BERTEKUN DALAM MASA PENANTIAN
Oleh Renold Afrianto Oloan
Saudara-saudara, pada zaman bahela (dulu), ada seorang pemuda yang jatuh hati kepada seorang gadis ayu di desanya. Pada satu kesempatan ia memberanikan diri mengungkapkan rasa itu kepada gadis pujaannya. Sang pemuda berkata: “Ju (Juleha), aku mencintaimu. Maukah engkau menjadi kekasihku?” Gadis itu diam dan tersipu malu, namun dalam hatinya ia berkata “yes”, akhirnya ia mengungkapkannya juga. Gayung pun bersambut dan mereka menjalani masa pacaran yang penuh dengan warna. Namun suatu ketika tiba saatnya bagi sang pemuda untuk pergi ke kota mencari nafkah dan mempersiapkan masa depan bagi hidup mereka kelak kalau mereka sudah menikah. Ia menjumpai kekasihnya dan berkata: “Sayang, aku harus pergi. Tapi percayalah aku pasti kembali. Nantikanlah aku di batas desa ini.” Dengan disertai derai airmata sang kekasih, akhirnya sang pemuda pun pergi.
Hari-hari berlalu. Juleha menghadapi masa-masa penantian dengan satu harapan bahwa sang kakanda akan segera pulang. 1 bulan, 2 bulan, 1 tahun, 2 tahun, sang kakanda tak kunjung tiba. Namun Juleha tetap tekun dalam masa penantiannya. Ada banyak orang yang mempengaruhinya untuk berhenti menanti. “Sudahlah, mungkin saja ia telah ingkar janji.” Begitu juga dengan pria-pria tampan datang silih berganti. Ada perjaka, ada juga duda. Namun tidak digubrisnya. Ia tetap bertahan dan bertekun dalam penantiannya. Namun apa daya, di tahun ketiga Juleha mulai ragu dan kecewa kepada kekasihnya. Ia mulai bertanya dalam hatinya: “Apakah aku harus tetap bertahan?” Pertahanan Juleha semakin lama semakin lemah. Ketika seorang pemuda tampan dengan berbagai rayuan datang terus-menerus menggodanya, ia pun menyerah dan jatuh ke dalam pelukannya.
Tibalah waktu bagi sang kakanda untuk pulang ke desa. Ia merasa sudah waktunya untuk menikahi sang dambaan hati dan membawanya ikut serta ke kota. Tapi apa hendak di kata, ketika ia tiba, hanya “tenda biru” yang dapat dilihatnya. Yang ada hanya kebisuan ditemani tetesan air-mata. Ia setia kepada janjinya. Seharusnya mereka bisa bersama, tetapi apa daya, sang kekasih tak bertekun dalam masa penantiannya.
Saudara, kisah ini bisa jadi cermin mengenai hubungan kita dengan Tuhan. Apakah kita tetap berpegang pada janji Tuhan dalam masa penantian, atau seperti Juleha? Kita menjadi ragu ketika cobaan dan penderitaan datang dan tergoda untuk jatuh ke dalam pelukan kenikmatan dan kenyamanan yang dunia tawarkan.
Penderitaan sering menjadi kabut tebal yang menghalangi mata iman untuk memandang kepada janji-janji Tuhan. Membuat kita lemah, terkadang ragu, dan bahkan kecewa kepada Allah.
Saudara-saudara, tidak ada seorang pun yang menginginkan kehadiran penderitaan. Namun bila penderitaan itu Tuhan izinkan hadir dalam masa penantian, apa yang seharusnya kita lakukan sebagai hamba-hambaNya?
Firman Tuhan hari ini memanggil kita untuk tetap bertekun dalam masa penantian, meski hidup sarat dengan penderitaan.
Mengapa Saudara?
1. Karena penantian kita bukanlah penantian yang sia-sia. Itu adalah sesuatu yang riil dan pasti terjadi.
Penjelasan
Saudara-saudara, salah besar bila ada seorang berpikir bahwa dengan menjadi anak Tuhan hidupnya akan jauh dari penderitaan, kekurangan, dan penolakan.
Di ayat 17, bagian sebelum perikop yang kita baca, Paulus berkata dengan jelas bahwa anak-anak Allah akan mewarisi kemuliaan Kristus di masa yang akan datang jika mereka menderita bersama-sama dengan Dia pada masa sekarang. Itu artinya bahwa di dalam dunia, anak-anak Tuhan tidak luput dari penderitaan.
Saudara, pembagian dua masa yang dilakukan Paulus identik dengan sistem pembagian masa dalam pemikiran apokaliptik Yahudi. Ada dua masa penting dalam pemikiran Apokaliptik Yahudi, yakni sekarang dan masa yang akan datang. Apokaliptik biasanya lahir oleh karena adanya masa yang begitu berat, dimana orang Yahudi mengalami penindasan dan perbudakan dari bangsa lain, yang memunculkan suatu harapan akan hadirnya bumi dan dunia yang baru dimana mereka dibebaskan dari perbudakan dan penderitaan. Paulus mengadopsi konsep ini untuk menggambarkan keberadaan dunia yang menderita dalam ayat 19-22.
Dikatakan bahwa masa sekarang seluruh makhluk (ktisis) telah ditaklukkan kepada kesia-siaan dan hidup dalam perbudakan kebinasaan. Mereka mengeluh seperti wanita bersalin dan menderita dalam masa penantiannya. Sementara masa yang akan datang adalah masa pembebasan, yakni saat anak-anak Allah dinyatakan.
Hal ini direlasikan dengan kehidupan orang percaya dalam ayat 23-24, dimana di masa sekarang anak-anak Allah juga mengeluh dalam hati mereka sambil menantikan masa yang akan datang, yakni saat dimana mereka dibebaskan dari tubuh yang fana dan dimuliakan bersama-sama Kristus. Karena di dalam tubuh, mereka berjuang melawan tabiat jahat yang bertentangan dengan Roh Allah yang mendiami hati mereka dan diluar mereka menghadapi dunia yang tidak mau tunduk kepada kebenaran Tuhan. Ketika mereka menjalankan kebenaran, menjungkirbalikkan nilai-nilai dunia, maka hal yang sangat mungkin untuk mereka alami adalah penolakan, dimusuhi, dan dibenci dunia. Di dalam dunia, mereka mungkin akan mengalami penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya atau pedang. Bukankah Yesus pernah berkata di Yoh. 15:19: “Kamu akan dibenci karena Aku”. Di dalam masa penantiannya orang percaya akan menderita.
Paulus punya kesaksian akan hal ini dalam 2 Korintus 11:23-27. Ia lebih banyak berjerih lelah, lebih sering di dalam penjara, menanggung pukulan di luar batas, kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali ia menanggung pukulan oleh orang Yahudi, setiap kali empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali menderita pukulan, satu kali dilempari dengan batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam terkatung-katung di tengah laut. Dalam perjalanan ia sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi. Bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak saudara-saudara palsu. Ia banyak berjerih lelah dan bekerja berat; kerap kali tidak tidur; lapar dan dahaga; kerap kali berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian. Suatu perjalanan hidup yang tak mudah dan terkadang membuat hamba Tuhan undur dari pelayanannya. Tetapi tidak bagi Paulus. Ia tetap bertahan. Mengapa Saudara? Karena padanya ada pengharapan bahwa saatnya akan datang. Dalam Roma 5:5 Paulus katakan bahwa pengharapan orang percaya bukanlah pengharapan yang mengecewakan. Bagi Paulus pengharapan akan kedatangan Kristus adalah sesuatu yang konkrit, riil, dan setiap saat bisa terjadi. Itu bukan penantian yang sia-sia. Karena itu di ayat 25 ia berkata kepada jemaat Roma yang sedang mengalami penderitaan karena imannya: “bertekunlah.” Bertekunlah dalam masa penantian meski hidup sarat dengan penderitaan, karena penantianmu dalam pengharapan tidak akan pernah sia-sia.
Ilustrasi
Saudara, dengan indah Paulus menggambarkan masa penantian ini dalam metafora tentang seorang ibu yang sakit bersalin. Jujur saya sulit mengerti rasa sakit yang ditimbulkan oleh karena bersalin, karena saya tidak pernah dan tidak akan pernah mengalaminya. Oleh karena itu saya bertanya kepada ibu saya untuk mengetahui mengenai hal ini. Saya berkata kepada mama: “Ma, tolong ceritakan apa yang mama rasakan saat melahirkanku?” dengan semangat mama menceritakan hal itu kepada saya, bahkan mama memulainya dari sejak saya ada dalam kandungan. Mama berkata: “Selama 9 bulan, mama sering muntah-muntah. Tidur terganggu. Miring ke samping salah, tengkurap apalagi. Tapi yang paling sakit adalah saat hendak melahirkan. Jam 6 pagi perut mama udah mulai sakit dan ia harus menderita dan berjuang selama 6 jam dalam proses persalinan yang hanya ditemani beberapa perawat. Mama bilang itu adalah sakit yang paling sakit yang pernah ia alami sepanjang hidup. Rasa sakit yang luar biasa yang harus ia tanggung, bahkan ia mempertaruhkan nyawanya demi satu harapan melihat kehadiran saya di dunia.
Satu hal yang mengharukan bagi saya ketika mama berkata: “Saat mendengar tangisan pertamamu, semua rasa sakit itu hilang. Rasa sakit itu seperti terbang dan tidak lagi dirasakan.” Mama katakan sukacita itu terlalu besar, tak sebanding dengan rasa sakit yang harus ditahan.
Saudara, inilah gambaran Paulus tentang penantian orang percaya. Tindakan mama menantikan kelahiran saya bukankah sesuatu yang riil? Pengharapan mama akan kehadiran seorang bayi sudah ada sejak saya ada dalam rahim mama dan bergerak. Tangisan pertama saya adalah klimaks dari penantian itu, tetapi sesungguhnya pengharapan itu sudah ada sebelumnya. Penantian mama adalah sesuatu yang riil, bukan sesuatu yang sia-sia. Oleh karena itu ia tekun meski menderita, ia menjalaninya karena ada pengharapan yang pasti akan hadirnya seorang bayi idamannya.
Aplikasi
Saudara-saudara, demikianlah kiranya dengan kita. Meskipun saat ini Tuhan izinkan penderitaan hadir dalam hidup Saudara dan saya, bertekunlah. Penderitaan betapapun beratnya, tidak pernah bernilai kekal di dalam hidup kita dibanding dengan kemuliaan kekal yang akan kita terima bersama-sama Kristus pada masa kedatangan-Nya. Percayalah, bahwa penantian kita tidak akan sia-sia, karena pengharapan yang ada pada kita adalah pengharapan yang riil dan pasti terjadi.
Jangan kiranya penderitaan mengaburkan mata iman kita untuk tetap memandang kepada pengharapan. Pengharapan yang ada dalam diri Paulus telah mendorong ia untuk tetap bertekun. Kiranya pengharapan yang sama yang mendorong kita untuk tetap bertekun dalam masa penantian, meski hidup sarat dengan penderitaan. Karena pengharapan yang ada pada kita adalah pengharapan yang riil dan setiapsat pasti terjadi.
Hal kedua yang menjadi alasan mengapa kita harus tetap bertekun dalam masa penantian meski hidup sarat dengan penderitaan adalah:
2. Karena ada Roh Allah yang turut bekerja di dalam kita.
Penjelasan
Di dalam ayat 23-25 paulus menyampaikan 3 hal yang menyertai hidup orang percaya, yakni penderitaan, pengharapan, dan Roh Kudus. Adanya penderitaan tanpa pengharapan mustahil orang bisa bertahan. Tetapi adanya pengharapan juga tak cukup untuk menjadi alasan untuk seseorang bisa bertahan. Setiap orang percaya membutuhkan Roh Tuhan. Oleh karena itu Allah mengaruniakan Roh-Nya kepada setiap orang percaya untuk dapat bertahan dalam masa penantian. Roh yang membangkitkan kekuatan, kasih, dan ketertiban, bukan roh ketakutan. Roh yang memimpin orang percaya melewati banyak hal dalam kehidupannya, melakukan apa yang tidak mampu dilakukan orang percaya. Roh yang tahu jawaban dari setiap pergumulan anak-anak-Nya dan Ia menolong orang percaya dalam kelemahannya, membawa mereka mengerti apa yang menjadi kehendak Allah dalam hidupnya.
Allah tidak membiarkan anak-anakNya bergumul sendirian. Hal ini jelas disampaikan Paulus dalam ayat 28, bagi orang-orang yang mengasihi-Nya, Ia ada dan turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Kebaikan yang tidak mengacu kepada kenikmatan atau kenyamanan duniawi, tetapi kesesuaian dengan Kristus. Artinya melalui penderitaan demi penderitaan yang Tuhan izinkan terjadi, Allah ingin kita semakin serupa dengan gambar anak-Nya, dan memuliakan-Nya.
Saudara, sebelum Paulus menulis surat ini di Korintus, di dalam perjalanan misinya yang kedua sebelum tiba di Korintus dia mengalami berbagai penderitaan. Di Filipi dia ditangkap dan dipenjarakan (Kis. 16:13-40). Di Tesalonika dan Berea dia hampir ditangkap (Kis. 17: 1-15). Lari ke Atena ia ditolak. Masuk ke Korintus ia dimusuhi dan dihujat. Paulus mengalami ketakutan dan keputus-asaan, namun tidak menyerah dan tetap bertahan dalam penderitaan. Ia tetap bertekun dalam semuanya itu. Dalam 2 Tim. 1:12 ia berkata: “Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan.” Saudara-saudara, Paulus sadar bahwa di dalam pergumulannya menghadapi penderitaan ada Roh Allah yang senantiasa bekerja. Roh yang ia percaya mampu melakukan apa yang tidak mampu ia lakukan. Inilah yang mendorong Paulus tetap bertekun dalam masa penantian meski hidup sarat dengan penderitaan, karena ia percaya ada Roh Allah yang turut bekerja.
Saudara-saudara, bukankah Yesus juga memberikan teladan bagi setiap kita. Ia tahu apa yang harus dialami-Nya di dalam dunia. Ia yang mulia tidak bertanggung jawab terhadap dosa setiap kita. Namun Ia yang kudus rela datang ke dalam dunia yang penuh dengan kenajisan. Ia hidup dengan manusia yang cemar, ditolak, dihina, dianiaya. Ia ditinggal oleh murid-muridNya saat Ia harus berjalan menyusuri via dolorosa. Tetapi bukankah Ia yang berkata kepada murid-murid-Nya dalam Yoh. 16:32: Lihat, saatnya datang, bahkan sudah datang, bahwa kamu diceraiberaikan masing-masing ke tempatnya sendiri dan kamu meninggalkan Aku seorang diri. Namun Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Aku.” Aku tidak seorang diri, sebab Bapa menyertai Ku. Di taman Getsemani Ia bergumul dengan cucuran keringat menyerupai darah. Namun setelah itu Ia tetap tekun melewati Via Dolorosa yang penuh dengan penderitaan. Yesus tahu siapa yang menyertai Dia dan Ia percaya BapaNya yang disorga berkuasa melakukan apa saja seturut kehendakNya. Ia tahu bahwa itu jalan bagi Dia untuk memuliakan Bapa-Nya.
Ditengah pergumulan dan penderitaan Allah tak pernah biarkan Saudara sendirian. Ia akan melakukan apa yang menjadi bagian-Nya. Yang harus kita lakukan adalah tetap bertekun dalam masa penantian meski hidup sarat dengan penderitaan karena Allah turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap kita yang mengasihiNya, membentuk kita menjadi serupa gambar Anak-Nya.
Ilustrasi
Saudara, kampung Dubravy, Slovakia adalah kampung yang berbangga karena semua penduduknya tidak beragama alias ateis. Namun pada tahun 1962 sebuah keluarga bertobat, berbalik kepada Tuhan setelah dengan sembunyi-sembunyi membaca Alkitab Perjanjian Baru yang diberikan oleh seorang ibu di rumah mereka dan mendengarkan siaran rohani radio dari luar negeri. Mereka mengajak beberapa saudara mereka yang lain untuk membaca dan mendengarkan firman Tuhan dan mereka pun menjadi percaya. Kehidupan mereka berubah. Perubahan itu dirasakan oleh orang-orang sekitar dan akibatnya mereka dianiaya. Batu-batu dilempar sehingga menghancurkan kaca jendela. Listrik rumah diputuskan sehingga mereka tidak bisa mendengarkan radio lagi. Mereka dikucilkan dari serikat petani di pertanian kolektif dan hak pakai untuk sebidang tanah dicabut. Meskipun begitu, mereka tetap bertekun. Mereka berkata: “Tidak ada keraguan apa pun tentang kebenaran Injil, karena kami telah membaca ayat yang berkata: “Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu (Yoh. 15:20).”
Lalu instansi pemerintah pun ikut bertindak. Mereka mengambil kedua anak perempuan mereka dan diasingkan dari rumah jauh dari kasih sayang ibunya. Dua kali anak-anak mereka lari dari rumah piatu, namun dua kali juga tangan penguasa yang tidak berbelaskasihan menangkap mereka dan mengembalikan mereka ke tempat penampungan. Mereka berteriak: “Tolong! Tolong! Tetapi penduduk kampung hanya membuka tangan dan berkata: “apa boleh buat?” Apakah mereka menyerah? Tidak. Mereka berkata: “Tuhan melatih kami langsung melalui penderitaan. Dia memimpin kami melalui suatu jalan berduri.”
Penganiayaan berhenti? Tidak. Akhir tahun 1968 istri tercinta dan beberapa saudara ditangkap karena kesaksian mereka tentang Kristus. Mereka dipenjara selam 3-4 tahun. Tapi sang istri ketika digiring keluar dari ruang pengadilan bernyanyi: “Apabila pencobaan datang, waktu letih dalam pertempuran, dan engkau merasa tidak tahan lagi, jangan jatuh, tetapi berjuang terus. Jangan mengeluh karena nasib, sebab dalam itulah ada iman, pengharapan, dan kasih.”
Pada 16 Januari 1970 pemerintah kembali membuat ulah. Mereka mengambil ketiga anak mereka yang lain yang masih kecil untuk dimasukkan ke rumah piatu. Mereka bertanya: “Siapakah yang bisa mengerti kesusahan kami?” Dan mereka menjawab: “Sebenarnya ada! Dialah yang telah memberikan hidup-Nya untuk kita. Dialah yang memikul penderitaan kami dan menguatkan kami.”
Saudara, keluarga ini telah menunjukkan bahwa penderitaan, betapapun beratnya dapat dilalui bersama dengan Tuhan. Mereka tahu kepada siapa mereka percaya. Mereka percaya bahwa Allah akan melakukan apa yang menjadi bagian-Nya. Mereka bertekun dalam masa penantian meski hidup mereka sarat dengan penderitaan, dengan jalan memberi hidup secara total bagi Tuhan.
Aplikasi
Saudara-saudara, bagaimana dengan kita? Adakah kita juga tetap bertekun dalam masa penantian meski hidup kita sarat dengan penderitaan? Adakah kita sedia menderita untuk Tuhan? Adakah kita sedia untuk jauh dari orang-orang yang kita kasihi, ditinggal oleh orang yang paling kita cintai, meninggalkan kenyamanan yang ada, untuk pergi kemana Tuhan ingin kita pergi?
Saudara-saudara, saya tidak tahu apa yang menjadi pergumulan dan penderitaan yang membebani Saudara hari ini. Sakit penyakit yang Tuhan izinkan hadir, ketidakmampuan dalam study dan pekerjaan, perasaan ditolak, ditinggal orang-orang yang dikasihi, kondisi keluarga yang bermasalah, atau masalah lain yang menekan Saudara hari ini. Allah turut merasakan penderitaan itu Saudara. Allah ada disana untuk menemani Saudara dan Ia turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi saudara yang mengasihi-Nya.
Penutup
Serahkanlah pada Tuhan yang mampu melakukan lebih dari apa yang mampu kita lakukan. Tetaplah berjuang, bertekun dalam masa penantian, meski hidup sarat dengan penderitaan karena pengharapanmu dalam Tuhan tidak sia-sia dan percayalah ada Roh Allah yang turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi setiap kita yang mengasihiNya. Dalam menapaki jalan panggilan, sedialah untuk berkata seperti keluarga yang berasal dari Dubravy, Slovakia, meski menderita, saya mau iring Yesus selamanya. Kiranya Tuhan dipermuliakan dalam kehidupan setiap kita anak-anak-Nya.
Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar