Berperang Melawan Keserupaan Dengan Dunia
Oleh Vincent Tansil
Pendahuluan
Indonesia sedang berada dalam kondisi yang mencekam dan menakutkan. Betapa tidak, dalam rentetan dekade terakhir ini, entah sudah berapa banyak terdengar ancaman dan bahkan, aksi kekerasan yang terjadi di bumi nusantara ini. Masih segar keluar dari dapur berita dunia internasional mengenai kematian dari Osama bin Laden—pemimpin al-Qaeda yang tersohor tersebut—potret dari beliau sudah terpampang di Jakarta Post. Namun potret tersebut tidak hanya hadir sebagai sebuah pengumuman selintas. Di depan kantor pusat Front Pembela Islam Jakarta, potret tersebut ditampilkan, dan disandingkan bersama dengan wajah Barack Obama. Sebuah ayat kitab suci yang berbunyi, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizqi” diletakkan langsung setelah potret Osama. Apa yang dipandang sebagai pembasmian terorisme oleh warga dunia ternyata dipandang berbeda oleh sebagian lainnya. Bagi sebagian orang Osama merupakan seorang pahlawan besar yang heroik. Lagipula ia melaksanakannya demi sebuah pemurnian agama. Mereka merasa sedang membela kebenaran; melakukan “Perang Suci.”
Saudara, itulah wajah dunia saat ini. Agama yang ditaksir membawa damai ternyata menimbulkan hal yang nyata-nyata terbalik dari asumsi orang kebanyakan. Tetapi bagaimanakah orang Kristen memandang hal ini? Dengan adanya teks yang kita baca barusan tidakkah terbersit dalam benak kita akan gambaran sebuah “Perang Suci” seperti yang biasa dikumandangkan oleh media? Saudara, kita pun wajib melakukan Perang Suci. Tetapi bersama dengan Kristus, maka oknum yang ditarget harus berubah. Kita melakukan Perang Suci melawan keserupaan dengan dunia ini karena kasih karunia dan kesetiaan Allah.
Tetapi sebelumnya, apa persisnya kaitan Perang Suci Israel dengan Perang Suci orang Kristen?
I. Melakukan Perang Suci melawan keserupaan dengan dunia (1-5)
Saudara, ketika seseorang divonis penyakit terminal, ia tidak akan menjalani hidupnya dengan sama lagi. Ia mungkin akan mengambil beberapa pantangan-pantangan ekstrim untuk menyelamatkan dirinya dari penyakit kronis tersebut.
Begitu juga dengan bangsa Israel yang tengah berbondong-bondong berjalan menuju tanah yang dijanjikan bagi mereka. Tatkala tanah Kanaan menghampiri penglihatan mereka, turunlah perintah dari Allah untuk “menumpas” bangsa-bangsa di tanah tersebut. Sebuah langkah yang ekstrim untuk penyakit terminal bangsa Israel—penyembahan berhala. Ketujuh bangsa yang disebutkan dalam teks ini melambangkan keseluruhan dari bangsa-bangsa di tanah perjanjian. Jangankan kawin mengawinkan atau mengikat perjanjian, mereka wajib ditumpas hingga habis. Tetapi mengapa demikian keras?
Saudara, bangsa Israel merupakan bangsa yang telah terikat perjanjian yang sangat eksklusif dengan Yahweh. Menikah, pada masa itu, biasa bersifat politis. Dalam sebuah perjanjian politis allah dari kedua belah pihak diundang untuk menjadi saksi. Tetapi jelas bahwa Allah Israel tidak bisa disandingkan dengan batu dan kayu semata. Karena itu penolakan untuk menikah dan penghancuran struktur bangunan adalah sebuah tanda terbuka bahwa Israel tidak mengakui allah-allah mereka memiliki kuasa sama sekali. Allah tidak akan mengizinkan Israel, kekasih-Nya, dicondongkan hatinya kepada allah selain diri-Nya. Pesan utamanya jelas: kebiasaan-kebiasaan penyembahan berhala, apabila tidak ditumpas, akan mempengaruhi umat pilihan untuk menjauhi Tuhan. Karena itu mereka harus ditumpas habis!
Tetapi bagaimana dengan kita hari ini? Bagaimana dengan kita yang hidup di zaman setelah kematian dan kebangkitan Yesus? Persis seperti pada masa Israel di mana mereka wajib untuk menyatakan identitasnya di tengah budaya-budaya yang menyimpang, maka kita pada hari ini juga wajib membedakan diri kita dengan ilah-ilah budaya di sekitar. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” kata Roma 12:2; sebab kitalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri,” demikian menurut 1 Petrus 2:9. Perang masih terus berlanjut; bukan lagi melawan darah dan daging orang lain, tetapi melawan daging kita sendiri. Melawan nafsu dari tubuh kita; “mematikan” manusia lama kita yang mudah dicemarkan oleh dunia. Menghidupi panggilan kita untuk berada di dalam dunia tetapi berbeda dengan dunia. John Stott pernah mengatakan bahwa hal yang paling menyakitkan bagi orang Kristen adalah ketika kita memperkenalkan diri kita sebagai orang Kristen, tetapi orang tersebut terkejut dan menjawab, “tetapi anda tidak beda dengan orang lain!”
Kristus merupakan contoh yang paling mencolok dalam Perjanjian Baru. Ketika masyarakat pada masa itu terbiasa menggunakan pedang dan pentungan untuk menyelesaikan masalah, Yesus berkata, “sarungkan pedang itu.” Di tengah berkecamuknya balas dendam dan kekerasan, Yesus mengatakan “ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Tatkala menjadi egois merupakan pilihan yang wajar, Yesus mengorbankan diri-Nya di kayu salib demi mereka yang masih memusuhi-Nya; menjadi “seteru-Nya.” Seturut dengan Kristus, kita pun wajib melawan keserupaan dengan dunia.
Ilustrasi
Saudara, ada seorang pria yang bekerja di sebuah perusahaan ikan asin. Pada hari pertama bekerja, ia diberi di tempatkan dalam bagian pengepakan ikan asin. Pagi hari ia memasuki ruang kerjanya dengan semangat. Ia terkejut dengan bau ikan asin yang sangat menusuk hidungnya, tetapi ia dengan segera membiasakan diri; kalau tidak bagaimana ia dapat bekerja? Hari berjalan dengan begitu cepat, waktu untuk pulang sudah tiba. Saat ia pulang ke rumah, tiba-tiba keluarganya terkejut. Mereka heran bahwa rumah mereka menjadi bau ikan asin. Segera mereka menyadari bahwa bau ikan itu bersumber dari pria tersebut. Yang heran pria tersebut tidak sadar bahwa bau itu bersumber dari dirinya. Ia sudah terbiasa dengan bau ikan asin sehingga ia tidak merasa ada yang salah dengan dirinya. Bukankah kita juga seperti demikian? Karena kita hidup dalam budaya dunia ini, seringkali kita tidak menyadari bahwa dunia ini sedang mempengaruhi kita. Diperlukan sebuah kesadaran bahwa ilah-ilah tersebut harus dikenali dan dihadapi.
Aplikasi
Saudara, dunia ini seperti sebuah mesin percetakan. Ia akan senantiasa berusaha mencetak kita menurut gambar dan rupa dunia, bukan gambar dan rupa Allah. Baik kita menyadarinya atau tidak, dunia ini akan selalu berusaha mempengaruhi kita; membelokkan kita dari apa yang Allah inginkan. Berbeda dengan sebuah pabrik sabun, dunia ini bukan memberikan keharuman, malah bau busuk yang dibenci oleh Allah! Kita juga rentan menjadi begitu terbiasa dengan dunia ini hingga tidak menyadari bahwa dunia ini telah membentuk kita sedemikian rupa. Tugas kita adalah menyadarinya, mengevaluasi diri kita dengan kritis; apakah kita semakin serupa dengan Kristus atau malahan semakin serupa dengan dunia ini? Apabila kita menemukan bahwa kita memiliki keserupaan dengan dunia: mulut yang menjatuhkan orang lain, semangat kompetisi yang tidak sehat, iri hari, kebencian, keegoisan, tidak mau mengampuni, baik di dalam diri kita maupun pada komunitas tempat kita melayani, sudah sepatutnya kita menumpas mereka. “Janganlah engkau mengasihani mereka!”
Tetapi bukankah itu merupakan hal yang tidak mudah? Bukankah berperang melawan kedagingan seringkali menyakitkan, penuh pengorbanan, dan terkadang memalukan? Atas dasar apakah kita wajib melakukan Perang Suci tersebut?
II. Melakukan Perang Suci dengan Dasar Kasih Karunia (6-11)
Saudara, teks yang kita baca mengatakan bahwa bangsa Israel adalah pilihan Allah sendiri. Ia merupakan “umat kesayangan-Nya;” atau lebih tepat lagi, “harta kesayangan-Nya!” Melihat segala yang dikerjakan oleh Allah kepada bangsa Israel, rasanya keterlaluan apabila Israel tidak menyadari bahwa ia begitu spesial, begitu berharga. Israel sangatlah istimewa, tetapi bukan karena banyak jumlah mereka; bukan karena gagah prajurit-prajurit mereka; malahan mereka adalah bangsa yang paling kecil dari segala bangsa. Bukan karena semua ini Allah hashaq; “terpikat”—yang memiliki makna seorang pemuda yang terpikat oleh seorang wanita—kepada Israel. Tetapi oleh karena Allah memang mengasihi mereka; dan juga karena kesetiaan-Nya kepada janji-Nya kepada Abraham. Bangsa Israel tidak berhak mendapatkannya.
Sejarah mencatat bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang tegar tengkuk dan bebal luar biasa. Betapa sering hati Allah didukakan oleh mereka. Perintah ini tidak datang sebelum pemberontakan-pemberontakan Israel, malah setelah berulang-ulang kali Israel menyakiti Allah. Tetapi di tengah semuanya ini Allah masih tetap setia kepada bangsa Israel. Saudara, bukankah ini kasih setia? Bukankah ini kasih karunia? “Jadi,” Allah melanjutkan, “berpeganglah pada perintah, yakni ketetapan dan peraturan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini untuk dilakukan.” Kasih setia Allah patut diimbali ketaatan kita!
Paulus menyadari betul hal ini. Ia mengatakan bahwa hanya oleh kasih karunia ia diselamatkan. Tetapi semuanya ini tidak ia biarkan menjadi sia-sia; sebaliknya, ia bekerja lebih keras daripada semua rasul. Petrus yang telah menyangkal Yesus tiga kali, dosa terbesar yang dapat dilakukan orang percaya—penyangkalan—mendapat kesempatan kedua. Ia diberi-Nya kesempatan untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Petrus, Paulus, Yakobus, Yohanes, mereka yang pernah mengecap kasih setia Allah takkan pernah menjadi sama lagi. Kasih Allah kepada kita—gerejanya hari ini—seharusnya mendatangkan respon yang sama pula: ketaatan!
O, saudara, tidakkah kita melihat Kristus? Bukankah begitu besar yang telah Ia lakukan bagi kita? Bukan karena kita mampu; bukan karena kita suci; bukan karena kita sudah melayani puluhan tahun sekalipun. Malah kita pun sering mendukakan Dia. Tetapi bagi kaum seperti kita ini Ia memerintahkan kita; memanggil kita menjadi hamba-hamba-Nya—memberitakan firman Tuhan, menggembalakan domba-domba-Nya. Sungguh besar karya Allah kita! Sungguh besar karya Kristus dalam hidup kita! Tidakkah ini membawa kita kepada penyerahan hidup yang total? Menggulirkan seluruh aspek hidup kita menuju peperangan Suci mahadahsyat, melawan keserupaan dunia dengan gigih.
Ilustrasi
Jean Valjean, seorang tokoh dalam novel Les Miserables karangan Victor Hugo, mengilustrasikan gambaran ini dengan sangat baik. Ia adalah seorang yang kehidupannya sangat malang. Hanya karena mencuri roti untuk memberi makan sepupunya, ia harus dipenjara selama puluhan tahun, mengakhirinya dengan status sebagai seorang mantan narapidana kelas berat.
Satu kali ia masuk ke sebuah kota dengan baju compang-camping serta wajah yang garang, tak pernah mengenal belas kasihan selama puluhan tahun. Ia diusir dari penginapan, yang sempat menerima ia sampai duduk, hanya untuk mengusirnya ketika identitasnya diketahui. Berjalan luntang-luntung diterpa angin dingin, ia memutuskan untuk meletakkan kepalanya di pinggir jalan. Seorang suster menawarkan sebuah tempat berteduh, Jean pesimis ada orang yang mau menerimanya. Suster tersebut menunjuk kepada sebuah gereja dan ia berkata, “anda pasti belum mencoba rumah itu.” Bangkitlah Jean mencoba peruntungannya. Ketika masuk, ia berkata dengan lantang-lantang bahwa ia hanya ingin menumpang tidur—di kandang pun boleh. Sang imam langsung menyiapkan sebuah kamar tidur, tepat bersebelahan dengan kamar sang imam; hidangan panas dan hangat dari perabot emas digunakan. Jean terkejut dan terheran. Setelah menikmati semuanya dengan kasar, ia menidurkan dirinya di atas apa yang tak pernah dikecapnya selama puluhan tahun.
Namun, pada malam hari ia melompati pagar, membawa seluruh perabotan emas dan perak milik imam tersebut—ia merampok tempat di mana ia diberikan tempat tinggal! Keesokan harinya sang imam dan suster-suster terbangun, terkejut melihat barang-barang yang hilang.
Selang berapa waktu kemudian Jean Valjean datang, dikawal oleh dua orang berseragam—ia tertangkap basah. Dua opsir tersebut bertanya kepada imam, apakah ia pernah melihat orang mencurigakan ini. Imam tersebut berseru, “mengapa engkau pergi bergitu cepat dan melupakan beberapa hal!” Ia berlari masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa perabotan perak yang tertinggal; memasukkannya ke dalam kantong Jean yang sudah hampir penuh. Jean melongo, begitu pula kedua opsir tersebut. Setelah kedua opsir tersebut pergi, imam tersebut berkata kepada Jean yang masih tidak bergerak tersebut, “jiwamu telah kubeli. Ambillah seluruh perabotan ini untuk memulai segala sesuatunya dari awal.” Lalu imam tersebut meninggalkan Jean berdiri terpaku.
Digenggam oleh ingatan akan kasih karunia tersebut, seorang penjahat, lebih-lebih pemberontak dan penipu, ia tidak pernah hidup sama lagi. Sampai akhir dari hidupnya, ia tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Ia habiskan hidupnya untuk memerangi ketidakadilan pada masanya. Menolong seorang janda melarat bernama Fantine dan seorang gadis yatim piatu bernama Corsette, tidak ada yang sanggup menahannya. Kasih karunia selalu mengubah hidup manusia. Kasih karunia merupakan insentif terbesar seorang pejuang yang berpanji kekudusan Tuhan.
Aplikasi
Saudara, tidakkah kita melihat cerminan diri kita pada kisah ini? Bukankah kita telah diselamatkan, diberikan tempat beribadah, diberikan kesempatan menjadi hamba-Nya, diberikan tempat untuk meletakkan kepala, diberikan kecukupan makanan, saudara-saudara, kekurangankah kita!? Tetapi balasan kita adalah gerutu, bersungut-sungut, menghambur-hamburkan uang, waktu kita, tenaga kita, melekat erat dengan dosa—persis dengan apa yang akan dilakukan oleh dunia ini bila keinginannya tidak terpenuhi; persis dengan kelakuan yang sudah mengurat-akar dalam daging; persis dengan kehidupan manusia lama kita! Apa jawab Tuhan? “Mulailah lagi; modalnya masih tetap kuberikan; kasih karunia masih ada.” Akankah kita menolak-Nya sekali lagi? Tidak saudara. Jangan. Sebaliknya singsingkanlah lengan baju kita; hadapilah keserupaan dengan dunia ini dengan segala kejahatannya. Dengan ingatan yang lekat di kepala: sesungguhnya aku ini hina, namun diselamatkan dan diampuni berulang kali. Masakan aku berdosa kembali? Masakan aku tidak berkarya? Sekalipun jangan!
Penutup
Perang Suci kita bukanlah melawan darah dan daging. Lawan kita hari ini adalah keserupaan dengan dunia. Alasan kita melakukan perang tersebut adalah kasih karunia dari Allah saja. Allah akan menolong kita dalam perang tersebut—itulah jaminan-Nya. Maukah saudara terlibat? Maukah kita berikhtiar bersama-sama untuk menghadapinya? Marilah kita melaksanakan Perang Suci tersebut bersama Allah.
Kita adalah “harta kesayangan-Nya.” Tahukah saudara bahwa Ia sangat mengasihi kita? Ia tidak rela kita hidup berbalik dari pada-Nya.
Amin