3 Mei 2012

Khotbah Matius 6: 1-18


Mengatasi sisi gelap dari Narsistic Leader
Oleh Elizabeth Natallina



Pendahuluan
Saudara, ketika Saudara mendengar kata narsis, mungkin bayangan Saudara adalah selalu berkaitan dengan seseorang yang suka cekrag-cekreg foto, bergaya, dan memajang banyak potretnya dimana-mana.  Ada benarnya sih, tapi kepribadian Narsistik memiliki ciri lebih dari itu. Ia memiliki pandangan yang terlalu tinggi terhadap dirinya sendiri lebih dari realitanya. Ia juga banyak menuntut orang lain mengakui kehebatan dan kemampuannya. Ia akan marah kalau orang tidak memberi penghargaan bahkan lebih marah lagi kalau direndahkan.
Baru-baru ini, saya mempelajari teori Mclinton dan Samuel D. Rima mengenai salah satu sisi gelap pemimpin yaitu Narsistic leader’.  Saya menemukan ciri-ciri selanjutnya yaitu: sepintas kelihatan mandiri, takut dilihat lemah oleh orang lain,  menggunakan segala cara untuk kuat, orangnya sangat ambisius, selalu berusaha untuk berada di atas orang lain, memiliki fantasi-fantasi yang megah atau tinggi-tinggi, punya perasaan inferior dan bergantung kepada penghargaan, kekaguman, kebanggaan, dan tepuk tangan orang lain.
Seorang Narsistic memiliki kombinasi dari ciri-ciri di atas. Ciri sentral dari kepribadian ini adalah haus akan penghargaan orang lain.  Harga atau citra dirinya sangat dilukis oleh apa yang orang katakan tentang dirinya.  Namun, Saudara, berbicara mengenai hal ini, bukankah memang penghargaan itu adalah kebutuhan semua orang? Bahkan dalam piramid kebutuhan manusia yang digambarkan oleh A. Maslow, kebutuhan akan penghargaan itu diletakkan lebih tinggi dari kebutuhan fisik, keamanan, dan cinta. 
Setiap orang tidak lepas dari kebutuhan akan penghargaan ini termasuk hamba Tuhan.  Dan kabar buruknya, seringkali orang Kristen berusaha memenuhi kebutuhan ini dengan cara menampilkan kesalehan, pelayanan, persembahan, dlsb.  Segala tindakan kebenaran kita yang berbau rohani ini dipakai sebagai kendaraan untuk mendapatkan kemuliaan diri, bukan kemuliaan Allah.  Saudara-saudara, kesalehan seperti ini adalah kesalehan yang palsu. Motivasi untuk mencari kemuliaan diri itu adalah motivasi yang keliru. 

I.         Allah tidak berkenan bila kita menuruti sisi gelap ‘Narsistic Leader’

Penjelasan
            Saudara, jauh sebelum para ahli psikologi merumuskan teori ini, Yesus, Tuhan kita yang tahu setiap kedalaman hati manusia sudah tahu akan sisi gelap manusia yang haus akan penghargaan dari orang lain.  Hal ini terlihat ketika Dia memperingatkan para pengikut-Nya dalam ayat yang kita baca tadi.  Yesus membuka bagian ini dengan kata “ingatlah”, artinya “hati-hati, awas!”  Hati-hati untuk apa? Yesus melanjutkan “jangan melakukan kewajiban agamamu di hadapan orang supaya dilihat mereka” (ay. 1). LAI memakai kata “kewajiban agama” untuk menerjemahkan kata δικαιοσύνην (dikaiosune) yang seharusnya artinya adalah kebenaran.  Dalam terjemahan Alkitab bahasa Inggris, ayat pertama dituliskan dengan practicing your righteousness (ESV), atau acts of your righteousness (NIV). Dengan kata lain, yang dimaksud dengan dikaiosune disini adalah segala tindakan kebenaran yang berhubungan dengan kehidupan kerohanian seseorang.  Ayat ini merupakan tesis dari tiga contoh spesifik  yang diberikan Tuhan ketika berbicara tentang kemunafikan yaitu 6 ayat 1-18. 
Tiga contoh yang diberikan Tuhan Yesus adalah kebiasaan yang paling akrab dan menonjol dengan kehidupan orang Yahudi, yaitu memberi sedekah, berdoa, dan berpuasa.  Matius menulis tiga contoh yang diucapkan Yesus secara paralel (ay.2-4; 5-6; 16-18).  LAI sudah membantu kita dengan pembagian perikopnya.  Setiap orang Yahudi pasti diharapkan melakukan ketiga hal ini, Yesus pun ingin murid-Nya melakukan kesalehan ini.  Tetapi, bukan dengan cara dan motivasi yang salah seperti yang dilakukan oleh orang munafik. 
Saudara, Tuhan Yesus menyebut kata “munafik” ini 3 kali, yaitu di setiap tindakan kesalehan yang ditampilkan oleh mereka (ay. 2, 5, dan 16, bacakan).  Kata “munafik” berasal dari kata ὑποκριταί yang artinya adalah aktor alias pemain sandiwara, biasanya dalam konteks pentas seni.  Jadi, sebutan munafik ini ditujukan bagi setiap mereka yang memperlakukan dunia ini sebagai panggung sandiwara dan ia memerankan suatu karakter yang ingin ia tampilkan.  Maka tidak heran, ketika Ahmad Albar melantunkan lagu “dunia ini panggung sandiwara,” banyak orang menyenanginya. 
Seorang munafik menanggalkan jati dirinya yang asli dan mengenakan jati diri palsu. Kalau ia ingin dikenal sebagai orang yang saleh maka ia akan berdoa, berpuasa, melakukan disiplin rohani, dll.  Kalau ia ingin dikenal sebagai orang baik, maka ia akan banyak menolong orang, memberi, seakan punya belas kasihan yang besar.  Kalau ia ingin dikenal sebagai orang yang pandai maka ia tampil begitu smart dan memukau. 
Saudara-saudara, pertanyaannya adalah mengapa sih orang munafik harus bermain sandiwara? Tuhan Yesus memberi jawabannya di ayat 1b, 2b, 5b, 16b (tampilkan PPT), yaitu untuk memuaskan kebutuhan mereka akan kemuliaan diri: penghargaan dan pujian kekaguman dari orang.  Kata dipuji berasal dari kata doksazo artinya to glorify, Bahasa Inggris lebih tepat menerjemahkan frasa dipuji dengan that they may have glory from men (NKJ).  Inilah yang menjadi kebutuhan mereka dan tujuan utama mereka, goal-nya adalah pujian dari orang lain.  Siapakah orang munafik itu? Dalam konteks ini, Matius memang tidak menyebutkan dengan jelas tapi dari pasal 23:1 orang munafik ini dirujuk kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli taurat yang tidak lain adalah para pemimpin “rohani”.  Mereka adalah Narsistic leader itu. 
Lalu bagaimana caranya mereka mencapai tujuan ini? Gampang! Yaitu dengan memamerkan tindakan kerohanian mereka di hadapan publik.  Apa yang mereka lakukan? Kalau mereka memberi sedekah atau berdoa, mereka melakukannya di tempat ibadah, di keramaian orang, di tikungan jalan raya, dll.  Intinya adalah mereka melakukan semua tindakan kesalehan itu di tempat di mana semua mata terpana kepada perbuatan mereka.  Atau jika mereka berpuasa, mereka tampil dengan muka masam dan kelihatan lemas sehingga orang lain tahu bahwa mereka berpuasa.  Mereka melakukan segala cara supaya bibir orang yang melihat perbuatan mereka akan berkata, “Luar biasa, sungguh baik dan saleh orang ini.”  Atau mungkin yang satu berkata kepada yang lain, “Hei lihat, kita harus mencontoh perbuatan pemimpin kita ini.”  Atau mungkin salah seorang yang lain ketika melihat perbuatan mereka akan berespon dan berkata kepada mereka, “Pak, perbuatan bapak telah menjadi berkat buat saya, terimakasih ya atas teladannya.”  Atau bila mungkin, semua orang berdiri dan bertepuk tangan memberikan sorakan atas kekaguman mereka atas kesalehan yang ditampilkan. 
Saudara, memang hal-hal itulah yang dicari oleh para Narsistic Leaders itu dan Tuhan Yesus berkata itulah upah mereka (ay. 2c, 5c, 16c).  Tapi sayangnya, penilaian dari orang lain yang begitu tinggi dan excellent itu tidak berimbang dengan penilaian di mata Tuhan.  Tuhan memandang perbuatan itu tidak ada artinya alias sia-sia.  Saudara, ketika seseorang menampilkan segala tindakan kerohanian hanya untuk mendapat penghargaan dari orang lain, ada satu hati yang dikorbankan, yaitu hati Allah, karena Ia tahu perbuatan itu tidak lahir dari kasihnya terhadap Allah melainkan dari kasihnya terhadap dirinya sendiri.
 
Ilustrasi
            Saudara, di suatu persekutuan pemuda di sebuah gereja ada seorang pemuda yang menjalin cinta dengan seorang gadis.  Suatu kali pemuda tsb ingin memberikan surprise kepada kekasihnya di hari ulang tahunnya.  Sang pemuda menyiapkan rancangan dan hadiah yang terbaik. Tepat pada hari ulang tahun kekasihnya, si pemuda melaksanakan rancangan kejutannya di depan semua teman-teman mereka.  Ia menyanyikan sebuah lagu yang khusus diperuntukkan kepada kekasihnya. Setelah itu, ia memberikan sebuah hadiah yang cukup mahal, sambil berkata, “Darling, this is special just for you, I love you.” Dan tak lupa ia memberi pelukan dan ciuman di kening sang kekasih. Saudara, bisa bayangkan,  gadis mana yang nggak suka diberi perhatian seperti itu? Wajah sang gadis berbinar-binar bercampur bingung. Mengapa? Karena biasanya pacarnya itu tidak romantis. Bahkan mereka sering bertengkar karena sikap cueknya itu.  Apakah pacarnya ini telah berubah?
Ternyata, tidak! Setelah kejutan itu berlalu, sang pemuda kembali pada wajah aslinya: cuek, dingin, dan seenaknya. Ternyata, apa yang dilakukannya di hadapan teman-temannya pada waktu itu, hanyalah untuk mendapat pujian dari mereka. Fokus pemuda itu bukanlah pada kekasihnya, tetapi dirinya. Ia ingin disebut pemuda yang romantis, gentle walaupun untuk itu ia mengorbankan perasaan kekasihnya. Betapa sakitnya hati si gadis mengetahui bahwa semua itu hanyalah sebuah sandiwara belaka.

Aplikasi
            Saudara, kalau manusia bisa sakit hati ketika kita menerima kasih yang pura-pura,
apalagi Allah yang kudus yang tahu setiap kedalaman, tujuan dan motivasi kita? Ingat, ketika kita melakukan segala tindakan yang kelihatannya benar dan rohani namun hanya untuk tujuan kemuliaan diri kita sendiri, ada satu hati yang luka, yaitu hati Allah. Kita perlu waspada dengan sisi gelap dari Narsistic Leader, yaitu haus akan penghargaan.  Kita perlu memeriksa diri kita untuk apakah kita beribadah, berdoa, memberi persembahan, atau melayani Tuhan. Untuk kepuasan Tuhan atau sekadar mau dianggap sebagai orang baik?
Samuel D. Rima mengatakan bahwa  seringkali Narsistic leader tumbuh subur justru dalam pelayanan Kristen.  Banyak sekali pemimpin Kristen menggunakan segala kecakapan kepemimpinannya hanya untuk meningkatkan citra diri.  Banyak khotbah yang dikhotbahkan oleh para Narsistic leader ini ditujukan untuk pengakuan para pengikut.  Bahkan, seorang pemimpin seperti  ini bisa saja mengeksploitasi orang lain demi memuaskan hasratnya untuk penaikan citra diri.  Bukankah banyak gereja hancur karena pemimpin dengan kepribadian seperti ini? Bahkan, parahnya seringkali orang lain tertipu dengan segala pelayanan pemimpin seperti ini, mereka mengira bahwa semua itu dilakukan untuk Allah sehingga mereka akan merasa tidak nyaman bila harus menentang pemimpin mereka.  Saudara, mari mengoreksi motivasi hati kita?  kita perlu mengatasi sisi gelap kita yang satu ini.  
Lalu mungkin kita bertanya, bagaimana caranya mengatasi dosa ini?  Tuhan Yesus memberi tahu kita,

II.        Terus menjaga motivasi hati yang benar dengan menyadari bahwa segala tindakan kita harus God-center bukan self center

Penjelasan
Saudara, Tuhan Yesus mengajari para pengikutnya bagaimana harus melakukan tindakan kebenaran dengan motivasi yang benar.  Kalau boleh disederhanakan Yesus berkata, “kalau engkau berdoa, masuk ke kamar dan tutup pintu, jika engkau mau berpuasa minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu !” Dari ketiga contoh yang diberikan Yesus, ada kata yang selalu diulang, yaitu “lakukanlah dengan tersembunyi” (ay. 4, 6, 18). Apa maksud ayat ini?
Mungkin sampai di sini di antara kita bertanya bukankah Tuhan Yesus memerintahkan kita untuk menjadi garam dan terang dunia?  Dalam 5:16, Tuhan Yesus berkata, “Hendaknya terangmu bercahaya di depan orang supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”  Lalu apakah perintah Tuhan kontradiksi?  Tentu jawabannya adalah tidak!  Tuhan Yesus disini sedang berbicara mengenai dua dosa yang berbeda. Pertama,  sikap pengecut orang Kristen yang tidak menjadi terang sehingga Tuhan tidak dimuliakan. Kedua, dosa kecongkakan yang membuat Tuhan juga resah.  Jadi pusatnya adalah kemuliaan dan perkenan dari Tuhan.  Jika kita mengartikan arti “tersembunyi” secara literal, maka akan terlihat bertentangan, Namun, tidak dalam hakekatnya.  Esensinya adalah tidak perlu memamerkan kebaikan kita agar bukan diri sendiri yang dimuliakan, tetapi Tuhan.  Jadi, penekanannya bukan pada ketersembunyian perbuatan kita, melainkan pada motivasinya yang harus God-center bukan Self-center
Saudara-saudara, Tuhan Yesus tahu betapa rawan hati para pengikutnya untuk mendapat pujian. Untuk menjaga hati mereka itu Tuhan Yesus berkata, “lakukan dengan tersembunyi, rahasiakan perbuatan baikmu supaya motivasimu tulus hanya untuk kemuliaan Tuhan!”  Jika memang dengan melakukan tindakan kerohanian di depan umum akan menggoda hati kita untuk mendapatkan pujian, maka sebaiknya tidak usah kita lakukan di depan umum.  Bahkan di ayat 4 Tuhan berkata,   “Jika tangan kananmu memberi sedekah, tangan kirimu tidak usah tahu.” Tuhan Yesus menggunakan istilah ‘tangan kiri’ yang adalah anggota tubuh kita sendiri, ini menunjukkan bahwa sebetulnya bukan saja orang lain yang tidak usah tahu tetapi kita juga tidak perlu pamer kepada hati kita sendiri sehingga kita menganggap diri baik dan memuji diri sendiri.  Sisi gelap dari Narsistic Leader ini hanya dapat diatasi ketika setiap anak Tuhan terus menjaga motivasinya yang God-center bukan self center.  Citra Tuhan itulah yang menjadi fokus bukan citra diri. 

Ilustrasi
            Ada seorang hamba Tuhan yang punya masa lalu yang pahit, yaitu pernah mengalami penolakan pada waktu ia duduk di bangku SD. Ketika itu, ia ditinggalkan oleh teman-temannya dan dianggap anak yang kuper. Penolakan teman-teman sekelasnya itu, membuatnya menjadi anak yang sangat minder dan merasa tidak dihargai.  Tidak heran, anak itu bertumbuh menjadi anak haus akan penghargaan orang lain.  Kalau ada orang yang lebih dari dirinya maka ia sangat resah dan ia selalu berusaha untuk melabur citra dirinya supaya kelihatan baik dan tidak kalah dengan orang lain. 
Namun sungguh kemurahan Allah itu besar, anak itu dipanggil Tuhan menjadi hamba-Nya.  Semasa kuliah, sisi gelap ini hadir mewarnai dirinya.  Kadang sangat bangga kalau ia dicap pintar oleh temannya, kadang sangat bangga kalau ia disebut baik oleh orang lain, kadang sangat bangga ketika orang mengakui kelebihannya.  Hanya dia dan Tuhan yang tahu betapa sering motivasi pelayanannya terfokus pada dirinya sendiri, bukan pada kemuliaan Tuhan. Tapi, sekali lagi Allah itu begitu baik, maka diajarnya ia. Dalam suatu pelayanan yang dilakukannya, ia diizinkan gagal oleh Tuhan bahkan dikritik oleh banyak orang.  Saat itulah hatinya hancur dan merasa tidak berharga lagi. Saat itulah Tuhan berkata kepadanya,  “Mengapa engkau sangat memikirkan perkataan orang lain terhadap dirimu? mengapa engkau sangat sedih ketika orang lain mengecapmu buruk? mengapa sangat resah dirimu ketika orang tidak menghargai dirimu?”   Pertanyaan Tuhan itu menyadarkannya untuk terus memerangi sisi gelap seorang Narsistic Leader di dalam dirinya. Melalui konseling yang dijalaninya dan pimpinan Roh Kudus yang membimbingnya, sedikit demi sedikit Tuhan memulihkan dirinya.
Suatu kali sebelum ia berkhotbah, perasaan narsis itu muncul lagi. Ini membuatnya  gentar dan merasa tidak layak dengan isi Firman Tuhan yang akan ia khotbahkan. Ketika itulah ia berdoa,  “Bapa, tanpa aku berkhotbah pun Roh Kudus-Mu bisa bekerja. Karena itu sadarkan aku, apapun hasil dari pelayanan ini, baik itu pujian maupun kritikan, itu tidak penting bagiku. Yang kurindukan adalah namu-Mu dimuliakan.”  Doa itu telah menolongnya untuk lebih fokus dalam menyampaikan firman. Tuhan memurnikan motivasinya.

Aplikasi
           Saudara, keinginan untuk mendapat pujian, penghargaan dari orang lain, itu wajar. Tetapi tidak wajar bila penghargaan yang seharusnya diperuntukkan kepada Tuhan, dialihkan kepada diri kita dengan sandiwara rohani yang kita jalankan. Biarlah, Tuhan yang patut kita muliakan dan senangkan setiap saat dari setiap tindakan kita.
Saya kagum dengan komitmen “The Modesto Manifesto” yaitu komitmen yang dibuat oleh Billy Graham Evengelism Association (BGEA).  Komitmen pertama dari BGEA ini adalah mereka tidak akan melebih-lebihkan atau membesar-besarkan pelayanan BGEA ini di media masa demi BGEA nampak lebih baik.  Billy Graham memandang komitmen ini sangat serius.  Dan biar kita belajar dari apa yang baik ini.
Saudara, jangan biarkan kemuliaan Allah dikorbankan demi kemuliaan kita.  Perlu ada komitmen yang serius yang berasal dari hati kita untuk memuliakan Allah senantiasa.  SS, jangan sampai kita keluar dari sini sebagai pemimpin dan sisi gelap yaitu mencari kemuliaan diri ini masih dengan subur bekerja dalam diri kita.  Allah tidak berkenan atas hal itu.    Sdr, mari kita terus menjaga hati dan motivasi kita supaya tetap fokus untuk memuliakan Allah saja.  Mungkin itu dengan cara konseling, membuat commitment statement pribadi, berdoa secara khusus sebelum melakukan tindakan tertentu.  Apapun itu, biarkan hanya citra dan kemuliaan Allah yang senantiasa menjadi hasrat dan tujuan kita. 
Saudara, hari ini firman Tuhan mengingatkan bahwa Allah kita tidak berkenan kita memiliki motivasi hati mencari kemuliaan diri dari setiap tindakan kesalehan kita.  Untuk itu, kita perlu menyadari bahwa Allah lah dan kemuliaan-Nya yang seharusnya menjadi pusat bukan kemuliaan kita.  kita perlu terus meminta Tuhan memurnikan motivasi dari setiap perbuatan kita.  Saya yakin Roh Kudus akan menolong kita untuk benar-benar memiliki hati yang murni demi kemuliaan Allah.  Dan saya yakin, ketika kemuliaan Allah itulah yang menjadi hasrat dan tujuan utama dalam setiap perbuatan kita, ada damai sejahtera yang luar biasa.  Biarkan moto hidup kita selamanya adalah Soli Deo Gloria, Segala kemuliaan hanya bagi Allah. 

Amin

1 komentar:

  1. Terima kasih, sdr. Sangat menerangi hati saya yang penuh dengan penghargaan diri. Oh Tuhan Yesus, betapa saya menjadi orang yang sering melakukan sandiwara agar terlihat baik. Mohon kiranya Tuhan merahmati saya, memurnikan motivasi saya, dan menjaga komitmen saya bahwa segala yang saya kerjakan adalah untuk kemuliaanNya. Praise the Lord!

    BalasHapus