31 Maret 2012

Khotbah Ulangan 7:1-11


Berperang Melawan Keserupaan Dengan Dunia
Oleh Vincent Tansil



Pendahuluan
Indonesia sedang berada dalam kondisi yang mencekam dan menakutkan. Betapa tidak, dalam rentetan dekade terakhir ini, entah sudah berapa banyak terdengar ancaman dan bahkan, aksi kekerasan yang terjadi di bumi nusantara ini. Masih segar keluar dari dapur berita dunia internasional mengenai kematian dari Osama bin Laden—pemimpin al-Qaeda yang tersohor tersebut—potret dari beliau sudah terpampang di Jakarta Post. Namun potret tersebut tidak hanya hadir sebagai sebuah pengumuman selintas. Di depan kantor pusat Front Pembela Islam Jakarta, potret tersebut ditampilkan, dan disandingkan bersama dengan wajah Barack Obama. Sebuah ayat kitab suci yang berbunyi, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizqi” diletakkan langsung setelah potret Osama. Apa yang dipandang sebagai pembasmian terorisme oleh warga dunia ternyata dipandang berbeda oleh sebagian lainnya. Bagi sebagian orang Osama merupakan seorang pahlawan besar yang heroik. Lagipula ia melaksanakannya demi sebuah pemurnian agama. Mereka merasa sedang membela kebenaran; melakukan “Perang Suci.”
Saudara, itulah wajah dunia saat ini. Agama yang ditaksir membawa damai ternyata menimbulkan hal yang nyata-nyata terbalik dari asumsi orang kebanyakan. Tetapi bagaimanakah orang Kristen memandang hal ini? Dengan adanya teks yang kita baca barusan tidakkah terbersit dalam benak kita akan gambaran sebuah “Perang Suci” seperti yang biasa dikumandangkan oleh media? Saudara, kita pun wajib melakukan Perang Suci. Tetapi bersama dengan Kristus, maka oknum yang ditarget harus berubah. Kita melakukan Perang Suci melawan keserupaan dengan dunia ini karena kasih karunia dan kesetiaan Allah.

Tetapi sebelumnya, apa persisnya kaitan Perang Suci Israel dengan Perang Suci orang Kristen?

I.         Melakukan Perang Suci melawan keserupaan dengan dunia (1-5)
Saudara, ketika seseorang divonis penyakit terminal, ia tidak akan menjalani hidupnya dengan sama lagi. Ia mungkin akan mengambil beberapa pantangan-pantangan ekstrim untuk menyelamatkan dirinya dari penyakit kronis tersebut.
Begitu juga dengan bangsa Israel yang tengah berbondong-bondong berjalan menuju tanah yang dijanjikan bagi mereka. Tatkala tanah Kanaan menghampiri penglihatan mereka, turunlah perintah dari Allah untuk “menumpas” bangsa-bangsa di tanah tersebut. Sebuah langkah yang ekstrim untuk penyakit terminal bangsa Israel—penyembahan berhala. Ketujuh bangsa yang disebutkan dalam teks ini melambangkan keseluruhan dari bangsa-bangsa di tanah perjanjian. Jangankan kawin mengawinkan atau mengikat perjanjian, mereka wajib ditumpas hingga habis. Tetapi mengapa demikian keras?
Saudara, bangsa Israel merupakan bangsa yang telah terikat perjanjian yang sangat eksklusif dengan Yahweh. Menikah, pada masa itu, biasa bersifat politis. Dalam sebuah perjanjian politis allah dari kedua belah pihak diundang untuk menjadi saksi. Tetapi jelas bahwa Allah Israel tidak bisa disandingkan dengan batu dan kayu semata. Karena itu penolakan untuk menikah dan penghancuran struktur bangunan adalah sebuah tanda terbuka bahwa Israel tidak mengakui allah-allah mereka memiliki kuasa sama sekali. Allah tidak akan mengizinkan Israel, kekasih-Nya, dicondongkan hatinya kepada allah selain diri-Nya. Pesan utamanya jelas: kebiasaan-kebiasaan penyembahan berhala, apabila tidak ditumpas, akan mempengaruhi umat pilihan untuk menjauhi Tuhan. Karena itu mereka harus ditumpas habis!
Tetapi bagaimana dengan kita hari ini? Bagaimana dengan kita yang hidup di zaman setelah kematian dan kebangkitan Yesus? Persis seperti pada masa Israel di mana mereka wajib untuk menyatakan identitasnya di tengah budaya-budaya yang menyimpang, maka kita pada hari ini juga wajib membedakan diri kita dengan ilah-ilah budaya di sekitar. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini” kata Roma 12:2; sebab kitalah “bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri,” demikian menurut 1 Petrus 2:9. Perang masih terus berlanjut; bukan lagi melawan darah dan daging orang lain, tetapi melawan daging kita sendiri. Melawan nafsu dari tubuh kita; “mematikan” manusia lama kita yang mudah dicemarkan oleh dunia. Menghidupi panggilan kita untuk berada di dalam dunia tetapi berbeda dengan dunia. John Stott pernah mengatakan bahwa hal yang paling menyakitkan bagi orang Kristen adalah ketika kita memperkenalkan diri kita sebagai orang Kristen, tetapi orang tersebut terkejut dan menjawab, “tetapi anda tidak beda dengan orang lain!”
Kristus merupakan contoh yang paling mencolok dalam Perjanjian Baru. Ketika masyarakat pada masa itu terbiasa menggunakan pedang dan pentungan untuk menyelesaikan masalah, Yesus berkata, “sarungkan pedang itu.” Di tengah berkecamuknya balas dendam dan kekerasan, Yesus mengatakan “ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Tatkala menjadi egois merupakan pilihan yang wajar, Yesus mengorbankan diri-Nya di kayu salib demi mereka yang masih memusuhi-Nya; menjadi “seteru-Nya.” Seturut dengan Kristus, kita pun wajib melawan keserupaan dengan dunia.

Ilustrasi
Saudara, ada seorang pria yang bekerja di sebuah perusahaan ikan asin. Pada hari pertama  bekerja, ia diberi di tempatkan dalam bagian pengepakan ikan asin. Pagi hari ia memasuki ruang kerjanya dengan semangat. Ia terkejut dengan bau ikan asin yang sangat menusuk hidungnya, tetapi ia dengan segera membiasakan diri; kalau tidak bagaimana ia dapat bekerja? Hari berjalan dengan begitu cepat, waktu untuk pulang sudah tiba. Saat ia pulang ke rumah, tiba-tiba keluarganya terkejut. Mereka heran bahwa rumah mereka menjadi bau ikan asin. Segera mereka menyadari bahwa bau ikan itu bersumber dari pria tersebut. Yang heran pria tersebut tidak sadar bahwa bau itu bersumber dari dirinya. Ia sudah terbiasa dengan bau ikan asin sehingga ia tidak merasa ada yang salah dengan dirinya. Bukankah kita juga seperti demikian? Karena kita hidup dalam budaya dunia ini, seringkali kita tidak menyadari bahwa dunia ini sedang mempengaruhi kita. Diperlukan sebuah kesadaran bahwa ilah-ilah tersebut harus dikenali dan dihadapi.

Aplikasi
Saudara, dunia ini seperti sebuah mesin percetakan. Ia akan senantiasa berusaha mencetak kita menurut gambar dan rupa dunia, bukan gambar dan rupa Allah. Baik kita menyadarinya atau tidak, dunia ini akan selalu berusaha mempengaruhi kita; membelokkan kita dari apa yang Allah inginkan. Berbeda dengan sebuah pabrik sabun, dunia ini bukan memberikan keharuman, malah bau busuk yang dibenci oleh Allah! Kita juga rentan menjadi begitu terbiasa dengan dunia ini hingga tidak menyadari bahwa dunia ini telah membentuk kita sedemikian rupa. Tugas kita adalah menyadarinya, mengevaluasi diri kita dengan kritis; apakah kita semakin serupa dengan Kristus atau malahan semakin serupa dengan dunia ini? Apabila kita menemukan bahwa kita memiliki keserupaan dengan dunia: mulut yang menjatuhkan orang lain, semangat kompetisi yang tidak sehat, iri hari, kebencian, keegoisan, tidak mau mengampuni, baik di dalam diri kita maupun pada komunitas tempat kita melayani, sudah sepatutnya kita menumpas mereka. “Janganlah engkau mengasihani mereka!”
Tetapi bukankah itu merupakan hal yang tidak mudah? Bukankah berperang melawan kedagingan seringkali menyakitkan, penuh pengorbanan, dan terkadang memalukan? Atas dasar apakah kita wajib melakukan Perang Suci tersebut?

II.      Melakukan Perang Suci dengan Dasar Kasih Karunia (6-11)
        Saudara, teks yang kita baca mengatakan bahwa bangsa Israel adalah pilihan Allah sendiri. Ia merupakan “umat kesayangan-Nya;” atau lebih tepat lagi, “harta kesayangan-Nya!” Melihat segala yang dikerjakan oleh Allah kepada bangsa Israel, rasanya keterlaluan apabila Israel tidak menyadari bahwa ia begitu spesial, begitu berharga. Israel sangatlah istimewa, tetapi bukan karena banyak jumlah mereka; bukan karena gagah prajurit-prajurit mereka; malahan mereka adalah bangsa yang paling kecil dari segala bangsa. Bukan karena semua ini Allah hashaq; “terpikat”—yang memiliki makna seorang pemuda yang terpikat oleh seorang wanita—kepada Israel. Tetapi oleh karena Allah memang mengasihi mereka; dan juga karena kesetiaan-Nya kepada janji-Nya kepada Abraham. Bangsa Israel tidak berhak mendapatkannya.
          Sejarah mencatat bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang tegar tengkuk dan bebal luar biasa. Betapa sering hati Allah didukakan oleh mereka. Perintah ini tidak datang sebelum pemberontakan-pemberontakan Israel, malah setelah berulang-ulang kali Israel menyakiti Allah. Tetapi di tengah semuanya ini Allah masih tetap setia kepada bangsa Israel. Saudara, bukankah ini kasih setia? Bukankah ini kasih karunia? “Jadi,” Allah melanjutkan, “berpeganglah pada perintah, yakni ketetapan dan peraturan yang kusampaikan kepadamu pada hari ini untuk dilakukan.” Kasih setia Allah patut diimbali ketaatan kita!
            Paulus menyadari betul hal ini. Ia mengatakan bahwa hanya oleh kasih karunia ia diselamatkan. Tetapi semuanya ini tidak ia biarkan menjadi sia-sia; sebaliknya, ia bekerja lebih keras daripada semua rasul. Petrus yang telah menyangkal Yesus tiga kali, dosa terbesar yang dapat dilakukan orang percaya—penyangkalan—mendapat kesempatan kedua. Ia diberi-Nya kesempatan untuk menggembalakan domba-domba Tuhan. Petrus, Paulus, Yakobus, Yohanes, mereka yang pernah mengecap kasih setia Allah takkan pernah menjadi sama lagi. Kasih Allah kepada kita—gerejanya hari ini—seharusnya mendatangkan respon yang sama pula: ketaatan!
           O, saudara, tidakkah kita melihat Kristus? Bukankah begitu besar yang telah Ia lakukan bagi kita? Bukan karena kita mampu; bukan karena kita suci; bukan karena kita sudah melayani puluhan tahun sekalipun. Malah kita pun sering mendukakan Dia. Tetapi bagi kaum seperti kita ini Ia memerintahkan kita; memanggil kita menjadi hamba-hamba-Nya—memberitakan firman Tuhan, menggembalakan domba-domba-Nya. Sungguh besar karya Allah kita! Sungguh besar karya Kristus dalam hidup kita! Tidakkah ini membawa kita kepada penyerahan hidup yang total? Menggulirkan seluruh aspek hidup kita menuju peperangan Suci mahadahsyat, melawan keserupaan dunia dengan gigih.

Ilustrasi
           Jean Valjean, seorang tokoh dalam novel Les Miserables karangan Victor Hugo, mengilustrasikan gambaran ini dengan sangat baik. Ia adalah seorang yang kehidupannya sangat malang. Hanya karena mencuri roti untuk memberi makan sepupunya, ia harus dipenjara selama puluhan tahun, mengakhirinya dengan status sebagai seorang mantan narapidana kelas berat.
           Satu kali ia masuk ke sebuah kota dengan baju compang-camping serta wajah yang garang, tak pernah mengenal belas kasihan selama puluhan tahun. Ia diusir dari penginapan, yang sempat menerima ia sampai duduk, hanya untuk mengusirnya ketika identitasnya diketahui. Berjalan luntang-luntung diterpa angin dingin, ia memutuskan untuk meletakkan kepalanya di pinggir jalan. Seorang suster menawarkan sebuah tempat berteduh, Jean pesimis ada orang yang mau menerimanya. Suster tersebut menunjuk kepada sebuah gereja dan ia berkata, “anda pasti belum mencoba rumah itu.” Bangkitlah Jean mencoba peruntungannya. Ketika masuk, ia berkata dengan lantang-lantang bahwa ia hanya ingin menumpang tidur—di kandang pun boleh. Sang imam langsung menyiapkan sebuah kamar tidur, tepat bersebelahan dengan kamar sang imam; hidangan panas dan hangat dari perabot emas digunakan. Jean terkejut dan terheran. Setelah menikmati semuanya dengan kasar, ia menidurkan dirinya di atas apa yang tak pernah dikecapnya selama puluhan tahun.
           Namun, pada malam hari ia melompati pagar, membawa seluruh perabotan emas dan perak milik imam tersebut—ia merampok tempat di mana ia diberikan tempat tinggal! Keesokan harinya sang imam dan suster-suster terbangun, terkejut melihat barang-barang yang hilang.
           Selang berapa waktu kemudian Jean Valjean datang, dikawal oleh dua orang berseragam—ia tertangkap basah. Dua opsir tersebut bertanya kepada imam, apakah ia pernah melihat orang mencurigakan ini. Imam tersebut berseru, “mengapa engkau pergi bergitu cepat dan melupakan beberapa hal!” Ia berlari masuk ke dalam rumah dan mengambil beberapa perabotan perak yang tertinggal; memasukkannya ke dalam kantong Jean yang sudah hampir penuh. Jean melongo, begitu pula kedua opsir tersebut. Setelah kedua opsir tersebut pergi, imam tersebut berkata kepada Jean yang masih tidak bergerak tersebut, “jiwamu telah kubeli. Ambillah seluruh perabotan ini untuk memulai segala sesuatunya dari awal.” Lalu imam tersebut meninggalkan Jean berdiri terpaku.
           Digenggam oleh ingatan akan kasih karunia tersebut, seorang penjahat, lebih-lebih pemberontak dan penipu, ia tidak pernah hidup sama lagi. Sampai akhir dari hidupnya, ia tidak pernah lagi melakukan kejahatan. Ia habiskan hidupnya untuk memerangi ketidakadilan pada masanya. Menolong seorang janda melarat bernama Fantine dan seorang gadis yatim piatu bernama Corsette, tidak ada yang sanggup menahannya. Kasih karunia selalu mengubah hidup manusia. Kasih karunia merupakan insentif terbesar seorang pejuang yang berpanji kekudusan Tuhan.

Aplikasi
            Saudara, tidakkah kita melihat cerminan diri kita pada kisah ini? Bukankah kita telah diselamatkan, diberikan tempat beribadah, diberikan kesempatan menjadi hamba-Nya, diberikan tempat untuk meletakkan kepala, diberikan kecukupan makanan, saudara-saudara, kekurangankah kita!? Tetapi balasan kita adalah gerutu, bersungut-sungut, menghambur-hamburkan uang, waktu kita, tenaga kita, melekat erat dengan dosa—persis dengan apa yang akan dilakukan oleh dunia ini bila keinginannya tidak terpenuhi; persis dengan kelakuan yang sudah mengurat-akar dalam daging; persis dengan kehidupan manusia lama kita! Apa jawab Tuhan? “Mulailah lagi; modalnya masih tetap kuberikan; kasih karunia masih ada.” Akankah kita menolak-Nya sekali lagi? Tidak saudara. Jangan. Sebaliknya singsingkanlah lengan baju kita; hadapilah keserupaan dengan dunia ini dengan segala kejahatannya. Dengan ingatan yang lekat di kepala: sesungguhnya aku ini hina, namun diselamatkan dan diampuni berulang kali. Masakan aku berdosa kembali? Masakan aku tidak berkarya? Sekalipun jangan!

Penutup
           Perang Suci kita bukanlah melawan darah dan daging. Lawan kita hari ini adalah keserupaan dengan dunia. Alasan kita melakukan perang tersebut adalah kasih karunia dari Allah saja. Allah akan menolong kita dalam perang tersebut—itulah jaminan-Nya. Maukah saudara terlibat? Maukah kita berikhtiar bersama-sama untuk menghadapinya? Marilah kita melaksanakan Perang Suci tersebut bersama Allah.
Kita adalah “harta kesayangan-Nya.” Tahukah saudara bahwa Ia sangat mengasihi kita? Ia tidak rela kita hidup berbalik dari pada-Nya.
 
Amin

21 Maret 2012

Khotbah Hosea 3:1-5

Kasih Setia Allah
Oleh Vivi M. Rahayu



Pendahuluan
Saudara, saya pernah melakukan survei informal kepada beberapa teman pria.  Saya memilih beberapa orang dengan berbagai macam karakter dan kepribadian, yang saya rasa cukup mewakili.  Saya ingin tahu tanggapan mereka mengenai apa yang mereka rasakan jika mereka dikhianati dan akankah  mereka  mau mengasihi kembali orang yang telah mengkhianati mereka itu.  Inilah jawabannya. Para filsuf menjawab, “Tidak tahu karena saya tidak pernah mengalaminya,” “kecewa dong.”  Sanguinis menyatakan, “Nangis seminggu, makan segila-gilanya,” dan “pukul-pukul kasur.”  Para plegmatis berpendapat, “Saya  ga pernah dikhianati” (karena belum pernah pacaran, Saudara), lalu ada yang menjawab,Sedih dong pastinya,” “saya akan berdiam diri dan menenangkan diri.”  Para melowers menulis demikian, “Marah,” “menjaga jarak dengan orang tersebut,” “tidak makan empat hari,” “nangis empat hari” dan jawaban yang paling melow ialah, “terluka” (gaya Rhoma Irama).
Lalu, bagaimanakah tanggapan mereka tentang pertanyaan kedua saudara, apakah mereka akan mengasihi kembali orang yang telah menghianati mereka? Kebanyakan menjawab, Tergantung,” “lihat dulu alasannya mengapa dikhianati,” tetapi ada juga yang mengatakan “mau mengasihi kembali orang yang telah mengkhianati.” 
Saudara, apa pun jawaban mereka, sesunguhnya tidak ada seorang pun yang mau dikhianati karena   pengkhianatan begitu menyakitkan dan melukai hati.  Namun, di sinilah kasih itu diuji.  Melalui survei ini saya dapat melihat bahwa sebenarnya “kasih”–yang katanya menjadi ciri khas orang Kristen—bukan sesuatu yang mudah dan tetap menjadi pergumulan bagi banyak orang, termasuk para hamba Tuhan.  Apalagi, mengasihi orang yang telah mengkhianati kita, jelas tidak mudah.
Namun, pernahkah Saudara berpikir bahwa sehubungan dengan Allah, justru kita sering kali menjadi pengkhianat kasih-Nya? Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa natur dosa yang ada di dalam diri kita, sering kali,  membawa kita kepada ketidaksetiaan kepada Allah. Kita sangat rentan jatuh dalam lubang dosa. Kasih  kita kepada Allah sering kali begitu mudah beralih kepada hal-hal lain, seperti materi, orang yang kita cintai, atau kepada sesuatu yang menawarkan kenikmatan semu.  Bila kita melihat kepada “perselingkuhan” kita, masihkah kita berani berharap bahwa Tuhan akan tetap setia untuk mengasihi kita?  Sudah selayaknya kita tidak berharap demikian karena kita menyadari kekotoran diri kita. Namun, yang ajaib, firman Tuhan hari ini mengajarkan kita untuk melihat suatu realita bahwa meski kita telah berulang kali mengkhianati-Nya, Allah tetap setia mengasihi kita. Inilah berita baik yang membuat kita mempunyai pengharapan besar di dalam Allah.

Penjelasan
Saudara, gambaran tentang kasih setia Allah dapat kita lihat dengan sangat jelas dalam kehidupan Hosea. Kitab Hosea menceritakan bagaimana bangsa Israel membelakangi Allah dengan menyembah kepada berhala.  Hosea hidup pada pemerintahan Yerobeam II, dimana Israel utara berada pada zaman keemasannya.  Namun ironisnya, pada masa ini malah terjadi kebobrokan moral dan spiritual yang sangat parah dalam diri orang-orang Israel.  Kemakmuran yang seharusnya membawa mereka semakin bersyukur dan dekat dengan Allah, malah membawa mereka  mengkhianati Allah dengan cara menyembah kepada berhala-berhala.  Untuk hal inilah Hosea dipanggil Allah. Ia ingin mengingatkan bangsa Israel akan ketidaksetiaan mereka dan berbalik kembali kepada Allah.
Saudara-saudara,  jika kita membaca kitab Hosea, pada pasal yang pertama kita akan mendapati Allah memerintahkan Hosea untuk menikahi Gomer, seorang perempuan sundal.  Namun, apa yang terjadi setelah menikah, Gomer masih tetap hidup dalam dosa, ia masih terus melakukan perzinahan dengan laki-laki lain tanpa menghormati keberadaan suaminya.  Bahkan, ia menjadi pelacur yang dimiliki orang lain.  
Namun, dalam pasal ketiga ini, kita melihat Allah kembali memerintahkan Hosea, “Pergilah lagi, cintailah perempuan yang suka bersundal dan berzinah.”  Hosea diminta Allah untuk tetap mengasihi istri yang telah jelas-jelas menghianati dirinya dengan terus hidup dalam perzinahan.  Dalam bahasa aslinya, kata cintailah (love) menunjukkan suatu ekspresi perasaan yang mendalam yang disertai dengan komitmen yang teguh. Allah memerintahkan Hosea untuk berinisiatif mengambil Gomer kembali sebagai istrinya.  Allah mau Hosea mengasihi Gomer bukan hanya dengan perkataan namun dengan sebuah tindakan yang nyata.
Saudara, apakah yang saudara lakukan jika saudara diperhadapkan pada posisi Hosea?  Apakah Saudara akan tetap setia mengasihi dan mau menerima Gomer kembali?  Ini sesuatu yang hampir mustahil untuk kita lakukan, bukan? Namun, sikap itulah yang diambil Hosea.  Hosea menebus Gomer dengan cara membelinya seharga lima belas syikal perak dan satu setengah homer jelai, yakni seharga seorang budak pada masa itu. Patutkah Gomer mendapatkan perlakuan Hosea yang sedemikian setelah ia menghianati dan menyakiti hati Hosea? Jelas, Gomer tidak layak untuk menerima kasih Hosea. Hanya karena kasih setia Hosealah Gomer ditebus dan tetap dicintai.
Saudara-saudara, setelah menebus Gomer, Hosea memberikan pembatasan kepada Gomer. Gomer harus mengalami masa karantina untuk tinggal diam. Ia tidak boleh bersundal lagi, ia tidak boleh menjadi kepunyaan siapapun, dan Hosea pun tidak bersetubuh dengan Gomer, sampai ia menjadi istri Hosea lagi.  Tindakan ini adalah tidakan memenuhi perintah Allah yang bertujuan untuk melindungi Gomer.
Saudara, tindakan yang dilakukan Hosea adalah miniatur dari kasih dan tindakkan Allah kepada Israel.  Pada ayat 1b, jelas dikatakan di sana,Seperti Tuhan juga mencintai orang Israel, sekalipun mereka berpaling kepada allah-allah lain dan menyukai kue kismis.”  Gomer, wanita sundal, adalah gambaran dari bangsa Israel yang tidak setia, yang mengkhianati Allah dan berzinah dengan menyembah kepada allah-allah lain.  Mereka begitu menyukai kue kismis, yakni sesuatu persembahan yang istimewa yang di bawa sebagai persembahan kepada Baal. 
Allah juga memberlakukan hal yang sama sebagaimana Hosea lakukan kepada Gomer.  Allah akan membiarkan bangsa Israel dalam masa karantina.  Masa dimana Israel tidak akan memiliki pemimpin, tiada korban, tiada tugu berhala, tiada efod (baju yang dipakai Imam besar dalam prosesi penyembahan), tiada terafim (semacam benda yang berkaitan dengan ilmu tenung). Israel dijauhkan dari segala sesuatu yang membuat mereka “berzinah” dengan kegiatan penyembahan yang biasa mereka lakukan. Tujuannya adalah agar Israel sungguh-sungguh kudus kembali.
Sekalipun Israel tergar tengkuk dan “mengkhianati Allah”, Allah tidak melupakan perjanjiaan-Nya dengan bangsa ini.  Betapa indahnya, Saudara, narasi pendek ini ditutup dengan janji kasih setia Allah yang sangat luar biasa, “Sesudah itu orang Israel akan berbalik dan akan mencari TUHAN, Allah mereka, dan Daud, raja mereka. Mereka akan datang dengan gementar kepada TUHAN dan kepada kebaikan-Nya pada hari-hari yang terakhir.Setelah masa karantina yang dilalui bangsa Israel, mereka akan berbalik mencari Allah.  Allah menjanjikan seorang raja dari keturunan Daud, dimana dalam hal ini merujuk kepada kedatangan sang Mesias.  Saudara, dari cerita ini kita dapat melihat bahwa kasih Allah  tidak pernah berubah, meskipun orang Israel telah mengkhianati-Nya.   
Saudara dalam bukunya Knowing God, J.I Packer mengatakan bahwa Kasih Allah adalah praktik kebaikan Allah kepada orang-orang berdosa.  Dari semua kebaikan Allah, kasih Allah merupakan manifestasi yang paling utama dan paling mulia.  Saudara, kasih Allah diwujudnyatakan dengan tindakan kebaikan-Nya.  Kasih Allah memang yang paling utama dalam kehidupan umat pilihan-Nya.
Saudara, bukankah kasih yang sama telah Tuhan nyatakan di dalam kehidupan kita sebagai bangsa Israel rohani.  Kasih yang besar itu terwujud dalam kerelaan hati Allah untuk mengutus anak-Nya yang tunggal untuk datang ke dunia dan menebus dosa setiap kita, yang adalah umat pilihan Allah.  Saudara, keberdosaan kita yang sesungguhnya tidak layak menerima pengampunan telah ditebus dengan darah yang mahal.
Dari atas kayu salib Tuhan Yesus berkata, “Ya bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34). Hebat bukan? Di tengah penderitaan yang Yesus alami, Ia masih sanggup meminta kepada Bapa untuk memberikan pengampunan.  Ini adalah salah satu perkataan yang sangat memilukan sepanjang masa.  Sang raja AgungMesias, Putra Allahmati di kayu salib, supaya orang-orang berdosa, termasuk Saudara dan saya dapat kembali datang kepada Bapa.  Saudara, ini adalah tindakan yang sangat luar biasa. Allah yang telah berinisiatif mengasihi bangsa Israel yang tegar tengkuk, juga berinisiatif menebus kita sekalian.  Kasih setia Allah tetap bagi orang-orang pilihan-Nya, meskipun kita telah menghianati-Nya. 

Ilustrasi
Saudara, ada seorang ibu yang mengalami pengalaman pahit di dalam kehidupan pernikahannya.  Ia memiliki seorang suami yang kasar, yang tidak segan-segan untuk memukuli istrinya.  Di masa-masa pernikahannya ibu ini terus mengalami perlakuan-perlakuan yang kasar dan pengkhianatan suaminya. Sampai suatu ketika sang suami mengalami kecelakaan yang menyebabkan ia mengalami kelumpuhan total. 
Saudara, pada saat seperti itu, bukankah ibu ini memiliki alasan yang kuat untuk menunjukkan rasa kecewanya, sakit hatinya, dan meninggalkan suaminya tanpa harus bersusah payah merawatnya.  Tetapi apakah yang dilakukan ibu ini?  Dengan kasih setianya ia malah merawat suaminya.  Bahkan, ketika luka di dalam tubuh suaminya membusuk dan menyebabkan adanya belatung-belatung, ibu ini tak jijik membersihkannya.  Saudara, seberapa tahan kita mengasihi orang yang telah menyakiti kita? Satu tahun? Dua tahun? Tiga tahun?  Lima tahun tahun? Berapa lama kita mampu saudara? Saudara, ibu yang saya ceritakan tadi mampu melakukannya selama dua puluh tahun.  Mengapa ibu ini dapat berbuat seperti itu? Jawabnya adalah karena ada satu kasih yang sangat luar biasa yang telah menjamah jiwanya saat ia hidup dalam kegelapan dosa. Kasih itu adalah kasih Allah. Kasih itulah yang memampukannya untuk mengasihi suaminya yang telah menyakitinya.


Aplikasi

         Saudara, betapa pun kotornya diri Saudara, betapa pun tidak layaknya Saudara, Allah tetap mengasihi Saudara. Ia tahu Saudara dan saya adalah orang-orang bebal, pengkhianat-pengkhianat yang kotor, jauh dari setia, namun kasih-Nya tidak berubah. Allah tetap mengasihi Saudara dan saya.

Penutup
Saudara yang dikasihi Tuhan, bukankah Tuhan Yesus pernah berkatakan bahwa buluh yang terkulai takkan dipatahkan-Nya, sumbu yang pudar nyalanya takkan dipadamkan-Nya? Saudara, ini adalah suatu bukti tentang kasih Allah yang tetap bagi setiap kita.  Firman Tuhan hari ini mengingatkan kita akan kasih setia Allah kepada kita, meski kita menghianati-Nya.  Kasih Allah yang tetap menanti, mengharapkan kita berbalik kepada-Nya.  Tangan Allah tetap terbuka untuk setiap kita, anak-anakNya.  Allah akan merangkul kita dalam dekapan-Nya.  Saudara, adakah Saudara memiliki hati yang mau kembali kepada kasih Allah?  Datanglah! Allah menanti Saudara, Ia ingin mengkuduskan diri Saudara dari segala dosa ketidaksetiaan.
Ada satu lagu yang telah menjadi berkat bagi saya secara pribadi.  Lagu ini mengisahkan tentang kesempatan yang selalu diberikan Tuhan kepada siapa yang mau datang kepada-Nya. Saya percaya lagu ini juga akan menjadi berkat bagi Saudara sekalian.

Kau berikan kesempatan
Untuk belajar dari kesalahanku
Di masa yang telah lalu
Kau berikan ku iman untuk mencoba lagi
Sampai ku jadi sempurna s’pertiMu

Meskipun ku jatuh berulang kali
Namun oleh kasih Mu ku bangkit kembali
Ku tak dapat sungguh menyia-nyiakan
Kepercayaan Mu kepadaku Tuhan
Kau berikan ku iman untuk mencoba lagi
Sampai ku jadi sempurna s’pertiMu
Amin.

19 Maret 2012

Khotbah 1 Korintus 3:10-15

Apakah Yang Sedang Engkau Bangun?
Oleh Silvy Inawati



Pendahuluan
            Saudara-saudara, beberapa saat yang lalu ketika saya pulang ke Karawang, Saya pergi dengan kakak saya. Ketika melewati sebuah jalan di bypass, mobil kakak saya harus melaju dengan sangat pelan.  Mengapa?  Karena jalannya rusak parah sekali.  Kakak saya geleng-geleng kepala sambil berkata,  “Duh nih jalan, baru dibetulin udah rusak lagi.  Gimana sih...”  Saya pun jadi ikut geleng-geleng kepala. Jadi ikut kesel. Terpikir dalam benak saya, pasti bahan yang digunakan ga sesuai standar, dikorupsi sana-sini untuk kepentingan pribadi.  Dalam kekesalan saya itu, saya jadi teringat beberapa fasilitas umum lain yang juga cepat sekali rusak.  Saya ingat jalan Tol menuju ke Bandung yang sesaat setelah diselesaikan sudah mulai berlubang.  Lalu baru-baru ini, jembatan Kutai nan megah di Kalimantan yang rubuh, padahal baru dibangun 10 tahun yang lalu.  Sungguh berbeda dengan jembatan di San Fransisco yang berumur 90 tahun, namun masih tegak berdiri sampai saat ini.  Saudara-saudara, rasanya kesal sekali dengan orang-orang yang diberi tanggung jawab untuk mengerjakan fasilitas-fasilitas umum ini.  Mereka adalah pekerja yang tidak bertanggungjawab.  Pekerja yang mengerjakan fasilitas masyarakat seenaknya sendiri.  Tidak sesuai dengan standar yang seharusnya.
Saudara, ketika saya membayangkan tentang pekerja-pekerja ini, tiba-tiba saya tertegun.  Kalau dipikir lebih jauh bukankah kita juga adalah pekerja yang diberi kepercayaan membangun jemaat Allah?   Seperti sebuah lagu yang sering kita nyanyikan bersama: “Satu saat Yesus panggilku menjadi pekerja. Melayani jadi saksi bagi-Nya. Bukan sembarang pekerja...ya...ya...ya...”   Saudara-saudara, saya jadi berpikir, bila pekerjaan kita dinilai oleh Tuhan yang adalah pemilik pekerjaan itu,  apakah Ia puas dengan kita?  Atau jangan-jangan Tuhan geleng-geleng kepala ketika melihat pekerjaan kita, karena di mata-Nya kita adalah pekerja sembarangan.  Pekerja-pekerja yang bekerja tidak sesuai dengan standar Tuhan.  Mengerjakan ini dan itu, tampak begitu sibuk, tetapi jauh dari apa yang Tuhan harapkan.        
            Saudara, Tuhan ingin setiap kita melakukan pekerjaan kita, yakni membangun jemaat Tuhan sesuai dengan standar Allah.  Dalam perikop yang kita baca kita bisa belajar bagaimana menjadi pekerja Tuhan yang membangun jemaat Tuhan dengan benar dan bertanggungjawab.

I.         Meletakkan dengan dasar yang benar, yakni Kristus

Penjelasan
Saudara-saudara, ini adalah foto gedung tingkat 20 di Shanghai yang baru selesai di bangun dan roboh (perlihatkan di layar LCD).  Saudara, lihatlah gedungnya tidak rusak sedikit pun.  Diduga bangunan ini roboh karena ada masalah dengan fondasinya.  Fondasi suatu bangunan adalah sesuatu yang sangat krusial.  Tanpa fondasi, bangunan semewah apa pun yang dibangun tidak akan bertahan.  Demikian pula dengan jemaat Allah, tanpa fondasi yang benar tentu saja sia-sia jemaat itu dibangun. 
Saudara, kalau kita pikir-pikir, Jemaat Korintus itu “betis,” beda-beda tipis dengan jemaat kita saat ini.  Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang mengagung-agungkan kemampuan pribadi.  Mereka dikenal sebagai tukang pamer.  Menilai orang dan diri mereka sendiri berdasarkan prestasi dan pencapaian mereka.  Mereka mengagung-agungkan orang yang mempunyai hikmat atau pemikiran yang cemerlang.  Karenanya tidak heran bila sebagian jemaat mengagung-agungkan Paulus, sebagian mengagung-agungkan Apolos, Petrus, dan yang lainnya.  Mereka berfokus pada manusia.  Sebuah fokus yang salah!  Fokus yang tentu saja membuat jemaat mengalami perselisihan.
Di tengah kondisi jemaat yang sedang berselisih inilah Paulus menuliskan suratnya.    Paulus menegur mereka.  Pada ayat 5-9, Paulus menjelaskan dengan metafora pertanian, bahwa ia dan Apolos hanyalah pekerja tani.  Dalam perikop yang sedang kita pelajari ini, kembali Paulus menegur mereka dengan metafora yang berbeda, yakni bangunan (9c), dimana dirinya dan Apolos pun hanyalah pekerja bangunan.  Pada ayatnya yang ke-10, Paulus memposisikan dirinya sebagai ahli bangunan yang cakap yang telah meletakkan dasar, sedangkan pelayan yang lain sebagai orang lain yang membangun terus di atasnya.  Posisi ini menjelaskan perannya dalam jemaat Korintus, dimana ia adalah rasul Yesus Kristus yang oleh anugerah Tuhan memberitakan Injil dan pekerja lain berkhotbah membangun jemaat.  Posisi yang tidak lebih tinggi dari yang lainnya.  Mereka hanyalah pekerja di dalam bangunannya Allah.  Mereka tidak penting, dasarlah yang penting dalam sebuah bangunan.
Dasar yang telah diletakkan oleh Paulus adalah Kristus.  Dalam Korintus 2:2 dikatakan bahwa “sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain dari Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.  Kristuslah yang seharusnya menjadi fokus jemaat dan bukan yang lain.  Kata kerja yang digunakan untuk menjelaskan kata telah meletakkan adalah I laid, dalam bahasa Yunani  ἔθηκα merupakan kata kerja yang ditulis dalam bentuk aorist, yang berarti satu kali untuk selamanya.  Kristus adalah fondasi mereka yang kekal.  Karenanya pada ayat 11 dikatakan “tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar lain daripada dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus.”  Hanya satu fondasi yang diperlukan untuk membangun.  Setelah fondasi itu diletakkan tidak perlu diulang lagi.  Dan hanya Kristuslah dasar yang benar dan bukan yang lain.
Saudara-saudara, Paulus pekerja yang tahu apa yang dibangunnya.  Ia, tidak silau dengan orang-orang yang mengagungkan dirinya sebagai guru yang besar.  Atau tidak galau karena sebagian yang lain mengagung-agungkan Apolos dan pekerja yang lain.  Namun sebagai pekerja bangunan, ia menyadari apa yang sedang dibangunnya.  Ia menyadari apa yang menjadi fokus pekerjaannya, yakni Kristus, sang fondasi yang kokoh dan kuat.  Dalam pelayanannya, ia tidak menjadikan dirinya fokus, sebaliknya ia bekerja keras mengabarkan Injil. 

Ilustrasi
Saudara, saya bersyukur bisa berkuliah di SAAT ini.  Selain mendapatkan pengajaran yang dalam sangat baik melalui dosen-dosen di tempat ini, saya juga belajar melalui teladan hidup dari para dosen di tempat ini.  Salah satunya adalah Pdt. Peter Wongso.  Sebagai salah satu orang yang turut merintis SAAT ini dari awal, beliau tidak silau dengan jabatan.  Dalam buku berjudul “Hamba Yang Melayani” yang didedikasikan untuk ulang tahun ke-80 dari Pak Peter Wongso.  Pak Daniel Lukas menuliskan bahwa Pelayanan Pak Wongso selama ini bukanlah pelayanan yang biasa-biasa saja.  Sepanjang hidupnya ia memberikan sebuah contoh kehidupan dan pelayanan yang berkualitas dan signifikan bagi kerajaan sorga dan gereja-gereja Tionghoa di Indonesia maupun manca negara.  Saudara-saudara, meski pun ada banyak orang yang mengagumi pelayanannya, ia tidak menjadikan dirinya fokus atas apa yang dicapainya.  Dalam khotbahnya di wisuda tahun lalu, ia tidak menceritakan mengenai prestasi-prestasinya, ia tidak membangun reputasi dirinya atas  keberhasilan seminari ini, sebaliknya dengan terharu ia mengatakan syukurnya kepada Tuhan atas pemeliharaan yang Tuhan beri untuk seminari ini.  Beliau memiliki hidup yang berfokus pada dasar yang benar yakni Kristus dan bukan dirinya.  Pak Wongso bukan sedang membangun dirinya.  Ketika orang melihat SAAT, orang bukan melihat Peter Wongso ataupun Andrew Gih, tapi orang melihat Tuhan yang menjadi dasar atas sekolah ini. 

Aplikasi
Saudara-saudara, suatu saat nanti mungkin kita akan dipakai Tuhan untuk melayani di berbagai bidang, atau dipercayakan Tuhan sebuah jemaat, entah besar entah kecil. Akan jadi seperti apakah pelayanan kita nanti tergantung pada fondasi yang kita letakan hari ini di hati kita. Apakah kita ingin meletakkan pelayanan kita di atas fondasi yang benar, yaitu Kristus, atau diri sendiri? Apakah kita sibuk dengan diri kita?  Membangun diri kita di tengah jemaat.  Ataukah kita sungguh berfokus kepada orang-orang yang kita layani dan meletakkan dasar, yakni Kristus dalam hidup mereka. 

Hal kedua yang harus kita lakukan dalam membangun jemaat Allah adalah:

II.      Membangun sesuai dengan standar Allah

Penjelasan
Saudara-saudara, bukan hanya fondasi yang penting, melainkan juga pembangunan di atas fondasi itu pun penting.  Pada ayatnya yang ke 10b, Paulus memperingatkan agar tiap-tiap orang memperhatikan bagaimana ia membangun di fondasi yang telah diletakkan.  Kata “orang lain” di sini mengacu pada Apolos ataupun pekerja yang lainnya.  Siapapun yang membangun di atas fondasi Kristus itu tidak penting karenanya hanyalah pekerja.  Namun yang terpenting adalah setiap orang, siapapun dia harus memperhatikan, bagaimana ia harus membangun di atasnya!  Apakah pekerja itu membangunnya dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering atau jerami (ay.12).
Ada standar yang Allah tetapkan dalam proses pembangunan jemaatnya.  Keenam bahan bangunan yang disebutkan pada bagian ini dapat dibagi menjadi dua kategori.  Kategori pertama adalah emas, perak, dan batu permata.  Kategori ini merupakan bahan yang tahan terhadap api.  Sedangkan kategori yang kedua adalah kayu, rumput kering atau jerami.  Kategori material yang tidak tahan terhadap api.  Melalui penggambaran ini Paulus hendak menjelaskan mengenai kualitas pekerjaan yang seharusnya dimiliki oleh pekerja.  Suatu kualitas yang berhubungan dengan kesungguhan pekerja dalam membangun ke arah Kristus.
Pekerja yang membangun dengan emas, perak, dan batu permata adalah pekerja yang sungguh-sungguh melakukan pekerjaanya sesuai dengan firman Tuhan.  Seorang pekerja yang mengajarkan firman Tuhan dengan sungguh-sungguh membangun jemaat Allah, bukan ke arah dirinya, namun ke arah Kristus.  Dalam kesungguhannya, pekerja Kristus akan mempersiapkan pengajarannya dengan baik sesuai dengan Firman Allah, yang menolong jemaat bertumbuh semakin mengenal Kristus.  Dalam kesungguhan juga, seorang pekerja Kristus akan menghidupi kehidupannya sesuai dengan firman Allah.  Dalam kesungguhan ia pun akan terus menguji motivasi pelayanannya.  Dengan demikian kualitas seorang pekerja berhubungan dengan keseluruhan hidupnya yang sungguh-sungguh dipakai untuk membangun jemaat ke arah Kristus.
Kepada jemaat Korintus yang seringkali menilai orang berdasarkan prestasi, kemampuan dan kecakapan yang dilihat mata ini, Paulus mengatakan:  sekali kelak pekerjaan masing-masing orang akan nampak.  Karena hari Tuhan akan menyatakannya, sebab ia akan nampak dengan api dan bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu.   Paulus menyatakan bahwa Tuhan adalah hakim yang paling berhak menilai setiap pekerja.  Apa yang dibangun oleh pekerja akan diuji oleh Tuhan.  Manusia boleh saja mengevaluasi pekerjaan seorang akan yang lain, namun penilaian terakhir ada di tangan Tuhan. 
Pada akhir zaman, yakni ketika Kristus datang keduakalinya, setiap pekerjaan kita akan diuji oleh Tuhan.  Hari penghakiman Tuhan ini digambarkan dengan api.  Sebuah gambaran yang tidak asing bagi orang Korintus.  Kota Korintus adalah kota yang pernah dihancurkan dan dibangun kembali.  Dan sebagian bangunan baru dibangun dari kerangka bangunan lama.  Selain itu daerah Korintus memiliki iklim yang sangat kering sehingga bangunan mudah terbakar.  Rumah-rumah penduduk biasanya dibangun dengan rangka kayu dan dindingnya dibuat dari tanah liat yang dicampur dengan rumput kering dan jerami, sehingga mudah sekali hangus terbakar.  Sedangkan kuil-kuil dan bangunan pemerintah dibangun dengan bahan yang berkualitas dan tidak mudah terbakar.  Bagi orang Korintus, api merupakan ujian tertinggi bagi bangunan-bangunan yang mereka miliki.  Dengan api inilah pekerjaan setiap pekerja Tuhan akan diuji. 
Tujuan pengujian dengan api ini bukanlah untuk menghukum (Yudas 7), menghancurkan (Matius 3:10), atau untuk memperbaiki (Zakharia 13:9), tetapi untuk mengungkap kualitas dari pekerjaan orang Kristen.  Paulus mengatakan bahwa pada Hari Tuhan ini, Tuhan akan menerangi apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Tuhan akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati.  Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.
Orang-orang Kristen yang pekerjaannya bertahan dalam api akan mendapat upah, yakni pujian dari Allah seperti dituliskan dalam Matius 25:14-30:  Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu... Pekerja Tuhan itu akan mendapatkan pujian dari tuannya... Well done, good and faithful servant.  Sedangkan orang-orang Kristen yang tidak bekerja dengan sungguh... pekerjaannya akan terbakar, ia akan menderita kerugian tetapi ia sendiri akan diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api.  Mereka yang pekerjaannya terbakar oleh api, kondisi mereka seperti orang yang melompat keluar dari kerangka bangunan kayu mereka yang terbakar.  Mereka selamat, tetapi tanpa pekerjaan-pekerjaan yang dapat dipersembahkan kepada Kristus.
           
Ilustrasi
Saudara-saudara, beberapa saat yang lalu saya masuk ke auditorium SAAT  yang sedang dibangun.  Meski belum jadi, namun bangunan itu sudah membuat saya dan teman-teman lain yang melihatnya terkagum-kagum (Tunjukkan beberapa fotonya). Tahap demi tahap pembangunannya  dikerjakan dengan serius.  Bukan hanya itu, pembangunan ini juga disertai dengan doa, kerja keras dan kemurnian motivasi di dalamnya, seperti seorang dosen mengatakan, “SAAT membangun gedung ini bukan untuk mencari nama, tetapi bangunan ini dibuat untuk kemuliaan Kristus.” 
Hal yang sama juga seharusnya ada di dalam diri kita ketika kita membangun jemaat Allah. Kita harus membangunnya dengan stadar Allah. Saudara, ketika Tuhan melihat pelayanan kita, sungguhkah Ia puas dengan apa yang kita kerjakan? 

Aplikasi
Saudara-saudara, kepada kita Tuhan mempercayakan bangunan-Nya,  jemaat-Nya yang begitu dikasihi-Nya.  Apa yang selama ini Saudara dan saya bangun?  Apakah kita pekerja yang membangun sesuai dengan standar Allah?  Membangun dengan kualitas yang Ia inginkan?  Pengajaran seperti apakah yang kita berikan kepada jemaat yang Tuhan percayakan kepada kita?  Apakah kita sungguh mempersiapkan diri dengan baik.  Apakah kita sudah menggali firman Tuhan baik-baik, melakukannya dan mengajarkannya dengan baik?  Adakah hati yang sungguh rindu mempersembahkan yang terbaik bagi Tuhan?  Saudara-saudara, dengan bahan apakah engkau membangun jemaat Allah?  Emas, perak, permata ataukah kayu, rumput kering atau jerami?
Saudara-saudara, ketika saya merefleksikan firman Tuhan ini dalam kehidupan saya.  Saya sungguh gentar.  Sejauh ini perjalanan saya mengikut Tuhan, menjadi pekerja baginya, “meninggalkan” pekerjaan yang mapan, teman-teman yang menyenangkan, keluarga yang saya kasihi, berkuliah selama 3 tahun di sini, melayani weekend setiap minggu, sibuk ini dan itu,  rasanya sudah mengerjakan banyak bagi Tuhan. Namun, ketika pekerjaan saya diuji Tuhan, mungkin semuanya hangus, tanpa bekas, kecuali abu. Saat itu mungkin saya akan tertunduk malu masuk ke dalam Kerajaan-Nya.
Saudara-saudara, saya menyadari ada banyak pelayanan yang saya tidak persiapkan dengan sungguh, ada banyak pelayanan juga yang saya siapkan dengan sungguh namun dengan motivasi yang tidak sungguh. Pelayanan yang nampak besar di mata orang, tetapi tidak bernilai, hangus ketika diuji Tuhan.  Saudara-saudara, saya sungguh rindu menjalani panggilan sebagai pekerja Tuhan ini dengan lebih sungguh lagi. Ga pa pa cape sedikit, tidur malam, bangun pagi, untuk menggali firman Tuhan. Ga pa pa diproses terus dalam hidup ini untuk semakin murni, karena saya ingin membawa persembahan pelayanan yang berkenan di mata Tuhan. Saya ingin mendengar pujian dari mulut-Nya yang mengatakan, “Well done my servant, well done!”
Saudara-saudara, biarlah kerinduan saya ini pun menjadi kerinduan kita semua.  Saya yakin bukan kebetulan kita bisa sama-sama mendapat kesempatan untuk merenungkan firman Tuhan ini.  Tuhan mau kita membangun jemaat yang Tuhan percayakan kepada kita dengan baik.  Ia rindu kita meletakkan dasar yang benar melalui Injil yang murni.  Ia juga rindu kita membangun jemaat dengan bahan yang sesuai dengan standar Allah, yakni kesungguhan kita dalam mengajarkan firman Tuhan yang murni dan kesungguhan kita untuk menghidupi firman itu seumur hidup kita. 
Saya percaya Tuhan akan memampukan kita menjadi pekerja yang baik.  Mari terus berjuang, biarlah setiap kali kita selalu mengevaluasi diri kita pertanyaan:  Apakah yang sedang kau bangun?  Biarlah satu kali ketika kita berada di tahta penghakiman Allah, Tuhan menemukan kita sebagai pekerja-Nya yang setia.
Saya rindu menutup khotbah saya ini dengan sebuah pujian yang digubah oleh Cindy Berry, berjudul Faithfull Servant.

Lord, we would be faithful
Lord we would follow You
We would be pure and holy, devoted and true
At the end of our journey, on the glorious day
When gaze into Your eyes, we want to hear you say...
Well done my good and faithfull servant
Enter to my kingdom, you have fouth the fight
You have kept the faith according to my Word
Well done my good and faithfull servant
Great is your reward
You have been faithfull, now your race is run
Well done my servant well done

Amin.