Menikmati Allah dalam Ibadah
Oleh Franky Boentolo
Pendahuluan
Suatu kali saya datang berbakti ke sebuah
gereja. Pulang gereja, saya merasa sangat
kecewa dan kesal karena saya merasa tidak dapat menikmati ibadah tersebut. Apa sebabnya?
Pertama, pemimpin liturgisnya
bukan hanya monoton, tetapi tidak bisa
menciptakan alur ibadah yang baik. Kedua,
musik yang mengiringi terasa gaduh dan tidak menyatu.
Ketiga, sound system-nya beberapa
kali mengalami gangguan. Keempat,
khotbah yang disampaikan tidak sesuai dengan amanat teks Alkitab. Kelima,
ada anak-anak kecil yang berkeliaran semaunya. Semuanya menjadikan saya tidak bisa fokus
merasakan kehadiran Allah di dalam ibadah itu.
Yang aneh, ketika saya masih bersekolah di sekolah Kristen, di masa itu seharusnya saya tidak bisa menikmati ibadah karena saya
belum menjadi orang percaya. Namun yang terjadi adalah kebalikannya. Meskipun awalnya saya kurang suka mengikuti
kebaktian karena paksaan sekolah, lama kelamaan saya bisa menikmatinya juga. Bahkan, dari ibadah-ibadah tersebut saya
merasakan kehadiran Allah-nya orang Kristen.
Selain melalui pelajaran agama Kristen, ibadah-ibadah inilah yang turut
berperan dalam menggerakkan saya untuk menjadi orang Kristen.
Ketika membandingkan kedua pengalaman
tersebut, saya lalu berpikir: “Apakah semakin lama saya menjadi orang Kristen,
semakin lama belajar Alkitab dan diperlengkapi untuk melayani, semakin tinggi
pula standar yang harus saya pasang terhadap mutu suatu ibadah, sehingga pada
akhirnya saya semakin sulit menikmati ibadah?”
Saudara, mungkin perasaan seperti itu juga ada pada sebagian dari saudara-saudara? Saudara
jarang bisa menikmati ibadah. Sering kali pulang ibadah menggerutu tentang
musiknya. Liturgosnya, atau khotbahnya. Akhirnya, Saudara jarang mendapat
berkat dalam mengikuti ibadah.
Tentu saja, hal
seperti itu perlu kita ubah. Kita perlu kembali mengerti apa yang Alkitab
ajarkan tentang sikap yang seharusnya kita miliki dalam beribadah. Mazmur 100 mengajarkan bahwa
di dalam beribadah kita harus kembali kepada standar yang benar, yakni “menikmati
atribut Allah”.
Nah, apa yang dimaksudkan dengan
atribut Allah? Atribut Allah adalah sifat-sifat
yang melekat pada pribadi Allah. Atribut
Allah dinyatakan melalui tindakan-Nya di dalam dunia dan di dalam hidup kita. Atribut Allah tidak berubah sampai
selama-lamanya. Contoh atribut Allah
adalah kasih-Nya, kesetiaan-Nya, kemahakuasaan-Nya, dan sebagainya. Supaya kita bisa menikmati atribut Allah
dalam ibadah, ada dua sikap yang harus kita miliki ketika datang beribadah.
I. Mengingat
atribut Allah melalui pengalaman masa lalu (past)
Penjelasan
Bila kita menyelami dunia orang Israel di masa lalu,
pengalaman rohani mereka sungguh luar biasa.
Ketika keluar dari Mesir, tidak ada bangsa lain yang mengalami tuntunan
tangan Allah yang kuat dan yang mengerjakan hal-hal spektakuler. Ketika akan memasuki tanah Kanaan, sulit
diterima dengan akal sehat bahwa bangsa yang kecil ini dapat mengalahkan
bangsa-bangsa lain yang lebih banyak dan kuat secara militer, jika bukan karena
Allah sendiri yang berperang bagi mereka.
Karya Allah bagi Israel pada zaman PL mencapai puncaknya ketika kerajaan
Israel dipimpin oleh Daud dan dilanjutkan oleh Salomo. Zaman tersebut sering dipakai sebagai acuan di
kemudian hari ketika umat Israel mengharapkan datangnya zaman seperti itu
kembali. Gambaran latar belakang seperti
inilah yang berusaha ditunjukkan di dalam Mazmur 100, yang kemungkinan
dituliskan ketika Israel ada dalam masa pembuangan.
Di ayat 1b dan 2 tertulis, “Bersorak-soraklah bagi TUHAN, hai seluruh bumi! Beribadahlah
kepada TUHAN dengan sukacita, datanglah ke hadapan-Nya dengan sorak-sorai!” Di
sini ada tiga kata kerja yang masing-masing dikaitkan dengan
kata sifat: bersorak-sorak, beribadah, dan datang. Ketiga ungkapan ini menunjukkan suasana perayaan. Ayat 4 dan 5 tertera, “Masuklah melalui pintu gerbang-Nya dengan nyanyian syukur, ke
dalam pelataran-Nya dengan puji-pujian, bersyukurlah kepada-Nya dan pujilah
nama-Nya! Sebab TUHAN itu baik, kasih setia-Nya untuk selama-lamanya, dan
kesetiaan-Nya tetap turun-temurun.” Ini mempunyai
beberapa referensi ayat paralel yang mengacu kepada memori akan peristiwa yang
sangat bersejarah, yaitu ibadah [penahbisan] Bait Allah.
Yang menarik adalah bahwa pemazmur menyampaikan ungkapan-ungkapan
perayaan itu tidak hanya berdasarkan keadaan yang dirasakan pemazmur secara spontan dalam ibadah. Ayat 3 yang menyatakan, “Ketahuilah, bahwa Tuhanlah Allah; Dialah yang menjadikan
kita dan punya Dialah kita, umat-Nya dan kawanan domba gembalaan-Nya” memberikan dasar ungkapan perayaan itu, yaitu pada atribut Allah
yang telah dialami. Apa maksudnya?
Pertama, Yahweh Pencipta itu sungguh-sungguh menjadi Allah bagi bangsa Israel
– Ia bukan salah satu dari dewa-dewa yang tidak ada gunanya, tetapi Allah yang sungguh-sungguh
hidup. Kedua, bangsa Israel menjadi bangsa yang bukan hanya diciptakan
Allah sendiri, tetapi juga dipilih-Nya untuk menjadi berkat bagi banyak
bangsa. Ketiga, bangsa Israel mengalami penyertaan Allah sebagai gembala
mereka.
Ketiga hal tersebut menjadi alasan bagi Israel untuk
melakukan ibadah yang berfokus pada menikmati Allah dan semua atribut-Nya. Tidak ada alasan bagi Israel untuk tidak
mengenal dan mengalami Allah. Pada waktu
umat Israel mendengar panggilan ibadah (1b-2), mereka mengerti bahwa mereka
akan mengingat kembali dan merayakan atribut Allah yang telah mereka alami. Sikap yang sama harus kita miliki ketika kita
datang beribadah, yaitu mengingat pengalaman kita bersama Allah di masa lalu untuk
dinikmati di dalam ibadah.
II. Mengimani atribut Allah lewat janji-Nya akan
masa depan (future)
Penjelasan
Kita sudah melihat
bagaimana agungnya suasana ibadah yang dimaksudkan dalam Mazmur 100. Namun ada hal lain lagi yang sangat menarik jika
kita memperhatikan konteksnya di dalam kanon kitab suci. Mazmur 100 ada di dalam kumpulan kitab
keempat (nomor 90-106) dari lima kumpulan kitab yang ada di seluruh Mazmur. Apa
maksudnya? Sebagian ahli mencoba
merangkai kelima kumpulan kitab Mazmur ke dalam suatu alur linier menurut
sejarah perjanjian takhta Daud. Kitab pertama (1-41) berbicara mengenai
pertentangan Daud dengan Saul, yakni sebelum kerajaan Daud berdiri. Kitab kedua (42-72) membahas kehidupan
kerajaan Daud yang telah berdiri. Kitab
ketiga (73-89) membahas periode kritis ketika Asyur menggempur Israel. Kitab keempat (90-106), tempat Mazmur 100 terletak,
merefleksikan masa ketika Israel dibuang.
Barulah pada kitab kelima (107-150) orang Israel merayakan kembalinya
mereka dari pembuangan dan nubuatan akan zaman yang baru. Jadi, bisa dikatakan bahwa Mazmur 100 ditulis
dalam keadaan yang paling terpuruk, yaitu ketika Israel menjalani hukuman di dalam
pembuangan. Ini adalah suatu zaman ketika
mereka sesungguhnya tidak bisa menikmati ibadah sebagaimana yang pernah mereka
lakukan sebelum dibuang (bdk. Mzm. 137:1-4).
Hal ini juga bisa kita bandingkan
dengan judulnya: “Mazmur untuk korban syukur.”
Seorang penafsir mengatakan bahwa karena judul Mazmur ini singkat, yaitu
hanya “untuk korban syukur” dan tidak secara spesifik mengacu pada konteks
“untuk perayaan kembalinya tabut Tuhan,” atau “untuk acara penahbisan Bait
Suci”, maka kemungkinan Mazmur ini adalah untuk dapat dipakai kembali di dalam
ibadah yang lain.
Lebih jauh lagi, bila kita perhatikan
catatan kaki di dalam Alkitab TB, kita akan mendapatkan ayat-ayat referensi
yang berasal dari kitab Tawarikh, yakni 1Taw.16:34 dan 2Taw. 5:13. Meskipun kedua ayat ini berbicara tentang perayaan,
tetapi perspektifnya sejalan dengan kumpulan kitab keempat Mazmur, yaitu
ditulis sebagai suatu kilas balik (flash
back) dari pembuangan untuk mengingatkan umat Israel yang sedang dalam
pembuangan akan pengharapan yang didasarkan kepada janji Allah.
Dengan demikian Mazmur 100 ini di
dalam konteksnya berfungsi memberikan
kekuatan dan penghiburan. Kekuatan dan
penghiburan ini bukan karena suasana atau cara menyanyikannya, tetapi didasarkan
pada atribut Allah yang dinyatakan melalui janji-janji-Nya. Janji-janji ini kembali diingat dan diimani
dalam ibadah. Janji-janji inilah yang
menjadi sumber kepuasan bagi setiap orang yang mengikuti ibadah. Jikalau atribut Allah yang terkait dengan
pengalaman masa lalu (past) dirayakan
kembali dalam ibadah, maka atribut Allah yang terkait dengan janji masa depan (future) diimani kebaikannya.
Kita yang hidup di zaman setelah
Perjanjian Lama memiliki standar ibadah yang lebih tinggi. Di dalam Wahyu pasal 4 dan 5 dilukiskan penglihatan
mengenai keberadaan Allah di surga.
Pasal 4 berbicara tentang Allah Bapa, sedangkan pasal 5 berbicara
tentang Kristus. Keduanya mempunyai pola
yang sama, yaitu didahului dengan pemaparan segala atribut Allah, lalu diikuti
dengan pujian dan penyembahan kepada-Nya.
Pasal 4 menceritakan Allah Bapa yang
dimuliakan karena pekerjaan tangan-Nya yang menciptakan dan memelihara
ciptaan-Nya. Hal ini tidak jauh berbeda
dengan konsep yang dipahami oleh orang PL.
Namun pasal 5 berbicara mengenai Kristus yang menebus kembali ciptaan yang
telah jatuh dalam dosa sehingga kita mempunyai gambaran akan atribut Allah yang
lebih luas dari yang dimiliki orang-orang di zaman PL. Hasilnya adalah puji-pujian yang lebih mulia
dan agung.
Kita yang hidup saat ini seharusnya
jauh lebih bisa menikmati Allah dengan segala atribut-Nya di dalam ibadah. Bukankah seluruh hidup kita adalah bukti
nyata akan karya Allah di dalam Kristus dan karena itu harus memuliakan Dia
dengan seluruh hidup kita? Bila Mazmur
100:3 menyebut Allah sebagai gembala, bukankah seharusnya kita jauh lebih
mengerti dari pemazmur karena kita mengenal Kristus Sang Gembala yang baik
(Yoh. 10:11)? Bukankah janji-janji di
dalam Perjanjian Lama mencapai kesempurnaan di dalam Perjanjian Baru?
Aplikasi
Saudara-saudara, bagaimanakah dengan
kita sekalian? Apakah kita sudah menjadi orang Kristen yang sungguh-sungguh
menikmati ibadah kita? (1) Apakah di dalam ibadah kita selalu berharap
akan khotbah yang lucu? Jika demikian,
maka yang kita inginkan belum sampai kepada intinya, yaitu menikmati atribut
Allah, tetapi masih berada di seputar aktivitas ibadah yang menghibur (2) Jika kita mendapatkan kesempatan melayani
dalam ibadah, apakah usaha yang terbaik diarahkan agar atribut Allah dapat
dinikmati dengan sungguh-sungguh? Jangan-jangan kita berusaha melayani yang
terbaik hanya untuk memperlihatkan perfomance. Jika demikian, maka kita sebenarnya sedang
menghambat jemaat untuk menikmati Allah, yaitu dengan cara menyedot perhatian mereka
untuk menikmati perfomance kita. (3) Pada
waktu kita menyusun acara, kita berupaya agar acara tersebut menarik dan dapat
dinikmati. Namun apakah tujuannya itu
hanya untuk memberi suasana yang baru, atau sungguh-sungguh mengarahkan acara
sedemikian rupa supaya jemaat tidak terhalang untuk menikmati Allah dalam
ibadah?
Jika kita mendapati diri kita tidak
fokus pada atribut Allah, maka kita harus berhati-hati karena mungkin kita sedang
menempatkan sensasi sebagai pusat kenikmatan dalam ibadah. Sensasi ini mudah dicari orang, tetapi
sesungguhnya menyesatkan setiap orang Kristen yang beribadah, karena menawan
mereka untuk tidak menikmati Allah itu sendiri dengan segala atribut-Nya. Dapat dikatakan sensasi ini bersifat present, tanpa perlu kita repot-repot
mengingat yang lalu (past), maupun
menunggu hingga masa depan (future).
Mungkin Saudara berpikir, mengapa kita
tidak boleh menikmati ibadah hanya pada saat ibadah itu berlangsung, tetapi
juga harus mempertimbangkan masa lalu dan masa depan? Ada beberapa alasan. Pertama,
kita harus berpikir bahwa jika kita seperti itu, apa bedanya kita dengan
orang-orang non-Kristen yang juga datang beribadah tanpa memiliki pengalaman dan
tanpa mengetahui janji-janji Allah? Mereka
juga menikmati ibadah karena suasananya enak, meskipun sesungguhnya tidak
memuliakan Allah itu sendiri. Kedua, keadaan masa kini selalu terkait
dengan masa lalu dan masa depan.
Misalnya, Saudara tidak akan mengerti bila saya hanya berkata “Saya saat
ini senang.” Saudara baru bisa memahami perkataan
saya bila tahu apa yang saya alami (misalnya saya tadi mendapatkan kabar baik)
atau yang saya harapkan (misalnya akan makan enak). Jika kita berkata bahwa kita bisa menikmati
ibadah tanpa ada konteks masa lalu maupun masa depan, maka sebenarnya kita tidak
sedang menikmati Allah, tetapi sekadar menikmati suasananya itu sendiri. Oleh sebab itu, kita harus kembali berfokus kepada
atribut Allah itu sendiri, baik melalui pengalaman masa lalu, maupun janji akan
masa depan.
Nah, kalau begitu kita kembali kepada
permasalahan yang saya kemukakan di awal, “Bolehkah kita menetapkan standar
yang tinggi di dalam ibadah?” Jawabannya
adalah “boleh,” jika dapat membantu orang menikmati ibadah. Karena atribut Allah sangat luar biasa, maka
wajar bila kita juga memberikan yang luar biasa di dalam ibadah. Namun jawabannya adalah “tidak boleh,” jika standar
yang tinggi itu dapat mengalihkan orang dari atribut Allah kepada sekadar
sensasi yang dinikmati dalam ibadah.
Untuk itu, ada dua sikap yang harus
dihindari dalam ibadah, yaitu spontan dan instan. Pertama,
spontan berkaitan dengan sikap bertindak tanpa mau memproses lebih
dahulu. Misalnya, ketika berkata-kata
kita seharusnya berpikir dahulu apa yang akan kita katakan, tetapi orang yang
spontan akan langsung mengeluarkan kata-kata tanpa memikirkannya dulu. Jika sikap ini dibawa ke dalam ibadah, maka
kita tidak mau repot-repot mengingat pengalaman yang lalu, tetapi langsung mau
menikmati ibadah. Hal ini tentu akan menyeret
kita untuk menikmati sensasi ibadah saja.
Kedua, instan berkaitan dengan
keinginan mendapatkan hasil tanpa mau menunggu lama. Contohnya, ketika menyeduh mie instan, kita
ingin hanya menunggu sebentar, tetapi mienya siap dimakan. Jika sikap ini dibawa ke dalam ibadah, janji-janji
Allah akan kita abaikan apabila kita tidak merasakan dampaknya pada saat kita
beribadah itu juga. Kita keluar dengan
tidak membawa manfaat dan hanya merasakan sensasi ketika ibadah berlangsung. Kedua sikap ini adalah musuh yang menghambat
kita untuk bisa menikmati ibadah.
Penutup
Sebagian orang mengatakan bahwa manusia
cenderung mencari hal-hal yang dapat memberikan sensasi mistis. Tidak mengherankan bila orang yang tidak
mengenal Allah dapat menganggap sebuah benda, waktu, tempat atau ritual
tertentu sebagai hal yang sakral atau kudus.
Fenomena yang hanya sekilas dapat mengeramatkan hal-hal tersebut. Bagi kita orang percaya, mereka seperti orang-orang
bodoh yang melakukan tindakan bodoh – mereka mengeramatkan atau menyembah
sesuatu yang kita tahu bukanlah Allah. Namun
bila mereka tahu bahwa orang Kristen telah menemukan Allah yang sejati tetapi tetap
beribadah dengan sikap sembarangan dan tidak bisa menikmatinya sungguh-sungguh,
bukankah mereka sangat berhak untuk mengatakan bahwa kita lebih bodoh dari
mereka.
Suatu kali saya ikut dengan seorang
penginjil untuk berkhotbah di sebuah SMA Kristen. Ibadah itu dipimpin oleh salah seorang guru
mereka. Lalu sang penginjil tersebut
diundang untuk berkhotbah. Di sepanjang
khotbah, sang penginjil cukup kesulitan dalam menjaga agar suasana tetap
tenang. Tidak jarang dalam berkhotbah ia
berhenti sesaat untuk menegur anak-anak yang mengobrol. Seusai khotbah,
guru yang menjadi pemimpin ibadah kembali maju dan berbicara. Ia tampak sangat emosional. Sang guru tidak hanya menegur tetapi memaki
anak-anak itu. Dia membandingkan mereka
yang Kristen dengan mereka yang bukan Kristen.
Ia mendapatkan bahwa anak-anak yang bukan Kristen ternyata terlihat beribadah
dengan baik (memperhatikan dan tidak mengobrol). Hal ini menunjukkan betapa memalukannya
orang-orang Kristen di hadapan orang-orang bukan Kristen dalam beribadah.
Barangkali kita pun tidak lebih baik
daripada anak-anak itu. Kita pun mungkin
masih lebih suka mencari sensasi-sensasi dalam ibadah daripada menikmati Allah
dengan segala atribut-Nya. Firman Tuhan
yang kita pelajari hari ini mengingatkan kita agar kita tidak lagi bersikap
seperti itu. Bukankah kita telah
memiliki banyak pengalaman bersama Allah di masa lalu? Bukankah kita juga banyak mengenal janji yang
Allah sampaikan di dalam Alkitab? Firman
Tuhan mengingatkan agar kita tidak melewatkan kenikmatan sejati dalam ibadah
karena sesungguhnya kita sangat bisa dan sangat berhak mendapatkannya. Pada waktu kita dapat sungguh-sungguh
menikmati ibadah, kerohanian kita akan berkembang dan kita akan dikuatkan oleh
janji-janji Allah dalam menjalani setiap tantangan hidup. Kiranya Tuhan menolong kita untuk menikmati
setiap ibadah yang kita ikuti.
Amin
Sangat bermanfaat Tata ibadah yg benar dan sungguh2 perlu di terapkan oleh pribadi yg percaya bhw ibadah adlh jalan utk berjumpa dgn Allah
BalasHapus