29 Oktober 2011

Eksegese Yohanes 7:53 – 8:11

YESUS, MESIAS YANG ADIL DAN KASIH
Oleh Astrid Angelina



Pendahuluan

Narasi mengenai perempuan yang berzinah dalam Yohanes 7:53 – 8:11 ini merupakan salah satu perikop yang kontroversial dan banyak diperdebatkan oleh para sarjana biblika sehubungan dengan keotentikan teksnya.  Berdasarkan analisis terhadap bukti-bukti eksternal, memang didapati bahwa sangat kuat kemungkinan teks ini bukan bagian asli dari Injil Yohanes, melainkan ditambahkan kemudian.[1]
Keunikan tersebut menggelitik pemikiran penulis untuk mempelajari teks ini secara lebih mendalam.  Timbul pertanyaan di benak penulis, apa signifikansi teks ini sehingga konsili gereja kemudian memasukkannya ke dalam kanon Perjanjian Baru, secara khusus di antara Yohanes 7:52 dan 8:11.  Penulis yakin tentu ada suatu hal yang sangat penting yang ingin disampaikan oleh Allah kepada jemaat-Nya sehingga Roh Kudus memimpin orang-orang yang terlibat dalam proses kanonisasi saat itu untuk memasukkan teks ini.
Berpijak pada hal itu, karya tulis ini hendak mengajak pembaca untuk menyelidiki apa pesan penting yang terkandung dalam perikop Yohanes 7:53 – 8:11 dan kemudian menarik implikasinya bagi kehidupan masa kini.  Berhubung karya tulis ini difokuskan untuk mendapatkan amanat teks dari perikop tersebut, maka perdebatan mengenai keotentikan teks hingga bagaimana proses teks ini dapat dimasukkan dalam kanon Perjanjian Baru tidak akan dibahas di sini.

Amanat Teks Yohanes 7:53 – 8:11
LAI memberi judul “Perempuan yang Berzinah” untuk perikop ini.  Sekilas membaca judul tersebut, ada beberapa orang yang menerka fokus pembicaraan bagian ini adalah mengenai masalah perzinahan.  Sebagai implikasinya, mereka menjadikan ayat-ayat ini sebagai landasan untuk berkhotbah mengenai perzinahan.  Parahnya lagi, ada oknum-oknum tertentu yang memaksa bagian ini untuk mendukung kebobrokan moral mereka dengan alasan bahwa Yesus sendiri tidak menghukum perempuan yang berzinah tersebut.[2]  Itu artinya dosa perzinahan adalah dosa yang ringan sehingga tidak terlalu menjadi masalah jika dilakukan.  Tuhan pasti sangat mengerti sifat kedagingan manusia yang lemah terhadap godaan hawa nafsu seksual.  Tidak apa-apa jika kadang-kadang terjatuh, asal setelah itu jangan lupa memohon ampun.  Tentu saja pemikiran seperti itu sama sekali menyimpang dari maksud Alkitab.
Di sisi lain, ada juga orang-orang yang menggunakan perikop ini untuk mendukung feminisme.  Mereka menekankan pembahasan pada sikap Yesus terhadap perempuan itu; betapa Yesus mengasihi dan memandang berharga kaum wanita sehingga membelanya sedemikian rupa.  Cara penafsiran seperti ini juga tidak tepat karena hanya mengambil sebagian teks dengan mencabut dari konteksnya untuk mendukung pemikiran mereka dan tidak memperhatikan pesan yang ingin disampaikan teks secara keseluruhan (eisegesis).
Penafsiran lain yang lebih umum beredar di kalangan gereja secara luas adalah bahwa perikop ini berbicara mengenai pengampunan; bahwa Yesus tetap mengasihi orang berdosa dan mau mengampuninya sehingga kita juga harus mengampuni sesama kita yang berbuat kesalahan.  Pandangan itu memang tidak sepenuhnya salah dan merupakan salah satu implikasi logis dari bagian ini.  Namun, apakah itu pesan yang utama sesungguhnya ingin disampaikan?  Adalah hal yang sangat penting bagi orang-orang Kristen untuk menggali dan memahaminya dengan tepat.  Itulah yang coba dicapai dalam karya tulis ini.
Setelah dilakukan penyelidikan secara komprehensif terhadap teks, didapati bahwasanya makna perikop ini jauh lebih kaya daripada “sekedar” Yesus mengampuni seorang perempuan yang jatuh dalam dosa perzinahan (tanpa bermaksud mengecilkan arti dari pengampunan itu sendiri).  Di dalamnya terkandung tema keadilan dan kasih yang mengontraskan penghakiman manusia dan penghakiman Kristus.  Untuk lebih memahami pesan yang ingin disampaikan lewat narasi ini, pertama-tama akan diberikan gambaran mengenai setting kejadiannya dan diikuti dengan penjelasan bagian per bagian. 

Latar Belakang Kejadian (Yoh. 7:53 – 8:2)
Kisah dalam perikop ini merupakan salah satu peristiwa yang terjadi dalam kunjungan Yesus ke Yerusalem untuk merayakan hari raya pondok Daun di tahun terakhir-Nya (band. 7:37).[3]  Sebagai laki-laki Yahudi, Yesus memang memiliki kewajiban untuk datang beribadah ke Bait Allah di Yerusalem pada hari raya-hari raya tertentu (Paskah, Pentakosta, dan Pondok Daun) setiap tahunnya (Ul. 16:16).[4]  Selain beribadah, Yesus rupanya tidak menyia-nyiakan momen di mana semua orang Yahudi berkumpul di Yerusalem tersebut untuk mengajar mereka.  Sejak pagi hari Yesus sudah ada di Bait Allah untuk mengajar dan malam harinya ia beristirahat di rumah Maria dan Marta di Betania yang terletak di bagian Timur Bukit Zaitun.[5] 

Muslihat di balik Kasus Wanita yang Berzinah (Yoh 8:3-6a)
Suatu pagi ketika Yesus sedang duduk mengajar di Bait Allah seperti biasa, tiba-tiba ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi menghadapkan seorang wanita yang kedapatan berbuat zinah kepada Yesus.  Sekilas mungkin tidak nampak kejanggalan dalam peristiwa ini, namun jika kita mempelajari lebih lanjut konsep perzinahan pada masa itu, ditemukan banyak kejanggalan yang menggiring pada suatu kesimpulan negatif. 

Konsep Perzinahan Pada Masa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
Dalam Perjanjian Lama, yang dimaksud dengan perzinahan (bahasa Ibrani: naaph) meliputi dua hal: pertama, semua hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah menikah dengan pria yang bukan suaminya; dan kedua, semua hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan oleh seorang pria dengan wanita yang sudah bertunangan (Kej. 38:15-16; Im. 19:20-22; Ul. 22:28-29).[6]  Semua bentuk hubungan seksual di luar nikah dilarang bagi seorang wanita karena ia adalah milik suaminya.[7]  Sebaliknya, pria berkewajiban untuk menghindari semua hubungan seksual di luar nikah.  Seorang pria baru akan dianggap berzinah jika ia melakukan hubungan seksual dengan istri orang lain.[8] 
Lebih lanjut lagi, perzinahan bagi orang Israel bukan saja merupakan pelanggaran terhadap pernikahan dan keluarga, namun juga merupakan pelanggaran terhadap hukum Allah yang Kudus (Kel. 20:14) sehingga para pezinah harus dihapuskan dari antara orang Israel (Ul. 22:22b).[9]  Hukuman untuk perzinahan adalah hukuman mati.  Seorang wanita yang sudah bertunangan jika kedapatan berzinah akan dilempari batu sampai mati bersama dengan pria selingkuhannya (Ul. 22:23-27).  Seorang istri yang kedapatan melakukan hubungan seksual dengan pria yang bukan suaminya juga harus dihukum mati bersama dengan pria tersebut (Im. 21:10; Ul. 22:22), namun Hukum Taurat tidak mengatur secara spesifik bagaimana metode yang harus digunakan untuk menghukum mati mereka.[10]  Sehubungan dengan beratnya hukuman terhadap perzinahan ini, tentu saja perlu ada pemeriksaan yang cermat terhadap setiap pengaduan perkara.  Jika ada seorang wanita yang dituduh oleh suaminya telah melakukan perzinahan, imam harus melakukan sebuah ujian cemburuan dengan air pahit untuk membuktikan apakah ia benar-benar bersalah atau tidak (Bil. 5:11-31).[11] 
Konsep perzinahan di Perjanjian Lama tersebut masih terus dipegang sampai dengan masa Perjanjian Baru, termasuk dalam perikop ini.[12]  Hal ini dibuktikan dengan dikutipnya Keluaran 20:14 di beberapa bagian Perjanjian Baru (Mat. 19:18; Mrk. 10:19; Luk. 18:19; Yak. 2:11).  Namun perlu menjadi perhatian khusus, hukuman bagi pezinah menjadi rancu pada jaman kekuasaan Romawi karena hukum Roma mengatur bahwa para pezinah tidak harus dihukum mati, hanya akan diceraikan tanpa mendapatkan uang cerai dan tidak diijinkan menikah dengan selingkuhannya.[13]  Para pezinah itu kemudian akan dibuang/diasingkan dan kehilangan harta bendanya.[14] 
Konsep perzinahan yang telah dijabarkan di atas akan memberi wawasan yang benar untuk menangkap motif sesungguhnya di balik tindakan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa seorang perempuan yang kedapatan berzinah kepada Yesus.

Kejanggalan-Kejanggalan dalam Yohanes 7:53 – 8:11
Berpijak pada uraian di atas, dapat diduga wanita yang dihadapkan kepada Yesus dalam perikop ini adalah seorang yang sudah bertunangan sehingga ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi hendak melempari dia dengan batu ketika mendapatinya berzinah.  Namun, ada beberapa hal yang perlu disoroti dalam teks ini: pertama, menurut hukum Taurat, pasangan yang kedapatan sedang berbuat zinah – baik pria maupun wanita – harus dihukum mati (Ul. 22:22).  Namun pada peristiwa ini hanya si wanita yang kemudian ditangkap dan diperhadapkan pada Yesus sementara prianya dibiarkan lolos.[15]  
Kedua, hukum Taurat menuntut adanya pemeriksaan yang seksama terhadap tuduhan perzinahan yang dilontarkan pada seseorang (Ul. 19:15-19).[16]  Hukuman mati tidak dapat sembarangan dilakukan hanya atas dasar kesaksian seseorang yang kurang jelas tanpa pemeriksaan lebih lanjut.   
Ketiga, wanita tersebut diperhadapkan pada Yesus di tengah orang banyak yang sedang mendengarkan pengajaran Yesus.  Di sini terlihat para ahli Taurat dan orang-orang Farisi tersebut sengaja ingin agar peristiwa ini diketahui oleh masyarakat luas.
Keempat,  hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Roma di pengadilan Yahudi pada saat itu tidak memberlakukan hukuman mati bagi kasus perzinahan.  Hanya temple violation yang bisa dituntut dengan hukuman mati.[17]
Dari beberapa hal yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa pertanyaan yang diajukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi di ayat 4-5 tidak ditujukan untuk mencari nasihat, namun mereka ingin menjebak Yesus dalam suatu dilema yang sama-sama berujung pada kehancuran-Nya.  Jika Yesus mengutamakan Taurat, Ia berkontradiksi dengan gaya hidup dan pengajaran-Nya, juga mengabaikan hukum Roma.[18]  Seperti telah dijelaskan di atas, hukum Roma yang berlaku saat itu hanya menuntut hukuman cerai dan pengasingan bagi wanita yang berzinah.  Dengan menyetujui perajaman terhadap wanita tersebut, Yesus dapat didakwa dengan beberapa tuntutan: pertama, tidak taat pada hukum yang berlaku dan dengan demikian melawan otoritas pemerintah Romawi; kedua, memprovokasi massa sehingga menimbulkan kekacauan di dan pembunuhan.  Dua hal tersebut cukup untuk menuduh Yesus telah memberontak terhadap pemerintah Romawi dan menyebabkan Dia dijatuhi hukuman mati.   
Di sisi lain, jika Yesus melarang mereka melempari wanita tersebut dengan batu, Ia memperlihatkan diri-Nya sebagai orang yang mengabaikan hukum Musa.[19]  Hukum Musa – seperti kita ketahui – adalah hal yang sangat dijunjung tinggi oleh orang Yahudi, bahkan dianggap sebagai bagian dari identitas mereka sebagai bangsa pilihan Allah.  Bangsa Yahudi memandang orang yang tidak memegang hukum Musa sebagai orang kafir yang tidak pantas disebut sebagai umat Allah.  Tentu saja sangat mustahil mereka akan menerima orang tersebut adalah Mesias yang diutus Allah.  Cara ini tentu sangat efektif digunakan untuk mendiskredikan Yesus.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi memanfaatkan kasus wanita yang berzinah tersebut untuk menjebak Yesus.  Tindakan itu dilatarbelakangi penolakan mereka terhadap kemesiasan Yesus yang dinyatakan melalui perkataan-perkataan dan karya-Nya, di mana mereka malah melihatnya sebagai salah satu bentuk penghujatan terhadap Yahweh.         

Respon Yesus (Yoh. 8:6b-11)
Yesus melakukan beberapa hal untuk menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tersebut, yang sesungguhnya ingin mengomunikasikan sesuatu.  Pesan itulah yang harus ditangkap untuk memperjelas maksud dari perikop ini secara keseluruhan.  Respon itu berupa tindakan membungkuk dan menulis sesuatu di tanah, mempersilakan orang yang tidak berdosa untuk melempar batu pertama kali, serta membiarkan wanita tersebut pergi.  Berikut ini akan diberikan uraian mengenai respon tersebut.

I.             Menulis pada tanah/debu (Yoh. 8:6, 8)
Hal pertama yang dilakukan setelah pertanyaan para ahli Taurat dan orang Farisi itu diajukan adalah Ia membungkuk lalu menulis sesuatu dengan jari-Nya di tanah.  Tentu saja huruf Yunani yang bisa ditulis-Nya tanpa berpindah tempat sangat terbatas, hanya sekitar enam belas karakter.  Memang tidak ada petunjuk yang kuat untuk dapat mengetahui dengan pasti apa yang ditulis-Nya, namun ada beberapa dugaan kalimat yang diusulkan oleh para ahli, yang panjangnya sesuai dengan keterangan di atas.  Ada yang menafsirkan Yesus menulis baris pertama dari hukum kesepuluh: “Jangan mengingini istri sesamamu.”  Hal ini dihubungkan dengan Allah yang menulis Sepuluh Hukum dengan jari-Nya (Kel. 31:18; Ul. 9:10).[20]  Tafsiran lain mengusulkan yang ditulis oleh Yesus pertama kali (ay. 6) adalah Keluaran 23:1b “janganlah engkau membantu orang yang bersalah dengan menjadi saksi yang tidak benar” dan yang kedua kali (ay. 8) adalah Keluaran 23:7 “Haruslah kaujauhkan dirimu dari perkara dusta. Orang yang tidak bersalah dan orang yang benar tidak boleh kaubunuh, sebab Aku tidak akan membenarkan orang yang bersalah.”[21]
Meskipun terlalu sulit untuk mengetahui dengan pasti apa yang ditulis oleh Yesus, namun dari penyelidikan terhadap ungkapan yang biasa digunakan oleh orang pada saat itu, kita dapat mengerti apa maksud Yesus dengan membungkuk dan menulis di tanah dengan jari-Nya.  Kata “tanah” atau “debu” (earth) kadang-kadang menunjuk pada “dunia bawah” atau dunia orang mati (Mzm. 61:2, Ayb. 7:21), yang digunakan juga dalam literatur-literatur Kanaan dan Mesoptamia kuno.[22]  Yeremia 17:3 adalah salah satu contoh ayat yang menggunakan kata tersebut: “…those who turn away from you shall be written in the earth, for they have forsaken the LORD, the fountain of living water.”  Ungkapan “ditulis pada tanah/debu” (written in the earth – ESV, KJV, NKJ / written in the dust – NIV), mengandung arti “destinated for death” sebagai kontras dari “ditulis dalam kitab kehidupan” (“writen in the book of life”) yang berarti akan mendapatkan hidup yang kekal (band. Kel. 32:32; Dan. 12:1; Mzm. 69:28; Luk. 10:20; Why. 20:12; 21:27 ).[23]  Yesus melakukan hal itu mungkin untuk mengingatkan perempuan itu bahwa dirinyalah yang dimaksud oleh firman Tuhan tersebut.  Di sini tersirat bahwa Yesuslah pintu untuk memperoleh keselamatan.  Ia memiliki otoritas untuk menentukan nasib manusia dalam kekekalan; hidup kekal ato selamanya binasa.

II.         Mempersilakan Orang yang Tidak Berdosa untuk Melempar Batu Pertama Kali (Yoh. 8:7)
        Karena para ahli Taurat dan orang-orang Farisi terus menerus bertanya pada Yesus, maka Ia kemudian berdiri dan berkata: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."  Kalimat yang penuh hikmat ini merupakan pukulan telak bagi para pemuka agama itu.  Taktik mereka gagal total.  Yesus tidak melanggar hukum Taurat maupun hukum Roma, namun justru menelanjangi kemunafikan mereka.  
Berdasarkan hukum Taurat, saksi-saksi mata seharusnya adalah orang pertama yang melempar batu, tetapi saksi-saksi palsu akan menerima hukuman yang sama dengan yang dialami oleh korban mereka (Ul. 17:7; 19:15-19).[24]  Jika Yesus hanya “memberi restu” pada orang banyak itu untuk bertindak sesuai dengan hukum Taurat, mungkin apa yang direncanakan oleh para pemuka agama itu akan terjadi.  Namun pernyataan Yesus agar orang yang tidak berdosalah yang pertama melempar batu, membuat mereka tak dapat berbuat apa-apa selain pergi.  Pernyataan itu menyadarkan bahwa sesungguhnya mereka semua juga adalah orang-orang berdosa di hadapan Allah, sama dengan wanita yang berzinah itu.  Satu-satunya orang yang tidak berdosa di sana dan berhak melempari wanita itu adalah Yesus.

III.           Memberi Putusan (Yoh. 8:10-11)
Setelah semua orang pergi meninggalkan Yesus berdua dengan perempuan itu, berkatalah Yesus: “Hai perempuan, di manakah mereka?  Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?”  Perempuan itu menjawab: “Tidak ada, Tuhan.”  Lalu Yesus melanjutkan: “Aku pun tidak menghukum engkau.  Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”
Kata-kata Yesus yang terakhir kuat menunjukkan bahwa Yesus adalah Mesias yang adil dan kasih.  Yesus adalah Anak Allah memiliki kuasa untuk menghakimi manusia.  Keadilan-Nya nampak ketika Ia tidak menyangkali dosa perempuan itu.  Ia menyatakan perempuan itu bersalah.  Namun alih-alih menghukum perempuan tersebut, Yesus memilih untuk mengampuni dan memberikan kesempatan kedua.  Di situlah letak kasih dan anugerah-Nya yang begitu besar.  Bukan kehancuran/kebinasaan manusia berdosa yang dikehendaki oleh Yesus, melainkan pertobatan mereka.
Dengan demikian, dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perikop ini sesungguhnya hendak menyaksikan bahwa Yesus adalah Mesias yang adil dan kasih; Mesias yang memiliki berkuasa untuk menghakimi serta menghukum kesalahan namun memilih untuk memberi pengampunan dan kesempatan kedua berdasarkan kebesaran kasih setia-Nya.  Kebenaran ini sejalan dengan tujuan penulisan Injil Yohanes: “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah.” (Yoh. 20:31). 

Signifikasi Narasi Yohanes 7:53-8:11
Salah satu tema yang cukup menonjol dalam Injil Yohanes adalah mengenai penghakiman.  Tema tersebut makin kuat dalam narasi kisah-kisah yang terjadi di sekitar hari raya Pondok Daun mulai dari 7:1.  Secara garis besar, 7:1-52 berbicara mengenai penilaian dan penghakiman orang-orang terhadap Yesus.  Di sana kontroversi mulai berkembang.  Pasal 7:1-13 menunjukkan penilaian-penilaian orang terhadap Yesus.  Ada yang memandang-Nya sebagai orang baik, namun ada pula yang menuduh-Nya telah menyesatkan rakyat.  Menanggapi itu, Yesus memberi kesaksian tentang diri-Nya di ayat 14-24 dan memperingatkan mereka agar jangan menghakimi apa yang nampak, tetapi haruslah menghakimi dengan adil.  Mendengar jawaban Yesus tersebut, banyak orang yang kemudian berusaha menangkap-Nya, meskipun ada juga di antara orang banyak itu yang kemudian menjadi percaya (ay. 25-36).  Pada hari terakhir perayaan Pondok Daun, Yesus sekali lagi menyaksikan kemesiasan-Nya dengan menyatakan diri sebagai sumber air hidup (ay. 37-44), yang kembali menghasilkan bermacam-macam respon.  Ada yang menganggap-Nya nabi, Mesias, tetapi ada juga yang menolak-Nya karena melihat dari kota asal Yesus.  Kali ini Yesus dibela oleh seorang bernama Nikodemus (ay. 45-52).  Jika disimpulkan, Yohanes 7:1-52 bicara mengenai penghakiman manusia.
Perikop selanjutnya, 7:53-8:11, seperti telah disebutkan dalam pendahuluan, merupakan narasi yang disisipkan kemudian.  Tanpa narasi ini banyak sarjana melihat justru alur kisahnya mengalir dengan lebih lancar dan lebih kronologis menuju ke pernyataan Yesus bahwa Ia adalah terang dunia (8:12-20).  Menurut beberapa ahli, Yesus mengucapkannya pada momen akhir hari raya Pondok Daun karena di saat itu orang-orang Yahudi akan menyalakan empat lampu besar di Pelataran Wanita dan bersukacita menari sepanjang malam dengan obor.[25]  Melalui analogi tersebut, Yesus ingin menyatakan identitasnya sebagai Juruselamat dunia yang memberi terang hidup kepada manusia yang sedang ada dalam kegelapan dosa.  Penyataan ini memicu terjadinya kontroversi yang menggiring pada tema pembahasan mengenai penghakiman Kristus yang adil dan benar, berbeda dengan penghakiman manusia. 
Kenyataan bahwa pernyataan mengenai terang dunia di atas diucapkan Yesus pada saat puncak hari raya Pondok Daun memperlihatkan sesungguhnya perikop 8:12-20 adalah sambungan dari 7:37-52.  Jika demikian, pertanyaan yang selanjutnya muncul adalah apa signifikasi keberadaan narasi 7:53 – 8:11 sehingga dianggap perlu untuk disisipkan dalam bagian ini. 
Pada bagian pertama tulisan ini telah diperlihatkan dengan jelas bahwa Yohanes 7:53 – 8:11 hendak menyaksikan bahwa Yesus adalah Mesias yang adil dan kasih.  Di dalamnya terkandung tema penghakiman yang memperbandingkan antara penghakiman manusia dengan penghakiman Kristus.  Manusia yang dalam perikop ini diwakili oleh para ahli Taurat dan orang-orang Farisi cenderung hanya melihat kesalahan dari orang lain dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya mereka juga adalah orang berdosa.  Mereka lebih senang melihat orang lain dihukum daripada diampuni.   Tidak terlihat adanya belas kasihan, yang ada hanya perasaan superior, bahwa diri mereka yang paling benar.  Kontras sekali dengan penghakiman Kristus yang adil namun penuh belas kasihan.  Yesus menyatakan kesalahan perempuan yang berzinah itu tetapi memilih untuk mengampuni dan memberikan kesempatan kedua padanya untuk bertobat.  Tema penghakiman dalam perikop ini memang ditemui juga dalam perikop sebelum dan sesudahnya.  Namun keberadaan perikop ini signifikan untuk menunjukkan secara konkret perbedaan antara penghakiman manusia yang korup dan egosentris dengan penghakiman Allah yang adil dan berlandaskan kasih.

Kesimpulan dan Aplikasi
Perikop ini hendak menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias yang adil dan kasih.  Ketika kita terjatuh dalam dosa, masih tersedia pengampunan dan kesempatan kedua bagi kita.  Yang harus kita lakukan adalah mengakui dosa kita, memohon pengampunan, dan berbalik dari perbuatan kita yang jahat.
Ketika mendengar atau mendapati ada saudara yang jatuh dalam dosa, kita tidak boleh langsung menghakimi dan menghukum mereka, apalagi mengasingkan mereka dari gereja.  Sebagai anggota tubuh Kristus, kita wajib untuk menegur orang-orang tersebut.  Tentu saja ketika menegur, kita harus benar-benar memeriksa motivasi kita terlebih dahulu.  Kita menegur bukan dengan semangat ingin menjatuhkan mereka dan menunjukkan bahwa diri kita lebih baik, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa kita adalah sama-sama manusia yang rentan jatuh dalam dosa.  Tujuan kita menegur adalah agar mereka menyadari dosa mereka dan kemudian bertobat.  Oleh karena itu kita juga wajib menerima mereka kembali ketika mereka menyadari kesalahannya dan memberikan kesempatan kedua bagi mereka.  Tentu saja teguran harus dilakukan dengan baik sesuai dengan firman Tuhan.
Demikian pula ketika ada orang lain yang berbuat kesalahan kepada kita sehingga menyakiti hati kita.  Kita juga wajib mengampuni mereka.  Sejujurnya kita juga adalah sama-sama berdosa seperti wanita yang berzinah dalam perikop ini.  Namun Yesus telah menebus dan mengampuni kita.  Sudah selayaknyalah kita yang telah mendapat pengampunan juga memberikan pengampunan kepada orang yang bersalah kepada kita.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Balz, Horst dan Schneider, Gerhard.  Exegetical Dictionary of te New Testament Volume 2. Grand Rapids: Eerdmans, 1981.
Barker, Kenneth.  The NIV Study Bible.  Grand Rapids: Zondervan, 1985.
Bauer, Walter.  A Greek-English Lexicon of the New Testament and Other Early Christian Literature.  Chicago: Chicago Press, 1957.
Beasley,George R.  Word Biblical Commentary: John.  Waco: Word Books, 1987.
Burge, Gary M.  The NIV Application Commentary: John.  Grand Rapids: Zondervan, 2000.
Carson, D.A.  PNTC: The Gospel According to John.  Grand Rapids: Eerdmans, 1991.
Feinberg, C.L . Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II.  Jakarta: OMF, 1995.
Hagelberg, Dave.  Tafsiran Injil Yohanes Pasal 6-12.  Yogyakarta: Andi, 2001.
Keener, Craig S.  The IVP Bible Backgroun Commentary: New Testament.  Illinois: InterVarsity, 1993.
Kittel, Gerhard.  Theological Dictionary of the New Testament Volume IV.  Grand Rapids: Eerdmans, 1967.
Verbrugge, Verlyn D.  The NIV Theological Dictionary of New Testament Words.  Grand Rapids: Zondervan, 2000.
Withacre, Rodney A.  The IVP New Testament Commentary Series: John.  Illinois: InterVarsity, 1999. 
Wright, J.S. dan Thompson, J.A.  Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid II. Jakarta: OMF, 1995.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar