5 September 2011

Khotbah Eks. Topikal: Allah Ada Dalam Ketiadaan

ALLAH ADA DALAM KETIADAAN
OLEH HIMAWAN



Pendahuluan
            Saudara, saya rasa kita semua pernah mendengar nama Ibu Teresa dari Kalkuta.  Seorang biarawati yang memberikan diri untuk melayani orang sakit di jalanan kota Kalkuta.  Saudara, apakah sdr merasa terinspirasi ketika mendengarkan kisah hidup seorang Ibu Teresa?  Apa pandangan sdr secara pribadi terhadap Ibu Teresa?  Seorang yang sangat dekat dengan Allah sehingga rela memberikan hidup bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya?
            Saudara, saya kira, kita semua akan terkejut ketika membaca pengakuan Ibu Teresa, yang terdapat dalam memoir pribadinya.  Ibu Teresa mengaku bahwa selama 50 tahun beliau sama sekali tidak merasakan gairah kehadiran Allah dalam hidupnya.  Padahal masa itu adalah masa ketika ia melayani Tuhan, namun, selama itu pula Ibu Teresa mengaku tidak merasakan Kristus hadir dalam hidupnya.  Ibu Teresa yang terlihat mempunyai hubungan dekat dengan Sang Ilahi, ternyata dalam sebagian besar waktu hidupnya merasakan Allah demikian jauh. 
            Saudara, seberapa banyak diantara saudara yang pernah, bahkan ketika mendengarkan khotbah ini, saudara merasakan perasaan yang sama.  Perasaan Allah yang demikian jauhnya, sehingga kita merasa Ia seakan tiada dalam kehidupan kita.  Kita setia pergi ke gereja, setia merenungkan firman, namun Allah tetap terasa jauh.  Kita merasa  Allah tiada.
Perasaan ini oleh seorang katolik bernama Santo Yohanes Salib disebut “malam gelap jiwa”, yaitu malam atau hari-hari dimana manusia tidak mengalami penghiburan rohani apa pun, kendati ia mencari Allah dengan sepenuh hati.  Malam yang juga disebut dengan masa “kegelisahan yang tak terperikan”.  Ketika kita mengharap kehadiran Allah di dalam kegetiran hidup,  namun kita dihadapkan dalam sebuah fakta, yang menyatakan Allah tiada!  Ketika kita berteriak agar Allah menampakkan wajah-Nya, nyatanya Allah diam, seolah tak mendengar teriakan kita. 
            Saudara, saya yakin perasaan seperti ini pernah kita alami.  Orang percaya, bahkan yang sudah dewasa secara rohani pun bisa saja dihampiri perasaan Allah yang jauh.  Daud pada Mazmur 22:2 berkata “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.“  Daud pun pernah merasakan ketiadaan Allah.  Setiap umat Tuhan pernah merasakan perasaan betapa jauhnya hadirat Allah dalam kehidupan kita. 
Kapan perasaan ini datang? 

I.       Ketika kita berdosa
Saudara, kapan saja perasaan ini akan datang menghinggapi kita? Nampaknya, perasaan ketiadaan akan Allah seringkali datang ketika kita melakukan sesuatu yang tidak berkenan dihadapan-Nya.
Saudara, Allah kita adalah Allah yang kudus, Allah yang tidak menghendaki umat-Nya untuk melakukan dosa.  Ketika kita berdosa, maka bukan Allah yang menjauhkan diri-Nya kepada kita, namun diri kita sendiri yang menjauh dari Allah.  Sebagaimana Mazmur 51: 2, ketika Daud berkata: Kasihanilah aku, ya Allah, menurut kasih setia-Mu, hapuskanlah pelanggaranku menurut rahmat-Mu yang besar!”  Daud menuliskan ayat ini ketika baru saja melakukan dosa perzinahan, bahkan pembunuhan.  Ketika Daud mengambil Betsyeba sebagai miliknya, dan membunuh Uria untuk memenuhi nafsu serta tujuan pribadinya.  Saat itu Daud merasa demikian jauhnya dari hadirat Allah, sehingga ia berkata “Kasihanilah aku, ya Allah!”  Daud sebagai seorang yang dikenal memiliki hidup yang dekat dengan Allah, merasa sadar ketika ia berdosa, maka Allah menolak untuk hadir di dalam hidupnya.  Karena itu, setelah mendengar teguran nabi Natan, segeralah Daud memohon pengampunan dosa kepada Allah.  Daud sangat sadar, jika ia tidak bertobat maka ia akan terus berada jauh dari Allah.  Ya, Dosa mengakibatkan Allah jauh dari kita.
Saudara, dunia di sekitar kita adalah dunia yang gelap.  Sebagai orang Kristen kita hidup menantang gelombang jaman, sehingga kita sangat rentan sekali untuk terseret arus yang mengancam jiwa kita.  Pornografi merajalela dimana-mana, sekali klik di depan komputer, maka kita bisa membuat diri kita berada dalam sebuah posisi yang menjauh dari Allah.  Kecanduan game, pergaulan yang bebas, begitu merasuk dalam kehidupan anak-anak muda seperti kita.  Sekali kita buka gerbang agar mereka masuk, maka kita akan berada dalam posisi yang menjauh dari Allah.  Semua dosa yang kita lakukan membuat hilangnya hadirat Allah dalam kehidupan kita.
Adakah dosa yang engkau lakukan sehingga membuatmu merasakan bahwa Allah yang penuh kasih dan pengampunan itu kini tiada? Jika ya, maka jadilah seperti Daud, mengaku keberdosaan di hadapan Allah, sehingga Allah boleh kembali hadir dalam kehidupan saudara.  Tinggalkan segala bentuk keinginan nafsu pribadi, cobalah untuk tunduk kepada firman Tuhan.  Berdirilah dengan tegak bersama kekuatan dari Roh Kudus, lawanlah dosa.  Maka Allah akan kembali bersama-sama dengan kita.
Kapan perasaan ini datang?

II.    Ketika penderitaan menimpa
Namun, sdr fakta yang terdapat dalam perjalanan kehidupan rohani ternyata memberikan kita pemahaman yang lain.  Keberdosaan bukan satu-satunya penyebab perasaan itu hadir dalam kehidupan kita.  Sering perasaan itu datang ketika kita mengalami penderitaan dan kesesakan.  Sebagaimana Mazmur 22 yang pertama kali kita baca tadi, ditulis oleh Daud ketika ia mengalami tantangan musuh-musuhnya.  Ketika Daud menghadapi bahaya yang mengancam kehidupannya, yaitu ketika dikejar-kejar dan akan dibunuh oleh Saul.  Ia merasa Allah tiada! Seolah ia tidak akan ditolong, seolah Allah akan pergi menjauh daripadanya dan membiarkan dirinya tertindas. Dalam ayat 12 Daud berkata: Janganlah jauh dari padaku, sebab kesusahan telah dekat, dan tidak ada yang menolong.  Dalam hadangan penderitaan, bisa jadi kita akan merasa Tuhan itu tiada.  Merasa hadirat Allah begitu jauh! 

Ilustrasi
Saudara, hal inilah yang pernah dialami oleh orang-orang Kristen di Jepang ketika berada dalam abad penganiayaan.  Hal ini dituliskan dalam novel Silence karya Shusaku Endo.  Pada waktu itu, Kristianitas sedang dilarang, siapa yang mengaku Kristen, maka ia akan diburu, dianiaya dengan beratnya.  Bahkan ada sebuah kisah, orang Kristen digantung terbalik, diikat, telinganya disilet agar darahnya bisa mengalir, dan mereka akan mati perlahan-lahan.  Semua itu dilakukan agar orang Kristen mengkhianati iman mereka.  Di waktu-waktu yang penuh dengan kesakitan sedemikian rupa, orang-orang Kristen Jepang bertanya kepada pastor Katolik yang melayani waktu itu: Bapa, dimana Allah?  Mengapa Ia diam saja?  Mengapa Ia terasa begitu jauh dari kehidupan kita?  Ya, di dalam penderitaan, mereka merasa Allah yang tiada. 
Bukankah pertanyaan-pertanyaan demikian juga sering kita tanyakan?  Adakah di antara kita yang mengalami masalah hidup yang berat, sehingga kita tidak melihat Allah?  Membuat kita bertanya dimana Allah berada sekarang ini?  Adakah di antara kita merasa Allah tiada?  Saudara, Kini pertanyaannya adalah: mengapa ini semua terjadi? Serta apakah yang harus kita lakukan ketika kita mengalami hal demikian?
Kapan perasaan ini datang?

III.   Dalam kondisi apa pun secara tiba-tiba
            Tetapi sebelum mengerti alasan mengapa perasaan ini datang dan apa yang perlu kita lakukan ketika mengalami hal yang demikian, kita perlu menyadari bahwa dinamika kehidupan spiritual memang membingungkan.  Ketika gelombang tak menerpa, ketika hidup terasa aman dan tenteram.  Bahkan ketika kita merasa kita berada dalam hubungan yang sangat baik dengan Tuhan.  Perasaan betapa jauhnya Allah tetap bisa menghantam kita.  Perasaan Allah yang begitu jauh bisa mencekam secara tiba-tiba.  Tiba-tiba kita merasa berada di gurun pasir rohani yang begitu kering, yang membuat kita merasa haus, haus akan kehadiran Allah.   
Saudara, saya rasa hal ini yang dialami Elia dalam 1 Raja-raja 19:4, ketika dilaporkan “Tetapi ia sendiri masuk ke padang gurun sehari perjalanan jauhnya, lalu duduk di bawah sebuah pohon arar. Kemudian ia ingin mati, katanya: "Cukuplah itu! Sekarang, ya TUHAN, ambillah nyawaku, sebab aku ini tidak lebih baik dari pada nenek moyangku."
Saudara, waktu itu Elia sedang mengalami keberhasilan.  Elia berhasil membela nama Yahweh sebagai satu-satunya Allah yang benar.  Elia membuktikan di depan mata bangsa Israel bahwa Baal hanyalah ciptaan manusia belaka.  Ketika Elia menghadapi ancaman Izebel, Elia seharusnya tidak perlu takut.  Bukankah Allah sudah menolong dia menghadapi nabi-nabi Baal?  Seharusnya Elia sadar bahwa Allah bersama-sama dengan dia.  Namun fakta yang dilaporkan Alkitab berkata lain.  Elia berada dalam ketakutan sehingga lari, bahkan Elia diterpa kesepian yang amat sangat.  Di dalam kondisi yang sendirian di tengah hutan, Elia memohon agar Tuhan mengambil nyawanya.  Elia merasa bahwa dirinya tidak lebih baik dari pendahulu-pendahulunya, yakni nabi-nabi sebelum dia.  Elia merasa bahwa Israel tidak akan berubah, dan ia adalah tokoh yang gagal.  Saya rasa waktu itu Elia benar-benar merasa kehilangan akan kehadiran Allah.  Bagi Elia, Allah terasa tiada.  Hal ini dibuktikan dalam teks sesudahnya malaikat Allah menyuruh Elia untuk pergi ke gunung Horeb, gunung Allah, agar Elia dapat bertemu dengan Allah kembali, agar Elia diyakinkan dan merasakan bahwa Allah bersamanya.  Saudara, Entah mengapa, nabi sebesar Elia tiba-tiba merasakan bahwa Allah tiada di dalam hidupnya.  Hal ini menunjukkan bahwa perasaan ketidakhadiran Allah bisa datang secara tiba-tiba dalam kondisi hidup apa pun! 

Ilustrasi
Saudara, seorang pelayan Tuhan dalam bidang spiritualitas dan penulis buku yang terkenal yaitu Richard J. Foster pernah mengalami hal yang demikian.  Ada masa dalam hidupnya, ketika ia benar-benar merasa nyaman.  Melakukan berbagai seminar, dan pelayanan dimana-mana.  Tetapi ketika berada di dalam puncak keberhasilan itu, Foster mengaku bahwa tiba-tiba Allah terasa pergi menjauh begitu saja.  Tiba-tiba hadirat Allah pun tiada di dalam hidupnya.  Foster kemudian menarik diri dari pelayanannya dan berusaha mencari kehendak Allah dengan apa yang terjadi padanya.  Saudara, ternyata seorang yang dipakai Tuhan seperti Richard Foster pun, secara tiba-tiba juga dapat mengalami ketiadaan Allah.
Saudara, ternyata perasaan Allah yang begitu jauh itu bisa datang dalam banyak situasi.  Jika kita memahami dengan jelas bahwa perasaan ini datang diakibatkan karena dosa yang kita lakukan, maka tentu yang terutama adalah kita mengaku dosa dan memohon pengampunan dihadapan-Nya.  Namun, bagaimana jika problemnya ternyata bukan pada kita?  Bagaimana jika perasaan itu datang ketika kita menghadapi problematika hidup?  Bagaimana jika perasaan itu datang secara tiba-tiba, bahkan dalam kondisi dimana kita sedang merasa aman dan sangat dekat dengan Allah?  Padahal, kita sudah berlaku benar dan tanpa cela, tetapi perasaan Allah yang jauh ini toh tetap saja datang menerpa kita.

Benarkah Tuhan itu tiada?
Tetapi sdr, ketika kita merasa Allah tiada, apakah memang benar-benar Allah tidak ada bersama-sama dengan kita?  Kejadian 28:15 berkata:

“Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu." 

Bukankah  Allah punya janji penyertaan bagi umat-Nya, janji Allah yang tidak akan meninggalkan umat-Nya sekalipun?
Saudara, janji ini difirmankan Tuhan kepada Yakub di Betel, ketika Yakub akan melarikan diri dari Esau, dan pergi ke rumah pamannya Laban.  Janji ini yang menyertai Yakub selama Yakub menjalani hidup yang penuh lika-liku di tanah yang asing.  Allah berjanji bahwa Ia bersama-sama dengan Yakub kemana pun Yakub pergi. 
Saudara, frasa “Aku menyertai kamu” adalah frasa yang terus berulangkali disebutkan di dalam Kitab Suci.  Frasa ini bahkan juga diulang oleh Tuhan Yesus dalam Matius 28, menunjukkan bahwa memang di dalam segala kondisi yang akan dan sedang kita alami, Tuhan tidak akan meninggalkan kita.  Dia adalah Bapa kita, yang tak akan pernah mengingkari janji-Nya, janji penyertaan-Nya.  Saudara, turunnya Yesus ke dunia ini membuktikan bahwa Allah turut berpartisipasi dalam kehidupan manusia, menjadi sama dengan umat-Nya yang berdosa.  Benar, Yesus adalah bukti nyata  keberadaan Sang Immanuel, Allah yang menyertai kita.
Saudara, inilah janji Allah pada Israel dan ini jugalah janji Allah kepada setiap kita!  Janji inilah yang harus kita pegang! Ketika kita mengalami perasaan Allah tiada, ketika Allah terasa demikian jauh, sesungguhnya Ia tetap bersama-sama dengan kita!  Ia tidak pernah sekali-kali meninggalkan kita.  Ya, dalam perasaan ketiadaan Allah, Allah sebenarnya ada! 

Mengapa Allah mengijinkan ini semua terjadi?
            Saudara, mengapa Allah mengijinkan ini semua terjadi?  Tentu karena Allah menginginkan agar kita dapat bertumbuh sesuai dengan kehendak-Nya.  Pdt. Yohan Candawasa dalam sebuah bukunya, mengatakan bahwa dalam kesenyapan atau ketiadaan Allah, Allah mengijinkan ini semua terjadi agar kita dapat melihat Allah dalam sudut pandang yang lain.  Perasaan kita memang mengatakan Allah tiada, namun di tengah perasaan itu kita diajarkan untuk tetap bersandar dan menaruh iman kepada Allah. 
Saudara, saya kira ini yang dialami Daud dalam Mazmur 22 tadi, meskipun berada dalam perasaan Allah yang jauh, tapi Daud tetap menyatakan iman dan percayanya kepada Allah.  Hal ini tersirat dalam ayat 9 dan 10, yang mengatakan Ia (Daud) menyerah kepada Tuhan.  Saya rasa Daud bertumbuh dalam pengenalannya akan Allah.  Allah mengijinkan perasaan ini hadir dalam kehidupan Daud, agar Daud semakin bertumbuh dalam kebersandarannya akan Allah.  Daud makin dewasa, menjadi sahabat dekat Allah.
Saudara, Perasaan Allah yang jauh diijinkan terjadi, agar iman kita kepada Allah tidak tergantung pada situasi dan kondisi hidup, atau pada perasaan akan hadirat Tuhan.  Tetapi agar iman kita tergantung kepada identitas Allah sendiri.  Yaitu Allah yang berjanji akan menyertai umat-Nya.

Apa yang harus kita lakukan?
Saudara, kembali kita harus menjawab pertanyaan yang paling penting, apa yang harus kita lakukan ketika kita mengalami masa-masa yang demikian? Seorang penulis buku spiritual bernama Rick Warren, menyarankan bahwa ketika kita mengalami masa-masa demikian, maka sebaiknya kita mengingat segala kebaikan Tuhan di masa dulu kala.  Sebagaimana dalam Ratapan 3:22 yang berkata: Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu. 
Saudara, kitab Ratapan ditulis oleh nabi Yeremia ketika melayani di Israel dengan segenap kesetiaannya, namun faktanya Yeremia mengalami sebuah penolakan yang luar biasa dari bangsa Israel.  Yeremia merasakan pelayanannya sia-sia, dan melihat Allah pun seolah tiada.  Namun Yeremia tak berhenti, Yeremia tidak terus terbenam di dalam penderitaannya!  Yeremia memandang sejarah kasih setia Tuhan! Ya! Ingatan terhadap kasih setia Tuhan itulah yang akan menghiburkan kita. 
Saudara, kata kasih setia Tuhan atau dalam bahasa aslinya hesed Yahweh ini adalah kata yang penting, kata yang juga berulangkali muncul dalam kitab suci.  Kata yang mengarah kepada janji loyalitas Allah kepada perjanjian yang telah dikerjakannya kepada umat-Nya!  Dimana janji itu bisa dipegang karena identitas pemberi janji itu sendiri yang tidak perlu diragukan lagi.  Yaitu Allah yang tidak akan pernah beralih dan meninggalkan umat-Nya! 
Saudara, maka ketika perasaan Allah yang jauh itu menerpa kita dalam kondisi apa pun, yang perlu kita lakukan adalah memegang janji penyertaan Allah, serta mengingat segala kasih setia-Nya  (Amanat Kotbah).

Ilustrasi
            Saudara, kembali ke kisah orang-orang Kristen Jepang yang tadi.  Ternyata dalam diamnya Allah yang mereka alami, mereka tetap mampu percaya kepada Allah.  Mereka berani martir dan tetap memegang teguh iman mereka.  Ketika Pastor Katolik yang melayani mereka bertanya kepada mereka, apa yang membuat mereka bisa bertahan sampai sedemikian.  Orang-orang Jepang itu menjawab:  Karena kami percaya kepada salib Kristus yang telah membebaskan kami.  Ya! Karena mereka mengingat kasih setia Tuhan yang dibuktikan dalam pengorbanan Kristus di kayu salib, maka orang-orang Jepang itu mampu terus percaya kepada Allah walau pun Allah terasa jauh, walau pun Allah seolah diam dalam penderitaan yang mereka alami.
            Saudara, saya sendiri secara pribadi pernah mengalami perasaan Allah yang jauh ini.  Suatu ketika di dalam perjalanan panggilan saya, saya diterpa perasaan secara tiba-tiba perasaan Allah yang jauh, Allah yang tiada.  Saat teduh saya seakan tiada gairah, saya melayani seolah tanpa passion.  Padahal ketika saya selidiki diri saya, saya mendapati diri tidak melakukan sesuatu apa pun yang mungkin tidak berkenan di hadapan Allah.  Bahkan perasaan itu hadir ketika saya benar-benar bersemangat untuk belajar teologi, belajar tentang Tuhan, mengenali segala sesuatu tentang Firman Tuhan.  Tapi perasaan itu tiba-tiba membekap saya, tiada angin tiada hujan, Allah menjauh, Allah menghilang, Allah terasa tiada.   Saya pun didera malam gelap jiwa ini selama beberapa minggu.  Apakah yang saya lakukan? Saya memasang foto Tuhan Yesus yang tersalib di meja belajar saya.  Saya terus-menerus mengingat akan panggilan saya dan kisah pertobatan saya, bagaimana Allah datang melalui karya salib Kristus.  Saya terus bertahan dalam kondisi yang demikian, sampai berminggu-minggu kemudian baru hadirat Allah terasa kembali dalam diri saya.  Ketika perjalanan malam gelap jiwa itu menimpa saya, saat itu saya diajari untuk tetap percaya dan bersandar kepada Tuhan meskipun perasaan saya tidak mengatakan bahwa Ia ada.  Ya, Allah mengijinkan itu semua terjadi agar saya boleh semakin bertumbuh dalam kasih dan pengenalan akan Dia.  Iman dan percaya yang tidak tergantung suasana, atau pun kondisi hidup, dan perasaan kita.  Tetapi iman yang murni, yang percaya kepada identitas yang kita imani, yaitu Allah yang setia.
Saudara, perasaan jauh dari Allah hanya sebuah perasaan manusia belaka.  Kita tidak perlu takut bahwa Allah meninggalkan kita. Karena kasih setia dan rahmatnya tidak akan pernah berhenti.  Jika kini saudara merasa bahwa Allah tiada, cobalah untuk mengingat segala apa yang Tuhan sudah pernah perbuat dan sudah berikan dalam hidupmu, dan syukurilah semuanya itu.
Saudara, jika ada di antara saudara yang merasa bahwa dalam hidup sdr tidak ada yang dapat saudara syukuri, maka saya mengajak anda memandang salib Kristus yang mulia.  Salib Kristus yang menyelamatkan saudara.  Salib Kristus yang merubah hidup saudara.  Dari hidup yang gelap, tanpa arah dan tujuan, menjadi hidup yang bermakna dalam pengharapan keselamatan jiwa dan hidup yang kekal.  Ingatlah akan karya keselamatan yang Tuhan sudah karyakan dalam kehidupan saudara, maka sesungguhnya tidak akan ada alasan untuk tidak dapat bersyukur, maka sesungguhnya tidak ada alasan untuk melihat bahwa Tuhan itu tiada, karena sesuai janji-Nya, Ia tetap ada!
  Saudara, adakah diantara kita yang mengalami perasaan ketiadaan Allah pada saat ini? Mari terus mencari wajah Allah di dalam disiplin rohani yang kita kerjakan.  Kita tetap setia melakukan segala sesuatunya, berdoa, membaca firman, merenungkannya, melayani di tempat yang Tuhan sudah sediakan.  Sambil terus mengingat kasih setia dan memegang janji penyertaan-Nya.  Maka kita akan makin bertumbuh dalam kedewasaan pengenalan akan Allah.

Penutup
            Saudara, kita semua berada di dalam perjalanan panjang untuk mengenal identitas dan jati diri Allah kita.  Penuh liku, jatuh bangun, tangis dan duka.  Perasaan ketiadaan Allah, perasaan Allah yang jauh akan hadir begitu saja dalam kehidupan kita.  Setidak-tidaknya seorang Kristen akan mengalaminya sekali dalam perjalanan hidupnya. Ini semua terjadi karena Allah ingin mendewasakan kita di dalam penyerahan diri penuh kepada Allah.  Jika itu semua terjadi, mari terus mengingat kasih setia Tuhan.  Dibarengi dengan pengakuan pertobatan jika kita berdosa, serta pembacaan yang setia pada Kitab Suci, kemudian komitmen membangun relasi dalam disiplin doa.  Maka Roh Kudus sendiri yang akan memberikan kekuatan untuk menghadapi perasaan ini.  Kita akan tetap teguh dalam iman, semakin mengenal siapa Allah kita.
           
Amin

Khotbah Amos 5:21-27

WE MUST BECOME A TRUE WORSHIPPER
OLEH HIMAWAN



Pendahuluan
Saudara-saudara,  tahu tentang sebuah grup music bernama True Worshipper? Berapa banyak di antara saudara yang mencintai lagu-lagu dari grup music ini?  Saya salah satu fans dari grup musik ini.  Terakhir mereka melaunching album dengan judul God is Our Victory, dimana lagu-lagu mereka sangat memberkati saya
Ketika saya pertama kali mengenal mereka, saya mulai bertanya kenapa ya mereka memakai nama True Worshipper dan bukan yang lain?  Kemudian saya merenungkannya, dan saya dapati True Worshipper secara harafiah mempunyai arti penyembah yang benar.  Penyembah yang benar adalah penyembah yang hidup benar di hadapan Allah.  Sehingga, dengan nama ini, saya duga, para punggawa band ini sebenarnya ingin menyatakan bahwa penyembahan yang sejati bukanlah sekedar menyanyi dengan kencang atau melompat-lompat disertai musik yang hingar-bingar.  Tetapi, penyembahan yang sejati adalah bagaimana kita dapat memberikan seluruh kehidupan kita untuk hidup dengan benar bagi kemuliaan nama Tuhan.
            Saudara-saudara,  setiap orang percaya kepada Kristus memiliki natur sebagai seorang penyembah di hadapan Tuhan.  Saya adalah penyembah, saudara adalah penyembah, kita semua adalah penyembah-penyembah Tuhan.  Tapi pertanyaannya, apakah kehidupan kita selama ini menyatakan penyembahan yang benar kepada Tuhan, atau kita hanya menyembah ketika kita ada di gereja?  Selebihnya, hidup kita bukan lagi penyembahan kepada Allah, melainkan menyembah pemuasan nafsu, egoisme, peninggian diri, materi, dan lain-lainnya.
Saudara, jangan sampai Tuhan mendapati penyembahan kita adalah penyembahan yang sia-sia dan tak bermakna. Karena itu mestilah kita mengerti bagaimana penyembahan bisa menjadi penyembahan yang sejati, sebuah penyembahan yang dapat menyenangkan hati Tuhan.  Kita semua harus menjadi penyembah yang sejati, we must become the True Worshipper!

Saudara-saudara,  menjadi penyembah yang sejati berarti berusaha memiliki hidup yang benar di hadapan Tuhan
Pertanyaan bagi kita semua sekarang adalah, bagaimanakah sebenarnya hidup yang benar di hadapan Tuhan itu? Saudara, hidup yang benar adalah
 I.            Hidup yang menyatakan keadilan dan kebenaran (ay. 21-24)
Penjelasan
Saudara-saudara,  keadilan dan kebenaran adalah dua aspek penting dalam kehidupan.  Timbulnya kesadaran akan hak asasi manusia, dan protes-protes kemanusiaan, mengindikasikan bahwa manusia sesungguhnya ingin memiliki kehidupan yang adil dan benar yang dapat dirasakan seluruh umat manusia.  Lalu apa yang perikop ini ajarkan mengenai keadilan dan kebenaran?
Saudara-saudara,  sesuai dengan judulnya, kitab ini ditulis oleh seorang peternak domba dan pemetik pohon ara dari kota kecil Tekoa bernama Amos.  Bisa dibilang ia adalah seorang yang sangat oposisioner, seseorang yang melawan terhadap kondisi bangsa Israel pada waktu itu.  Seorang Nabi yang diutus oleh Allah untuk melayani ketika raja Yerobeam II berkuasa di Israel, sedangkan pada waktu bersamaan  raja Uzia berkuasa di Yehuda.  Terutama, Amos melakukan pelayanannya di Israel bagian utara, tempat Yerobeam berkuasa. 
Saudara,  Israel adalah bangsa yang dipilih oleh Allah secara langsung untuk menjadi berkat di antara bangsa-bangsa.  Tentu saja, sebagai bangsa yang mengaku umat pilihan Allah, Israel berusaha membangun relasi dengan Tuhan melalui ibadah-ibadah yang mereka lakukan.  Ibadah seharusnya menjadi sesuatu yang menyenangkan Tuhan dan memuliakan nama-Nya.  Membuat nama Allah dapat dikenal diantara bangsa-bangsa di sekitar mereka.  Tetapi, apa yang terjadi dengan Israel, umat Allah itu?  Dengan mengejutkan di dalam perikop ini Tuhan berfirman: Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu dan Aku tidak senang kepada perkumpulan rayamu.  Ternyata, alkitab secara gamblang menjelaskan bahwa Allah telah menolak ibadah dan penyembahan bangsa Israel.
Jika kita perhatikan ayat 21-23, dan membaca keterangannya sesuai dengan apa yang terdapat dalam kitab Imamat, sesungguhnya, kita akan melihat bahwa ibadah yang umat Israel kerjakan begitu rumit dan detail.  Ibadah yang terdiri dari perayaan, ritual pengurbanan dan bahkan puji-pujian.  Tetapi Allah tidak berkenan kepada itu semua, tujuh kata yang bernada negatif diperlihatkan disini mulai dari ayat 21 sampai 23, menunjukkan betapa Allah telah menolak ibadah dan ritual yang dikerjakan umat Israel.  (Bacakan ayat 21-23, dengan emphasis kepada tujuh kata-kata negatif).  Saudara, jika diteliti, kata membenci, yang dipakai dalam perikop ini, dalam bahasa aslinya memakai kata sane, sebuah kata yang menyatakan betapa Allah tidak suka kepada penyembahan Israel dan menggambarkan begitu buruknya keadaan bangsa Israel di dalam penyembahan mereka pada waktu itu.  Mengapa Tuhan begitu membenci dan kemudian juga menolak ibadah bangsa Israel?
Saudara, sebelumnya, kita perlu mengerti bagaimana kondisi kehidupan bangsa Israel waktu itu.  Kondisi sosial Israel pada waktu itu sebenarnya sedang mengalami keterpurukan.  Keadilan sosial tidak terdapat di dalam kehidupan bangsa Israel.  Secara keseluruhan kitab ini ditulis untuk mengkritik kondisi Israel yang tidak berpihak kepada rakyat jelata.  Pada masa itu yang berkuasa adalah orang-orang yang punya uang.  Pedagang-pedagang besar, dan para lintah darat membuat kelompok petani yang merupakan etnis mayoritas merasakan penderitaan.  Para petani tidak diperhatikan, ditindas sehingga tidak mampu mengembangkan usaha mereka.  Kita bisa melihat dengan jelas keadaan ini dalam pasal 2:6-7 (bacakan).  Dengan demikian Amos sebagai wakil Allah yang Adil dan Benar sesungguhnya sedang berusaha melawan kapitalisme yang saat itu sedang terjadi di tengah-tengah bangsanya. Amos, Sang Pembela Keadilan Allah itu,  mengkritik mereka, para penindas yang merupakan orang-orang kaya dan mapan, perempuan-perempuan kaya, pedagang yang tidak jujur, penguasa yang korup, para hakim dan ahli hukum yang oportunis, dan imam-imam yang palsu.  Saudara, telah kita dapati bahwa kehidupan Israel tidak menunjukkan kehidupan sebagai umat Allah. 
Dengan latar belakang tersebut, kita telah menemukan jawaban dari pertanyaan kita tadi, Tuhan membenci dan menolak ibadah bangsa Israel karena kehidupan mereka tidak menunjukkan keadilan dan kebenaran.  Mereka mengangkat tangan, menyanyi dan memuji Tuhan, tapi hidup mereka jauh dari keadilan dan kebenaran!
Bagi Allah yang penting bukanlah rutinitas mereka beribadah (ay.21), bukan korban-korban bakaran dan korban sajian yang dipersembahkan (ay.22), bukan domba gemuk tanpa cacat (ay.22), bukan nyanyian dan tarian kegembiraan sebagai ungkapan penyembahan umat pada khaliknya (ay.23), bukan!  Tetapi Allah berkata: “Jauhkanlah semua itu.”  Bukan berarti semua itu, yaitu korban, nyanyian dan persembahan tidak penting.  Itu semua perlu dan penting, tetapi jika itu semua itu dilakukan di hadapan Allah dengan tidak disertai dengan hidup yang benar dan adil, semuanya akan sia-sia!  Tuhan berkata: “Aku membenci, dan menghinakan semua itu”  Jika demikian, untuk apa semua ritual ibadah yang kita lakukan?  Ternyata, bagi Allah hidup dalam kebenaran dan menyatakan keadilan bagi sesama jauh lebih penting dari hanya sekedar rutinitas ibadah.
Saudara, ayat 24 mengatakan biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir, di dalam ayat ini kita melihat dua kata yang saling berkorelasi satu dengan yang lain yaitu keadilan dan kebenaran.  Dalam bahasa aslinya, keadilan memakai kata mispat dan kebenaran memakai kata tsedaqa.  Di dalam kitab Amos, dua kata ini seringkali dipakai secara bersama-sama dan hal itu muncul tiga kali, yang dapat kita lihat dalam 5:7, 6:12b dan ayat 24 yang baru kita baca.  Secara khusus, di dalam bagian ini, kata keadilan dan kebenaran yang dipakai menyatakan bahwa Allah menginginkan keadilan dan kebenaran agar dapat diperlihatkan dalam kehidupan sebagai umat Allah.  Biarlah kehidupan yang menyatakan keadilan dan kebenaran, sungguh nyata di dalam kehidupan umat Allah sehari-hari.
            Saudara-saudara,  Rick Warren pernah mengatakan, bahwa penyembahan bukanlah sekedar musik atau ritual yang kita lakukan di gereja, tetapi penyembahan adalah sebuah gaya hidup.  Penyembahan yang sebenarnya adalah seluruh kehidupan kita yang kita berikan bagi Allah.  Tuhan tidak hanya melihat penyembahan kita secara fenomenal atau yang kelihatan saja, tetapi melihat seluruh kehidupan kita, apakah hidup kita sebenarnya menunjukkan kehidupan yang benar dan berkenan di hadapan Allah.   Sudahkah kita memperhatikan keadilan dan kebenaran di dalam kehidupan kita?
            Saudara-saudara,  penulis kitab Amsal dalam 20:3 menyatakan ide yang mempertegas bahwa Allah jauh lebih menginginkan kehidupan yang memperhatikan keadilan dan kebenaran daripada ritual-ritual yang kita kerjakan.  Dimana dalam ayat ini mengatakan “Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan Tuhan dari pada korban”, sangat jelas, dalam penyembahan kita, Tuhan menginginkan hidup yang benar di mata-Nya, hidup yang memperhatikan keadilan dan kebenaran  jauh melebihi ritual dan penyembahan yang kelihatan.
            Saudara-saudara,  bukankah Yesus Kristus di dalam hidupnya adalah contoh nyata pribadi yang memperhatikan keadilan dan kebenaran?  Ingatkah ketika Yesus mengkritik kaum farisi dan saduki, serta imam-imam di bait Allah, yang begitu menekankan pelaksanaan hukum taurat, namun nyatanya mereka hidup munafik, mencari keuntungan mereka sendiri, dan memanfaatkan bait Allah untuk menimbun kekayaan.  Saudara, jangan sampai Yesus pun mengarahkan telunjuk-Nya kepada kita dan berkata “hai, engkau orang munafik!”

Ilustrasi
Saudara-saudara,  ada suatu masa dalam sejarah gereja Eropa, yang disebut abad kegelapan, yang berlangsung setelah era Abad pertengahan dan menjelang masa Reformasi.  Hal ini berkaitan dengan kehidupan spiritual dari rohaniwan dan gereja pada waktu itu.  Waktu itu gereja yang berkuasa adalah gereja Katolik Roma, gereja yang memegang hak dan kewenangan satu-satunya dalam menafsirkan Kitab Suci.  Gereja Katolik Roma menetapkan hal-hal yang detail dan rumit di dalam liturgi ibadah dan cara hidup umatnya.  Setiap ada dosa yang dilakukan oleh umat, umat mereka diharuskan melakukan pengampunan dosa di hadapan para biarawan, dan kemudian membayar surat pengampunan dosa atau indulgensia itu kepada klerus.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                            
 Mereka begitu menekankan ritual keagamaan, tapi bagaimana dengan kehidupan sosial mereka pada waktu itu?  Sebenarnya mereka menyiratkan ketidakadilan dan ketidakbenaran!  Bukankah hanya mereka yang kaya yang mampu membeli surat pengampunan dosa? Sedangkan yang miskin, hanya mereka biarkan diam dan mereka takut-takuti masuk ke dalam neraka!  Lalu bagaimana dengan kehidupan rohaniwan? Wah, parah sekali, rahib-rahib dan para pengurus gereja, hidup dengan foya-foya, aturan hidup tak lagi mereka perhatikan, mereka hanya mengambil untung dari persembahan jemaat dan memakai uang umat demi suka-suka mereka sendiri.  Bahkan, para pembesar-pembesar, hidup di dalam kemapanan dan kenyamanan mereka sendiri!  Mereka tidak menjadi pemyembah-penyembah yang benar.
Saudara-saudara, bagaimana dengan ibadah dan kehidupan kita pada masa ini? Apakah kita sudah menyatakan keadilan dan kebenaran, jikalau tidak, maka kita seakan-akan masih hidup di dalam abad kegelapan.  Gereja Katolik Roma pada era pertengahan gagal untuk memperhatikan keadilan dan kebenaran, dengan itu mereka gagal untuk hidup benar di hadapan Tuhan, gagal memberikan penyembahan yang sejati kepada Allah Pencipta langit dan bumi.  Padahal, sebagai umat Allah, we must become the true worshipper.

Aplikasi
            Saudara-saudara,  bagaimanakah dengan kehidupan kita di hadapan Tuhan?  Sudahkah kita hidup dengan memperhatikan  keadilan dan kebenaran? Atau kita tidak memperhatikan mereka yang miskin, yang tak berdaya dan tak terperhatikan?  Padahal, ketika kita beribadah di hadapan Tuhan, kita bisa bernyanyi dengan sekuat tenaga, menangis, dan mengaku-ngaku bertobat di hadapan-Nya.  Bisa juga, kita memberikan persembahan yang luar biasa banyaknya bagi gereja kita, dan itu terlihat di warta gereja.  Tapi, jika kita masih hidup dengan tidak memperhatikan keadilan dan kebenaran, jika kita masih bersikap sewenang-wenang dengan pembantu kita, karyawan kita, jika kita tidak memperhatikan hidup mereka dan memaksakan pekerjaan kepada mereka.  Maka penyembahan dan ibadah kita sia-sia belaka.
            Saudara-saudara,  jika ada diantara kita yang masih hidup seperti itu, mari kita bertobat, merendahkan diri di hadapan Allah, dan kemudian memperbaiki hidup kita, dengan mulai memperhatikan keadilan dan kebenaran.  Bersikap adil dan benar kepada pegawai-pegawai kita, karyawan kita, orang yang berada di bawah kita.  Mulai memperhatikan mereka yang miskin dan tidak dianggap, mereka yang hidup tergerus oleh kekuasaan kaum kapitalis.  Mari kita bersama-sama belajar untuk melakukan hal tersebut, berusaha untuk hidup benar di hadapan Tuhan, dengan memperhatikan keadilan dan kebenaran, ketika kita mampu untuk hidup benar, maka kita akan menjadi seorang True Worshipper.  We must become the true worshipper
Saudara, jawaban yang kedua, hidup benar di hadapan Allah adalah

    II.            Hidup yang menyembah hanya kepada Allah saja. (ay. 26-27)
Penjelasan
Saudara-saudara, penyembahan berkaitan erat dengan bagaimana kita menjalin relasi dengan Tuhan.  Relasi kita kepada Tuhan dapat dianalogikan seperti relasi kita dengan pasangan kita, ketika kita tidak setia dengan pasangan kita, maka bisa saja pasangan kita tiba-tiba menghukum kita dan memutuskan hubungan dengan kita sewaktu-waktu bukan?

Penjelasan
Saudara-saudara,  demikian juga dengan relasi Israel kepada Allah, ketika Israel tidak menyembah kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan, saat itulah Allah memberikan penghukuman kepada mereka. Dalam ayat 27 dapat jelas kita dapatkan apa yang Tuhan lakukan kepada Israel: “dan Aku akan membawa kamu ke dalam pembuangan jauh ke seberang Damsyik," firman TUHAN, yang nama-Nya Allah semesta alam.”  Saudara-saudara,  pembuangan sebenarnya adalah kata yang mengerikan bagi bangsa Israel, karena dibuang berarti keluar dari tanah perjanjian, tanah Kanaan, tanah yang menjadi bukti kasih setia dan perjanjian Allah bagi bangsa Israel.  Maka ketika bangsa Israel mendapati diri mereka dihukum, saat itulah menunjukkan betapa sungguh bobroknya kehidupan kerohanian mereka.  Tentu mereka merasa bahwa Tuhan sudah tidak lagi bersama mereka.  Nubuatan Amos ini pun digenapi 10 tahun kemudian ketika Raja Salmaneser III menguasai Samaria dan membuang Israel ke Asyur.  Hal ini dapat kita lihat dalam 2 Raja 17:3-6, sungguh nyatalah bahwa Israel benar-benar jatuh dan mengalami penderitaan di bawah penindasan bangsa-bangsa lain, bangsa kafir, bangsa yang bahkan tidak mengenal Tuhan.  Sungguh, Israel mengalami keterpurukan yang sangat besar.
Saudara, sesungguhnya mengapa Israel dihukum dengan hukuman yang begitu berat?  Sekali lagi, karena mereka menduakan Tuhan, Allah mereka!
Ayat 26 mencantumkan dua berhala yang terkenal di antara bangsa-bangsa yang ada di sekeliling Israel pada waktu itu. Berhala ini bernama Sakut dan Kewan.  Sakut dewa perang diantara bangsa Asyur yang juga disebut Adar, sedangkan Kewan biasanya diasosiasikan dengan Planet Saturnus.  Kedua-duanya adalah dewa orang Mesopotamia.  Ternyata jelas telah kita dapati laporan dari nabi Amos bahwa Israel telah mengambil berhala orang kafir untuk menjadi pengganti Allah!
Saudara-saudara,  sangat jelas, bahwa Israel mengingkari Perjanjian Musa yang tertulis dalam kitab Keluaran, yang menyatakan:
Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku. Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi. Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu.” 
Saudara, jelas sudah Israel menduakan Tuhan.  Israel membawa berhala di dalam kehidupan mereka.  Dan Tuhan pun menghukum mereka.  Setiap umat Allah dituntut untuk memiliki hidup yang benar, yaitu hidup yang hanya menyembah Allah saja, tidak kepada yang lainnya.
Saudara-saudara,  ketika Yesus Kristus dicobai Iblis di padang gurun, ia berkata: “Enyahlah Iblis, Sebab ada tertulis: Engkau harus menyembah Tuhan, Allahmu, dan hanya kepada Dialah sajalah engkau berbakti!”, Kristus pun amat menekankan bahwa hanya Allah saja yang patut kita sembah.

Ilustrasi
            Saudara-saudara, akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berita-berita di infotainment yang sangat banyak sekali tentang perceraian artis.  Salah satu kisah perceraian yang cukup bikin geger adalah mengenai kisah Anang dan Krisdayanti.  Bertahun-tahun rumah tangga mereka kelihatan tenang-tenang saja dan kelihatan tidak mengalami gangguan berarti.  Tetapi, ternyata menurut infotainment yang ada, Krisdayanti, katanya sampai selingkuh sebanyak 5 kali!  Kemudian hal ini pun jelas diketahui oleh anak-anaknya, sampai mereka jengkel sekali dengan Krisdayanti.
Saudara, pelantun lagu “Setia itu kini menjadi pribadi yang tidak setia.  Ia menduakan suaminya, Anang, dan ia mendapatkan ganjarannya, yaitu perceraian.  Sama seperti itu pula, jika kita menduakan Tuhan, maka Tuhan pun akan memberikan ganjaran kepada kita.  Karena itu, seharusnya kita hanya menyembah dan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan di dalam kehidupan kita.
 
Aplikasi
            Saudara-saudara,  dalam dunia ini, banyak hal yang bisa membuat kita menduakan Tuhan.  Tidak menjadikan Ia sebagai satu-satunya Allah yang kita sembah.  Harta, kedudukan, prestasi, semuanya bisa jadi sebuah berhala yang membuat Allah merasa di duakan dan cemburu kepada apa yang kita perbuat.  Adakah diantara kita yang mungkin masih menomorsatukan pekerjaan dibandingkan dengan pelayanan, atau mungkin kita lebih mementingkan keuangan kita dibandingkan dengan memberi kepada mereka yang miskin?  Saudara, berhala adalah segala sesuatu yang membuat hati kita menjauh daripada hati yang mengasihi Allah.  Apakah berhala yang mungkin hadir di dalam kehidupan saudara saat ini? Adakah sesuatu yang membuat saudara tidak lagi megutamakan Tuhan di dalam kehidupanmu? Bertobatlah, jangan sampai hal itu terus menerus terjadi, jadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan di dalam hidupmu.  Dengan itu, kita dapat menjadi penyembah yang benar, ingat, we must become the true worshipper.
Saudara-saudara,  saya akan menutup khotbah ini dengan kisah Martin Luther, seorang tokoh reformator yang merupakan sokoguru gereja protestan.  Martin Luther adalah seorang pembela kebenaran, dialah yang menempel 95 dalil di pintu gereja Wittenberg, dan menentang ketidakadilan dan ketidakbenaran Gereja Katolik Roma pada waktu itu, meskipun ancaman kematian dan ekskomunikasi didapatkannya, namun ia tak pernah takut, ia hidup sebagai seorang yang benar di hadapan Allah karena ia sangat memperhatikan keadilan dan kebenaran. 
Ketika Luther memakukan 95 dalil itu, saat itulah ia melakukan sebuah aksi peperangan.  Peperangan melawan berhala yang mewujud-rupa di dalam kemapanan otoritas gereja dan Paus.  Serta, berhala yang berupa tradisi yang mengakibatkan penyimpangan penafsiran Alkitab dan menghasilkan doktrin yang salah.  Berhala berupa surat pengampunan dosa dan relikwi-relikwi, yang dijadikan alat untuk mengantarkan manusia menuju surga.  Luther menentang itu semua, bagi Luther Allah-lah satu-satunya Tuhan, bukan Paus dan gereja yang telah merasa diri mereka sebagai Tuhan.  Luther juga hanya mengakui Alkitab sebagai satu-satunya sumber kebenaran di dalam hidupnya.  Luther adalah seorang yang hidup benar di hadapan Tuhan, Luther telah menjadi seorang penyembah yang sejati di dalam hidupnya, become the True Worshipper.  Siapkah kita menjadi Luther-Luther yang baru di masa kini?  Yang berani mereformasi kehidupan kita?  Menjadikan seluruh aspek kehidupan kita sebagai penyembahan yang sejati di hadapan Allah?  Siapkah kita menjadi the true worshipper?

Penutup
            Saudara-saudara,  penyembah yang sejati adalah mereka yang hidup benar di hadapan Allah.  Mereka yang hidup dengan memperhatikan keadilan dan kebenaran, serta mereka yang hidup dengan menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan.
Saudara-saudara,  setiap kita dipanggil menjadi umat Allah, menjadi umat Allah berarti siap untuk hidup benar di hadapan-Nya, sehingga setiap saudara bukanlah memiliki penyembahan    yang sia-sia, tetapi penyembahan yang sejati.  Mari bersama-sama belajar untuk menjadi seorang penyembah yang sejati.
            Memang, seringkali kita bisa saja terjatuh. Bisa saja kita fokus pada diri kita sendiri, melupakan kebenaran dan melupakan Tuhan.  Namun, saya percaya di dalam penyertaan Allah Roh Kudus serta dibarengi dengan pembacaan kita yang setia kepada Kitab suci, maka Allah akan memampukan kita menjadi seorang penyembah yang sejati di hadapan Tuhan.

Amin