31 Oktober 2011

Khotbah Matius 18:21-35

“MELUPAKAN”
OLEH DANIEL D. SIMANJUNTAK



Pendahuluan
            Saudara, ada dua moment yang paling tidak bisa dilupakan manusia (the unforgotten moment). Yang pertama,  biasanya disebut dengan the sweet unforgotten moment atau kenangan indah.  Kenangan indah itu bisa berupa apa saja yang menjadikan hidup lebih menarik, lebih berwarna dan lebih berarti. Misalnya, saat kita pertama bertemu dengan kekasih kita atau yang sekarang jadi istri atau suami kita. Pasti kenangan indah itu akan menjadi cerita sampai empat turunan. Saudara, the unforgotten moment yang kedua adalah yang biasa disebut dengan the bad unforgotten moment atau kenangan buruk.  Kenangan buruk itu bisa berupa apa saja yang mengakibatkan rasa pahit, sedih dan sakit hati yang mendalam. Itu bisa berupa sebuah kecelakaan, penyakit, bencana, termasuk peristiwa ketika kita  diremehkan, dianggap bodoh, dilecehkan, ditipu atau dikhianati. Peristiwa-peristiwa seperti itu tidak mungkin  kita dapat lupakan begitu saja.  Kita akan terus mengingat wajah orang yang telah menyakiti kita. Kita tidak mampu melupakannya dan kita pun tidak mau untuk mengampuni.
Lalu bagaimana Saudara,? Apakah the bad unforgotten moment itu akan terus kita simpan di dalam hidup kita? Apakah kita tidak akan pernah dan bisa untuk mengampuni orang-orang yang telah menghadirkan kenangan buruk itu?
Saudara,memang mengampuni bukanlah suatu hal yang dapat dengan mudah untuk kita lakukan. Apalagi jika ada seorang menyakiti kita bukan hanya sekali namun berkali-kali, perkataan “aku mengampunimu” pasti akan sangat sulit untuk kita lontarkan.

Penjelasan
            Saudara, saya rasa itu juga yang dirasakan oleh Petrus dalam perikop yang kita baca tadi. Saudara, di perikop sebelumnya Tuhan Yesus mengajarkan kepadanya tentang menegur dan menasihati saudara yang berdosa. Pengajaran tersebut ternyata memunculkan suatu pertanyaan dalam benak Petrus. Mungkin ia berpikir: “baiklah Tuhan, itu yang harus kulakukan: menegur saudara yang berdosa terhadap aku. Namun jika ia terus-menerus berdosa apa yang harus aku lakukan? Sampai kapan aku akan mengampuninya terus?” Saudara, saya rasa itu yang dipikirkan Petrus sehingga ia bertanya di ayat 21: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?"
Saudara, ternyata Petrus bukan hanya bertanya namun juga memberikan option jawaban bagi Tuhan Yesus.: “Sampai tujuh kali?” Saudara, dalam pengajaran rabi-rabi pada waktu itu, seseorang cukup mengampuni orang lain yang bersalah kepadanya sebanyak tiga kali saja. Jika lebih dari pada itu, pengampunan tidak dibutuhkan lagi. Namun, apa jawaban Tuhan Yesus? Ia berkata, “Bukan! Aku berkata kepadamu bukan sampai tujuh kali melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”  Saudara, angka tujuh dan sepuluh adalah angka-angka yang melambangkan kesempurnaan. Oleh karena itu ketika Tuhan Yesus berkata tujuh puluh kali tujuh kali, Ia sedang berbicara tentang kesempurnaan dikali kesempurnaan ditambah dengan kesempurnaan. Ia sedang menyatakan pengampunan yang tanpa batas.
Saudara bisa bayangkan bagaimana respon Petrus pada waktu itu. Ia sudah menawarkan jawaban yang cukup baik, ia memberikan ukuran yang cukup longgar: tujuh kali. Tetapi ternyata Tuhan mempunyai ukuran yang lebih tinggi; pengampunan tanpa batas. Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan? Sekali saja sulitnya setengah mati, apalagi berkali-kali. Tampaknya, pernyataan Tuhan Yesus itu kurang manusiawi. Namun, tentu Tuhan Yesus punya alasan. Kalau begitu apa alasannya, Saudara,? Mari kita melihat perumpamaan yang diceritakan Tuhan Yesus.
            Tuhan Yesus menceritakan ada seorang raja yang memanggil hamba-hamba-Nya untuk mengadakan perhitungan. Setelah diadakan perhitungan, ternyata didapati seorang hamba yang berhutang kepada raja dengan jumlah yang mengejutkan. Ia berhutang 10.000 talenta. Saudara, jika nilai ini dirupiahkan dengan UMR per hari Rp.40.000,- maka jumlahnya mencapai Rp. 2,4 Triliun.  Saudara, bisa bayangkan, apa yang bisa kita beli dengan jumlah uang segitu? Mobil mewah, rumah mewah, Ipod, Ipad, Ipin, Upin, dan sebagainya, saudara. Jika di zaman sekarang saja jumlah ini sudah sangat besar bagi kita, apalagi pada zaman Tuhan Yesus. Pada zaman itu Raja Herodes Agung saja hanya mendapatkan pajak sebesar 900 talenta setiap tahunnya dari seluruh wilayah kerajaannya. Hamba itu berhutang lebih dari 11 kali lipat dari pajak yang didapat Herodes Agung. Jadi, hutang hamba tersebut sebenarnya adalah jumlah yang sama sekali  tidak bisa dibayarnya. Oleh karena itu, wajar ketika raja mendengar hal itu ia marah dan memberikan perintah supaya hamba tersebut beserta anak isterinya dan segala miliknya dijual demi melunasi hutangnya yang besar itu.
Namun Saudara,begitu mendengar keputusan raja itu sang hamba segera bersujud kepada raja dan memohonkan belas kasihan dari sang raja. Mungkin ia menangis dan memohon dengan sangat kepada raja. Oleh sebab itu, ketika raja melihat hal itu, tiba-tiba berubah 180 derajat, raja berbelas kasihan. Maka ia berkata,  “Baiklah, seluruh hutangmu tidak perlu lagi engkau bayar. Aku menghapuskan segala hutangmu.” Saudara, bisa bayangkan, alangkah sukacitanya hamba itu ketika raja menghapuskan hutangnya? Saudara, saya saja kalau punya hutang 50.000 ribu kepada seorang teman, dan dia bilang, “Udah lu gak usah bayar utang lu lagi deh” pasti saya senangnya setengah mati. Apalagi hamba ini hutangnya 2,4T dan dihapuskan begitu saja? Saudara, yang menarik adalah raja tidak menyuruh hamba itu membayar setengah atau seperempat saja dari hutangnya. Ia menghapuskan semuanya! Hamba ini mendapatkan kemurahan dari sang raja, Saudara, Kemurahan yang pada dasarnya tidak pernah layak didapatkan oleh hamba itu.          
Saudara, jika pikir lebih dalam, tampaknya cerita ini berlebihan. Tuhan Yesus agak lebai. Benar ga, Saudara? Namun, apa yang sebenarnya ingin ditekankan Tuhan Yesus melalui kelebaian itu? Saudara, mari kita perhatikan cerita selanjutnya.
            Saudara,  sang hamba pulang dengan sukacita yang meluap. Dia sangat senang sekali. Tapi tiba-tiba di tengah jalan ia bertemu dengan temannya yang berhutang 100  dinar kepadanya. Saudara,100 dinar bukanlah jumlah yang besar dibandingkan 10000 talenta. Kalau dirupiahkan hanya sekitar Rp.4.000.000. Namun, ketika melihat temannya itu, rasa sukacita hamba tersebut tiba-tiba berubah menjadi rasa benci dan marah. Mungkin ia mengingat temannya ini, sudah berhutang cukup lama kepada dia dan belum dibayar-bayar, Saudara,. Maka, dia langsung mendatangi temannya itu. Dengan geram ia mencekik temannya dan berkata, “Eh, lu belum bayar hutang ke gue, ya? Ayoo, buruan bayar.” Saudara, temannya itu pun berkata,  “ Sabarlah sedikit, hutangku itu akan kulunaskan.” Apa yang dilakukan hamba itu? Kepalanya yang telah dipenuhi rasa geram dan benci membuat dia semakin marah dan berkata, “Enak aza lu, sini lu!” Saudara, hamba itu menyeret temannya itu sendiri dan memasukkannya ke penjara.
Saudara, kisah ini dilanjutkan dengan dilaporkannya perbuatan hamba itu kepada raja oleh teman-temannya. Saat itu juga raja menjadi marah dan memanggil hamba itu. Raja berkata kepadanya, “Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” Saudara, raja itu begitu marah, dan akhirnya menyerahkan hamba tersebut kepada algojo-algojo sampai ia melunaskan hutang-hutangnya. Tuhan Yesus mengakhiri kisah ini dengan mengatakan, ”Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu.
Saudara, perhatikan detail cerita ini. Tuhan Yesus sengaja mengisahkan seorang hamba yang punya hutang begitu besar yang tidak bisa dibayar, namun dihapuskan begitu saja oleh sang raja. Sebenarnya Tuhan Yesus ingin menekankan satu hal yang namanya “kemurahan” kepada Petrus. Nilai hutang sang hamba dalam cerita ini, sengaja dibuat begitu besar oleh Tuhan Yesus, untuk menggambarkan bahwa sebenarnya dari awal hamba itu  tidak akan mampu membayar hutang itu. Dia hanya akan menjadi seorang hamba yang berhutang seumur hidupnya. Hanya kemurahanlah dari sang rajalah yang dapat membayar hutang itu.
Pada akhirnya, sang hamba mendapatkan kemurahan itu. Tetapi apa responnya setelah itu? Ketika ada temannya yang berhutang kepadanya dan memohon belas kasihan kepadanya, ia tidak memberikan kemurahan. Ia lupa bahwa dirinya baru saja mendapatkan kemurahan yang begitu besar dari sang raja. Ia lupa akan pekerjaan besar yang sudah dilakukan raja dalam hidupnya. Ia lupa betapa besarnya kasih karunia yang sudah ia dapatkan, namun ia tidak mau memberikan hal yang sama kepada orang lain.
Saudara, jelas melalui kisah ini Tuhan Yesus sedang menggambarkan pengampunan vertikal dan horizontal. Hamba yang hutangnya begitu besar dan dihapuskan begitu saja oleh raja menggambarkan bagaimana besarnya kasih Allah yang mau memberi kemurahan kepada orang berdosa, yang mau memberi pengampunan kepada orang yang bersalah terhadap Dia. Namun yang seringkali terjadi adalah orang yang sudah diampuni itu tidak mau memberi pengampunan kepada orang lain. Oleh sebab itu, Yesus ingin mengajarkan kepada Petrus bahwa hal itu tidak boleh demikian. Sebaliknya, setiap orang yang sudah mendapatakan pengampunan vertikal, harus siap untuk memberikan pengampunan horizontal. Setiap orang yang sudah diampuni Allah, harus siap untuk memberikan pengampunan kepada orang lain. Setiap orang yang sudah mendapatkan kasih karunia dari Allah, harus siap untuk memberi pengampunan. Inilah yang menjadi alasan Tuhan Yesus mengapa ia meminta Petrus untuk memberikan pengampunan tanpa batas. Sesungguhnya, kasih karunia yang sudah ia dapatkan dari Allah harusnya memampukan dia untuk mengampuni orang lain. 

Ilustrasi
            Saudara, ada yang kenal orang ini? Ibu ini bernama Kim Phuc. Dia lahir di Trang Brang, Vietnam Selatan. Ibu ini adalah orang yang sama dalam foto ini. Foto ini diambil pada tahun 1972 dan memenangkan hadiah pulitzer, sebuah penghargaan yang diberikan Amerika Serikat kepada koran, junalisme, sastra atau musik. Saudara, apa yang terjadi pada saat itu? Ketika berumur sembilan  tahun, ia hidup dalam kondisi peperangan di Vietnam dan pada saat itu,pasukan Vietnam Utara berhasil menduduki desa Trang Brang, yang merupakan wilayah selatan itu.
Pada suatu hari tepatnya tanggal 8 Juni 1972 terjadilah suatu tragedi. Pasukan Vietnam Selatan mengira para penduduk sipil desa Trang Brang sudah dievakuasi dari desa tersebut. Mereka mengira desa tersebut hanya dihuni oleh pasukan militer Vietnam Utara, sehingga mereka menjatuhkan bom-bom di desa tersebut untuk menyerang pasukan Vietnam utara. Tetapi ternyata tanpa diketahui ada warga sipil yang bersembunyi di desa itu, salah satunya adalah ibu Kim Puch ini. Mereka terkena serangan bom. Di tengah kekacauan itu Kim puch berlari telanjang, dan berteriak, “Panas, panas sekali.” Saudara,ia terkena luka bakar yang mengerikan di punggungnya, sehingga ia harus dirawat di Rumah sakit selama 14 bulan dan harus mengalami operasi sebanyak 17 kali.
Saudara, ternyata di balik tragedi menyedihkan ini, ada orang yang sangat merasa bersalah, dia adalah Pdt. John Plummer. Pada saat serangan ke desa Kim Puch itu ingin dilakukan, John Plummer adalah salah seorang yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa tidak ada rakyat sipil di daerah itu. Dia berkata bahwa dia telah benar-benar memastikan bahwa tidak ada rakyat sipil di daerah itu. Namun terjadi kesalahan yang besar. Dia tidak tahu ada rakyat sipil yang bersembunyi di kuil. Serangan itu menyebabkan luka bakar yang mengerikan pada punggung ibu Kim Puch tadi dan dia juga harus kehilangan dua orang saudaranya. Plummer merasa sangat bersalah dan sangat ingin meminta maaf kepada Kim Puch.
Dua puluh lima tahun kemudian, dalam pertemuan Vietnam Veterans Memorial di Washington D. C., ternyata Plummer bertemu dengan Kim Phuc. Saudara-saudara, tidak disangka pada saat pertemuan itu, Kim Puch memberikan pernyataan pengampunan secara publik atas tragedi yang menimpa dia di Vietnam. Pada saat itu ia berkata,  “Jika saya bertemu dengan pilot pesawat yang menyerang desa saya, saya akan berkata kepadanya, “Saya memaafkannya. Kita tidak dapat mengubah masa lalu, namun saya berharap kita bisa bekerja sama untuk masa depan.” Saudara-saudara, kisah ini sangat menyentuh hati Plummer, dia menulis artikel dalam sebuah majalah tentang kisah ini, dia mengatakan:
She saw my grief, my pain, my sorrow, she held out her arms to me and embraced me, all i could say was: “I’m Sorry; I’m sorry” over and over again. At the time she was saying, “it’s alright,it’s alright: I forgive, I forgive.”

Saudara, hati saya tersentuh ketika membaca kisah ini, dan hal itu membuat saya bertanya-tanya. “Bukankah Kim Puch pada saat menerima serangan itu bukanlah seorang Kristen? Lalu, apa yang sebenarnya menyebabkan Kim Puch dapat mengampuni orang yang menyebabkan tragedi buruk itu terjadi?” Saudara,saya menyelidikinya di internet, dan saya menemukan jawabannya. Dalam satu wawancara di sebuah stasiun radio tahun 1950, dia menceritakan tragedi buruk yang tidak akan pernah ia lupakan itu. Saya tertegun ketika mendengar beberapa kalimat yang ia ucapkan, ia berkata:  
“Ini adalah waktu yang sangat sulit bagi saya ketika saya pulang dari rumah sakit. Rumah kami hancur, kami kehilangan segalanya dan kami hanya bertahan dari hari ke hari. Kemarahan di dalam diriku seperti kebencian setinggi gunung. Aku membenci hidupku. Aku benar-benar ingin mati berkali-kali. Kemudian aku menghabiskan siang hariku di perpustakaan untuk membaca banyak buku-buku agama untuk menemukan tujuan hidup saya. Salah satu buku yang saya baca adalah Alkitab.
Pada Natal 1982, saya menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamat pribadi saya. Itu adalah titik balik luar biasa dalam hidup saya. Allah membantu saya untuk belajar mengampuni – pelajaran yang paling sulit dari semua pelajaran. Ini tidaklah terjadi dalam sehari dan itu tidak mudah.. Tapi akhirnya saya berhasil. Pengampunan membuat saya bebas dari kebencian. Saya masih memiliki bekas luka yang banyak di tubuh saya dan menyisakan hari-hari yang menyedihkan tetapi paling tidak hati saya telah dibersihkan. Bom kimia itu memang sangat kuat tetapi iman, pengampunan dan kasih jauh lebih kuat. Kita tidak akan ada perang sama sekali jika semua orang bisa belajar bagaimana hidup dengan cinta sejati, pengharapan, dan pengampunan.”

            Saudara, saya percaya hanya orang yang sudah diberilah yang akan dapat memberi. Hanya orang yang sudah mendapatkan kemurahan yang dapat memberikan kemurahan kepada orang lain. Orang yang sudah mendapatkan anugerah pengampunan dari Allah harusnya dapat memberikan pengampunan bagi orang lain. Kim Puch telah memberikan kita contoh. Ia telah meresponi kasih karunia yang ia dapatkan dengan tepat. Lalu bagaimana dengan kita Saudara,?

Aplikasi
            Saudara, mengampuni bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kita berhadapan dengan yang namanya, kepedihan, kepahitan dan rasa sakit hati yang mendalam. Sulit sungguh sangat sulit.  Rasa sakit hati, benci dan dendam yang bercampur itu membuat kita berada dalam keadaan hidup tanpa pengampunan. Namun, sampai kapan kita akan hidup dalam keadaan demikian? Sampai kapan kita akan terus menyimpan gumpalan kepahitan itu dan membangun tembok-tembok  dendam dan kebencian? Saudara-saudara, kita butuh pemulihan, kita perlu mengampuni. Ingatlah, bukankah kita hamba-hamba yang tidak mampu melunasi hutang-hutang dosa kita kepada Allah? Tetapi bukankah kita juga yang telah memperoleh kasih karunia dari pada Allah, memperoleh anugerah pengampunan-Nya melalui kematian Kristus di kayu salib? Tidakkah kita ingat betapa besar harga yang dibayar Kristus untuk menebus dosa kita? Saudara-saudara, saya percaya setiap kita yang ada di sini adalah orang-orang yang telah memperoleh kasih karunia dari Allah dan saya yakin hanya orang yang sungguh-sungguh mengalami kasih karunia Allah-lah yang bisa dengan segenap hati mengampuni orang lain.  Jika kita benar-benar telah mengalami kasih karunia itu mengapa kita tidak bisa mengampuni orang yang pernah menganggap kita remeh, tidak menghargai kita dan menyakiti hati kita?
Saudara, jangan tampung sampah kebencian itu lagi. Mari kita akhiri rasa sakit hati itu hari ini. Mari kita mengampuni. Saya rasa bukan tidak bisa kita mengampuni, tetapi kadang kita lupa akan kasih karunia yang sudah kita dapatkan dari Allah. Ingatlah kasih karunia itu, ingatlah anugerah pengampunan yang telah Allah berikan. Itu lebih dari cukup agar kita dapat mengampuni orang lain.

Penutup
            Saudara-saudara, saya akan mengakhiri khotbah ini dengan menampilkan sebuah video yang saya harap dapat mengingatkan kita kembali betapa besar harga yang dibayar Kristus untuk menebus dosa kita. Betapa besar kasih karunia yang Ia berikan kepada kita.
(PUTARKAN VIDEO AMAZING LOVE)
            Saudara,itulah yang telah dilakukan Kristus bagi kita. Ia datang ke dunia ini. ia memberikan kita pengampunan. Ia memberikan kasih karunia yang begitu besar bagi kita. Mari kita ingat kasih karunia itu. Biarkan kasih karunia itu mengalir ke seluruh sendi kehidupan kita, bagaikan air yang mengalir di setiap celah-celah hidup kita yang kering. Jangan biarkan tembok-tembok ego, kebencian dan dendam menghalanginya. Hancurkan tembok-tembok itu, supaya kita bisa berkata kepada orang yang telah menyakiti kita, “aku mengampunimu.”  Sesungguhnya Saudara, ketika rekonsiliasi itu terjadi, the bad unforgotten moment itu akan hilang dan berubah menjadi the sweet unforgotten moment.

Amin.



30 Oktober 2011

Khotbah Efesus 4:17-32

MANUSIA BARU
OLEH ANDREY THUNGGAL



Pendahuluan
Saudara, ketika beberapa bulan yang lalu pelayanan di Manado, saya mengalami sebuah kejadian yang menarik. Suatu saat saya berjalan pulang dari gereja melewati sebuah  jalan yang sedikit lenggang.  Ada beberapa mobil memang, namun masih cukup jauh, dan saya menyeberangi jalan itu bersama beberapa orang.  Namun tiba-tiba ada sebuah mobil kijang merah yang ugal-ugalan, ngebut, dan hampir menabrak sekelompok ibu-ibu di depan saya.  Sontak sang sopir langsung berteriak, sambil memaki, lalu berkata: “Ngoni pe badan besi sto?!” (“Kalian punya badan besi ya?!”)  Dalam sekejab, saya langsung menyaksikan percekcokan antara bapak-bapak dari dalam mobil dengan ibu-ibu itu; seperti di sinetron-sinetron, namun yang ini bukan sandiwara.  Yang lebih menarik saudara, di kaca depan kijang merah itu, tertulis: Panitia HUT Kaum Bapa se-gereja-gereja ... (sensor).
Saudara, saya pikir kasus yang saya hadapi itu adalah satu dari sekian banyak kasus lain yang juga Saudara mungkin pernah alami; kasus yang membuktikan bahwa identitas Kristen seseorang itu tidak menjamin perilakunya sesuai dengan imannya.  Padahal perilaku seseorang itu bagaikan sebuah baju yang dikenakan, yang menunjukkan identitasnya sang pemakainya.  Perilaku orang Kristen tentu seharusnya menunjukkan identitasnya sebagai orang Kristen.  Namun yang menjadi masalahnya adalah, tidak sedikit dari mereka tidak menyadari bahwa tingkah laku yang mereka tunjukkan itu sebenarnya tidak matching dengan identitas mereka.  Contohnya saja bapak-bapak yang tadi itu.  Namun hal ini bukan hanya terjadi di kalangan jemaat, namun terjadi juga dalam kehidupan hamba Tuhan.  Di daerah-daerah tertentu kita dapat menemukan hamba Tuhan yang mabuk sebelum berkhotbah, bahkan mengajak anak-anak pemuda untuk mabuk bersama sebelum besoknya mereka di-sidi.  Bahkan tidak jarang kita mendengar hamba-hamba Tuhan yang selingkuh, menjadi hamba uang, bahkan hidup dalam berbagai hawa nafsunya.  Mereka tidak menyadari, bahwa mereka masih hidup dalam cara hidup yang lama.  Jangan lupa Saudara, mereka adalah orang-orang yang dulunya ada di seminari, yang duduk juga dalam kuliah maupun ibadah, dididik untuk menjadi hamba Tuhan yang hidup dalam cara hidup yang benar.  Namun ternyata kita temukan bahwa hal tersebut tidak menjamin seorang kebal terhadap kasus tersebut.  Jika hal ini tidak diwaspadai sedari dini, maka bukan tidak mungkin kita juga akan hidup dalam cara hidup yang demikian.
Oleh karena itu Saudara, penting bagi kita untuk memiliki cara hidup yang matching dengan identitas kita sebagai hamba Tuhan.  Penting bagi kita untuk mewaspadai sedari dini, cara hidup yang tidak berkenan pada Allah itu.  Penting bagi kita untuk menyelidiki dalam kehidupan kita, apakah cara hidup kita sudah berkenan kepada Allah, menunjukkan identitas kita sebagai hamba-hamba-Nya.  Penting bagi kita untuk menanggalkan cara hidup kita yang lama, dan mengenakan cara hidup yang baru.  Penting bagi kita untuk menanggalkan manusia lama, dan mengenakan manusia baru.

Penjelasan
Nah Saudara, hal inilah yang juga disampaikan oleh Paulus dalam surat Efesus ini.  Saudara, jika kita menghubungkan perikop ini dengan bagian pembukaan pasal 4, di sana Paulus mengatakan bahwa, “aku menasihatkan kamu . . . supaya hidupmu berpadanan dengan panggilan itu.”  Dan dalam ayat 17-32 di tekankan lebih lanjut tentang hidup yang berpadanan dengan panggilan Allah.  Karena itu ia menulis di ayat 17,  “sebab itu, kukatakan dan kutegaskan agar jangan hidup lagi sama seperti orang yang tidak mengenal Allah.”
Siapakah figur orang yang tidak mengenal Allah ini?  Paulus mendeskripsikan mereka di ayat 17-19 sebagai orang yang memiliki pikiran yang sia-sia, hati yang gelap, jauh dari Allah, bodoh dan degil, sehingga mereka menyerahkan dirinya kepada hawa nafsu dan berbuat segala kecemaran.  Paulus menggunakan istilah pleonexia yang diterjemahkan oleh LAI sebagai hawa nafsu.  Istilah ini dalam pengertian aslinya menggambarkan sifat rakus, tidak pernah puas, tamak, iri hati.  Dengan kata lain, istilah ini dapat diartikan sebagai nafsu serakah yang mengorbankan orang lain untuk kepentingan diri sendiri;  nafsu yang tidak terkendali untuk memiliki sesuatu yang bukan haknya; dan hal ini muncul melalui
berbagai tindakan seperti mencuri, memaksakan kehendak, penipuan, pertengkaran, ataupun berbagai rupa-rupa percabulan.  Mereka inilah yang disebut oleh Paulus di ayat 22 sebagai manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan.  Jadi manusia lama itu terlihat dengan jelas sebagai mereka yang hidup dengan hawa nafsunya, yang melakukan segala macam perbuatan cemar.
Dengan menunjuk pada figur manusia lama itulah, Paulus mengingatkan orang percaya akan identitas mereka sebagai orang-orang yang telah mengenal Allah.  Paulus mengatakan di ayat 20-21, “tetapi kamu bukanlah demikian.  Kamu telah belajar mengenal Kristus, mendengar tentang Dia, dan menerima pengajaran dalam Dia menurut kebenaran yang nyata dalam Yesus.”  Paulus mengingatkan bahwa merekalah orang-orang yang telah mendapat anugerah Allah, mereka yang dulu berjalan dalam kecemaran dan hawa nafsu menuju kebinasaan itu, ditarik keluar oleh Allah.  Kepada mereka inilah, Paulus mengingatkan mereka agar mereka tidak menjadi sama dengan orang-orang yang tidak mengenal Allah.  Di ayat 22-24 dikatakan: “kamu, berhubung dengan kehidupan kamu yang dahulu, harus menanggalkan manusia lama, yang menemui kebinasaannya oleh nafsunya yang menyesatkan,  supaya kamu dibaharui di dalam roh dan pikiranmu, dan mengenakan manusia baru, yang telah diciptakan menurut kehendak Allah di dalam kebenaran dan kekudusan yang sesungguhnya.”
Saudara, konsep manusia lama – manusia baru ini merupakan salah satu tema penting dalam teologi Paulus.  Roma 6:6  mengatakan bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.  Sementara Galatia 3:27 mengatakan bahwa identitas anak-anak Allah adalah mengenakan Kristus.  Mengenai hal ini, Thomas Schreiner menyebutkan bahwa  orang percaya dimampukan untuk melepaskan manusia lama, yaitu natur Adam yang pertama, yang telah mati melalui kematian Adam kedua di kayu salib; demikian juga orang percaya dimampukan untuk mengenakan manusia baru, Adam kedua, melalui kebangkitan Kristus.
Konsep ini semakin jelas ketika kita mencoba menyimak paralelisme bagian ini dengan tulisan Paulus yang lain, dalam Kolose 3:9-10.



Kolose 3:9-10
Efesus 4:22-24

3:9
ἀποθέσθαι . . .  τὸν παλαιὸν ἄνθρωπον
4:22
ἀπεκδυσάμενοι τὸν παλαιὸν ἄνθρωπον
telah menanggalkan manusia lama
3:10
ἐνδυσάμενοι τὸν νέον
4:24
ἐνδύσασθαι τὸν καινὸν ἄνθρωπον
telah mengenakan manusia baru
3:10
τὸν ἀνακαινούμενον εἰς ἐπίγνωσιν
4:23
ἀνανεοῦσθαι δὲ τῷ πνεύματι τοῦ νοὸς ὑμῶν
terus-menerus diperbaharui

Kata kerja yang digunakan oleh kedua bagian ini, yakni apothesthai-apekdusamenoi dan endusamenoi-endusasthai menggunakan tense aorist, yang berarti bahwa hal tersebut telah terjadi satu kali di masa lampau, dan efeknya berlangsung hingga kini.  Artinya, ketika seseorang mengenal Kristus, maka ia telah menanggalkan manusia lama, dan pada saat itu telah mengenakan manusia baru, yaitu Kristus.  Namun kondisi ini tidak berhenti di situ saja; Paulus memakai istilah anakainoumenon dan ananeousthai yang menggunakan tense present passive, yang sama-sama dapat diartikan dengan makna terus-menerus diperbaharui.  Hal ini menunjukkan bahwa pembaharuan, atau pengudusan orang percaya itu merupakan karya Roh Kudus yang memampukan orang percaya agar terus-menerus diperbaharui.  Dengan kata lain, perubahan status manusia lama menjadi manusia baru itu terjadi satu kali saja, namun pembaharuan hidup orang percaya itu terjadi terus-menerus.
Suatu pertanyaan mungkin timbul dalam pikiran kita, “Diperbaharui dalam hal apa?”  Di ayat 23 Paulus menggunakan istilah to pneumati tou noos humon yang secara literal diterjemahkan sebagai the spirit of your mind, atau roh dari akal budimu.  Istilah ini dapat kita mengerti dengan lebih jelas apabila kita melihat karakteristik gaya penulisan surat zaman itu yang menggabungkan dua kata sinonim, sehingga istilah ini sebenarnya dapat diartikan sebagai bagian “inner,” di dalam manusia.  Jika kita bandingkan dengan tulisan Paulus di Roma 12:2, maka di situ Paulus menasihatkan jemaat Roma agar berubah oleh pembaharuan budi, noos.  Sementara itu ayat serupa di Kolose 3:10, Paulus menjelaskan perubahan terus-menerus itu agar orang percaya dapat memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya.  Dengan demikian, jelaslah bahwa pembaharuan yang terjadi dalam orang percaya adalah pembaharuan akal budi atau pikiran seseorang yang semakin serupa Kristus.
Karena itu, Paulus menyadari, bahwa tanda seseorang mengenakan manusia baru itu terlihat dari perubahan akal budi/pola pikir yang dikerjakan oleh Roh Kudus, sehingga nampak dari perilaku orang tersebut.  Sehingga di ayat 25-32, Paulus menjabarkan serangkaian nasihat praktis sebagai wujud orang yang mengenakan manusia baru.


Larangan
Nasihat
Alasan
4:25
Kebohongan
Mengatakan kebenaran
Sesama anggota
4:26-27
Amarah berkepanjangan
Penyelesaian konflik dan amarah
Mencegah iblis mengambil kesempatan
4:28
Mencuri
Bekerja sendiri
Membagikan sesuatu kepada yang berkekurangan
4:29-30
Perkataan kotor
Pakai perkataan yang membangun
Membagikan kasih karunia pada orang lain; tidak mendukakan Roh Kudus.
4:31-32
Kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah, kejahatan
Ramah terhadap yang lain, penuh kasih mesra, saling mengampuni
Allah di dalam Kristus telah mengampuni kita

Yang menarik bahwa dalam bagian ini Paulus tidak hanya sekadar memberikan nasihat, namun ia juga memberikan alasan mengapa hal tersebut harus dilakukan.  Jelas sekali hal ini berhubungan dengan argumen Paulus sebelumnya, bahwa Roh Kudus berkarya membaharui akal budi orang percaya secara terus-menerus; pembaharuan akal budi menghasilkan praksis yang benar.
Secara singkat Saudara, pada perikop ini Paulus menegaskan bagi orang percaya, agar mereka tidak lagi hidup sama seperti orang yang tidak mengenal Allah.  Mereka itulah orang-orang yang disebut sebagai manusia lama, yang akan binasa karena hidup menurut hawa nafsu mereka.  Oleh karya Kristus, orang percaya telah dimampukan untuk menanggalkan manusia lama itu, dan mengenakan manusia baru.  Dan dalam kemanusiaan yang baru itulah,  akal budi/pola pikir orang percaya terus-menerus diperbaharui oleh Roh Kudus.  Sehingga melalui pola pikir yang diperbaharui itulah, muncul praksis yang benar; yakni perilaku manusia baru.  Menanggalkan perbuatan-perbuatan manusia lama yang penuh dengan hawa nafsu, dan mengenakan manusia baru yang semakin serupa Kristus.

Ilustrasi
Saudara, suatu kali sementara makan bersama, seorang adik tingkat mengeluh, “Aduuhh...yak opo yo carane bagi waktu?  Tugas-tugas durung mari, belom pertemuan ini itu, eh bajuku wes numpuk pula.”  Saudara, saya pikir keluhan sang adik tingkat ini sangat manusiawi.  Di tengah kepadatan jadwal di seminari tersebut, masuk akal jika untuk mata kuliah cuci baju ini pun perlu di-manage dengan baik.  Bayangkan saja saudara, untuk mencuci baju yang telah menumpuk selama seminggu, dibutuhkan waktu merendam, mengucek, serta membilas yang tidak sedikit; bahkan ada yang suka merendam semalaman.  Tak hanya itu, perlu waktu untuk menjemur dan menyetrika.  Setidaknya Saudara, mata kuliah cucilogi ini memakan waktu 2 SKS, 50 menit untuk rendam, kucek dan bilas, 50 menit untuk proses jemur dan setrika.  Tidak heran Saudara, ada beberapa mahasiswa yang telah berhasil menemukan cara kreatif untuk menyasati mata kuliah ini, yakni dengan menggunakan filsafat rotasisisme.  Filsafat ini membantu sekali dalam mengurangi jumlah baju yang dipakai.  Jumlah baju yang seharusnya sejumlah 6 hari, dapat diminimalkan hingga setengahnya.  Saudara mau tahu bagaimana caranya?  Baju kuliah hari Senin “didaur-ulang” untuk hari Kamis, Selasa untuk hari Jumat, dan Rabu untuk hari Sabtu.  Tentu kesan yang ditampilkan adalah baju yang dipakai itu berganti-ganti, namun kalau diperhatikan, selama seminggu hanya ada 3 baju kuliah.  Ramah lingkungan Saudara.
Saudara, filsafat rotasisisme ini mungkin menggelikan bagi sebagian kita, namun tidak sedikit juga di antara kita yang “rada jijik” dengan filsafat ini. Memang standar setiap orang berbeda, namun saya yakin bahwa untuk memakai baju yang sama selama seminggu saja, adalah sebuah ketidak-wajaran. 

Aplikasi
Saudara, kita semua sadar, tidak seharusnya seseorang mengenakan baju yang lama terus-menerus, ia harus menggantinya dengan yang baju yang baru.  Namun ketika memaknai perikop ini, saya menjadi tertegun; ternyata saya lebih “jijik” untuk memakai baju yang lama terus-menerus, namun saya kurang merasa “terganggu” dengan memakai “baju” perilaku yang lama terus-menerus.  Ya Saudara, agaknya kita perlu kembali menyelidiki “baju” perilaku yang selama ini kita kenakan, jangan-jangan “baju” perilaku kita itu adalah “baju’ yang lama. 
Mungkin kita familiar ketika berbicara mengenai Allah, iman, maupun kekristenan, namun kita sebenarnya berada di titik rawan; rawan ketika iman maupun pengetahuan akan Allah itu hanya berada pada level konsep, wacana, maupun doktrin belaka.  Mungkin kita fasih dalam berteologi, namun di sisi lain, mungkin kita gagap dalam bertindak, gagap ketika cara hidup kita dilihat.  Mungkin, sadar atau tidak sadar kita terhanyut dalam perkataan atau perbincangan yang sia-sia, gosip, atau malah cenderung menjelek-jelekkan orang lain, istilahnya pembunuhan karakter orang lain.  Mungkin kita menjadi orang yang dengan mudahnya mengikuti amarah kita, bahkan menyimpan kesalahan orang lain dengan begitu mendalam.   
Mungkin kita adalah orang-orang yang terusik ketika melihat rekan kita mampu lebih pandai, lebih mampu daripada kita.  Iri hati ketika rekan kita “lebih diberkati” daripada kita.  Mungkin demi kepentingan diri kita sendiri, kita memilih untuk memelintir kebenaran, kompromi demi memuaskan hawa nafsu kita.  Kita lebih suka dilayani, meskipun sudah seharusnya kita melayani.  Kita lebih mengutamakan kepentingan diri kita sendiri, daripada menaruh perhatian terhadap kepentingan orang lain.  Atau mungkin juga, kita terlihat baik di luar, namun kita malu kalau cara hidup kita yang selama ini tersembunyi itu diketahui orang lain.  Kita tertunduk malu, karena kita sadar, ternyata kita masih mengenakan baju yang lama, yakni manusia lama itu.
Saudara, mari kita tunduk sejenak di hadapan Tuhan.  Mari kita merenungkan kembali makna penebusan Kristus dalam hidup kita ketika Engkau dan saya bertemu dengan anugerah Allah itu.  Kita yang seharusnya binasa, tenggelam dalam lumpur dosa itu, ditebus dengan darah-Nya yang kudus.  Ia memilih untuk memikul cela dan malu kita, supaya kita menjadi umat kesayangan-Nya, umat yang kudus, milik kepunyaan Allah sendiri.  Kita yang dulunya berjalan dalam kecemaran dan kesia-siaan, telah dimampukan untuk berjalan dalam kebenaran dan kekudusan.  Kita yang seharusnya tak dapat memilih yang apa yang benar, kini diperbaharui sehingga kita dapat memilih apa yang menyenangkan Dia.

Penutup
Saudara, untuk apa kita tinggal dalam cara hidup manusia lama?  Untuk apa kita berkubang dalam cara hidup yang sia-sia itu?  Buatlah keputusan hari ini, dan tinggalkan semua cara hidupmu yang lama.  Masuklah dalam  penyerahan yang penuh pada Roh Kudus, dan izinkan Dia memperbaharui hati dan pikiran kita, sehingga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang berkenan di hadapan-Nya.  Menjadi hamba yang dipakai dan diperkenan oleh Allah.  Kiranya Roh Kudus senantiasa menolong dan memampukan kita semua. 


Amin


Khotbah Roma 12:9-21

KARAKTERISTIK KASIH
OLEH ANTHONY CHANDRA



Pendahuluan
Saudara-saudara, hari ini saya berkhotbah mengenai kasih. Kita sudah tahu bahwa hidup seorang Kristen harus mencerminkan kasih.  Kasih itu tidak bisa hanya sekedar di mulut, tetapi kasih itu harus riil.  Saya setidaknya menemukan beberapa persamaan antara karakteristik kasih orang Kristen dengan puisi yang sudah saya bacakan tadi.
Kasih orang percaya
Tidak malu untuk dikeluarkan, tetapi mengGALAUkan hati jika ditahan
Kasih orang percaya
Harusnya keluar dengan sendirinya dan tidak bisa disembunyikan
Kasih orang percaya
Bisa menyerang siapapun yang sudah percaya kepada Kristus
Kasih orang percaya
Hanya memberi, tak harap kembali
Kasih orang percaya
Janganlah malu mengakuinya
Kasih orang percaya
Wujudnya nyata dan jelas adanya
Kasih orang percaya
Dapat dilihat dan bisa dirasakan
Kasih orang percaya
Alamiah, dan keluar dengan sendirinya
Kasih orang percaya
Tidak mengenal umur untuk dinyatakan

Saudara, di dalam perikop yang sudah kita baca tadi, dengan jelas kita melihat bahwa Paulus berulang-ulang memberikan contoh mengenai karakteristik kasih.  Hari ini kita akan belajar dua  karakteristik kasih.
I.          Kasih itu tulus, tidak mengharapkan fulus (ay. 9-13)
Penjelasan
Saudara-saudara, Paulus membuka perikop 12:9-21 dengan mengatakan “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura.”  Kasih itu harus tulus, dan tidak mengharapkan fulus.  Kasih itu tidak munafik.  Kasih yang tulus seperti Allah mengasihi manusia, dan tentunya sudah dirasakan oleh orang percaya.  Kasih merupakan dasar dari keselamatan orang percaya.  Kasih bukan sekedar perasaan mengasihi, namun kasih membawa orang percaya kepada tindakan nyata kepada sesamanya.
Saudara, ayat 9-13, Paulus menjelaskan hal-hal praktis mengenai kasih yang seharusnya dilakukan orang percaya kepada sesama orang percaya.  Di dalam ayat 10 “τῇ φιλαδελφίᾳ εἰς ἀλλήλους φιλόστοργοι, τῇ τιμῇ ἀλλήλους προηγούμενοι (Rm. 12:10; BNT).”  Paulus menggunakan “philadelphia” yang berarti ikatan kasih yang terjadi di dalam keluarga.  Kasih yang ditunjukkan kepada sesama anggota keluarga.  Paulus dengan tepat memberikan contoh-contoh kasih yang harus dilakukan orang percaya atas dasar philadelphia, kasih di dalam keluarga.
Saudara, kasih di dalam keluarga merupakan contoh kasih yang tulus, yaitu kasih orangtua kepada anak-anaknya.  Kasih yang keluar dengan sendirinya, tanpa dipaksa, dan tanpa mengharapkan imbalan.  Orangtua mengasihi anaknya, dan pastilah orangtua tahu bahwa anaknya tidak mampu untuk membayar pengorbanan yang sudah mereka berikan.
Saudara-saudara, di dalam keluarga, saya adalah anak kesayangan papi dan mami.  Saya yakin adik-adik saya juga disayang sama mereka.  Namun saya tidak pernah mendengar papi atau mami saya bilang kepada kami “Anthony!  Bayar pelukan mami 50 ribu.”  Kalau memang mami berkata seperti itu saya akan berkata “APA???  Mati aku, tau gitu ga usah dipeluk.”
Saudara-saudara, saya jadi ingat dengan lagu “Kasih Ibu” yang mengatakan tentang kasih yang tulus. Liriknya berkata seperti ini:
Kasih ibu kepada beta
Tak terhingga sepanjang masa
Hanya memberi, tak harap kembali
Bagai sang surya menyinari dunia

Saudara-saudara, Paulus menasehati jemaat Roma untuk menyatakan kasih yang terjadi di dalam keluarga.  Kasih yang tulus, tidak mengharapkan fulus.  Kasih yang hanya memberi, tak harap kembali.  Seperti sinar mentari yang memberikan cahayanya, dan tidak pernah mengharapkan cahayanya itu kembali kepadanya.
Kemudian Paulus memberikan contoh-contoh kasih yang tulus itu di dalam AYAT 9-13; 15. Ia berkata, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.  Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.  Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!  Bantulah dalam kekurangan orang-orang kudus dan usahakanlah dirimu untuk selalu memberikan tumpangan!  Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!

Ilustrasi
Saudara-, suatu kali saya mau parkir di stasiun Gambir.  Seperti biasanya, ada seorang juru parkir yang datang membantu saya.  Setelah saya selesai parkir dan hendak meninggalkan tempat parkir, tiba-tiba si juru parkir berteriak kepada saya.  “Woi mas mana uangnya?”  Saya sengaja tidak memberikan uang parkir kepada dia, karena saya sudah membayar biaya parkir di loket masuk, dan bagi saya itu sudah cukup.  Ya namanya juga mahasiswa, harus pinter-pinter ngatur duit.  Sebenarnya agak gak tega sih, tapi mau gimana lagi?  Uang parkir yang saya bayar di depan aja minjem sama temen sebelah.  Eh... ini malah minta lebih.  Dan lebih parahnya lagi, di seragam tukang parkir tersebut tertulis dengan jelas “NO TIPPING.” Saudara-saudara, budaya meminta tip setelah berbuat baik kepada orang lain nampaknya sudah lekat dengan kehidupan kita.  Walaupun seragam si tukang parkir itu tertulis “NO TIPPING” tapi baginya kasih identik dengan fulus.

Aplikasi
Saudara-saudara, kasih itu hendaknya dilakukan dengan hati yang tulus, dan tidak mengharapkan fulus.  Kalau dunia mengharapkan imbalan setelah berbuat baik, betapa malunya kita sebagai anak Allah ketika juga mengharapkan imbalan ketika kita berbuat baik kepada orang lain. Kita adalah anak-anak Allah yang telah menerima kasih yang tulus dari Kristus.  Kasih yang dia berikan ketika kita masih berdosa.  Kasih yang tidak mengharapkan imbalan dari siapapun yang menerima kasih-Nya.  Bahkan kasih-Nya yang lebih mahal dari perak dan emas itu tidak mungkin kita mampu untuk membayar-Nya.  Karena itu, tuluslah dalam mengasihi orang lain, sama seperti Kristus mengasihi orang berdosa.  Kasih seperti sinar mentari yang menerangi bumi.  Tulus memberi, dan tidak mengharapkan kembali.

II.          Kasih itu tidak membalas kejahatan (ay. 14-21)
Penjelasan
Saudara-saudara, kondisi jemaat Roma pada waktu itu tidaklah baik.  Ada konflik antara orang Yahudi Kristen dengan Gentile Kristen, dan ditambah lagi adanya penganiayaan dari pemerintahan Romawi.  Saudara-saudara, saya membagi keadaan jemaat Roma menjadi dua macam, yaitu
1.       Sakit yang muncul di dalam tubuh Kristus
Saudara-saudara, jemaat Roma yang terdiri dari Yahudi Kristen dan Gentile Kristen mengalami konflik.  Awal mula konflik mereka bermula ketika orang Yahudi Kristen yang dahulunya merupakan mayoritas orang Kristen di Roma diusir oleh Kaisar Claudius pada tahun 49, dan setelah Claudius meninggal, orang Yahudi Kristen kembali lagi ke Roma.  Mereka kaget ketika mendapati bahwa gereja Roma telah didominasi oleh orang Gentile.  Hal inilah yang mengakibatkan timbulnya ketegangan sosial di antara mereka.  Yahudi Kristen dan Gentile saling mengejek, dan menganggap dirinya paling benar.  Hal inilah yang menimbulkan rasa sakit yang muncul di dalam tubuh Kristus. 

2.       Sakit yang berasal dari luar tubuh
Saudara-saudara, orang Kristen abad  pertama tidak lepas dari yang namanya penganiayaan dari orang Yahudi, Yunani, maupun Romawi.  Orang Kristen dianggap batu sandungan oleh orang Yahudi, orang bodoh oleh orang Yunani, dan pemberontak oleh orang Romawi.  Semua penganiayaan orang Kristen disebabkan karena mereka menerima Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat pribadi.
Saudara-saudara, tentunya keadaan ini merupakan sebuah pergumulan bagi jemaat Roma untuk mengasihi orang yang telah berbuat jahat kepada mereka.  Walaupun tidak mudah, namun itulah kasih yang seharusnya ditunjukkan orang percaya kepada sesama dan dunia. 
Di dalam ayat 14 Paulus mengatakan “Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!  Dia mengutip pengajaran Yesus dalam Matius 5:44, “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu” dan Lukas 6:28 “Mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.”  Meminta berkat kepada Allah berkaitan erat dengan sebuah doa.  Bukanlah hal mudah untuk berdoa kepada Allah memohon berkat kepada orang yang telah berbuat jahat kepada kita, namun berkali-kali Paulus mengingatkan jemaat Roma “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan!”  “Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!”  “Kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan!”
Saudara-saudara, kasih itu tidak membalas kejahatan, karena di dalam kasih terkandung pengampunan.  kasih juga tidak menuntut pembalasan, tetapi menyadari bahwa pembalasan adalah hak Allah, dan Allah sendirilah yang akan menuntut pembalasan.  Allah tahu segala sakit hati kita ketika orang lain berbuat jahat kepada kita, meskipun demikian Allah tidak mengijinkan kita mengambil hak-Nya untuk membalaskan kejahatan.  Allah tidak diam melihat kejahatan, namun Allah masih memberikan waktu kepada orang jahat untuk bertobat. Oleh sebab itu, seharusnya menjadi suatu  kehormatan bagi setiap orang percaya untuk mempunyai sikap kasih yang tidak membalas kejahatan dengan cara memberikan makan ketika kita melihat seteru kita lapar, memberikan minum ketika kita melihat seteru kita haus. Dengan demikian, kita menumpukkan bara api di atas kepalanya
Frasa “menumpukkan bara api di atas kepalanya” tentu tidak dapat diartikan secara harafiah.  Melalui kutipan dari Amsal ini Paulus mendorong jemaat Roma untuk tetap menunjukkan kebaikan kepada orang yang berbuat jahat kepada mereka dengan harapan supaya mereka malu dengan perbuatannya yang jahat.  Malu karena orang percaya membalas perbuatan jahatnya dengan perbuatan baik.  Semua perbuatan baik itu bertujuan supaya mereka bertobat dan menerima kasih Kristus dalam kehidupannya.  Mengasihi orang yang belum percaya atau bahkan musuh kita merupakan karakteristik kasih yang harus kita tunjukkan secara riil.

Ilustrasi
Saudara-saudara, ada sebuah kisah mengenai dua teman yang sedang berjalan-jalan di padang pasir. Pada suatu saat, tiba-tiba saja obrolan mereka berubah menjadi suatu perdebatan yang keras sehingga salah seorang dari mereka menampar wajah temannya.  Yang ditampar pipinya, biarpun sakit, diam membisu, dengan jarinya ia menulis di pasir: "Hari ini, temanku menampar pipiku."
Kemudian, mereka meneruskan perjalanan dan  sampai di sebuah oase. Mereka berhenti di sana untuk menyegarkan diri.  Orang yang ditampar itu mulai turun ke oase. Namun tiba-tiba, ia terpersok dan  mulai tenggelam. Melihat temannya tenggelam, temannya yang menampar itu langsung menolongnya. Ia dengan cepat menarik temannya keluar dan menyelamatkannya.  Setelah selamat dan  lepas dari rasa takut, orang itu menulis di atas sebuah batu: "Hari ini temanku menyelamatkanku."  Kawannya yang menolong dan menampar sahabat itu, bertanya, "Mengapa setelah aku menyakitimu, kau menulis di pasir, dan sekarang setelah menyelamatkanmu, kau menulis di atas sebuah batu?" Sambil tersenyum temannya menjawab,  "Apabila seorang menyakiti kita, hendaklah kita menulisnya di atas pasir, dimana angin pengampunan nantinya akan meniup dan menghilangkannya. Tetapi bila terjadi peristiwa agung, hendaklah itu kita ukir dalam batu hati kita, dimana tidak pernah akan ada angin yang bisa menghapusnya.”

Aplikasi
Saudara-saudara, Paulus dengan indah menutup perikop ini dengan mengatakan “Janganlah kamu kalah terhadap kejahatan, tetapi kalahkanlah kejahatan dengan kebaikan.”  Saudara, kalahkanlah kejahatan yang orang lain lakukan kepada kita dengan tindakan kasih yang nyata.  Dengan kasih yang tidak membalas kejahatan itu, kita berdoa supaya orang yang melihat dan merasakan kasih yang kita tunjukkan dapat mengenal Kristus.

Penutup
Saudara-saudara, saya sangat bersyukur mempunyai seorang teladan yang hidupnya mempraktekan kedua karakteristik kasih di atas.  Saya ingat ketika nenek saya berniat untuk membelikan laptop untuk saya.  Dia menabung sedikit demi sedikit dari uang bulanan yang diberikan anaknya sampai uang yang terkumpul itu cukup untuk membelikan saya laptop.  Saya tahu bahwa sebenarnya uang yang dia kumpulkan dapat dia gunakan untuk pergi ke dokter dan berobat, tetapi dia sengaja mengumpulkannya supaya saya bisa menjadi mahasiswa yang baik.  Nenek saya pasti tahu bahwa saya tidak dapat membalas perbuatannya, tetapi hal itu tidak menyurutkan kasihnya kepada saya.  Dia dengan tulus melakukan semua itu.
Selain itu, di dalam keluarga, nenek merupakan orang yang menjadi korban dari kemarahan dari anaknya yang pertama.  Saya pernah mendengar anaknya yang pertama memarahi nenek saya.  Dia marah bukan karena kesalahan nenek, tetapi karena kesalahan dari adik-adiknya.  Dia melampiaskan amarahnya kepada nenek saya.  Saudara-saudara, respon nenek saya hanya diam dan menangis.  Apakah dia marah?  Apakah dia benci?  Ternyata tidak!  Pada malam harinya ketika nenek saya berdoa, saya kaget ketika dia mendoakan anaknya yang pertama dengan berlinang air mata.  Dia hanya bisa menyerahkan kesedihan karena sikap anaknya kepada Tuhan.  Di dalam doanya, dia tidak berkata “Tuhan, kutuk anak itu.”  Tetapi yang keluar dari mulutnya adalah berkat supaya anaknya itu sadar dan sikapnya berubah.
Saudara-saudara, kasih yang tulus dan tidak membalaskan kejahatan memang bukanlah perkara yang mudah.  Banyak pergumulan, dan kesulitan ketika kita mengusahakannya.  Tetapi saya yakin Roh Kudus akan menolong dan memampukan kita untuk mengasihi orang lain dengan tulus dan tidak membalaskan kejahatan.  Biarlah di dalam kehidupan sehari-hari, kita melaksanakan firman Tuhan ini.

Amin.