MENENGAK KESEGARAN DI PADANG GURUNOleh Danny A. Gamadhi
(Dikutip dari buku Mengkhotbahkan Mazmur Ratapan oleh Danny A. Gamadhi)
Adegan 1: Ketika mengalami kesesakan, apa respons kita?
Bertahun-tahun yang lalu, sebelum telepon selular menjadi benda yang lazim, seorang pemimpin seminar bertanya kepada para pesertanya, “Jika seseorang datang ke pertemuan ini, memanggil nama Anda, dan berkata, ‘Ada telepon untuk Anda,’ apakah Anda menduga telepon itu akan menyampaikan kabar baik atau kabar buruk?” Sebagian besar dari kita mengakui bahwa kita akan berpikir itu kabar buruk, tetapi kita tidak yakin mengapa dapat berpikir demikian. Hal ini menunjukkan beban yang pada umumnya ditanggung banyak orang, yakni rasa takut terhadap kabar buruk. Mengapa bisa demikian? Karena memang pada dasarnya hidup kita hari ini dipenuhi dengan kabar buruk, penderitaan, dan masalah yang berlarut-larut. Pengalaman kesesakan ini membawa kita merasa seperti tengah berada di padang gurun yang luas: gersang, panas, tidak ada pemandangan yang indah, dan tidak tampak ujung dari gurun tersebut.
Para teolog juga sering kali mengaitkan pengalaman kesesakan dengan suasana di padang gurun. Oleh sebab itu, dalam perbendaharaan Teologi Spiritual ada sebuah terminologi yang menggambarkan keadaan kekeringan rohani, tidak ditolong Allah, dan penderitaan yang tak kunjung usai sebagai, “the wilderness” atau padang gurun. Keadaan seperti ini dapat dipastikan dialami oleh setiap orang percaya. Pengalaman berada di “padang gurun” dialami seorang janda yang baru kehilangan suaminya. Pengalaman berada di “padang gurun” dialami seorang ayah yang telah tiga bulan di-PHK dan belum mendapatkan pekerjaan lagi. Pengalaman berada di “padang gurun” juga dialami oleh seorang yang terbaring di atas ranjang rumah sakit selama berbulan-bulan dan tak kunjung membaik. “Padang gurun” juga dialami oleh Saudara dan saya hari ini.
(Di sini pengkhotbah dapat memutar video yang berisi pergumulan hidup yang berat, keputusasaan seseorang, masalah rumah tangga, masalah pergaulan, dan kejadian-kejadian lain yang memilukan hati penderitanya. Contoh-contoh konkret dari pergumulan sehari-hari dapat juga ditampilkan dalam bentuk video maupun foto-foto.)
Ada seorang gadis yang baru bertunangan dengan seorang pemuda yang bekerja sebagai tentara. Sebagai kekasih seorang tentara, ia sangat bangga memiliki tunangan yang gagah, tampan, dan yang terpenting sangat mengasihi dirinya. Ketika mereka hendak menikah, mereka terpaksa menunda tanggalnya karena sang pemuda diutus untuk berperang. Sembilan bulan sudah sejak sang pemuda berangkat, tak sekalipun sang gadis mendengar kabar tentangnya. Pikirannya mulai panik dan setiap sore ia berdiri di pintu gerbang rumahnya menanti tunangannya pulang.
Suatu sore pada bulan November yang sejuk, seorang yang pincang berjalan dari kejauhan. Ia berjalan terus menuju rumah si gadis. Gadis tersebut memperhatikan wajah orang ini yang hancur, kulit tubuhnya yang penuh luka bakar, dan sebuah kaki palsu untuk menopang tubuhnya. Tapi yang paling mengejutkan bagi si gadis ialah ia memanggil sang gadis dengan sebutan yang hanya digunakan oleh kekasihnya. Mulutnya terkatup rapat, “Mungkinkah dia itu …?” Pria itu memanggil sekali lagi dan sadarlah ia seketika bahwa orang ini adalah kekasihnya yang pulang dari perang. Sang gadis berlari mendapati kekasihnya, dan dengan mencucurkan air mata, ia memeluknya dengan erat. Saudara tahu kata-kata apa yang pertama kali keluar dari mulut sang gadis? Ia berkata, “Thank God, you’re alive” dan memeluk kekasihnya kembali. Di tengah tragedi yang menimpa gadis itu, ia mampu tetap bersukacita di tengah kesesakan.
Lain halnya dengan gadis tadi, ada beberapa orang lain yang juga menghadapi kesesakan dalam hidupnya. Pada tahun yang sama setidaknya ada empat orang yang menjatuhkan dirinya dari lantai atas sebuah mal besar di Jakarta. Tubuh mereka menghantam lantai yang keras dan kehilangan nyawanya seketika. Salah satu dari mereka adalah seorang bapak berusia 61 tahun. Ia sudah lama tidak bekerja dan tidak memiliki uang lagi. Putus asa dengan hidupnya yang berat, ia memilih untuk mengakhirinya dengan instan. Tetapi tiga di antaranya adalah para gadis muda. Mereka sehat, punya pendapatan, dan punya masa depan. Salah satu dari wanita itu hatinya hancur tatkala ditinggalkan oleh kekasihnya. Ia merasa tidak punya alasan untuk hidup lagi. Pada suatu sore ia menjatuhkan dirinya dari sebuah balkon apartemen yang tingginya lebih dari 20 lantai. Tubuhnya terkejang di tanah setelah menghantam aspal yang keras sampai akhirnya ia tidak bergerak lagi.
Manusia hidup tidak lepas dari masalah dan kesesakan. Kita hidup di tengah dunia yang kompleks, demanding, penuh intrik, melelahkan, bersaing ketat, dan jahat. Pertanyaannya adalah, ketika mengalami kesesakan, apa respons kita? Dapatkah kita tetap segar di tengah padang gurun?
Adegan 2: Dalam menghadapi kesesakan, Daud meratap kepada Allah (ay. 2-3)
Ketika masalah datang, sebagian orang punya kecenderungan untuk menutupi dan melupakan masalah itu. Ada yang berusaha menenggelamkan masalahnya dengan minum-minuman keras tetapi mereka lupa bahwa “masalah dapat berenang.” Ada yang melampiaskan stres mereka dengan mencari hiburan malam. Alhasil, masalah mereka bertambah banyak. Ada yang berpikir bahwa “time will heal” tetapi itu pun hanya mitos. Waktu tidak menyembuhkan. Akhirnya masalah mulai merampas keceriaan, kebebasan, waktu-waktu berkualitas, dan akhirnya kesehatan kita. Sambil “tertatih-tatih” kita menjalani hidup yang berat di tengah dunia yang kejam. Dunia tidak peduli dengan keadaan kita, ia memaksa kita untuk tetap senang dan tidak memikirkan masalah. Namun sebenarnya, masalah itu masih ada dan terus menggerogoti siang dan malam. Inilah yang terjadi pada Raja Daud.
Suatu kali Daud mengalami kesesakan yang sangat berat. Ia tidak memberi tahu dengan jelas kesesakan apa yang tengah dihadapinya, ia seolah memberi ruang bagi kita untuk meletakkan kaki kita di sepatunya. Di tengah kesesakannya itu ia menggubah sebuah mazmur yang mengutarakan semua kekecewaan, ketakutan, dan penderitaannya. Hari ini Daud mengundang kita untuk masuk ke dalam pergumulan beratnya melalui Mazmur 13, sebuah mazmur ratapan.
Daud memulai ratapannya secara “to the point” dan dengan tegas menyatakan perasaannya yang terdalam, “Berapa lama lagi Tuhan Kaulupakan aku, selamanya? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” (ay. 2). Daud yang dikenal gemar memuji Allah kali ini bukan dalam keadaan yang penuh iman dan bersuka karena Allahnya. Ia sedang mengacungkan tangannya terhadap Allah dan berteriak sambil mencucurkan air mata. Allah yang dahulu menolongnya menghadapi binatang buas, kini meninggalkannya dalam kelemahan. Allah yang dahulu menyertainya ketika berhadapan dengan musuh-musuhnya, kini meninggalkannya sendirian dalam ketakutan dan kegelapan yang paling kelam.
Daud mengatakan bahwa Allah telah melupakan dan menyembunyikan wajah-Nya. Wajah Allah melambangkan kehadiran Allah yang membawa berkat dan pertolongan. Ketika Daud tak kunjung melihat wajah Allah, ia merasa Allah berlambat-lambat dalam menolongnya atau bahkan menolak untuk menolongnya. Oleh karena itu Daud berseru, “Berapa lama lagi Tuhan? Selamanya?” Di satu sisi Daud masih menanti dan menanti, di sisi lain hatinya mulai ragu tatkala melihat tangan yang Mahakuasa berubah. Allah mendiamkannya. Jiwanya dipenuhi konflik antara realitas dan iman. Imannya mengatakan untuk tetap menanti pertolongan Tuhan, namun realitas berkata lain: “Allahmu telah meninggalkan engkau!”
Penderitaan yang Daud alami kini memasuki area yang lebih dalam. Ia bukan hanya menderita tekanan dari luar tetapi jiwanyapun tersiksa. Dengan pilu Daud berkata, “Berapa lama lagi aku harus merasakan kesakitan di dalam jiwaku, kesedihan di dalam hatiku, siang dan malam. Berapa lama lagi musuhku meninggikan diri atasku?” (ay. 3).
Setelah Daud meratap bahwa Allah telah mengabaikan dan melupakannya, ia terduduk dalam keputusasaan. Mulutnya terkatup. Hatinya sakit bagaikan disayat-sayat belati. Penderitaan Daud tidak berhenti di situ. Ia berkata bahwa ia merasakan penderitaan psikis siang dan malam, alias setiap saat! Ia merasakan ketidakmampuan dalam menghadapi masalahnya, musuh-musuhnya berkuasa atas dia, dan Allah? Allah, satu-satunya Penolong yang dapat diandalkan diam seribu bahasa.
Pernahkah Saudara mengalami pergumulan yang Daud alami? Pernahkah Saudara disudutkan dari berbagai sisi, rekan-rekan kerja Saudara bersepakat untuk menjerumuskan Saudara, teman-teman dekat Saudara tidak mampu menolong dan yang lain terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Satu-satunya harapan Saudara terletak pada atasan Saudara yang bisa menolong dan membela. Ia yang tahu bahwa Saudara tidak bersalah. Tetapi alih-alih membela Saudara, ia malah melepaskan diri dari masalah dan menolak untuk ikut campur. Bagaikan seorang dokter yang paling ahli untuk mengobati penyakit Anda, tetapi alih-alih memberikan resep obat dan memberikan perawatan, ia menutup pintu dan menolak untuk menolong Anda. Ia meninggalkan Saudara ketika Saudara paling membutuhkan pertolongannya.
Inilah yang Daud alami, pada saat-saat kritis ketika Daud paling membutuhkan kehadiran Tuhan, Ia malah menghilang tanpa jejak, tidak menolong, bahkan meninggalkan Daud sendirian. Oleh karena itu ia berseru, “Berapa lama lagi, Tuhan, Kaulupakan aku, selamanya? Berapa lama lagi Kausembunyikan wajah-Mu terhadap aku?” Oh, betapa mengerikan keadaan ini. Apabila Allah saja tidak menolong, siapa yang mampu menolong?
Bertanya atau mempertanyakan Allah merupakan hal yang lazim dalam tradisi Israel kuno. Dalam Kejadian 4, Kain bertanya pada Allah, “Apakah aku penjaga adikku?” (Kej. 4:9). Abram menjawab Allah yang berjanji dengan mengajukan pertanyaan, “Apakah yang akan Engkau berikan kepadaku, karena aku akan meninggal dengan tidak mempunyai anak, dan yang akan mewarisi rumahku ialah Eliezer, orang Damsyik itu” (15:2). Dan dalam kitab Ayub, dicatat Ayub mempertanyakan Allah mulai dari pasal 3 dan tidak berhenti hingga di pasal 38 Allah akhirnya menampakkan diri padanya.
Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukanlah permintaan sederhana untuk mencari tahu sebuah informasi melainkan sebuah ekspresi keraguan yang mendalam. Mereka perlahan-lahan mulai meragukan karakter dan aktivitas Allah serta dampaknya pada hidup manusia. Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan produk dan respons terhadap pengalaman the hiddenness of God, Allah yang menyembunyikan diri-Nya. Terlebih lagi, Ia berdiam diri, menolak untuk hadir dan bertindak sebagaimana diharapkan manusia.
Bukannya informasi, pertanyaan-pertanyaan ini menantikan kehadiran ilahi di tengah kesesakan yang menimpa. Pertanyaan-pertanyaan ini menantikan tindakan nyata dari Allah. Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan iman seseorang yang masih menantikan Tuhan tatkala pilar-pilar kepercayaannya mulai digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang menyakitkan. Pertanyaan-pertanyaan ini menjaga seseorang tetap waras di tengah segala tekanan berat yang menimpanya. Dalam keadaan seperti ini, Asaf, pemazmur lainnya, juga bertanya-tanya,
“Untuk selamanyakah Tuhan menolak
dan tidak kembali bermurah hati lagi?
Sudah lenyapkah untuk seterusnya kasih setia-Nya,
telah berakhirkah janji itu
berlaku turun-temurun?
Sudah lupakah Allah menaruh kasihan,
atau ditutup-Nyakah rahmat-Nya
karena murka-Nya?”
Maka kataku: “Inilah yang menikam hatiku,
bahwa tangan kanan Yang Mahatinggi berubah.”
(Mzm. 77:8-10)
Selain Daud dan Asaf, di bagian dunia yang lain pada masa yang lain ada seorang yang pernah mengalami hal tragis dalam hidupnya. Ia adalah seorang pengacara dan dosen hukum di Chicago yang sukses dan terkenal. Ketika menginjak usia 40, karirnya menanjak, ia menjadi kaya raya dan menanam investasi yang sangat besar pada bisnis real estate di pusat kota Chicago. Namun satu bulan kemudian terjadi kebakaran besar di kota itu dan rumah-rumah di tepi sungai Michigan, tempatnya menanam modal, hangus terbakar tak bersisa padahal belum lama sebelum kebakaran tersebut, sang pengacara baru saja kehilangan putranya. Tidakkah hatinya menjerit? Tetapi penderitaannya belum berakhir.
Dua tahun setelah kebakaran, pengacara yang adalah seorang Kristen yang melayani ini merencanakan sebuah perjalanan ke Eropa bersama keluarganya. Ia hendak menyusul pendetanya yang pergi untuk melayani dan mengajak serta keluarganya untuk berlibur di Eropa. Ketika mereka hendak berangkat, tiba-tiba seorang rekan bisnis menghubunginya dan meminta agar ia menyelesaikan transaksi bisnisnya yang tidak dapat ditunda. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal di Chicago beberapa hari dan menyusul dengan kapal yang berikutnya.
Keluarga pengacara ini berlayar di atas kapal pesiar megah yang bernama Ville du Havre. Pada tanggal 22 November kapal ini dihantam kapal Inggris, Lockhearn, dan tenggelam seketika dalam dua belas menit. Sembilan hari kemudian, ia menerima telegram dari istrinya yang saat itu berada di Wales yang berisi, “Saved alone”, “selamat sendiri.” Keempat putrinya yang turut berlayar tewas tenggelam di tengah laut.
“Di mana Allah ketika kebakaran terjadi? Di mana Allah ketika putranya sekarat? Di mana Allah ketika anak dan istrinya menjerit minta tolong di tengah lautan? Di mana Allah ketika keempat putrinya kehabisan napas dan merasakan paru-parunya terbakar karena kehabisan oksigen? Di mana Allah? Apa yang Ia sedang lakukan? Mengapa semua ini terjadi?” Mungkin ini juga seruan yang keluar dari mulut kita ketika bencana menimpa, sakit-penyakit, musuh, atau kesesakan apapun menimpa, terutama ketika Allah seakan menghilang dan tak kunjung memberikan pertolongan.
Apabila saat-saat seperti itu datang dalam hidup Saudara, merataplah di hadapan Tuhan. Bawa semua kesesakan Saudara pada-Nya. Jangan tahan-tahan kepenatan yang Saudara rasakan, utarakanlah kepada Tuhan.
(Pada bagian ini, berhentilah berkhotbah untuk beberapa saat. Lantunkanlah musik yang tenang untuk mengiringi jemaat menyelami pengalaman hidup mereka yang berat dan penuh pergumulan. Berikan mereka waktu untuk merasakan kembali kesesakan yang tengah mereka alami).
Adegan 3: Tetapi Daud tidak berhenti pada ratapannya, ia memohon dengan gigih (ay. 4-5)
Setiap orang memiliki respons yang berbeda ketika diperhadapkan dengan masalah. Sebagian orang menjadi nekad, sebagian lagi memilih untuk mundur dan menerima keadaan apa adanya, tetapi apa yang Daud lakukan? Daud memilih untuk berdoa. Berdoa memohon pada Tuhan yang empunya langit dan bumi untuk menolong. Inilah yang Daud lakukan. Setelah menaikkan protesnya kepada Allah, Daud tidak mencuci muka lalu pergi begitu saja. Daud berdoa, dan memohon dengan sangat, “Pandanglah kiranya, dengarlah aku, ya Tuhan, Allahku!” (ay. 4). Permohonan ini merupakan doa koresponden dari ratapannya. Jikalau sebelumnya Daud merasa Allah menyembunyikan wajah-Nya, sekarang ia memohon agar Allah memandang padanya. Jika sebelumnya Daud merasa Allah melupakannya, kini ia memohon agar Allah menjawab dan mendengarnya.
Daud “berani” memohon kepada Tuhan sebab ia memandang Tuhan sebagai Allah yang telah mengikat perjanjian dengan umat-Nya. Hal ini nyata ketika Daud untuk pertama kalinya dalam mazmur ini menyebut Tuhan sebagai, “My God”, “Allahku” (ay. 4a). Di sini ia mengklaim bahwa Tuhan adalah Allahnya Daud secara personal. Dengan demikian, Daud memiliki hak untuk memanggil dengan keyakinan kokoh bahwa ia akan didengarkan.
Setelah memohon, “pandanglah,” “jawablah,” dengan keyakinan yang sama Daud memohon lagi, “Buatlah mataku bercahaya, supaya jangan aku tertidur dalam kematian” (ay. 4b). Mata yang redup melambangkan habisnya kekuatan atau bahkan kematian. Ketika memohon agar Tuhan membuat matanya bercahaya, Daud sedang memohon agar diberikan kekuatan baru dan kelepasan dari maut yang mengancamnya.
Mazmur ini sarat dengan emosi pemazmur yang berkecamuk. Jika di bagian pertama berulang kali Daud berseru, “Berapa lama lagi?” dalam bagian ini ia memohon dengan gigih. Hal ini tampak bukan hanya dari tiga kata seru, “Pandanglah … jawablah … buatlah bercahaya!” tetapi juga dari alasan Daud, “Supaya jangan musuhku berkata: ‘Aku telah mengalahkannya,’ dan lawanku bersukacita atas kejatuhanku” (ay. 5).
Permohonan Daud sungguh gigih. Ia bagaikan seorang anak yang menarik tangan ibunya dan sambil menatap ibunya, ia berkata, “Bu, dengarkan aku!” atau seperti seorang karyawan yang memohon belas kasihan atasannya, “Pak, saya mohon beri saya satu kesempatan lagi. Saya pasti memperbaiki kesalahan saya. Saya mohon jangan pecat saya.” Inilah yang menjadi kunci kemenangan Daud juga, ia memohon pada Allah. Ia memohon dengan gigih dan tiba-tiba, ia mendapati dirinya dipenuhi dengan sukacita. Daud meletakkan bebannya pada Allah dan ia mengalami hatinya terangkat dari penjara ketakutan kepada pujian dan penyembahan.
Adegan 4: Permohonan Daud menghasilkan kesegaran di tengah kesesakan (ay. 6)
Daud dipojokkan oleh musuh-musuhnya, didera sakit-penyakit, dirudung maut, dan “ditinggalkan” Allah tetapi tiba-tiba ia berbalik arah. Hati Daud tiba-tiba melonjak, seperti Yohanes Pembaptis yang melonjak dalam kandungan ketika berjumpa Yesus. Kesedihannya sirna seperti embun yang diterangi cahaya mentari. Matanya berseri-seri lagi, tangannya mengepal dengan kekuatan, mulutnya penuh dengan tertawa, dan lidahnya penuh dengan sorak-sorai,
Tetapi aku, di dalam kasih setia-Mu aku percaya,
hatiku bersukacita di dalam keselamatan-Mu,
aku hendak bernyanyi kepada Tuhan,
karena Ia melimpahkan kebaikan padaku.”
(ay. 6)
Ia berdiri dan meminyaki rambut kepalanya. Ia mengenakan jubah rajanya kembali dan mengambil alat-alat musiknya. Daud bernyanyi lagi! Kali ini lebih girang dari sebelumnya. Ia telah menemukan rahasia besar: kesegaran di padang gurun. Apa yang membuatnya demikian bersukacita di tengah-tengah kesesakan? Apakah ia berhasil melupakan masalahnya? Tidak. Apakah dia pasrah saja dan menolak memikirkannya lagi? Tidak. Apakah dia tiba-tiba mendapat jalan keluar yang ajaib: musuh-musuhnya tersapu tsunami dan penyakitnya hilang? Tidak.
Jawabannya adalah, Daud menemukan apa yang disebut dalam bahasa Ibrani “ḥesed āḏōnāy” atau dalam bahasa Inggris, “God’s unfailing love.” Dalam frasa ini terkandung makna loyalitas Allah terhadap suatu perjanjian. “Unfailing love” yang dimaksud bukanlah emosi semata melainkan sebuah kesetiaan dalam kasih itu sendiri – sebuah komitmen yang dijalankan dalam sebuah relasi kasih antara Allah dan umat-Nya.
Daud berjumpa kembali dengan kasih setia Tuhan Allah. Tabung imannya terisi penuh kembali dengan anak-anak panah “pengertian akan karakter Allah” dan “kebaikan Allah pada masa lalu.” Memorinya memanggil kembali ingatan-ingatan tentang kebesaran Tuhan pada masa lalu. Ia mengingat bagaimana Allah memilih Israel untuk menjadi umat-Nya dan Ia menjadi Allah mereka. Allah mengeluarkan mereka dari perbudakan di Mesir, membelah samudera, memimpin di padang gurun dengan tiang awan dan tiang api, memberi makan manna dan burung puyuh setiap hari, mengeluarkan mata air dari batu, memberikan kemenangan atas orang-orang Amon, Filistin, Amalek, Moab, Edom, dan meskipun Israel gagal dalam memegang janji Allah, Allah tetap setia. Ia mengingat kasih dan kebesaran Allah pada masa lalu.
Ada sepasang suami istri yang memutuskan untuk bercerai setelah dua puluh tahun menikah. Ketika mengurus pembagian harta “gono-gini” dan perjanjian finansial, sang suami membongkar sebuah kotak tua yang berisikan bukti-bukti pembayaran, dan cek-cek yang pernah ditulisnya. Tiba-tiba ia menggenggam secarik nota berwarna kekuningan karena dimakan waktu. Nota itu mencatat bukti pembayaran hotel di mana ia dan istrinya berbulan madu setelah menikah. Ya, bulan madu mereka dua puluh tahun yang lalu! Kemudian secarik kertas lain, kali ini sebuah bukti angsuran mobil bekas pertama mereka. Ia juga mendapati sebuah cek pembayaran rumah sakit untuk biaya kelahiran putri pertama mereka.
Memandangi kertas-kertas usang tersebut, sang suami terdiam seribu bahasa. Tanpa sadar air mata meleleh di pipinya. Perasaan tegang sekaligus senang yang dahulu ia rasakan tatkala menulis sebuah cek untuk membayar angsuran rumah pertama mereka, kembali memenuhi dadanya. Ingatan itu tiba-tiba menjadi begitu jelas, seperti hari kemarin. Memori itu terus meluncur: romantisnya berbulan madu bersama istri tercinta, tegangnya menantikan kelahiran putri pertama, dan bangganya dapat mengangsur mobil bekas serta membayar uang muka rumah yang mereka diami sampai hari ini.
Ia tidak dapat melanjutkan urusannya, ia meletakkan kotak tersebut dan tanpa menunda menelpon istrinya. Ia berkata, “Kita telah melalui banyak hal bersama. Banyak hal indah dan ingatan itu masih begitu jelas dalam ingatanku. Sudah terlalu banyak cinta yang kauukir dalam hidupku. Kesetiaanmu selama dua puluh tahun tidak dapat dibayar dengan apapun. Aku … aku ingin kita memulai hubungan kita dari awal lagi.”
Saudara, memori akan kasih pada masa lalu membawa sukacita yang baru. Inilah yang Daud rasakan ketika ia berkata, “Tetapi aku, di dalam kasih setia-Mu aku percaya … Aku mau menyanyi untuk Tuhan, karena Ia telah berbuat baik kepadaku” (ay. 6b). Ratapan Daud beralih pada permohonan yang gigih dan setelah itu ia menemukan dirinya berada di tengah sukacita tatkala mengingat kasih setia Tuhan pada masa lampau. Allah tidak pernah meninggalkannya sedikitpun. Allah telah berbuat baik kepadanya seumur hidupnya. Bukankah kedua hal ini cukup untuk menguatkan kita? Di tengah kesesakan yang dihadapi, Allah tidak pernah meninggalkan kita dan selama ini Ia telah berbuat baik kepada kita.
Adegan 5: Kita juga bisa tetap segar di tengah kesesakan dengan kembali memohon kepada Tuhan
Apakah saat ini Saudara berada di “padang gurun” kesesakan? “Padang gurun” kehilangan orang yang kita kasihi, kegagalan dalam karier, ditinggalkan kekasih, dikhianati sahabat, sakit yang tak kunjung sembuh, dikeluarkan dari komunitas, vonis dokter, masa depan yang tidak jelas, dan serentetan penderitaan yang tidak akan habis disebutkan. Saudara, Anda dapat tetap bersukacita di tengah semua ini! Anda dapat menenggak kesegaran di padang gurun. Bawalah beban Saudara di bawah kaki salib Kristus dengan meratap dan memohon. Tuhan Yesus sudah menanggung semua derita kita. Oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh (Yes. 53:5). Tuhan Yesus dapat melepaskan kita dari semua masalah kita. Yesus dan hanya Yesus. Ia telah mematahkan kutuk atas kita dengan mati di atas kayu salib menggantikan Saudara dan saya.
Saat ini, apakah yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan atau kelaparan atau ketelanjangan atau bahaya atau pedang? Dalam semuanya itu kita lebih dari pada pemenang. Sebab aku yakin, bahwa baik maut maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm. 8:35-39).
Saya ingin melanjutkan sedikit kisah dari pengacara yang kehilangan real estate-nya, seorang putra, dan keempat putrinya. Ketika berlayar dari New York untuk menjumpai istrinya di Inggris, sang kapten kapal memanggil para penumpang kapal dan berkata, “Berdasarkan perhitungan yang tepat, dalamnya laut di bawah Saudara adalah tiga mil dan saat ini kita berada tepat di titik di mana kapal du Havre bertabrakan dengan Lockhearn dan tenggelam.” Melihat pemandangan itu, sang pengacara yang bernama lengkap Horatio G. Spafford kembali ke kabinnya dan menuliskan lirik sebuah himne yang terkenal,
When peace, like a river, attendeth my way,
When sorrows like sea billows roll;
Whatever my lot, Thou has taught me to say:
It is well, it is well, with my soul,
It is well, with my soul,
It is well, it is well, with my soul.
(Pengkhotbah menyanyikan lagu ini atau meminta seorang yang berbakat menyanyikannya)
Di tengah badai kehidupan, Allah adalah tempat perlindungan utama. Waktu Tuhan adalah sempurna, tidak terlambat, tidak terlalu dini. Sambil menunggu waktu penyelamatan Tuhan, marilah kita menanti sambil memuji Dia. Tinggikan anugerah-Nya, puji kebaikan-Nya, dan nyanyikanlah lagu bagi Tuhan yang layak diagungkan. Karena segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku (Flp. 4:13). Tuhan kita adalah Allah yang hidup, mampu menolong segala persoalan Anda, dan yang terpenting, Ia mengasihimu. Mari, bawalah pergumulanmu kepada Tuhan hari ini. Dengan meratap dan memohon pertolongan Tuhan, hati kita akan dipenuhi kelegaan dan sukacita bagaikan menenggak kesegaran di padang gurun.
Amin