21 Juni 2011

Khotbah Matius 27:32-44

Penghormatan Tertinggi Hanya Bagi Sang Raja

Oleh Tjia Djie Kian



Pendahuluan
       Saudara-saudara, Taj Mahal adalah nama salah satu hotel termahal di India.  Walaupun harga kamarnya mahal, tahun lalu ada penyewa yang memborong semua kamar di hotel tersebut. Dia bukan raja minyak, juga bukan Malinda Dee, tetapi pemerintah Amerika Serikat.  Mereka juga menyewa semua kamar di dua hotel mewah lain di dekatnya.  Ini dilakukan waktu Presiden Obama mengunjungi India selama dua hari sambil membawa 800 orang staf termasuk secret service, pesawat tempur, kapal perang dsb.  Biaya kunjungan dua harinya adalah 500 juta dolar.  Sunguh mahal, tetapi bagi Amerika Serikat biaya itu masih dianggap wajar karena Obama sebagai pemimpin tertinggi Amerika perlu mendapatkan keselamatan dan kenyamanan yang paling tinggi.
       Saudara, titel atau jabatan memang seharusnya membuat seseorang layak mendapatkan penghormatan yang sesuai. Tapi selain kepada mereka mereka yang bertitel, kita biasanya juga memberikan penghormatan kepada orang yang telah berjasa kepada kita terlepas dia bertitel atau tidak.  Saudarar, saya ingat waktu masih pemuda pernah menyumbang darah untuk seorang anak kecil yang menderita demam berdarah.  Saya kaget sekali waktu dua minggu kemudian dikirimin satu keranjang penuh buah-buahan segar dari orangtuanya: ucapan terima kasih karena saya ikut menolong anaknya sembuh. 
       Tetapi saudara, dari sekian banyak orang yang pernah hidup, yang sedang hidup dan yang akan hidup, sebenarnya hanya ada satu saja orang yang layak mendapatkan penghormatan tertinggi dari kita; penghormatan itu bukan hanya karena titelnya melainkan juga karena apa yang telah dilakukannya bagi kita. Orang itu adalah Yesus Kristus. Sayangnya, tidak semua orang bersedia melakukan hal ini, setidaknya itulah yang terjadi pada hari penyaliban.   

Penjelasan
       Saudara, penyaliban adalah puncak dari serangkaian penangkapan, persidangan dan penganiayaan yang dialami Yesus sejak malamnya. Setelah ditangkap di Getsemani, persidangan Yahudi menjatuhkan hukuman mati kepada Yesus.  Hukuman itu disahkan oleh persidangan Romawi yang mendapatkan tekanan dari orang Yahudi.  Yesus juga menerima berbagai penganiayaan: Dia diejek, dijadikan mainan sebagai raja gadungan, diludahi, dipukul dan dicambuk.  Dan puncaknya adalah penyaliban di Golgota. 
Alkitab tidak memberikan detail bagaimana Yesus disalib karena pembaca mula-mula sangat tahu kebrutalan penyaliban. Alkitab lebih tertarik memperlihatkan kepada kita respon orang-orang terhadap Yesus yang disalib dan respon Tuhan terhadap respon mereka. 
        Nah, Saudara, kalau kita lihat di perikop ini setidaknya ada lima kelompok orang yang memberikan respon kepada Yesus. Kelompok pertama adalah prajurit Romawi.  Mereka adalah orang-orang asing yang tidak kenal siapa Yesus.  Mereka hanya bertugas menyalibkan Dia.  Apa yang mereka lakukan kepada Yesus sebenarnya tidak istimewa karena mereka juga biasa melakukan hal yang mirip kepada orang lain yang disalib:  mereka memberi Yesus minum anggur bercampur dengan empedu yang pahit, mereka membuang undi untuk membagi baju Yesus dan duduk mengawasi-Nya, mereka memasang tulisan di atas salib dengan nada menghina: “Inilah Yesus, Raja Orang Yahudi”.  Mereka menyalibkan Yesus di antara orang-orang yang dianggap amat jahat oleh Romawi, yakni orang-orang Yahudi yang mencoba memberontak terhadap Romawi.  Semua yang mereka lakukan adalah penghinaan bagi Yesus.
        Kelompok kedua adalah orang-orang yang lewat di dekat salib.  Mereka adalah orang-orang Yahudi yang bersiap mengadakan perayaan Paskah.  Sebagian mungkin pernah melihat mukijzat yang dilakukan Yesus atau mendengarkan pengajaran Yesus.  Sebagian lagi mungkin pernah berteriak, “HOSANA!” ketika Yesus masuk ke Yerusalem sambil menaiki keledai. Mereka adalah orang-orang awam yang hanya tahu serba sedikit tentang Yesus.  Sambil menggelengkan kepala satu sama lain, mereka mengulangi begitu saja tuduhan yang dijadikan alasan pemberian hukuman mati bagi Yesus oleh pengadilan Yahudi.  Logika mereka sederhana: kalau memang Yesus mengklaim Dia adalah Anak Allah, yang punya hubungan erat dengan Allah, Dia pasti bisa turun dari salib.  Jadi kalau Allah tidak menyelamatkan-Nya, maka klaim-Nya pasti palsu.
       Kelompok ketiga adalah para pemimpin agama Yahudi yang sangat memahami ajaran kitab suci dan selalu menentang Yesus.  Kefasihan teologi mereka ditunjukkan melalui tiga rangkaian ejekan yang dilontarkan tentang Yesus: (1) Dia menyelamatkan orang lain, ayo selamatkan diri sendiri! (2) Dia adalah Raja Israel, ayo turun dari salib! (3) Dia menaruh kepercayaan kepada Allah, biarkan Allah membebaskan Dia! Dengan ketajaman teologinya mereka mengejek identitas sejati Yesus. 
       Kelompok keempat adalah para pemberontak yang ikut disalibkan.  Orang-orang yang sedang tersiksa dan hampir mati itu juga menghina Yesus seperti orang-orang lain! 
       Kelompok kelima seharusnya hadir membela Yesus, namun mereka absen.  Mereka adalah murid-murid-Nya yang telah bersama-sama dengan Yesus selama tiga tahun lebih.  Seharusnya mereka lebih mengenal Yesus dibandingkan orang-orang lain, mengetahui nubuat-Nya tentang penderitaan yang harus dialami, melihat kuasa-Nya dan mendengar pengajaran-Nya.  Tetapi pagi itu mereka tidak kelihatan sehingga Yesus harus terseok-seok memikul salib-Nya menuju ke Golgota.  Tidak ada Simon Petrus yang pernah mengakui titel Yesus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah Yang Hidup!” sehingga perlu seorang Simon lain dari Kirene yang baru hari itu muncul untuk memikul salib Yesus. Ketidakhadiran mereka berarti mereka tidak menganggap Yesus sebagai Raja yang layak dihormati dan dilindungi. 
       Saudara, kepada kita diperlihatkan semua orang yang menolak dan menghina Yesus: orang Yahudi dan bukan Yahudi, ahli teologia maupun orang awam, sang penjajah maupun yang dijajah bahkan yang melawan penjajah, orang sehat maupun yang hampir mati, orang yang tidak tahu apa-apa tentang Dia dan yang telah hidup bersama-Nya selama tiga tahun. Penolakan mereka mewakili penolakan seluruh manusia terhadap Sang Juruselamat, penolakan yang selalu dihadapi-Nya selama ini dan menjadi puncak penolakan terhadap Yesus selama ini. 
       Saudara, dengan siapakah diri kita bisa disamakan? Kita yang disini mungkin tidak mirip dengan para prajurit Romawi atau orang-orang biasa apalagi dengan para pemberontak. Kalau mau dicocokkan, kita mungkin lebih mirip dengan para ahli agama karena kita tahu banyak tentang kitab suci atau bahkan mungkin lebih mirip dengan para murid yang setiap hari hidup dekat dengan Tuhan. Tapi seharusnya sikap kita terhadap Yesus lebih baik dari mereka, karena kita tahu kisah Paskah dan akhir cerita dari semuanya. Tapi, apakah pasti benar demikian? 

Ilustrasi
       Waktu terjadi kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, anak pertama saya, baru 5 bulan.  Ketika penjarahan mulai terjadi di dekat rumah, saya dan isteri mulai panik.  Kami menyiapkan koper besar untuk mengangkut barang-barang penting jika keadaan mendesak.  Saya menitipkan beberapa kaleng susu bayi ke rumah tetangga yang diperkirakan aman dari jarahan karena saya tidak tahu berapa lama dan berapa parah kerusuhan akan berlangsung.  Namun kami tidak bisa pergi malam itu karena ada kerumunan massa dimana-mana.  Sepanjang malam saya berjaga bersama orang-orang satu kompleks sambil mendengarkan berita mencekam dari radio dan membawa besi panjang yang runcing.  Dalam pikiran saya, massa dari luar boleh menjarah barang-barang, tetapi saya akan melindungi isteri dan anak saya sampai titik darah penghabisan. Tapi, bersyukurlah hal itu tidak pernah terjadi. 
       Beberapa hari kemudian kondisi mereda dan ketika saya merenungkan peristiwa malam itu, saya ditegur keras oleh Tuhan dan sungguh merasa terpukul.  Saya diingatkan betapa sepanjang malam itu saya begitu sedikit bergantung kepada Allah. Saya dan isteri hanya satu kali berdoa bersama. Saya kehilangan perspektif akan Allah pada saat krisis itu dan lebih bergantung kepada tongkat besi yang runcing dalam genggaman saya.  Saat itu saya tidak berbeda dengan orang lain yang tidak mengenal Allah yang hidup, padahal saya tahu tentang Dia, apalagi saya adalah pembina remaja pada waktu itu, tetapi dalam praktek saya gagal mengakui Dia sebagai Tuhan yang berkuasa.  Saya juga tidak mengarahkan orang lain untuk bersandar kepada Dia.  Saya tidak ada bedanya dengan murid-murid Yesus pada waktu malam penyaliban.
       Saudara, secara verbal dan logika mungkin kita tidak menolak Dia; tidak sulit bagi kita untuk menyatakan bahwa Yesus adalah Raja di atas segala raja yang layak diagungkan. Akan tetapi dalam prakteknya bukan tidak mungkin kita menjadikan sumber daya kita sendiri sebagai tuhan menggantikan Dia. Barangkali sebagian dari kita yang memiliki kemampuan akademik tinggi kurang merasa perlu untuk sungguh-sungguh meminta pertolongan Tuhan pada waktu mengerjakan tugas. Mungkin kita sudah sering berkhotbah dan melayani sehingga tidak merasakan kebutuhan bergantung kepada Dia. Mungkin juga kita menghadapi masalah yang demikian berat sampai kita tidak lagi yakin Tuhan berkuasa menolong dan kita malah berpaling dari Dia.
Saudara, dunia selalu menawarkan tuhan-tuhan alternatif, apakah itu kemampuan diri, uang, kesuksesan, sehingga kita tidak dapat lagi mengandalkan Tuhan yang benar.  Seharusnya tidak demikian, bukan? Seharusnya kita tidak hanya mengakui titel Yesus sebagai Tuhan dan Raja tetapi benar-benar menjadikan Dia sebagai Tuhan dan Raja yang menguasai SETIAP aspek kehidupan kita.  Itulah penghormatan kita kepada Dia. 
       Namun saudara, penghormatan kita kepada Dia bukan hanya karena siapa Dia, tetapi juga karena apa yang telah dilakukan-Nya untuk kita.  Firman Tuhan tidak mencatat peristiwa-peristiwa penyaliban begitu saja tetapi menyajikannya sedemikian rupa untuk memperlihatkan bahwa semua perlakuan yang diterima oleh Yesus sesungguhnya menggenapi Firman Tuhan di Perjanjian Lama dan menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh Raja dan Anak Allah yang mengasihi orang berdosa.  Beberapa contoh:
       Pertama, pemberian anggur campur empedu oleh prajurit dan ejekan imam tentang Yesus yang menaruh harapan-Nya pada Allah mengacu  kepada Mazmur 69, suatu mazmur yang menggambarkan orang benar yang menderita.  Undian untuk membagi pakaian Yesus, penjagaan terhadap Yesus dan lewatnya orang-orang sambil menggelengkan kepala mengacu kepada Mazmur 22, suatu mazmur yang menggambarkan penderitaan orang benar yang dibuang oleh manusia dan merasa dibuang pula oleh Allah. Jadi Firman Tuhan memberitahu kita: semua yang terjadi sudah dinubuatkan dan Yesus adalah orang benar yang mengalami ketidakadilan.
       Kedua, tindakan prajurit yang menyalibkan Yesus di antara dua pemberontak adalah penggenapan Yesaya 53 yang berbicara tentang Hamba Yang Menderita dan menunjukkan Yesuslah hamba itu.
Ketiga, kata “inilah” pada tulisan “inilah Yesus, raja orang Yahudi” di kayu salib, ditaruh sebagai kata pertama sehingga alasan penyaliban dijadikan proklamasi bahwa memang Yesus adalah Raja Orang Yahudi.
Keempat, kata-kata ejekan tentang identitas Yesus yang diucapkan baik oleh orang-orang yang lewat maupun para ahli agama menjadi suatu proklamasi tentang identitas Yesus yang sesungguhnya: Dialah Sang Penyelamat, Dialah Raja Orang Israel, Dia Orang yang menaruh kepercayaan kepada Allah.
Dengan demikian semua klaim identitas Yesus yang menjadi bahan ejekan oleh orang-orang justru ditunjukkan sebagai klaim yang benar.  Yesus memang orang benar yang menderita; Yesus benar-benar Raja, Anak Allah, Juruselamat dan seharusnya Dia tidak dihina, tetapi diagungkan.      
       Saudara, implikasi kebenaran ini sungguh besar: jika Dia benar-benar Raja dan Anak Allah, sungguh luar biasa bahwa Dia bersedia menanggung semua hinaan itu di kayu salib.  Jika pemimpin negara dihina, penghinanya minimal masuk penjara dan di beberapa negara akan lenyap.  Tetapi Yesus jauh lebih tinggi dari pemimpin negara mana pun sementara penghinaan yang diterima-Nya begitu dahsyat.  Disini Firman Tuhan mengajak kita untuk tidak hanya melihat identitas Yesus yang sesungguhnya tetapi juga untuk melihat kasih Yesus. 
       Saudara, kita tentu tidak akan bisa menyelami perasaan Yesus Sang Raja dan Anak Allah itu ketika Dia dihina sedemikian rupa. Tetapi Firman Tuhan mencatat bahwa Dia diam seribu bahasa dan terus menanggung hinaan itu.  Dalam penderitaan yang begitu hebat, godaan untuk lepas dari semua itu pastilah berat.  Pencobaan di akhir pelayanan untuk menunjukkan kekuasaan-Nya lebih berat daripada pencobaan-Nya di padang gurun di awal pelayanan-Nya. Namun di Taman Getsemani, Dia telah memutuskan untuk meminum cawan pahit itu.  Dia tidak turun dari salib, Dia menderita dan justru karena itulah Dia menunjukkan bahwa Dialah Mesias sejati, Mesias yang harus menderita.  Dia taat pada kehendak Bapa dalam misi untuk menyelamatkan saudara dan saya.  Inilah kasih-Nya kepada kita. 

Ilustrasi
       Saudara, 65 tahun yang lalu, di sebuah laboratorium nuklir di Los Alamos ada 8 orang ilmuwan yang sedang melakukan eksperimen untuk meledakkan bom atom.  Salah satunya bernama Louis Slotin yang berusia 35 tahun.  Ia sedang mengadakan percobaan menentukan massa kritis uranium yang dapat memicu suatu reaksi nuklir.  Caranya adalah dengan mendekatkan dua belahan setengah bola yang di dalamnya ada uranium dan menahannya dengan obeng. Sesaat sebelum massanya menjadi kritis, ia akan menarik kedua belahan itu sehingga menghentikan reaksi berantai uranium.  Sudah berulangkali dia melakukan eksperimennya dengan sukses.  Hari itu, obengnya jatuh pada waktu dia mendekatkan kedua belahan padahal massa kritis telah terjadi sehingga muncul radiasi kuat.  Dengan refleks dia menarik belahan yang atas dan melemparkannya ke bawah dan radiasi berhenti.  Tindakannya menyelamatkan tujuh orang lainnya tetapi dia sendiri meninggal 9 hari kemudian karena telah terpapar radiasi empat kali batas radiasi yang mematikan. Apa yang dilakukannya menjadikan dia pahlawan di mata pemerintah Amerika Serikat karena dianggap telah menyelamatkan nyawa 7 orang rekannya.
       Saudara, sekalipun tindakan Louis luar biasa, tetapi tidak dapat dibandingkan dengan tindakan yang dilakukan Yesus.  Kesediaan Yesus untuk menderita bukan suatu refleks mendadak atau tak berdaya, tetapi dengan kesadaran penuh.  Bukan hanya itu, Yesus bersedia menderita bukan untuk menyelamatkan orang-orang baik tetapi untuk menyelamatkan orang-orang berdosa yang telah memusuhi-Nya, menyalibkan-Nya, meninggalkankan-Nya. Roma 5:8 menyebutkan: “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa.”  

Aplikasi
       Saudara, menyadari semua ini, tidakkah hati kita dipenuhi oleh rasa takjub dan ucapan syukur yang meluap-luap oleh karena kasih-Nya yang begitu besar bagi kita?  Kita yang adalah para pendosa, yang dulunya sama seperti orang-orang yang telah menolak Dia, telah diselamatkan dan diangkat menjadi anak-anak Allah. Inilah kasih terbesar, bahwa Anak Allah telah berinkarnasi dan dalam ketaatan kepada Bapa, menderita untuk menyelamatkan kita.  Sulit sekali ini diungkapkan dengan kata-kata, tetapi fakta ini harus terus men-drive kita dalam hidup sebagai orang Kristen. 
Memang kita tidak akan berhenti disini.  Kita pasti ingin membagikan kasih itu juga kepada orang lain, membawa mereka mengenal Yesus.  Kita juga harus meneladani Yesus, misalnya dalam mengasihi orang-orang yang telah menyakiti kita, orang tua yang telah mengabaikan kita, orang-orang yang telah merusak gereja kita.  Itu semua harus kita lakukan, akan tetapi jikalau kita tidak selalu kembali kepada apa yang mendorong kita melakukan semuanya, yaitu kasih dari Golgota, maka kita tidak dapat melakukan itu semua atau melakukannya dengan cara dan motivasi yang keliru.
       Saudara, tidak sedikit hamba Tuhan yang jatuh dalam peninggian diri sendiri, mengejar ilah kesuksesan, hatinya begitu keras untuk mengasihi jemaat dan lebih mengasihi program.  Mungkinkah itu karena bagi mereka karya Kristus di salib menjadi suatu teori atau khotbah yang sekedar diulang-ulang dari tahun ke tahun, dari khotbah ke khotbah.  Mungkinkah mereka tidak lagi menemukan luapan syukur dan ketakjuban kepada apa yang Allah lakukan di salib?
       Bagaimanakah dengan Saudara dan saya hari ini?  Sebagai orang-orang yang telah mendapat anugerah Allah, yang dilimpah dengan berkat dan kemurahan Allah, yang telah mendengarkan khotbah ratusan bahkan ribuan kali, masih adakah luapan hati yang bersyukur atas apa yang Tuhan lakukan kepada kita pendosa yang dikasihani?  Atau apakah semua itu malahan telah menumpulkan perasaan saudara dan saya?

Penutup
Memasuki Jumat Agung ini, marilah kita memohon agar Tuhan sekali lagi dan bahkan terus menerus sesudah masa sengsara ini lewat, menggugah hati kita untuk mengagumi dan bersyukur atas kasih karunia Tuhan yang luar biasa ini, supaya Tuhan terus mengisi pikiran kita dengan kemuliaan salib, menjadikan Dia Raja dan Tuhan dalam hati, kehidupan dan pelayanan kita dan berdoa supaya ada lebih banyak orang yang akan memuliakan Dia sebagai Tuhan dan Raja melalui kita. 

Amin

Khotbah Yakobus 3:13-18

True Wisdom leads to Peaceful Living

Oleh Tjia Djie Kian



Pendahuluan
Saudara-saudara, di masa lampau hiduplah seseorang yang bernama Zhao Guo di Tiongkok.  Dia anak seorang jenderal terkenal di kerajaan Zhao.  Sejak kecil, Zhao Guo sangat senang belajar strategi militer.  Ia sering berdiskusi dengan para jenderal tentang strategi perang.
Suatu kali ada perang antara kerajaan Zhao dengan Qin, Mereka memperebutkan kota Shangdang.  Peperangan berjalan alot meskipun sudah empat bulan.  Lalu muncul desas-desus bahwa jenderal Qin sebenarnya sangat takut kepada Zhao Guo karena dikenal memiliki pengetahuan militer yang luas. Mendengar ini, raja kerajaan Zhao mengirim Zhao Guo untuk mengambil alih pimpinan perang di Shangdang.  Sayangnya, Zhao Guo tidak pernah memimpin pasukan apapun.  Ketika terjun ke pertempuran sesungguhnya, dia bingung mau menerapkan teori yang mana dari sekian banyak teori yang dia miliki.  Mungkin waktu musuh mulai menembakkan panah dan memanjat tembok kota, dia masih sibuk melihat daftar isi dari buku strategi perangnya untuk memilih strategi yang tepat.  Karena itu tidak heran bahwa dengan mudah kota Shangdang berhasil direbut oleh Qin dan  Zhao Guo tewas tertembus panah. Sangat menyedihkan, llmunya yang banyak ternyata tidak bisa diterapkan. 
Saudara, hal semacam ini bisa saja terjadi dalam kehidupan kita, bukan?  Kalau kita membaca buku tentang cara menggoreng nasi, tidak berarti kita bisa membuat nasi goreng yang yummy seperti di Yasmine.  Kalau kita selesai membaca buku tentang bermain pingpong, tidak berarti kita langsung bisa melakukan smash dan masuk; kalau smash dan keluar ya.. semua juga bisa. Begitu juga kalau kita tahu bagaimana membina hubungan yang baik dengan sesama, tidak berarti kita mampu melakukannya dengan benar.  Pengetahuan tidak dengan sendirinya membawa kita pada tindakan yang benar.  Untuk bisa bertindak benar, kita butuh yang lebih dari pengetahuan, yakni HIKMAT; tentu saja bukan sembarang hikmat, tetapi hikmat yang benar.  Firman Tuhan yang kita baca mengajarkan bahwa hikmat yang benar harus terwujud dalam kehidupan yang benar, khususnya melalui relasi damai di dalam komunitas orang percaya.  

Penjelasan
Mari kita menggali perikop yang kita baca tadi untuk memahami seperti apakah orang-orang pada waktu itu mengerti hikmat?  Saudara, sebagian filsuf Yunani pada masa itu memandang hikmat sebagai kemampuan intelektual atau pengetahuan akan rahasia ilahi yang tidak dimiliki orang banyak.  Sebagian lagi merasa cukup memiliki hikmat dan tidak peduli dengan kehidupan yang bermoral.  Pandangan ini bertolak belakang dengan Perjanjian Lama.  Amsal 5:10 mengatakan bahwa permulaan hikmat ialah takut akan Tuhan.  Hikmat memungkinkan kita mengetahui hal yang benar sehingga kita dapat memilih jalan yang benar.  Hal ini juga yang diajarkan oleh Yakobus.  Di perikop-perikop sebelumnya ia mengajarkan bahwa iman dan pengetahuan kita harus terwujud lewat tindakan.  Yakobus bilang, “Kamu punya iman? Tunjukin dong dengan perbuatan.” Perbuatan yang seperti apa? “Hati-hati berbicara! Kunjungi janda-janda miskin! Jangan membedakan orang kaya dengan orang miskin! Jangan takut dengan penderitaan!”    
Nah, di dalam perikop ini Yakobus membandingkan ciri-ciri, asal, dan hasil dari dua macam hikmat. Yang pertama adalah hikmat yang tidak benar yang dijelaskan di ayat 14-16.  Hikmat ini memiliki ciri: iri hati dan mementingkan diri sendiri.  Kata “iri hati” atau bitter zeal memperlihatkan semangat yang menyala-nyala untuk melakukan sesuatu yang belum tentu salah namun dilakukan dengan sikap bermusuhan terhadap pihak yang berbeda pendapat.  Adapun istilah “mementingkan diri sendiri” menunjukkan bahwa sikap “iri hati” tadi muncul terutama untuk kepentingan sendiri dan tidak peduli dengan pihak lain  dalam komunitas.  Disini Yakobus tidak menyinggung benar salahnya hal yang dilakukan, tetapi soal sikap ketika melakukannya.    
Apakah yang melakukannya seorang pengajar atau seorang pemimpin atau orang Kristen biasa, dan apapun yang diperjuangkan, jika dilakukan dengan semangat permusuhan terhadap pihak lain dan untuk kepentingan sendiri, HASIL-nya adalah tindakan-tindakan yang buruk dan sebuah komunitas yang kacau.  Firman Tuhan bilang bahwa yang seperti ini tidak datang dari hikmat yang benar dari Allah tetapi dari dunia dan nafsu manusia, bahkan dari Iblis.

Ilustrasi 1
Saudara-saudara, inilah yang terjadi sekitar sebulan yang lalu di Sentani, Papua.  Majalah Tempo memberitakan bahwa Gereja Kristen Indonesia di Sentani menuntut agar Gereja Pantekosta di Indonesia yang terletak di seberangnya ditutup.  GKI bahkan menyegel GpdI dan meminta bantuan polisi untuk menyelesaikan masalah ini.  Yang lebih parah: pemuda dari kedua gereja sempat berkelahi.  Apa sih masalahnya?  Masalahnya ternyata ini: GpdI membaptis ulang jemaat GKI yang pindah ke GpdI, suatu hal yang tidak bisa diterima secara doktrinal oleh GKI.  Namun terlepas dari salah benarnya tindakan GpdI, kelihatan sekali sikap mau menang sendiri dari kedua belah pihak – masing2 bersikukuh dengan doktrinnya sendiri, rasa iri hati – mungkin karena jemaatnya diambil gereja lain, tidak peduli – biar pun tahu seharusnya tidak seperti ini, tidak sensitif – melakukannya meskipun sudah ada keberatan dan semangat permusuhan – tidak dapat lagi berbicara berdua, harus dengan pihak ketiga.  Sungguh disayangkan, karena bukankah seharusnya gereja bersatu di tanah Papua untuk lebih banyak memenangkan jiwa-jiwa yang dalam kegelapan?    Saudara, ini adalah contoh perwujudan hikmat yang tidak benar dalam hidup komunitas kristiani.  Orang-orang yang tampaknya mengetahui kebenaran telah mempermalukan nama Tuhan dengan tindakan mereka. 
Apa yang terjadi di Papua sangat berbeda dengan Firman Tuhan di ayat 17 yang melukiskan hikmat yang benar, “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya pendamai, peramah, penurut, penuh belas kasihan dan buah-buah yang baik, tidak memihak dan tidak munafik.”  Hikmat ini memiliki ciri kesediaan untuk mengalah, menaruh belas kasihan, tidak memihak dan membawa damai. Ciri-cirinya berbeda dengan ciri hikmat yang tidak benar yang penuh dengan iri hati dan mementingkan diri sendiri.  Istilah-istilah yang dipakai di ayat 17 erat hubungannya dengan bagaimana orang percaya harus hidup dalam sebuah komunitas, bukan hanya dalam hubungan dengan Allah.  Orang percaya bukan saja harus menjauhkan diri dari perselisihan tetapi juga aktif menjadi pendamai di dalam komunitas.  HASIL-nya sudah barang tentu adalah kedamaian dalam komunitas yang dipenuhi orang seperti ini, damai bukan hanya karena tidak ada perselisihan tapi juga adanya hubungan yang benar antara satu orang dengan yang lain, dipenuhi dengan kejujuran, kebajikan dan kebenaran. 
Yakobus mengatakan bahwa hikmat seperti ini berasal dari Allah.  Ini muncul dari suatu hubungan yang akrab dengan Allah ketika Roh Kudus mengubah kita setiap hari menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus.  Banyak penafsir yang melihat kesejajaran bagian ini dengan daftar buah Roh yang ada di Galatia pasal 5 ayat 22.  Apa yang bagi Paulus adalah buah Roh Kudus, bagi Yakobus adalah perwujudan dari hikmat yang dari Allah.      
Saudara, bukankah ini yang dilakukan oleh Kristus, yang adalah Hikmat Allah? Bukankah Dia datang untuk mendamaikan manusia berdosa dengan Allah, dan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain (Kol. 1:20-22) sehingga terbentuk komunitas anak-anak Allah yang saling menerima, saling mengasihi, hidup dalam kedamaian.

Ilustrasi 2
Saudara-saudara, ada seorang pendeta di Amerika yang menceritakan pengalamannya menjadi pembawa damai.  Ada seorang kristen bernama John yang dihukum penjara lima tahun karena dia melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak termasuk anak perempuannya sendiri.  Selama di penjara, gerejanya secara teratur mendoakan dan membina John. Masalah timbul ketika John mendekati masa pembebasannya.  Dia ternyata ingin kembali ke gerejanya. Saudara dapat bayangkan perasaan Saudara kalau seseorang yang senang melakukan pelecehan seksual ada di tengah-tengah kita, tentu ada perasaan tidak nyaman dan tidak aman.  Perasaan itulah yang ada di tengah jemaat tersebut. Jemaat dengan cepat terpecah antara kelompok yang setuju menerima kembali John dengan alasan bahwa Allah sudah mengampuninya dan kelompok yang menolak karena khawatir keamanan anak-anak gadis mereka.  Kedua kelompok saling mengancam untuk keluar dari gereja, jika pendapat mereka tidak dituruti. 
Pendetanya pusing sekali, apalagi dia pendeta baru di gereja itu.  Bersyukur dia mengerti teks ini. Maka dia bersama-sama majelis bergumul untuk mencari tahu apa yang dikatakan Alkitab tentang hal ini, mendengarkan pendapat kedua pihak, mendiskusikan bagaimana prinsip Alkitab dapat diterapkan jika gereja menerima John kembali. 
Meskipun pergumulannya sulit, bersyukur bahwa kedua pihak tidak mempertahankan pendapat masing-masing atau saling bermusuhan melainkan bergumul dengan Tuhan untuk mencari solusi kreatif dan mempertahankan kesatuan gereja.  Mereka akhirnya sepakat bahwa John tidak boleh ditolak untuk kembali ke gereja. Yang penting dibuat aturan, bekerja sama dengan penegak hukum, supaya John selalu dalam pengawasan majelis, tidak diperbolehkan sendirian dengan anak-anak, dijauhkan dari sumber godaan seksual dan diberikan dukungan pastoral secara penuh. 
Saudara, itulah contoh bagaimana pengetahuan akan Firman Tuhan, psikologi, hukum yang digabungkan dengan usaha sungguh-sungguh untuk meminta hikmat Allah terwujud melalui tindakan yang penuh belas kasihan, yang bersedia mendengarkan dan tidak memaksakan pendapat sendiri. Hasilnya adalah kedamaian dalam jemaat.  Mereka juga memberikan kesaksian yang baik kepada para penegak hukum di kota tersebut; sangat berbeda dengan kasus di Sentani. 

Aplikasi
Saudara, dalam rapat-rapat gereja khususnya dalam memutuskan suatu program atau mencari solusi suatu masalah seringkali terjadi argumentasi yang ketat.  Tentu tidak ada yang salah dengan berargumentasi bahkan itu perlu.  Namun kita perlu berhati-hati agar tidak mengembangkan aspek argumentatif terlalu jauh sehingga mendominasi cara kita berelasi.  Kita perlu berhati-hati agar tidak mudah bersikeras dengan pendapat kita pada waktu membicarakan suatu program atau isu tertentu.  Kita perlu lebih lembut dan bersedia mendengarkan pendapat orang lain yang mungkin melihat dari sudut yang belum kita lihat. Begitu juga dalam mendiskusikan suatu perbedaan dalam doktrin.  Kita perlu meminta hikmat Allah agar kita tidak tersinggung ketika ada pihak yang menyerang pandangan kita, atau juga sebaliknya.   Semua pengetahuan doktirn yang ditumpuk di kepala, seharusnya terwujud dalam kehidupan dan membuat kita semakin bisa menerima perbedaan di antara kita dengan hati yang lega. Ini memang bukan hal yang mudah  karena kecenderungan kita untuk bersikap egois dan mementingkan diri sendiri.

Penutup
Meskipun demikian, Saudara, hikmat yang benar harus terwujud dalam kehidupan yang benar, khususnya melalui relasi damai di dalam komunitas orang percaya.  Karena itu, marilah kita memohon agar Allah terus mengalirkan hikmat melalui hidup kita, melembutkan dan merendahkan hati kita, memenuhi hati kita dengan belas kasihan sehingga kita dapat menghadirkan damai dalam komunitas kita sehingga kata-kata Tuhan Yesus dalam khotbah di bukit, “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” sungguh terwujud dalam hidup kita, bagi kemuliaan Allah. 

Amin

20 Juni 2011

Khotbah Yohanes 6:1-15

Oleh Tjia Djie Kian

Kenallah Pribadi-Nya melalui Karya-Nya



Pendahuluan
Saudara, waktu SMA saya memiliki seorang sahabat dekat.  Saya sering berdiskusi dengannya dan main ke rumahnya.  Kalaupun ada masalah, itu karena dia seorang gadis.  Nah, seperti bisa diduga, kedekatan kami lama kelamaan menimbulkan “feeling” di hati saya kepadanya dan dari sikapnya, saya pikir dia juga menaruh feeling yang sama kepada saya.  Maka suatu hari saya “tembak” dia.  Saya mengirim surat cinta kepada dia. Suatu siang dia menghampiri saya sendirian dan bilang begini, “Djie Kian, gue mau kasih tahu elu ya, gue ngga suka elu nulis-nulis kaya gitu” lalu dia berbalik pergi.  Uwah… saya hanya bisa melongo, entah di mana muka saya waktu itu.  Saya ternyata salah menafsirkan sikap baiknya kepada saya.  Perasaan saya dan perasaan dia ternyata tidak sama. 
Seperti cuplikan nostalgia masa SMA tadi, kita juga bisa keliru menafsirkan tindakan orang lain terhadap kita. Lebih jauh lagi, kita juga bisa keliru dalam menafsirkan tindakan atau karya Tuhan dalam hidup kita sehingga gambaran kita tentang Allah berbeda dengan gambaran yang diberikan oleh Alkitab. Ini tentu tidak benar. Tindakan atu karya Allah yang dikerjakan dalam hidup kita perlu kita tafsirkan dengan benar sehingga  membawa kita pada pengenalan yang benar akan Dia.

Sayangnya hal ini tidak selalu terjadi dan Firman Tuhan yang kita baca juga memperlihatkan bagaimana orang banyak keliru menafsirkan karya Kristus. 
Dikatakan tadi bahwa banyak orang berbondong-bondong mengikuti Tuhan Yesus.  Kata kerja “mengikuti” dan “melihat” yang dipakai di bagian ini menunjukkan bahwa bukan sekali ini saja mereka mengikuti Yesus.  Sebelum-sebelumnya, mereka juga sudah sering mengikuti Yesus kemana pun Dia pergi.  Alkitab mengatakan pendorongnya adalah berbagai mukjizat yang dilakukan Yesus, termasuk penyembuhan yang dilakukan di kolam Betesda di pasal sebelumnya.  Mereka yang ikut mungkin ada yang ingin disembuhkan, ada yang ingin tahu apa benar Yesus bisa melakukan mukjizat seperti yang diceritakan orang, yang lain mungkin sekedar ingin menonton tindakan Yesus.  Apapun alasannya, mereka tertarik melihat apa yang Yesus kerjakan. 
Suadara, ini bukan fenomena zaman dahulu saja.  Kita ingat  beberapa tahun yang lalu  ada dukun cilik Ponari dari Jombang yang katanya bisa menyembuhkan orang dengan batu bertuahnya.  Ribuan orang datang dengan motivasi mirip, entah mencari kesembuhan atau sekedar melihat hal yang spektakuler.    
Orang Kristen tidak kebal dari hal semacam ini.  Berapa banyak orang datang berbondong-bondong menghadiri KKR kesembuhan Benny Hinn beberapa tahun yang lalu dan berapa banyak orang yang senang pergi dari satu KKR ke KKR lain untuk mencari dan menyaksikan berbagai mukjizat kesembuhan dan keajaiban lainnya? Intinya, orang memang tertarik pada hal-hal yang spektakuler, apalagi kalau bermanfaat bagi dirinya.
Saudara, apakah motivasi kita mirip dengan orang banyak itu dalam mengikut Yesus? Motivasi kita mengikut Yesus tentu bukan hanya untuk mencari mukjizat-Nya yang bermanfaat bagi kita.  Namun apakah ini berarti kita tidak boleh mengharapkan berkat atau mukjizat dari Tuhan?  Tentu saja boleh, karena Dia adalah Allah yang Mahakuasa dan mengasihi kita.  Hanya persoalannya adalah berkat seperti apa yang kita harapkan dari Tuhan, apakah yang sesuai dengan keinginan kita atau keinginan Tuhan? 
Saudara, orang-orang yang datang pada waktu itu berharap menyaksikan mukjizat kesembuhan dari Yesus dan mereka mendapatkannya.  Namun hari itu mereka mendapatkan pengalaman yang melampaui harapan mereka karena Yesus berinisiatif membuka mata mereka akan kuasa-Nya yang luar biasa.
Hal itu terjadi ketika hari sudah menjelang malam.  Yesus melihat masih ada ribuan orang mengerumuninya, termasuk anak-anak, ibu-ibu dan orang tua.  Belas kasihan-Nya timbul sehingga Dia bertanya kepada murid-murid-Nya bagaimana mereka semua diberi makan.  Nah, sekarang murid-murid-Nya bingung.  Di situ tidak ada warung.  Kalaupun ada warung, uang dua ratus dinar pun tidak akan cukup meskipun itu jumlah yang cukup besar dan merupakan upah pekerja selama 8 bulan.  Dan mereka tidak punya uang sebanyak itu.  Pada saat itulah Andreas menuntun seorang anak yang membawa lima roti dan dua ikan asin kecil.  Halah! Makanan macam apa itu?? Makanan yang bisa saya habiskan sendiri dalam 5 menit tidak ada artinya buat ribuan orang itu.  Mustahil mereka semua diberi makan, mungkin lebih baik orang banyak itu disuruh pulang saja….
Eh, tapi tunggu dulu! Yesus berkata, “Suruhlah orang-orang itu duduk.”  Lalu Dia mengambil lima roti dan dua ikan tadi, mengucap syukur lalu mulai membagikan roti dan ikan tersebut.  Satu.. dua.. tiga.. dan terus… dan terus… dan murid-murid tidak sempat berpikir banyak; mereka segera membagikan roti dan ikan yang terus muncul kepada semua orang yang ada.. mereka semua makan dengan lahap, sampai kenyang dan puas, sedemikian kenyangnya sehingga ketika sisa makanan dikumpulkan, masih ada dua belas bakul besar berisi roti.  Sungguh luar biasa!!  Lima roti dan dua ikan yang tidak bisa mengenyangkan lima orang, sekarang telah mengenyangkan 5000 orang laki-laki dan ribuan wanita serta anak-anak. Ooo…Betapa berlimpahnya pemberian itu!
Saudara-saudara, melalui mukjizat ini Yesus menunjukkan betapa besar kuasa dan kasih-Nya.  Kuasa-Nya jauh lebih besar daripada yang bisa dilakukan manusia, karena kuasa-Nya adalah kuasa Allah sendiri.  Dan mukjizat ini dilakukan Yesus sesuai dengan rencana-Nya sendiri, bukan berdasarkan keinginan orang banyak. 
Saudara, dalam sejarah manusia selalu ada orang yang mengklaim dirinya seperti Tuhan.  Sri Sathya Sai Baba adalah salah satunya.  Ia orang India berusia 82 tahun yang dari jauh mirip dengan Budi Anduk namun rambutnya lebih tebal dan mengembang.  Dia memiliki pengaruh spiritual besar kepada para pemimpin India selama 30 tahun terakhir.  Ada jutaan pengikutnya di 130 negara.  Dia mengajarkan pembaharuan rohani, kebajikan dan kebenaran. Para pengikutnya menganggap dia Tuhan.  Dia sendiri mengklaim telah menciptakan alam semesta. Salah satu mukjizatnya yang terkenal adalah “kemampuannya menciptakan” benda-benda yang tadinya tidak ada seperti mengubah debu biasa  menjadi debu emas.  Luar biasa, bukan? 
Sayangnya sejak beberapa tahun terakhir, muncul banyak informasi bahwa “mukjizat” nya dilakukan dengan  penipuan.  Sebuah video yang ditayangkan TV Denmark memperlihatkan bagaimana jari-jarinya menjepit semacam pil yang ditekannya ketika akan melakukan “mukjizat”.  “Pes… mungkin seperti itu ya..” Bukan hanya itu, beberapa kali dia harus menghadapi tuduhan akan pelecehan seksual terhadap pria-pria muda bahkan pembunuhan.  Penipuan atas “mukjizatnya” menunjukkan dia tidak mahakuasa dan pelecehan seksualnya menunjukkan dia tidak sungguh-sungguh mengasihi manusia. 
Saudara, kepada siapakah kita berpaling ketika kita menghadapi masalah dan kita membutuhkan jalan keluar? Apakah kita mencari ketenangan pada orang seperti Sai Baba?  Atau melalui meditasi-meditasi yang belakangan marak? Atau kita pergi kepada orang-orang “pintar”, termasuk yang memakai jubah keagamaan?  Jangan pernah datang kepada mereka, Saudara.  Datanglah kepada Yesus karena Dia telah menunjukkan bahwa Dialah Allah yang berkuasa dan mengasihi kita dan Dia sanggup memberikan kita jalan pelepasan. 
Namun, jika kita sudah merasakan kuasa dan kasih Yesus yang menolong kita, apa pandangan kita terhadap Diri-Nya?
Saudara, saat itu bangsa Israel menderita dalam penjajahan Romawi.  Mereka rindu kembalinya kejayaan Israel seperti di zaman Daud dan Salomo.  Banyak pengharapan akan munculnya Sang Pembebas Israel yang akan melepaskan Israel dari penjajahan politik sebagaimana dinubuatkan nabi-nabi.
Karena itu, kita tidak perlu heran bahwa sebagian dari orang-orang yang telah kenyang itu mulai ngomong-ngomong, “Barangkali Dialah Pembebas kita”.  Jika Dia dapat mengubah lima roti dan dua ikan kecil menjadi makanan yang mengenyangkan beribu-ribu orang, tentu mudah sekali bagi Dia untuk membentuk suatu pasukan yang kuat, mungkin dengan yang hadir sebagai anggotanya, yang dapat mengalahkan tentara Romawi. 
Tapi Yesus mengenal hati mereka dan tahu yang diinginkan mereka, yakni menjadikan Dia raja di dunia.  Dia menyingkir pergi karena tujuan-Nya melakukan mukjizat bukan itu.  Seperti yang diajarkan di pasal 7, tujuan mukjizat-Nya adalah untuk menunjukkan bahwa Dia adalah Roti Hidup itu sendiri, satu-satunya Roti Hidup, pemberian dari Surga atas kebutuhan terbesar manusia yaitu kehidupan kekal bersama Allah.  Karena kasih-Nya, Dia akan memberikan Diri-Nya kepada manusia.  Sayang sekali mereka hanya mencari mukjizat-Nya, padahal seharusnya mereka mencari Dia sebagai Sang Roti Hidup.  
Saudara, papa mertua saya adalah seorang yang keras, sangat kasar dalam berbicara dan bertindak.  Selama bertahun-tahun keluarga besar kami berdoa agar beliau bertobat dan mengajak ke gereja.  Kami mengundang sejumlah hamba Tuhan untuk menginjili beliau namun tidak ada hasil.  Kami putus asa.  Kadang-kadang kami bertanya, dimanakah kuasa dan kasih Tuhan yang mampu mengubah hidup manusia?  Mengapa kami berdoa dan tidak ada jawaban?  Apakah kami akan melihat papa memasuki kekekalan tanpa Kristus?
Ketakutan kami sepertinya menjadi kenyataan ketika pada suatu sore papa terjatuh tidak sadarkan diri.  Beliau dibawa ke rumah sakit dalam keadaan setengah koma, tidak dapat memberikan respon dengan kata-kata maupun gerakan normal.  Dokter mengatakan ada pendarahan di batang otak dan papa belum tentu bisa bertahan malam itu. Dalam keadaan shock kami bertanya apa yang Tuhan kehendaki. Saat itulah kami disadarkan bahwa  papa belum diselamatkan.  Maka malam itu saya bersama isteri menginjili papa di ruang ICU.
Mukjizat terjadi waktu Injil diberitakan.  Ketika papa ditanya apakah mau menerima Tuhan Yesus, ia memberikan respon dengan menggenggam tangan saya kuat-kuat.  Karena tidak yakin dengan reaksi yang ada, kami ceritakan lagi Injil dan bertanya lagi apakah papa mau percaya pada Tuhan Yesus.. sekali lagi tangan papa menggenggam kuat.. baru belakangan saya sadar tangan yang menggenggam itu adalah tangan yang sebelumnya patah dan hampir tidak berfungsi.  Dari mana kekuatan itu datang?  Air mata kami mengalir.  Itulah konfirmasi kuat terakhir yang pernah kami peroleh dari papa. Malam itu pun papa dibaptis.  Setelah malam itu, responnya terus melemah sampai tiga bulan kemudian beliau berpulang. 
Saudara, tidak selalu kami bisa memahami karya Tuhan dalam hidup kami dengan benar.  Namun melalui peristiwa ini pandangan kami tentang Allah berubah.  Allah tidak jahat dan tidak diam.  Dia sungguh adalah Allah yang berkuasa dan mengasihi kami namun Dia adalah juga Allah yang berdaulat dan melakukan karya-Nya pada waktu-Nya sendiri, bukan pada waktu atau menurut keinginan kami.   
Pernahkah Saudara mengalami karya Tuhan? Mungkin keluarga Saudara dipulihkan atau penyakit Saudara disembuhkan.  Jika pernah, apakah Saudara lebih terpesona kepada karya Allah atau kepada Pribadi Allah itu sendiri?  Apakah hal ini membawa Saudara kepada pengenalan yang benar akan Allah dan membuat Saudara ingin mengenal Dia lebih dalam lagi dan menikmati Dia sebagai pemuas hidup Saudara? 
Sebagai orang yang telah ditebus oleh darah Yesus, berkat dan penyertaan yang kita peroleh dari Tuhan seharusnya membawa kita kepada pengenalan yang benar akan Dia sebagai Sang Pemberi dan bukan hanya mengenal pemberian-Nya.  Bukankah demikian?

Amin

Eksegese Yohanes 6:1-16

Oleh Tjia Djie Kian



LITERARY ANALYSIS

A.    Batasan Teks

  • Teks ini dimulai dengan keterangan waktu “Sesudah itu” sedangkan Yoh. 6:16 dimulai lagi dengan keterangan waktu “dan ketika hari sudah malam”, menunjukkan bahwa bagian pasal 6 yang dimulai dengan ayat 16 adalah bagian yang berbeda.
  • Pasal 5 berbicara tentang penyembuhan orang di Betesda dan penjelasan Yesus mengenai kesaksian-Nya. Pasal 6 ayat 16 berbicara tentang mujizat Yesus berjalan di atas air, sebuah mujizat yang berbeda dengan yang diceritakan di perikop ini.
  • Dapat disimpulkan bahwa Yohanes 6:1-15 merupakan satu unit kisah yang utuh yang berbeda dengan bagian-bagian sebelum dan sesudahnya.

B.     Kesatuan Teks

  • Kesatuan teks sebagai satu unit pikiran didukung dengan adanya kata-kata yang sama yang dipakai berulang-ulang seperti: roti (ay. 5, 7, 9, 11, 13), berbondong-bondong (ay. 2, 5), referensi kepada orang-orang/orang banyak (ay 2, 5, 9, 10, 14 dan beberapa ayat lain yang mengacu pada “mereka” yang menunjukkan orang banyak itu).
  • Adanya persamaan dan alur cerita yang tak terputus dari mujizat pemberian makan  5000 orang, dimulai dari tindakan Yesus yang pergi ke seberang danau Galilea disusul oleh pertanyaan-Nya tentang bagaimana memberikan makan kepada orang banyak itu, ketidaksanggupan murid-murid-Nya untuk menyelesaikan masalah itu, adanya lima roti jelai dan dua ekor ikan yang dipakai Yesus untuk memberikan makan kepada semua orang itu dan diakhiri dengan tanggapan orang banyak setelah mereka kenyang dan menyingkirnya Yesus karena Dia tahu apa yang mau mereka lakukan terhadap Dia. Semua ini adalah satu kesatuan cerita yang lengkap.
  • Kesimpulan: Yohanes 6:1-15 merupakan satu kesatuan kisah tersendiri yang berbeda dengan bagian-bagian sebelum dan sesudahnya.


C.    Analisa Struktur Teks dan Pembagiannya
1 Sesudah itu Yesus berangkat ke seberang danau Galilea
                                                              yaitu danau Tiberias.
2 Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia
                           karena mereka melihat mujizat-mujizat penyembuhan
                                                                      yang diadakan-Nya
                                                                      terhadap orang-orang sakit.
3 Dan Yesus naik ke atas gunung
                            dan duduk di situ
                                             dengan murid-murid-Nya.
4 Dan Paskah,
                    hari raya orang Yahudi
   sudah dekat.

5 Ketika Yesus memandang sekeliling-Nya
                          dan melihat,
                                       bahwa orang banyak berbondong-bondong datang kepada-Nya,
                          berkatalah Ia kepada Filipus:
                                      "Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?"
6 Hal itu dikatakan-Nya untuk mencobai dia,
                          sebab Ia sendiri tahu,
                                       apa yang hendak dilakukan-Nya.
7 Jawab Filipus kepada-Nya:
                         "Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini,
                                                            sekalipun masing-masing mendapat sepotong kecil saja."
8 Seorang dari murid-murid-Nya,
                                 yaitu Andreas,
                                 saudara Simon Petrus,
berkata kepada-Nya:
                        9 "Di sini ada seorang anak,
                                                 yang mempunyai lima roti jelai
                                                                              dan dua ikan;
                                                 tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak ini?"

10 Kata Yesus:
               "Suruhlah orang-orang itu duduk."
          Adapun di tempat itu banyak rumput.
                 Maka duduklah orang-orang itu,
                              kira-kira lima ribu laki-laki banyaknya.
11 Lalu Yesus mengambil roti itu,
                             mengucap syukur
                             dan membagi-bagikannya kepada mereka yang duduk di situ,
                             demikian juga dibuat-Nya dengan ikan-ikan itu,
                                                          sebanyak yang mereka kehendaki.


12 Dan setelah mereka kenyang
                               Ia berkata kepada murid-murid-Nya:
                                                        "Kumpulkanlah potongan-potongan yang lebih
                                                                                               supaya tidak ada yang terbuang."
13 Maka merekapun mengumpulkannya,
                           dan mengisi dua belas bakul
                                                 penuh dengan potongan-potongan dari kelima roti jelai
                                                                         yang lebih setelah orang makan.

14 Ketika orang-orang itu melihat mujizat yang telah diadakan-Nya,
                 mereka berkata:
                          "Dia ini adalah benar-benar nabi
                                                                 yang akan datang ke dalam dunia."
15 Karena Yesus tahu,
                          bahwa mereka hendak datang
                                           dan hendak membawa Dia dengan paksa
                                                    untuk menjadikan Dia raja,
                            Ia menyingkir pula ke gunung,
                                                       seorang diri. 

D.    Pembagian Struktur Teks

  1. Yesus diikuti banyak orang karena mujizat yang dilakukan-Nya (1-4)
  2. Kebutuhan orang banyak dan keterbatasan sumber manusia untuk memenuhinya (5-9)
  3. Kebutuhan orang banyak dipenuhi melalui mujizat Yesus (10-13)
  4. Yesus dipandang sebagai raja dan nabi karena mujizat yang dilakukan-Nya (14-15)

Struktur Kitab Yohanes[1]
  1. Pembukaan (1:1-18)
  2. Saksi di Yudea, Samaria dan Galilea (1:19 – 6:71)
    1. Kesaksian Murid-murid pertama (1:19-51)
    2. Pemurnian yang sesungguhnya (Pasal 2)
    3. Anak dari Atas (Pasal 3)
    4. Respon dari yang Non-ortodoks (Pasal 4)
    5. Karya Allah pada Sabat (Pasal 5)
    6. Pemberi Manna yang Baru (Pasal 6)
                                                              i.      Pemberian Makan kepada banyak orang (6:1-15)
                                                            ii.      Teofani di atas Air (6:16-21)
                                                          iii.      Uraian tentang Manna (6:22-58)
                                                           iv.      Respon dan Maksud (6:59-71)
  1. Tabernakel dan Hanukkah (7:1 – 10:4)
  2. Pengantar Minggu Sengsara (11:1-12:50)
  3. Ucapan Perpisahan (13:1 – 17:26)
  4. Masa Sengsara dan Kebangkitan (18:1 – 20:31)
  5. Penutup (21:1-25

Analisa Konteks

Meskipun sebagai satu unit cerita Yoh. 6:1-15 merupakan satu kesatuan tersendiri, namun masih terangkai dengan pasal 6 secara keseluruhan karena mulai ayat 25 sampai ayat 71, Yesus memberikan penjelasan yang lebih dalam mengenai mujizat ini untuk menunjukkan identitas Diri-Nya sebagai Roti Hidup dan reaksi para pengikut-Nya terhadap pengajaran ini. 

 

HISTORICAL-CULTURAL BACKGROUND, WORD MEANING, & GRAMMATICAL ANALYSIS


Yesus diikuti banyak orang karena mujizat yang dilakukan-Nya (1-4)
Inilah satu-satunya mujizat yang dicatat oleh keempat kitab Injil.  Setiap penulis Injil memberikan penekanan tertentu kepada mujizat ini.  Matius dan Lukas sangat tertarik pada mujizat itu sendiri.  Markus menekankan belas kasihan Yesus yang mendorong-Nya memberikan makan kepada orang banyak itu.  Dalam Yohanes, yang ditekankan adalah makna penting peristiwa itu sendiri yang berpusat pada fakta bahwa Yesus sendiri adalah Roti yang akan memuaskan kerohanian manusia.  Yohanes mencatat detil yang tidak dicatat Injil Sinoptik lainnya: mujizat ini terjadi menjelang masa Paskah, roti yang dimiliki anak itu adalah roti jelai, alasan dikumpulkannya sisa-sisa makanan dan efek mujizat itu pada orang banyak.[2]
Kapan peristiwa yang dituliskan di bagian ini terjadi?  Frase “sesudah itu” tidak cukup untuk menjelaskan kapan tepatnya peristiwa itu terjadi.[3]  Dari sisi narasi peristiwa ini terjadi setelah penyembuhan orang lumpuh di kolam Betesda dan perdebatan yang terjadi sesudahnya antara Yesus dengan orang Yahudi di pasal 5.[4]  Dari sisi waktu real, setidaknya setengah tahun telah berlalu sejak kejadian di pasal 5.[5]
Di manakah peristiwa ini terjadi?  Yesus disebutkan pergi “ke seberang danau Galilea”, yaitu “danau Tiberias”.  Nama Danau Galilea dikenal baik oleh Gereja mula-mula dan merupakan nama yang dikenal oleh orang lokal.  Namun ketika Injil ini ditulis danau Tiberias mungkin sudah menjadi nama yang lebih resmi, sesuai dengan keberadaan kota Tiberias di sisi barat danau ini yang dibangun sekitar tahun 20 M oleh kaisar.[6]  Kegiatan orang Yahudi terpusat di bagian barat danau ini.[7]  Karena itu, ketika dikatakan bahwa Yesus pergi ke seberang Danau Galilea, kemungkinan besar yang dimaksudkan adalah daerah di sisi pantai sebelah timur.[8]
Alasan mengapa Yesus bersama murid-murid-Nya menyeberangi danau dapat ditafsirkan dari Markus 6:30-32 dan Matius 14:12, 13: murid-murid-Nya baru kembali dari perjalanan misi, membutuhkan istirahat dan waktu menyepi bersama Yesus. Di pantai Barat, khususnya di Kapernaum, tidak ada kesempatan untuk bersantai. Belum lagi munculnya informasi yang mengejutkan mengenai kematian tragis Yohanes Pembaptis. Ini pun tentu membutuhkan perenungan dan penenangan.[9]
Tapi ternyata maksud menyepi tidak berhasil, sebab banyak orang datang berbondong-bondong mengikuti Dia karena mereka telah melihat perbuatan-Nya di Kapernaum.  Yang menarik adalah bahwa kata kerja yang digunakan untuk menggambarkan sikap orang banyak terhadap Yesus, yakni “mengikuti”, “melihat”, “diadakan”, semua ditulis dalam bentuk imperfect tense, yang berarti hal tersebut dilakukan terus-menerus secara berulang-ulang.[10]  Jadi nampaknya kemana pun Yesus pergi, orang banyak senantiasa mengikuti Dia.
Meskipun istilah “mengikuti” Dia menunjukkan bahasa pemuridan namun di bagian akhir pasal 6 Yohanes memberikan catatan kritis yakni bukan mereka yang pada awalnya mengikut Yesus yang terpenting namun mereka yang bertahan sampai akhirlah yang akan tetap menjadi murid-murid-Nya (6:60-71).  Iman mula-mula mereka tidak cukup karena mereka hanya memiliki “iman pada tanda”, yakni iman yang didasarkan pada mujizat penyembuhan-Nya pada orang sakit, sebagaimana dicatat Yohanes dalam 4:46-53 dan 5:1-9.  Sisa kisah ini menunjukkan bahwa calon murid-murid-Nya tidak pernah maju melampaui iman yang berorientasi pada tanda ini, tidak pernah bergerak dari apa yang dapat Yesus lakukan bagi mereka ketimbang apa yang mereka dapat lakukan bagi Yesus.[11]
Bagi Yohanes hal terpenting dari mujizat Yesus tidak terletak pada faktor keluarbiasaan dari mujizat tersebut melainkan bahwa mujizat itu memiliki arti dibaliknya.  Meskipun demikian tidak semua orang yang melihat suatu mujizat akan melihatnya sebagai tanda yang menunjuk ke balik mujizat itu sendiri karena kebanyakan orang lebih terkesan dengan unsur hebat dari mujizatnya dan mengikut Yesus hanya karena mujizat yang dilakukan-Nya.[12]
Yesus kemudian pergi ke atas gunung bersama murid-murid-Nya. · Yang dimaksudkan dengan “gunung” adalah daerah perbukitan atau tempat yang tinggi.[13]  Kata ini selalu dipakai dengan kata sandang tertentu, sering muncul di Injil Sinoptik dan dihubungkan dengan kejadian-kejadian yang penting secara teologis seperti khotbah di bukit, pemanggilan keduabelas murid dan  penampakan setelah kebangkitan-Nya.[14]
Untuk kedua kalinya dalam kitab Yohanes disebutkan bahwa Paskah sudah dekat. Paskah pertama disebutkan di Yoh. 2:13, 23 dalam konteks pernyataan diri Yesus sebagai bait yang akan dirobohkan, yang menunjuk kepada kematian-Nya.  Paskah ketiga terjadi saat kematian-Nya.[15]  Secara literer, disebutnya Paskah bukan hanya untuk menandakan waktu namun juga untuk membangkitkan emosi akan cerita yang akan tampil.[16]  Ada 17 kali dia menggunakan kata heorte (perayaan) sementara penulis PB yang lain tidak pernah menggunakan kata ini lebih dari tiga kali.  Ini mungkin karena Yohanes melihat Yesus sebagai penggenapan dari semua yang makna berbagai perayaan itu.[17]  Dalam setiap perayaan yang disingungnya, Yohanes menempatkan dan memberikan makna yang lebih tinggi dan absolut kepada Yesus.[18]
Fungsi penting dari disebutnya Paskah yang sudah mendekat adalah menempatkan pasal ini dalam konteks domba paskah dan barangkali dalam konteks kisah sengsara yang telah ditulis di Injil-injil sebelumnya.  Yohanes kembali mengajak kita untuk memahami pelayanan Yesus sebagai sesuatu yang pada akhirnya akan menuju kepada salib.[19]
Selain itu disebutnya Paskah dalam ayat ini akan membangkitkan ingatan orang Yahudi akan keluaran mereka dari kenyamanan di tanah Mesir dan pengembaraan mereka di padang gurun yang sangat keras dimana mereka harus sepenuhnya bergantung kepada Allah yang menyediakan segala makanan dan segala hal lainnya bagi mereka.  Di padang gurun itu, semua kekuatan manusia tidak ada artinya.  Inilah hal yang ingin ditanamkan Yohanes dalam benak pembacanya, yakni akan keterbatasan kemampuan manusia dan kasih serta kuasa Allah.[20]

Kebutuhan orang banyak dan keterbatasan sumber manusia untuk memenuhinya (5-9)

Penekanan Kristologis terlihat sejak awal melalui inisiatif yang diambil Yesus (ay. 5: Yesus memandang … melihat sekelilingnya . berkata kepada Filipus …), pengetahuan-Nya akan apa yang hendak Dia lakukan (ay. 6) dan bahkan dalam pembagian roti dan ikan yang dilakukan-Nya (ay. 11; tidak disinggung pembagian yang dilakukan oleh murid-murid-Nya sebagaimana disebutkan oleh Injil Sinoptik, meskipun pastilah mereka membantu Yesus membagikan makanan itu).[21]
Filipus adalah orang yang wajar diminta bantuan untuk mencari tahu dimana mereka bisa membeli makanan untuk orang banyak itu karena ia adalah penduduk Betsaida di dekat situ.[22]  Sayangnya Filipus tidak bisa memberikan solusi dan malahan menunjukkan ketidakberdayaannya.  Barangkali Filipus terlalu yakin dengan pengetahuannya akan daerah tersebut sehingga dia lupa bahwa bersamanya ada Yesus yang berkuasa dan seharusnya dia membawa masalah makanan tersebut kepada Yesus.[23]
Pertanyaan Yesus kepada Filipus tidak menunjukkan ketidakberdayaan-Nya.  Yesus sudah menyiapkan rencana untuk mengantisipasi persoalan yang akan muncul, yang di Injil Sinoptik baru muncul belakangan, yakni bagaimana orang banyak itu akan diberi makan.[24]  Sejak awal Yesus memang sudah berniat untuk mengadakan mujizat. Hdei = “dia tahu”, menunjukkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dan emellen = “dia akan”, menunjukkan suatu kepastian.[25]
Yohanes mencatat bahwa pertanyaan Yesus kepada Filipus adalah suatu test yang akan menunjukkan apakah Filipus akan beriman kepada Yesus, terlebih lagi karena dia sudah pernah memberikan pengakuan iman akan Yesus sebagai Mesias (Yoh 1:43-46).  Yesus ingin menguji iman murid-murid-Nya untuk mempersiapkan mereka terhadap ujian lebih besar yang akan datang dan agar mereka, khususnya Filipus, mengerti tantangan-tantangan yang ada dalam situasi ini dan bagaimana dia akan bereaksi.[26]
Westcott, berdasarkan catatan Alkitab bahwa satu dinar adalah upah satu hari kerja (Mat. 20:2), dan dengan mengurangi jumlah hari kerja ketika libur Sabat, mendapatkan dua ratus hari = 34 minggu. Dengan perkataan lain uang dua ratus dinar setara dengan delapan bulan gaji.[27]  Ini jelas jumlah yang sangat besar yang tidak dimiliki oleh Yesus dan murid-murid-Nya.  Bahkan dengan jumlah sebesar ini pun, mereka tidak akan mampu memberi makan orang-orang tersebut dengan kenyang.  Mereka dihadapkan pada suatu hal yang mustahil.  Namun apa yang Yesus akan lakukan adalah memenuhi kebutuhan manusia yang sungguh-sungguh, yang tidak dapat dipenuhi oleh sumberdaya manusia yang normal.[28]
Ditengah pasifnya sikap Filipus dan ketidakberdayaannya menghadapi situasi itu, lagi-lagi Andreas, seperti juga yang dilakukannya di Yohanes 1:40, membawa seorang anak laki-laki kepada Yesus. Sementara menghadapi pertanyaan Yesus tentang cara memberi makan orang banyak itu, Andreas mungkin sudah aktif berkeliling mencari orang yang membawa makanan.[29]  Kata untuk “anak laki-laki” disini bisa berarti anak remaja atau bahkan pemuda meskipun bisa juga berarti anak laki-laki yang lebih muda.[30]
Anak itu membawa lima roti jelai dan dua ekor ikan.  Kita jangan membayangkan roti jelai itu sebesar roti yang biasa kita beli di toko kue.  Roti jelai jauh lebih kecil dan ukurannya mungkin seperti biskuit.[31]  Roti jenis ini adalah adalah roti murahan sehingga kemungkinan besar anak itu miskin.  Tentang roti jelai ini, seorang tokoh Yahudi masa itu, Philo, mengatakan bahwa roti ini lebih cocok untuk binatang yang tidak berotak atau manusia yang keadaannya tidak menyenangkan.[32]  Sedangkan kata yang digunakan untuk ‘ikan’ menunjukkan bahwa kedua ikan itu telah dimasak dan merupakan makanan pelengkap yang akan membuat roti jelai itu lebih mudah dimakan.[33]