ketakutan, kegentaran, karena Simon yang inferior harus berhadapan dengan Tuhan yang superior, dia yang hanya ciptaan harus berhadapan dengan Sang Pencipta, dan dia yang berdosa harus berhadapan dengan Tuhan Yang Mahakuasa. J. I. Packer mengatakan bahwa, “Seseorang yang telah mengalami mukjizat-Nya, tidak mungkin tidak menyadari akan kehadiran serta kuasa Allah di dalam dunia ini.” Sesungguhnya hal inilah yang dialami oleh Simon Petrus.
Dan hal yang serupa pernah dialami pula oleh Nabi Yesaya saat Allah mendatanginya. Ia berkata, “Celakalah aku! Aku binasa! Sebab aku ini seorang yang najis bibir, dan aku tinggal di tengah-tengah bangsa yang najis bibir, namun mataku telah melihat Sang Raja, yakni Tuhan semesta alam.” Saudara, saat berhadapan langsung dengan kekudusan Allah, setiap orang pasti akan menyadari ketidaklayakan dirinya.
Saudara-Saudara, siapakah Petrus? Siapakah Yesaya? Siapakah saya? Dan siapakah saudara di hadapan Allah? Sesungguhnya kita hanyalah orang-orang berdosa, orang-orang yang sama sekali tidak layak di hadapan-Nya. Tidak ada satu pun yang dapat kita banggakan di hadapan Allah Yang MahaKudus dan MahaMulia. Namun, Ia telah memanggil kita untuk menjadi hamba-Nya. Bukankah ini merupakan anugerah yang besar?
Ilustrasi
Saudara, pernahkah Anda mendengar nama John Sala? Dia adalah seorang hamba Tuhan yang dipakai secara luar biasa untuk melayani dan membina ribuan narapidana melalui pelayanan penjara Little Lambs. Tahukah Saudara bagaimana masa lalu John? Saat menginjak usia 30, ia telah keluar masuk penjara sebanyak 22 kali karena terlibat dengan berbagai macam kasus, mulai dari kasus pencurian, pemakaian dan penjualan obat-obatan terlarang, bahkan hingga kasus pembunuhan. Saat itu hidupnya sudah benar-benar hancur. Ia dibenci oleh banyak orang, dianggap sebagai sampah masyarakat, dan tidak ada satu orang pun yang mengasihinya, termasuk keluarganya sendiri.
Tetapi, tidak demikian dengan Tuhan. Dengan kasih-Nya, dengan anugerah-Nya, Tuhan memberi John kesempatan untuk mengenal Kristus melalui pelayanan seorang pendeta di penjara. Saat itu, hidupnya diubah secara total. Dan tidak berhenti sampai di sana. Anugerah yang sama itu juga telah memanggil John kembali ke penjara, tetapi bukan sebagai tahanan, melainkan sebagai hamba Tuhan yang memperkenalkan kasih Allah kepada para narapidana. Saudara, coba pikirkan siapakah sesungguhnya John Sala itu sehingga Tuhan mau memanggilnya? Apakah dia memiliki kriteria yang baik untuk menjadi seorang hamba Tuhan? Tidak! Tetapi…
Tuhan dapat mengambil bejana hina,
Membentuknya dengan kuasa tangan-Nya,
Mengisinya dengan harta sangat berharga,
Dan menjadikannya berkat luar biasa.
Aplikasi
Jangan pernah lupakan hal ini, Saudara. Sama seperti John Sala, kita pun hanyalah bejana yang hina, pendosa-pendosa yang telah menerima anugerah-Nya. Karenanya, janganlah kita sombong! Jangan pernah merasa bahwa diri kita memang layak menjadi hamba Tuhan karena kehebatan-kehebatan yang kita miliki, kecakapan, kepintaran, atau apapun kelebihan yang ada di dalam diri kita. Sesungguhnya panggilan kita sebagai hamba Tuhan adalah karena anugerah-Nya semata.
Saudara, panggilan Allah bagi kita rupanya bukan hanya berbicara tentang anugerah saja, melainkan berbicara juga mengenai suatu tujuan. Dan inilah yang menjadi kebenaran kedua…
II. Panggilan kita sebagai hamba Tuhan adalah untuk menjangkau jiwa-jiwa
Penjelasan
Rasanya masih segar dalam ingatan kita peristiwa bencana alam yang telah beberapa kali menimpa negara ini; mulai dari tsunami, gempa, banjir, dan masih banyak peristiwa lainnya, yang telah menewaskan ratusan ribu orang. Ketika melihat musibah ini, pernahkah Saudara bertanya, “Berapa banyak diantara korban tersebut yang ternyata masih belum mengenal Yesus sebagai Juruselamat?” Apa yang Saudara rasakan ketika melihat realita ini? Saudara, sesungguhnya untuk orang-orang demikianlah, yaitu orang-orang berdosa yang belum mengenal Kristus, kita dipanggil, diutus, untuk menjangkau mereka.
Panggilan untuk menjangkau jiwa-jiwa inilah yang disampaikan Yesus kepada Simon pada waktu itu. Ketika Simon tersungkur dan menunjukkan ketakutannya yang luar biasa, Yesus menenangkannya dengan berkata, “Jangan takut, mulai dari sekarang engkau akan menjala manusia.” Dalam perkataan Yesus ini ada tiga frasa yang sangat penting. Frasa yang pertama adalah perkataan “jangan takut”. Ini merupakan frasa yang dikatakan Yesus kepada Simon untuk menyatakan bahwa kehadiran-Nya pada saat itu bukanlah untuk menghukum Simon yang berdosa, tetapi justru untuk menyatakan anugerah pangggilan-Nya seperti yang telah saya jelaskan pada point pertama.
Frasa yang kedua adalah perkataan “mulai dari sekarang”. Frasa ini rupanya sering dipakai oleh Lukas baik dalam Injilnya maupun dalam Kisah Para Rasul. Frasa ini sesungguhnya bukan berbicara mengenai kronologis waktu, tetapi berbicara mengenai suatu perubahan mendasar dari kondisi sebelumnya. Simon yang tadinya adalah seorang fishermen, kini menjadi fishers of men. Seorang yang tadinya menjala ikan, kini menjala manusia. Seorang yang dulunya hanya berfokus pada dirinya sendiri, kini hidup untuk melayani orang lain.
Dan frasa yang terakhir adalah “menjala manusia”. Saudara, saya sempat bertanya-tanya mengapa untuk memanggil Simon untuk menjadi murid-Nya, Yesus harus melakukan mukjizat penangkapan ikan terlebih dahulu? Dan apakah tidak ada mukjizat lainnya? Saya baru menyadari bahwa mukjizat penangkapan ikan tersebut bukan sekedar dipakai Yesus untuk menyatakan kuasa-Nya sebagai Sang Mesias Yang Ilahi, tetapi mukjizat itu sendiri memiliki makna profetik bagi pelayanan Simon di masa yang akan datang. Ketika Simon diperintahkan untuk bertolak ke tempat yang lebih dalam dan menebarkan jalanya, Yesus ingin menunjukkan bahwa kelak Simon pun akan diutus pergi ke tengah-tengah dunia untuk menebarkan jalanya, yaitu Injil keselamatan, dan membawa orang-orang yang terhilang kepada kepada Yesus Kristus.
Di kemudian hari kita bisa melihat bahwa Simon benar-benar menggenapi panggilan-Nya sebagai penjala manusia. Ia berkhotbah di hadapan ribuan orang dan terhitung 3000 orang bertobat. Simon pun menyembuhkan dan memperkenalkan kasih Kristus pada seorang yang lumpuh di Bait Allah. Simon juga melayani Kornelius yang merupakan orang kafir dan masih banyak lagi pelayanan yang telah ia lakukan untuk menjangkau jiwa-jiwa yang masih terhilang.
Jelaslah bahwa perkataan Yesus ini sesungguhnya berbicara mengenai anugerah panggilan yang telah Ia berikan kepada Simon yang membawanya kepada pembaharuan. Simon yang tadinya hidup untuk diri sendiri dengan mencari materi, sekarang menjadi hidup untuk Tuhan, dengan cara menjangkau jiwa-jiwa.
Ilustrasi
Saudara-Saudara, ada seorang nenek bernama Ethel Hatfield berusia 76 tahun yang rindu melayani Tuhan di masa tuanya. Karena itu ia bertanya kepada pendeta di gerejanya apakah ia boleh mengajar di Sekolah Minggu? Akan tetapi pendetanya justru berkata bahwa Ethel mungkin sudah terlalu tua untuk melakukan semuanya itu. Akhirnya, ia pun pulang ke rumah dengan hati yang sedih dan kecewa. Apakah semangat Ethel Hatfield berhenti sampai di sini? Tidak!
Selang beberapa hari ketika Ethel sedang merawat kebun mawarnya, seorang mahasiswa keturunan Cina dari kampus dekat sana berhenti untuk mengomentari keindahan bunga-bunga mawarnya. Ethel pun tidak melewatkan kesempatan ini begitu saja. Ia segera menawarkan mahasiswa tersebut secangkir teh dan ketika mereka sedang bercakap-cakap, Ethel menggunakan kesempatan tersebut untuk bercerita mengenai Yesus dan kasih-Nya. Lalu keesokan harinya, mahasiswa tadi datang bersama mahasiswa lain, dan itulah awal pelayanan Ethel.
Saudara, ketika Ethel meninggal dunia, kurang lebih ada sekitar 70 orang keturunan Cina yang telah menjadi orang percaya berkumpul di upacara pemakamannya. Rupanya mereka semua telah dimenangkan bagi Kristus oleh seorang wanita yang dianggap terlalu tua untuk mengajar kelas Sekolah Minggu.
Aplikasi
Saudara, Ethel adalah seorang awam yang pernah ditolak oleh pendetanya karena usianya sudah tidak muda lagi. Namun melalui kisah nyata ini kita bisa sama-sama mengoreksi diri kita. Seorang tua seperti Ethel saja bisa memiliki kerinduan yang begitu besar untuk melayani dan menjangkau jiwa-jiwa bagi Tuhan, apalagi kita yang masih muda.Bukankah kerinduan untuk menjangkau jiwa-jiwa bagi Tuhan itu seharusnya jauh lebih besar bila dibandingkan dengan Ethel?
Saudara, sadarilah bahwa sesungguhnya di sekeliling kita ini banyak sekali orang-orang yang masih membutuhkan kasih Kristus. Orang-orang yang ada di rumah sakit, penjara, dan jalanan, mereka semua adalah orang-orang yang bisa kita layani. Atau jangan jauh-jauh dulu. Bagaimana dengan orang-orang terdekat kita yang belum mengenal kasih Kristus? Mungkin orang itu adalah orang tua kita, adik, kakak, saudara, anak-anak sekolah minggu, atau jemaat. Sudahkah kita mengenalkan Kristus kepada mereka? Saudara, sesungguhnya untuk merekalah kita dipanggil.
Penutup
Jadi jelaslah bahwa panggilan yang kita terima adalah panggilan yang didasarkan pada anugerah Allah untuk menjangkau jiwa-jiwa, dan bukan untuk agenda yang lain. Kebenaran ini harus selalu kita bawa sebagai prinsip ketika kita melayani Tuhan.
Bersyukurlah Saudara kalau kita telah menyadari kebenaran ini. Tetapi adakah diantara kita yang mulai menganggap diri layak dipilih sebagai hamba Tuhan, atau mungkin memiliki agenda-agenda pribadi, misalnya mencari ketenaran atau fokus pada hal-hal materi? Mari kita sama-sama menyelidiki hati kita. Jika memang benar kita mulai melenceng dari tujuan panggilan tersebut, bertobatlah. Mintalah pengampunan kepada Kristus supaya Dia benar-benar menjadikan kita seorang fishers of men yang sejati.
Percayalah Saudara-Saudara, ketika kita menyadari bahwa panggilan itu adalah sebuah anugerah dan kita setia untuk menjangkau jiwa-jiwa, akan ada kekuatan ketika menjalaninya dan ada sukacita yang sangat besar ketika melihat jiwa-jiwa tersebut bertobat serta datang kepada Tuhan.
Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)