MENJADI PEMIMPIN YANG MENGHORMATI TUHAN DALAM SETIAP KEADAAN OLEH HIMAWAN Pendahuluan Saudara-saudara, diantara kita semua pasti mengetahui tentang seseorang yang bernama Lenin, tokoh yang dikenal sebagai bapak komunisme Uni Soviet. Salah satu dari sekian tokoh pemimpin bersejarah dunia. Di dalam era kepemimpinannya, Lenin membangun Uni Soviet menjadi kekuatan yang cukup mengerikan dalam dunia barat. Mengapa bisa demikian? Karena Lenin adalah seorang pemimpin yang punya karisma, Lenin mampu mengikat pengikut, menguasai pemikiran dan menancapkan idealismenya kepada orang lain. Namun, faktanya apa yang ia lakukan selama era kepemimpinan rezim komunisnya? Saudara, tahu? Saudara, Lenin punya slogan “agama adalah candu bagi rakyat”, dan dengan itu menjadi legitimasi baginya untuk menghilangkan agama, ia menekan gereja Kristen Ortodoks, mematahkan agama Budha dan juga Islam. Selain itu, apa sikapnya terhadap rakyat? Utopia kaum sosialis-komunis untuk membentuk masyarakat yang adil tidak dilaksanakan, malahan ia memusnahkan kelas bangsawan, melawan para petani, lima juta orang mati karena kebijakan ekonominya, dan Lenin sama sekali tidak peduli. Saudara, Lalu apa yang terjadi di akhir kehidupan Lenin? Lenin mati dengan sakit pendarahan otak, dia tidak dapat melanjutkan lagi kepemimpinannya. Pada akhirnya kepemimpinannya diambil alih oleh Stalin, dan apa yang dibangun oleh Lenin, toh pada akhirnya runtuh dan tak berbekas lagi. Lenin adalah seorang pemimpin besar, tapi ketika kita melihat tindakannya, saya kira kita semua sepakat bahwa Lenin bukan pemimpin yang baik, bukan pemimpin yang berhasil. Lenin adalah seorang pemimin yang gagal. Memang Lenin bukanlah seorang yang percaya, tetapi melalui garis hidupnya, kita dapat belajar, untuk berhati-hati di dalam kehidupan kita, agar kita tidak menjadi seorang pemimpin yang gagal. Saudara adalah leader. Saya adalah adalah leader. Kita semua adalah leader, baik itu sebagai pemimpin kelompok-kelompok kecil dan sepele, sampai kelompok-kelompok besar, yang ribuan orang jumlahnya, kita semua tetaplah seorang pemimpin, setidaknya pemimpin bagi diri kita sendiri. Saudara, di dalam keberadaan kita sebagai seorang pemimpin, terlebih sebagai seorang pemimpin jemaat, sebenarnya kita semua berada di dalam sebuah tendensi, sebuah bahaya bahwa bisa saja kita menjadi pemimpin yang gagal, apalagi pemimpin jemaat yang gagal di mata Tuhan. Saudara-saudara, kita sebagai pemimpin jemaat harus berhati-hati agar tidak menjadi pemimpin yang gagal di mata Tuhan. Namun bagaimana agar kita tidak menjadi pemimpin jemaat yang gagal? Ada dua hal yang dikatakan oleh perikop yang baru saja kita baca. I. Kita harus tetap percaya kepada Allah dalam kondisi apa pun (ay. 12, 8, 11) Penjelasan Saudara-saudara, kata percaya seringkali kita pakai dalam kehidupan kekristenan kita. Kata percaya menunjukkan bagaimana kita harus hidup bersandar dan menaruh seluruh hidup kita di hadapan Allah, bahkan ketika kita mengalami kondisi yang tidak mengenakkan, kondisi yang membuat kita menderita, dan membuat kita kehilangan iman kita kepada Allah. Kita harus tetap percaya kepada Allah, dan ketika kita menyatakan percaya kita kepada Allah, saat itulah kita juga punya komitmen untuk setia mentaati segala perintah-Nya. Tapi, sdr, apa yang perikop ini ajarkan mengenai kepercayaan kepada Tuhan? Mari kita lihat ke dalam teks ini. Saudara-saudara, tentu sebagai manusia kita akan merasa sedih jika kita kehilangan salah satu anggota keluarga kita. Demikian pula yang Musa alami pada ayat 1. Musa kehilangan Miryam sebagai satu-satunya saudara perempuan. Saudara, tentu pada waktu itu kiita dapat mengerti bahwa Musa pada waktu itu merasakan kesedihan yang amat mendalam. Saudara-saudara, kesedihan Musa bertambah dengan keberadaan bangsa Israel yang tidak menunjukkan perubahan dalam kehidupan mereka. Ayat 3-5 memberitahu kita tentang kondisi bangsa Israel. Bukankah ayat-ayat ini memperlihatkan sebuah pemberontakan kepada Allah, sebuah sungut-sungut dan pernyataan ketidakpercayaan? Saudara-saudara, padahal jika kita melihat perjalanan bangsa Israel, sebenarnya bangsa ini telah menyaksikan siapa Allah! Israel telah mengenal Allah yang membawa mereka keluar dari Mesir. Allah yang menuntun mereka dengan tiang awan pada waktu siang, dan tiang api pada waktu malam. Allah yang memberikan daging ketika mereka meminta daging. Allah yang memberikan manna selama di padang gurun. Walau begitu nampaknya segala bukti tentang kebesaran Allah tidak berpengaruh dalam hidup dan iman bangsa Israel. Israel tidak berubah. Israel adalah Israel yang selalu bersungut-sungut dan memberontak. Inilah mengapa Musa sebagai pemimpin mengalami kesedihan yang amat sangat. Mengalami depresi yang luar biasa di dalam hidupnya. Saudara, padahal dalam kondisi seperti ini Tuhan tetap menuntut Musa untuk dapat terus percaya. Dimana kita harus memahami bahwa percaya kepada Allah dalam kondisi apa pun sekaligus mentaati setiap perintah Allah dalam kondisi apa pun. Lalu bagaimana dengan Musa? Kembali kita melihat dalam ayat 8,bagaimana dengan jelas, Tuhan menjawab permohonan umat Israel dengan suara yang lemah lembut. Sebuah jawaban yang sebenarnya memberikan pengharapan di dalam kesesakan. “Ambillah tongkatmu itu dan engkau dan Harun, kakakmu, harus menyuruh umat itu berkumpul; katakanlah di depan mata mereka kepada bukit batu itu supaya diberi airnya; demikianlah engkau mengeluarkan air dari bukit batu itu bagi mereka dan memberi minum umat itu serta ternaknya.” Saudara-saudara, ketika kita mendengarkan firman Allah ini tentu kita mengerti bahwa Allah begitu mengasihi umat-Nya. Allah ingin menyatakan sekali lagi penyertaan-Nya di dalam kehidupan bangsa pilihan-Nya. Saudara, tetapi apa reaksi Musa selanjutnya? Dalam ayat 11 Musa malah tidak berbicara kepada batu itu sebagaimana yang Allah perintahkan, tapi ia memukul batu itu dengan tongkatnya. Tidak hanya sekali! Bahkan sampai dua kali! Hal ini mengekspresikan betapa Musa marah kepada bangsa Israel. Padahal Allah hanya menyuruh Musa untuk berbicara saja, maka mujizat itu akan terjadi, tapi Musa tidak melakukannya. Dengan ini Musa menunjukkan tindakan ketidaktaatan kepada Allah. Dan ketika Musa melakukan hal itu, saat itu Musa menyatakan tindakan ketidakpercayaan kepada Allah. Hal ini dikonfirmasi pada ayat 12 yang mengatakan “karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, itulah sebabnya kamu tidak akan masuk ke negeri yang akan kuberikan kepada mereka” dengan demikian Musa pun pendapat penghukuman. Dengan demikian Musa mengalami kegagalan di dalam kehidupan kepemimpinannya. Karena itu saudara sebagai seorang pemimpin, kita harus percaya kepada Allah dalam kondisi apa pun, kita harus mentaati perintah-Nya meskipun kita hampir tidak mungkin untuk dapat melakukannya. Saudara-saudara, bukankah ketidakpercayaan seperti ini juga yang membawa Saul dalam 1 Samuel 15 gagal menjadi pemimpin yang baik? Ketika ia berperang melawan Amalek, ia seharusnya menanti Samuel datang untuk melakukan ibadah kurban. Namun, Saul tidak taat. Ia melakukan pengurbanan dengan kehendak dia sendiri. Ketidaktaatan Saul menunjukkan bahwa sesungguhnya Saul tidak percaya kepada Allah. Tidak percaya bahwa Allah akan menolong bangsa Israel tepat pada waktunya. Saul juga menjadi contoh seorang pemimpin yang gagal. Tindakan-tindakan ketidakpercayaan ini seharusnya tidak menjadi contoh bagi kita. Kita harus melihat teladan Yesus. Karena bukankah Tuhan Yesus telah menunjukkan kepercayaan yang benar dalam hidup-Nya? Karena Yesus percaya pada karya keselamatan yang Allah Bapa ingin kerjakan, maka Ia tetap taat untuk mati di atas kayu salib, menderita, didera karena Ia percaya kepada rencana Bapa-Nya. Saudara, seperti Yesus, bila kita percaya kepada Allah maka kita juga harus taat kepada perintah-Nya. Ilustrasi Saudara-saudara, bayangkan ada seorang guru sekolah minggu yang sudah mengajar sekolah minggu di gerejanya selama 10 tahun. Pada suatu waktu, guru ini mengalami kondisi yang paling tidak mengenakkan, ia diputus pacarnya, di kantor dimana ia bekerja ia banyak mendapatkan tekanan dari teman-temannya, di rumah tak jua ia dapat beristirahat, karena ia sebagai anak pertama dituntut untuk bekerja keras membantu orangtuanya. Apalagi ia adalah anak lelaki yang tentu dituntut lebih. Di dalam kondisi seperti ini, siapakah orang yang mampu percaya kepada Allah? Saudara, bahkan kondisi pemuda ini berimbas kepada pelayanannya di sekolah minggu. Dilatarbelakangi rasa frustrasi dengan kondisi hidupnya, ia frustasi juga kepada anak-anak yang ia layani. “ah, buat apa aku melayani, tiap minggu juga gitu-gitu doank, nyanyi, persembahan, aktivitas, doa, aku cerita, terus mereka pulang, tapi tetap aja, mereka gak berubah, nakalnya bukan maen, gak sopan sama guru, berdoa juga diajari terus tiap minggu tetep aja, mereka berdoa dengan nggak bener, akh, buat apa aku ngajar sekolah minggu, gak ngaruh, persiapan susah-susah tiap minggu, yang dilayani juga gitu-gitu doank. Akh, pergumulanku secara pribadi juga banyak, lebih baik hari minggu aku cari kerja aja, dapat duit, daripada ngajar sekolah minggu, udah tekor, eh, malah jengkel sama anak-anaknya” sdr, guru sekolah minggu ini mengalami frustasi di dalam hidupnya, padahal di tengah kondisi tersebut, perintah Allah adalah jelas, Allah menghendaki agar guru ini terus setia untuk melayani. Di tengah segala kefrustasiannya, guru sekolah minggu ini pergi jalan-jalan ke sebuah mall di dekat rumahnya. Yah, sekadar melepas lelah pikirnya. Ketika ia jalan-jalan sendirian ditengah mall yang begitu ramai itu, ia dikejutkan oleh teriakan seseorang. “kakak2, wah sudah lama tidak ketemu nih, gimana kabar kakak? Kakak masih ingat aku nggak?”, Lalu guru ini bilang:“hah, maaf ya, emang kamu siapa ya? Saya lupa, kita pernah ketemu dimana” Saudara, singkat cerita, ternyata anak yang guru temui tadi adalah mantan anak sekolah minggunya 5 tahun yang lalu, anak yang ia ingat adalah seorang anak yang nakal. Pokoknya dulu ia ingat, ia ini anak cewek yang tingkah lakunya malah melebihi cowok. Wah, super dongkol kalau ngajar di kelasnya. Dan ketika ia tadi bertemu di mall, mantan anak sekolah minggunya itu menceritakan tentang perubahan hidupnya, dimana suatu ketika mantan muridnya ini mengalami frustrasi yang amat sangat, dan kemudian berputus asa, dan hampir-hampir bunuh diri. Tetapi, murid itu tidak jadi melakukannya, karena ia mengingat perkataan guru sekolah minggunya yang pernah dikatakannya di kelas, bahwa Yesus adalah jawaban hidupmu. Dan sejak itu, murid tersebut tidak lagi berputus asa, ia kembali bertobat, kembali datang ke gereja, dan perlahan-lahan mengalami perubahan. Dalam perjalanannya pulang hati guru ini seakan meringis, dan air matanya mengalir secara perlahan. “akh Tuhan, mengapa aku menjadi seorang yang tidak percaya kepada-Mu, padahal bukankah perintah-Mu padaku adalah jelas, bahwa aku haruslah melayani anak-anakMu disekolah minggu dengan setia, ampuni aku Tuhan yang tidak taat dan tidak percaya kepada-Mu” Saudara, sejak itu guru ini menjadi guru yang mau setia dan tekun dalam menjalani perintah Tuhan. Meski kondisi hidupnya tidak mengenakkannya, ia tetap mau percaya dan mentaati seluruh perintah Allah bagi hidupnya, Saudara, setiap kita adalah pemimpin, dan seorang pemimpin, meskipun mengalami kondisi yang tidak mengenakkan, haruslah tetap percaya kepada Tuhan, haruslah tetap taat kepada perintah Tuhan di dalam hidupnya. Aplikasi Saudara, pertanyaannya kini adalah, dalam hal apakah saat ini kita tidak taat kepada perintah Tuhan? Bagaimana dalam kehidupan pelayanan dan kepemimpinan kita dalam jemaat? Mungkinkah sdr mengalami situasi seperti Musa, frustasi dan tertekan karena jemaat tidak menghormati kita, ngomongin yang jelek-jelek tentang kita, dan kerohanian mereka juga tidak bertumbuh. Dan kemudian dengan itu, kita menjadi asal-asalan dalam melakukan pelayanan, pelayanan ala kadarnya, persiapan khotbah, ya, itu-itu saja, gak dalam. Bahkan kita juga tidak berdoa bagi pelayanan kita. Bahkan mungkin, sdr sekarang sampai dalam titik depresi yang paling tinggi dalam pelayanan saudara. Saudara, saya rasa perintah Tuhan bagi setiap hamba-Nya adalah jelas, kita dituntut untuk setia, tekun dan memberikan yang terbaik dalam pelayanan kita. Sebagai pemimpin kita harus setia memimpin jemaat kita. Jika saudara mengalami hal yang demikian, segeralah berbalik dan bertobat, mohon ampun di hadapan Allah, rendahkan dirimu, kemudian taatilah perintah Tuhan, berikanlah yang terbaik bagi Tuhan dalam pelayanan saudara, karena ketika itu saudara lakukan, saat itulah saudara menyatakan rasa percaya saudara kepada Tuhan. Saudara, jika kita ingin menjadi pemimpin yang tidak gagal, menjadi pemimpin yang sukses, maka kita harus percaya kepada Allah di dalam kondisi apa pun, rasa percaya yang disertai dengan ketaatan penuh kepada setiap perintah-perintahNya. Saudara-saudara, hal kedua yang harus kita mengerti adalah: II. Sebagai pemimpin jemaat kita harus menghormati Allah di hadapan umat-Nya (ay. 12, 8, 10) Penjelasan Saudara-saudara, menghormati berarti memberikan hormat, memberikan tindakan yang tepat kepada sosok yang berada di atas kita. Lalu bagaimanakah cara kita menghormati Allah di dalam kehidupan kita? Tentu ini berkaitan erat dengan bagaimana tindakan kita sebagai umat-Nya, secara khusus sebagai pemimpin jemaat-Nya di dalam kehidupan kita. Saudara-saudara, dalam ayat 8, Tuhan memerintahkan kepada Musa untuk mengumpulkan segenap bangsa itu, dan melakukan mujizat-Nya di hadapan mereka. Adanya frasa “Di depan muka mereka...” menunjukkan betapa sangat penting bagi komunitas itu untuk melihat bukti pemeliharaan Tuhan dengan mata kepala mereka. Tetapi apa yang Musa lakukan? Dalam ayat 10 kita dapat membaca Musa berkata, “hai, orang-orang durhaka, apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?” Kalimat ini menyatakan makna dengan konotasi negatif. Tentu saja ini adalah sebuah pernyataan yang terlampau arogan, terlampau kasar untuk disampaikan kepada jemaat Allah. Kita mengingat, firman Allah dalam ayat 8, Allah ingin menyatakan kekudusan dan pemeliharaan-Nya bagi Israel. Tetapi, sebagai seorang pemimpin, Musa gagal menunjukkan kekudusan itu. Musa gagal merepresentasikan kasih Allah bagi umat-Nya, sehingga Musa telah gagal menghormati kekudusan Tuhan. Musa telah menjadi seorang pemimpin yang gagal. Saudara-saudara, selain itu di dalam kalimat ini terdapat nada menyombongkan diri, dimana Musa berkata “apakah kami harus mengeluarkan air bagimu dari bukit batu ini?. Saudara, kata kami dalam kalimat ini adalah kata yang sangat egosentris, karena bukankah mujizat itu terjadi karena berkat yang diberikan daripada Allah sendiri? Bukankah Allah yang membuat itu mujizat itu? Tetapi, kata kami mengarah kepada diri Musa dan Harun sendiri. Seolah-olah merekalah yang mampu dan berhak untuk melakukan mujizat itu, seolah-olah merekalah yang akan menjadi pahlawan dihadapan bangsa Israel. Musa memindahkan kemuliaan Allah kepada diri mereka sendiri, padahal, Allah ingin menunjukkan diri-Nya, Allah ingin menunjukkan keberadaan dan kekudusan-Nya di depan umat Israel, dengan kata-kata yang Musa ungkapkan ini, Musa gagal merepresentasikan keberadaan Allah, Musa telah gagal untuk menghormati Tuhan, Musa mengalami kegagalan di dalam kepemimpinannya. Saudara, sekali lagi kita harus mengingat teladan kepemimpinan Tuhan Yesus. Ketika Ia hadir di muka bumi ini, tidakkah ia merepresentasikan kasih dan kekudusan Allah, melalui pengorbanannya? Tidakkah dengan itu Yesus menunjukkan bagaimana Ia menghormati kehendak Bapa-Nya, menghormati kekudusan dan karakter dari Bapa-Nya? Saudara-saudara, setiap kita adalah pemimpin, dan agar kita tidak menjadi seorang pemimpin yang gagal adalah dengan menghormati kekudusan Allah, dengan menyatakan karakter Allah di dalam kehidupan pelayanan kita. Ilustrasi Saudara-saudara, teman saya bercerita tentang seorang pendeta di gerejanya. Pendeta ini bersikap buruk karena suka menghakimi, dan mengejek-ngejek. Bahkan di mimbar ia pernah berkata: “Saudara, kalau punya anak, yang benar mendidiknya, jangan sampai kayak anak bapak itu”, dan ia mengatakan hal demikian sambil menunjuk-nunjuk orang yang ia maksudkan. Orang ini adalah majelis gereja itu. Akibat kejadian ini, ada permusuhan antara pendeta dengan majelis, jadilah perang dalam gereja. Kalau mau bikin film, judulnya bukan lagi War of The Worlds, tapi War in The Church. Perang terus-menerus terjadi, dan akhirnya dengan keputusan bersama, pendeta itu dikeluarkan dari gereja itu. Kini apa yang terjadi dengan pendeta ini? Ia tak lagi melayani karena tak ada seorang pun yang mau mendengar khotbahnya. Jemaat tidak menghormati dan respek kepadanya. Pendeta ini pun hidup pontang-panting, hidup jauh dari Tuhan. Pendeta ini tidak menunjukkan sikap yang merepresentasikan karakter Allah di hadapan umat-Nya, pendeta ini tidak menghormati Tuhan. Pendeta ini jadi seorang pemimpin yang gagal. Aplikasi Saudara, adakah di antara kita yang dalam tindakan kita, menunjukkan ketidakhormatan kita kepada Allah? Mungkin di pelayanan kita, kita tidak bersikap selayaknya kepada jemaat yang kita layani. Kita berbicara kurang layak kepada orang-orang yang menyakiti hati kita, kita bersikap acuh kepada orang yang kita anggap mengganggu kehidupan dan pelayanan kita. Kita sinis kepada mereka yang kita anggap mengancam kedudukan kita, tidak setuju dengan kita? Saudara, jika sdr, sedang berada di dalam kondisi yang sedemikian, lekas-lekaslah sadar, bertobat, dan memohon pertolongan yang daripada Allah agar kita menjadi orang-orang yang merepresentasikan karakter Allah. Dengan jawaban yang lemah lembut kepada mereka yang menyakiti mereka, dengan sikap hormat dan respek penuh kepada mereka yang mungkin tidak cocok dengan kita. Maka dengan itu, kita telah menjadi pemimpin yang menghormati kekudusan Allah. Kita tidak akan menjadi pemimpin yang gagal. Penutup Tuhan melihat setiap detail yang kita kerjakan di hadapan umat-Nya. Kita tidak boleh menjadi pemimpin yang gagal di mata Allah. Kita harus menjadi pemimpin yang sukses, yaitu ketika kita percaya kepada-Nya di dalam kondisi apa pun, serta ketika kita mampu menghormati Tuhan di hadapan umat-Nya. Saudara-saudara, apapun kondisi pelayanan dan jemaat kita saat ini. Mari kita bersama-sama berusaha untuk menjadi pemimpin yang baik di mata Tuhan. Tentu sangat sulit karena manusia sangat mudah jatuh. Tapi mari percaya kepada janji Tuhan bahwa Roh Kudus yang akan menolong dan memampukan kita menjadi pemimpin yang berkenan sampai akhir pelayanan kita. Amin |
Blog ini dipersembahkan kepada setiap hamba Tuhan yang rindu untuk meningkatkan pelayanannya dalam berkhotbah. Kerinduan tsb mempunyai tujuan akhir yang pasti, yaitu hadirnya kemuliaan Tuhan dalam khotbah-khotbahnya sehingga mentransformasi setiap pendengarnya.
5 September 2011
Khotbah Bilangan 20: 1-13
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KHOTBAH YANG BAIK TENTANG SOSOK PEMIMPIN YANG HARUS HORMAT PADA KEKUDUSAN TUHAN DAN BAGAIMANA TUHAN YESUS TELAH MENJADI TELADAN MELALUI PENGORBANAN-NYA DI SALIB MEREPRRSENTASIKAN KASIH ALLAH, MENGHORMATI SANG BAPA
BalasHapus