Tertipukah TUHAN?
Oleh Daniel
Pendahuluan
Saudara, setiap kita
rasa-rasanya pernah “tertipu.”
Pengalaman ketika “tertipu” sangat tidak menyenangkan. Pengalaman itu akan terasa sangat menyakitkan
jika si penipu adalah someone yang paling kita cintai atau hamba Tuhan yang sangat
kita kagumi.
Saudara, mungkin
video berikut ini pernah atau akan membuat kita tertipu. Mari kita perhatikan. (tampilkan video, pause pada menit 01:01).
Saudara, percayakah saudara jika saya
katakan bahwa “wanita” ini sebenarnya adalah laki-laki? Mari kita lihat kelanjutkannya:
(lanjutkan
sampai menit 02:49).
Uniknya saudara, tipuan yang dilakukan oleh Bell Nuntita bukannya
berdampak menyakitkan tetapi justru memukau banyak orang. Meskipun dilahirkan sebagai seorang
laki-laki, namun malam itu Nuntita tampil sangat cantik, melebihi kecantikan banyak wanita asli. Suara ke”wanita”annya pun lumayan OK. Luar biasa sekali. Saudara, apa yang
dilakukan Nuntita merupakan contoh kejeniusan
manusia pada umumnya. Apa maksudnya? Maksudnya adalah
pada umumnya manusia begitu pintar “memoles” bagian luar dirinya sehingga bagian yang
sebenarnya tertutup rapi. Bahkan, saking pintarnya manusia “memoles,”, ia merasa
dapat menipu Tuhan.
Penjelasan
Saudara-saudara, inilah yang dilakukan oleh bangsa Israel sebagaimana
dinyatakan di dalam teks bacaan kita. Israel dengan
sangat jenius memoles ibadahnya sedemikian rupa hingga tampak sangat religius. Tujuannya supaya Tuhan dapat “tertipu” dan
akhirnya memberkati mereka. Tetapi
tertipukah Tuhan?
Kalau kita perhatikan ay. 3, disana Israel melontarkan complaint:
“Mengapa kami berpuasa dan Engkau tidak memperhatikannya juga? Mengapa
kami merendahkan diri dan Engkau tidak mengindahkannya juga?” Ini adalah sebuah complaint yang sifatnya menuntut dan keluar dari hati yang kecewa. Saudara,
sebenarnya complaint ini sangat wajar kalau kita hanya memperhatikan ay. 2. Betapa tidak? (1) Israel dikatakan mencari Tuhan setiap hari. (2) Israel
suka untuk mengenal segala jalan Tuhan
(secara literal: Israel begitu ingin sekali/begitu
berhasrat menyelidiki jalan Tuhan. (3) Israel
menanyakan hukum-hukum yang benar.
Nah, di sini, frasa
“hukum-hukum yang benar” sangat
menarik. Frasa ini adalah hasil
penggabungan dua kata indah di
dalam Alkitab, yang
hanya ada 5x saja di Alkitab dan
digunakan untuk menyatakan kesungguhan dan minat untuk belajar – Mzm 119:7, 62,
160, 164. Kedua kata ini menggambarkan karakter Allah, dan dapat diterjemahkan hampir
sama, yaitu: hukum, keadilan,
kebenaran, kejujuran. Sekarang kedua kata ini digabung. Ini menunjukkan bahwa Israel
sungguh-sungguh berminat mempelajari hukum-hukum yang benar-benar benar, hukum-hukum yang benar-benar adil. Dengan kata
lain Israel mempelajari Allah sendiri. Keren , bukan? (4) Israel suka mendekat menghadap Allah. (5) Israel
bahkan Berpuasa dan merendahkan diri. Dalam konteks Yesaya
58, puasa diekspresikan dengan “jiwa yang merana dan hati yang terluka.”
Coba bayangkan seorang saudagar
kaya yang setiap harinya berpakaian
ungu dan berpesta pora
kini mengenakan pakaian compang camping, meletakkan abu di atas kepala dan berbaring di tanah serta meraung-raung
dalam tangisan pedih. Di dalam kasus Ezra (Ezra 9:3-4), ia bahkan mengoyakkan pakaian dan jubahnya, mencabut rambut kepala
dan janggutnya dan duduk tertegun sampai petang. Itulah
ritual ibadah Israel: setiap
hari mencari Tuhan, bergairah
menyelidiki segala jalan Tuhan,
menanyakan hukum-hukum yang benar-benar benar, berhasrat mendekat menghadap Allah,
berpuasa dan merendahkan diri di hadapan
Tuhan. Hebat dan luar biasa: ibadah luarnya tampak begitu sempurna, memukau bagaikan “si
cantik” Nuntita ketika bernyanyi dalam suara soprannya. Tetapi, apakah Allah seperti 3 juri TGT yang meluluskan
Nuntita? Tertipukah Allah dengan
tampak luar?
Saudara, suatu saat
ketika sedang ngemil, ada seekor semut yang kesasar di cemilan saya. Saya mengambil semut itu dari cemilan dan menaruhnya
sedikit jauh dari cemilan
tersebut. Ia dalam keadaan terluka. Beberapa menit kemudian saya terkejut ketika melihat kaget
ada 5 ekor semut lain sedang menggotong temannya yang terluka itu.
Dalam imajinasi saya: “Oh, pasti akan dibawa ke RSS—Rumah Sakit
Semut.” Saudara, kelima
semut itu begitu tekun dan rela menggotong temannya yang terluka sekalipun mereka juga bisa
jadi akan terluka, atau bahkan kehilangan nyawa. Saudara, dibandingkan semut tadi, tampaknya
ibadah Israel memang memukau, tetapi
apa yang mereka lakukan dalam
kehidupan sehari-hari sangat berbeda.
Bukannya “menggotong”
sesama mereka yang miskin, lapar,
telanjang atau tidak punya
rumah, umat Israel
justru saling berbantah dan berkelahi, tidak semena-mena dan menindas kaum
lemah. Kayaknya Israel perlu belajar
dari semut. Sampai di sini kesimpulan yang kita
peroleh adalah bahwa Israel ternyata tidak mengenal Tuhannya dengan benar.
Namun demikian, kasih Tuhan Allah kita begitu
besar. Meskipun mengecam dosa umat-Nya.
Allah juga memberitahukan kepada
Israel bagaimana ibadah yang dikehendaki-Nya, bahkan menjamin pemberian berkat bagi yang melakukannya.
Kalau
kita membandingkan puasa
yang dikehendaki Allah di ayat 6-7 dengan ibadah yang benar menurut Yesus di Matius 25:35-36, kita akan menemukan
kesamaan yang menarik, yaitu: “Beri makan yang lapar; beri tumpangan yang
miskin; beri pakaian yang telanjang; peduli dan kunjungi yang kesepian.” Saudara, ibadah
bukan hanya masalah keintiman dengan Tuhan. Ibadah juga berarti akrab dengan sesama; mengasihi Tuhan lebih dari
apapun dan mengasihi sesama
seperti diri sendiri. Ibadah yang benar
bukan hanya soal hubungan pribadi dengan Tuhan, melainkan juga soal hubungan pribadi dengan sesama.
Firman Tuhan di dalam Yakobus 1:27 menyebutkan: “Ibadah yang murni dan
yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu
dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri
tidak dicemarkan oleh dunia.” Dengan demikian, Allah seakan-akan ingin berkata: “Bohong kalo kalian berkata beribadah
kepada-Ku tetapi kamu tidak peduli kepada orang lapar, miskin, telanjang, dan
kesepian.” Hal serupa dapat ditemukan di dalam 1 Yohanes 4:20: “Jikalau
seorang berkata: "Aku mengasihi Allah," dan ia membenci saudaranya,
maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya
yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.”
Ilustrasi
Saudara, saya pernah
mendapatkan kesempatan melayani di sebuah kota bersama seorang pengusaha. Pelayanannya adalah membagikan
“roti dan aqua gelas” kepada para gelandangan
dan pengemis yang ditemui di
jalan. Biasanya setelah roti diberikan, kami memegang pundak mereka sambil
mengucapkan kalimat:“Pak, ini berkat
dari Gusti Yesus. Gusti Yesus sayang sama kita, Gusti Yesus
sayang Bapak.” Kalau responnya baik, kami menceritakan kepadanya karya Yesus yang mati disalib karena dosa manusia, dan jalan keselamatan yang diberikan kepada siapa saja yang percaya
kepada-Nya.
Nah, suatu kali saya mendapatkan pengalaman yang
menarik. Diantara “langganan” kami, ada seorang
bapak yang unik. Waktu pertama kali bertemu dengan bapak itu, ada perasaan jijik dalam hati
saya karena bapak itu kena
kusta.
Ketika mendekatinya dan memberikan “paket berkat” kepadanya, saya
ogah-ogahan dan hampir tidak punya niat
untuk memberi. Saya terpaksa ngasih karena pengusaha yang mengajak saya
meminta saya untuk memberikan paket kepada si pengemis kusta. Sekembalinya dari pelayanan malam itu, saat
berdoa sebelum tidur, Tuhan menegur saya dan menunjukkan betapa borok,
busuk, dan kustanya hati saya; penuh kepura-puraan dan kepalsuan.
Malam itu saya tidur sambil membatin: “Kayaknya saya munafik deh.”
Puji Tuhan, Allah itu baik. Dua minggu
kemudian saya mendapatkan kesempatan
untuk bertemu kembali dengan si bapak itu. Saya ingat, malam itu dengan bersemangat saya menawarkan diri untuk memberikan roti kepada si pengemis.
Tetapi dasar manusia, ketika turun dari mobil dan berjalan mendekat, saya menjadi takut lagi. Meskipun
masih jauh, bau kustanya sudah sangat menyengat. Pasti kustanya semakin parah. Sambil
melangkah, dalam hati saya berdoa:
“Tuhan, bagaimana ini. Koq jadi
takut begini? Tolong saya, Tuhan, supaya saya bisa mengasihi dengan tulus.” Saudara, ketika pengemis kusta tersebut menyadari kedatangan kami, saya merasa senang.
Sang pengemis pasti akan
menerima paket dengan
sukacita, dan saya akan pulang tanpa
rasa bersalah lagi. Tetapi alangkah terkejutnya
ketika saya mendekat, ia
berteriak: “Makasih dik. Gak usah.
Gak usah dekat-dekat. Pergi saja. Saya sangat bau. Tolong pergi saja.”
Oh Saudara, mendengar itu saya hampir menangis. Di saat yang sama dengan keluarnya kalimat si pengemis kusta, Tuhan
sepertinya berbicara kepada saya: “Coba
lihat dirimu. Bukankah kamu yang seharusnya mengatakan itu kepada Saya. Bukankah sesungguhnya kamulah yang bau; kamulah yang berpenyakitan; kamulah yang kotor.
Mengapa kamu selama ini merasa layak mendekat kepada-Ku?
Mengapa selama ini kamu merasa sangat hebat ketika demi menjalani panggilanmu, kamu rela meninggalkan pekerjaan, karir dan impianmu?”
Saudara, malam itu, ketika roti sudah diberikan, saya memegang tubuh kusta yang dibalut
selimut kusut itu dan berdoa untuk dia. Saat ini saya tidak
tahu apakah bapak itu masih hidup atau sudah meninggal, tetapi satu hal yang pasti adalah: bapak
pengemis kusta itu telah dipakai Tuhan menjadi berkat bagi saya. Melalui
pelayanan sosial yang sederhana itu, Tuhan mengizinkan saya merasakan apa
artinya ucapan Yesaya: “Pada waktu itulah terangmu
akan merekah seperti fajar.” Saya sekarang
mengerti apa maksud “terangmu akan terbit dalam gelap dan kegelapanmu akan seperti rembang
tengah hari.” Saya mengalami kekuatan
yang dibaharui dan hati yang dipuaskan oleh
TUHAN di tanah
yang kering.” Melalui pelayanan sosial yang sederhana itu, saya diajarkan
bagaimana menjadi seperti taman yang diairi dengan baik dan seperti mata air
yang tidak pernah mengecewakan.”
Aplikasi
Saudara,
perbedaan yang paling jelas antara kita dengan orang Israel adalah kenyataan bahwa kita hidup di zaman, budaya dan cara beribadah yang berbeda dengan
mereka. Akan tetapi, bukankah ritual
yang kita miliki persis sama? Kita berusaha bersaat teduh setiap hari,
menyelidiki segala jalan Tuhan, berpuasa, berdoa dan merendahkan diri. Namun
demikian, seperti orang Israel, di sekeliling kita ada banyak orang miskin, terlunta, butuh bantuan,
dan orang-orang yang memupunyai banyak persoalan? Inilah saatnya bagi kita untuk bertanya: “Apakah di hadapan Tuhan
saya menampilkan kepalsuan? Saya punya pelayanan yang banyak, padahal hati saya penuh borok, busuk dan berpenyakit kusta? Saya punya banyak pelayanan,
tetapi tidak memiliki belas kasihan sebagaimana telah ditunjukkan Tuhan kepada
kita? Apakah
selama ini saya seperti Israel, mencoba menipu Tuhan dengan tampilan luar
ibadah saya? Sepertinya
saya mengasihi
Tuhan padahal sebenarnya tidak peduli terhadap sesama?
Penutup
Saudara-saudara, hari ini Firman Tuhan mengajarkan
kepada kita bahwa Tuhan tidak mungkin tertipu! Karena
itu, mari tanggalkan kepalsuan
dan kenakan ibadah
yang murni. Jalinlah relasi intim dengan Tuhan dan tunjukkan kepedulianmu kepada sesama. Mari kita mulai dengan satu tindakan kasih hari ini. Mari kita peduli dan berbagi dengan sesama
yang Tuhan tempatkan di dekat kita. Jaminan berkat dan penyertaan Tuhan akan
menjadi bagian kita. Kiranya Roh Kudus menolong kita semua.
Amin
Trimakasih renungan ini, sangat menolong untuk mengenali diri sendiri dlm dunia pelayanan.
BalasHapus"You are what you do when alone"
Renungan yg menohok. Terima kasih. Gbu
BalasHapusTerima kasih. Sangat memberkati saya.
BalasHapusTerimakasih, sangat memberkati
BalasHapusfirman tuhan yang sangat memberkati
BalasHapus